Antara Soul dan Mami Ruhi
Keluarga kecil Fia bertambah seorang, Mami Ruth, ibu sambungnya. Secara resmi, Fia baru melihat perempuan berwajah ramah dengan senyum memikat itu ketika akad berlangsung. Kesan pertama, Fia menyangka mereka akan menjadi sahabat, seperti dia dan Soul.
Begitu berkomentar, semua hal bahagia yang ada di kepalanya menjadi lesap. Beliau tidak menyapa atau memperkenalkan diri sebagai anggota keluarga baru, melainkan. “Ih, kok rambutmu dipotong kayak cowok? Jelek loh, Fia.”
Lihat, kan? Siapa pun, pasti bakal bete mendengarnya. Rupanya, ibu sambungnya ini senang sekali mengomentari banyak hal, seperti keesokan harinya ketika masuk di kamar Fia. “Ih, kamarmu jauh lebih berantakan daripada anak cowok, Fia. Dan itu…” Tunjuknya pada sebuah boneka kelinci super besar. “Udah berapa abad kamu enggak cuci?”
Heh, berani sekali Mami Ruhi menunjukkan tampang jutek pada Soul, boneka kesayangannya? Omong-omong, ada alasan kenapa Fia memplesetkan namanya seperti itu. Karena… “Ih, kemejamu kusut, Fia! Lepas deh, Mami setrika dulu.”
Sebenarnya, di antara omelan ini-itu, rumah terasa lebih hidup dan terasa seperti rumah pada umumnya. Tidak ada onggokan sampah di dapur karena terlalu lama atau perabot kotor yang memenuhi wastafel. Mami Ruhi seperti kebanyakan ibu rumahan, menyiapkan makanan enak hingga Fia tidak peru sering jajan di luar. Semingguan ini, Fia sudah jatuh cinta pada roti panggang Mami Ruhi. Minus beliau cuman satu, yakni…,
“Ih, keluyuran melulu kamu, Fia. Di rumah aja sama Mami.”
Fia ingin sekali menjawab, Ih ngapain? Dia masih tahu diri untuk tidak bersikap kurang ajar. Malamnya Fia dibuat kesal lagi oleh Mami Ruhi, bisa-bisa dia yang sewot ketika Fia memberitahu Papi agar diizinkan menginap.
“Ngapain mau nginap di luar?”
Ditatap lekat-lekat Mami Ruhi. “Pengin aja, lagian Papi juga enggak pernah ngelarang.”
“Ih, mending kita malam mingguan bareng. Pagi-pagi, Papi udah berangkat kerja, pulangnya sore. Kamu hampir tiap hari ke kampus, sampai di rumah setelah Magrib. Mami bikinin camilan yang banyak deh, kita nonton sinetron bareng. Lagian, besok ada tetangga bawain benih, Mami butuh bantuan kalian bersihin pekarangan di depan.”
Loh, kok gini, sih?
***
Sebulan sudah, kekesalannya kian menumpuk pada Mami Ruhi, Fia mana bisa cerita pada Papi, Soul lah yang kerap mendengar cerita-ceritanya selama ini. Disuruh rutin menyiram tanaman sih masih mending, tapi Fia ogah kalau disuruh bantu-bantu Mami di dapur apalagi ketika ada arisan. Mau ngundang orang se-RT pun tidak masalah, kok Fia juga yang sibuk ke sana-ke mari. Terakhir, Fia benar-benar mengomel ketika Mami memaksanya menemani ke kondangan. Astaga, yang benar saja? Mana pakai kebaya lagi. Fia janji, dia tidak akan mengulang kebodohan itu kedua kalinya.
Tiba di rumah sore itu, dia mengambil selang menyiram pekarangan kemudian masuk ke kamar. Menguak pintu, Fia langsung menemukan keanehan itu. Tidak ada Soul di mana-mana!
“Mami!” Fia mengambil langkah lebar ke dapur, Mami Ruhi di sana, tengah menuang sop ke mangkuk. “Soul enggak ada di kamar.”
“Tadi Mami bawa, kan udah kotor banget tuh, tetangga di depan juga ngomong barang rongsokan itu sudah selayaknya dibuang…”
“Kenapa dibuang?” Fia menjerit, diiringi tangis yang seketika mengalir ke pipinya. “Itu satu-satunya peninggalan almarhum Mami buat aku. Selama Papi sibuk di luar, aku cuman punya Soul. Aku enggak mau tahu, gimana pun caranya, bawa Soul balik lagi.”
Pintu kamar dikunci Fia dan menangis sejadi-jadinya di dalam. Besok ketika terbangun, Fia menemukan chat dari Mami. Sudah ada makanan untuknya di dapur dan mengenai Soul, Fia salah paham, Mami hanya membawa Soul ke penatu.
Fia berdengkus, tetap saja kesal, Mami semestinya minta izin padanya. Kalau begini, dia jadi salah paham karena Mami. Omong-omong, beliau pergi ke Cimahi, sekitar semingguan lebih. Baguslah, untuk sesaat, rumah pasti aman tanpa seruan cempreng Mami Ruhi.
Celakanya, kenyamanannya cuman berlangsung sampai hari kedua. Dia menjadi uring-uringan karena tidak ada lagi roti panggang seenak buatan Mami Ruhi. Rumah jadi berantakan. Meski dia sudah curhat pada Soul, tetap saja dia merasa… Fia menggeleng keras, bukannya pukul segini dia sudah harus menyiram pekarangan di depan?
Kenapa tiba-tiba terasa aneh tidak mendengar suara Mami Ruhi? Fia sedang berbaring di sofa di ruang keluarga ketika ponsel yang Papi tinggalkan mendering. Begitu melongok, rupanya Mami Ruhi yang menelepon. Gegas, Fia menyambungkan panggilan tersebut.
“Oh, Fia? Besok Mami pulang, kamu bilangin ke Papi buat jemput Mami, ya.”
Fia mendeham. “Aku bisa jemput Mami, kok.”
“Beneran nih?”
“Ih, beneran.”
Terdengar tawa Mami. “Soul gimana, Fi? Udah kinclong?”
“Udah kinclong banget, wangi lagi.” Fia mengecilkan suara, “Aku minta maaf udah salah paham. Habis…” tiba-tiba Fia kehilangan kosakata. Dia tidak semestinya memberikan pembelaan diri. “Aku benar-benar minta maaf.”
“Alhamdulillah kalau kamu udah enggak ngambek sama Mami. Besok, mau dibikinin roti panggang?”
“Ih, mau banget!”
“Sekarang kamu yang kayak Mami, ya. Efek kangen nih kayaknya.”
Detik berikutnya, Fia tertawa kencang. “Mami, besok bikin roti panggangnya yang banyak, ya.”
***
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro