
Puisi Rin dan Kue Pai
Aku menengok wajah muridku Rin sebelum badannya yang terbujur kaku itu dimasukkan ke dalam peti mati. Rambut hitamnya, mata hijau terangnya dan lesung pipinya masih menghantui memoriku; aku ingin melihatnya untuk yang terakhir kali.
Matahari enggan bersinar, awan kelabu memenuhi langit. Aku berharap ia tenang.
Tidak, wajahnya tidak tenang. Bagaimanapun, ia bunuh diri. Tali yang menggantungnya meninggalkan bekas yang mustahil dihapus.
Rin memang tidak begitu cerdas, tapi puisinya yang indah dan kemampuan deklamasinya yang hebat seringkali membuatku yang seorang guru biologi ini takjub.
Kasihan. Kukira ia stres dan depresi karena nilainya yang terpuruk di kelas.
Kuambil secarik kertas dari kantung bajuku. Dua buah puisi karangan Rin yang ia tulis tangan di atas kertas HVS. Kertas itu sudah agak lusuh digigiti usia.
Kutatap judul-judulnya dengan mata berlinang air mata.
"Tali di Leherku"
"Terima Kasih dan Selamat Tinggal"
Bodohnya aku tidak menyadari niatannya. Kulirik kanan dan kiri. Hanya ada tatapan dingin murid-muridku yang lain. Ada pula yang tersenyum tipis; mereka barangkali justru senang karena saingan mereka berkurang.
"Si Rin itu memang aneh, sih. Aku tidak heran ia bunuh diri," bisik salah satu murid.
"Yah, salah sendiri masuk sekolah unggulan," timpal murid lain.
Sekolahku memang sekolah unggulan. Sekolah asrama ini memiliki banyak murid ambisius yang punya satu tujuan: Universitas Indonesia Jaya, atau UIJ, satu-satunya universitas di Indonesia yang menembus 30 besar dunia. Sungguh, persaingan akademik telah merenggut kemanusiaan di dalam jiwa-jiwa mereka.
Aku meletakkan kertas itu di dalam peti mati Rin. Tidak banyak yang kupunya yang berhubungan dengannya; ia murid IPS sementara aku guru biologi. Yang kupunya hanya beberapa lembar kertas puisi miliknya yang ia berikan padaku.
Aku pun menjauh dari peti mati Rin, membiarkan teman-temannya menaruh bunga atau sekadar berkata dusta. Aku lalu merasakan sebuah sentuhan halus pada pundakku.
"Anda pasti Ibu Mina," ujar seorang perempuan yang baru saja menyentuh pundakku. Ia mirip sekali dengan Rin, hingga aku sampai mengira Rin hidup kembali. Hanya saja, rambut hitamnya lebih panjang.
"Ya, benar." Aku menjawab singkat. Hatiku tak kuasa memerintah mulutku untuk berbasa-basi.
"Saya Mala, saudari kembar Rin. Saya banyak mendengar tentang Anda dari Rin. Terima kasih sudah membantu Rin selama hidupnya yang-yang singkat." Ia menundukkan kepala sambil agak terisak.
"... Sudah tanggung jawab saya, saya rasa. Ya, Rin ... Ia seharusnya tidak perlu ...." Tangisku hampir meledak lagi.
Barulah kuingat sesuatu. Kuambil insulin pen dari kantung rokku seraya menyapu air mataku; aku mengidap diabetes.
"Anda mengidap diabetes?" tanyanya sopan. Aku mengganguk pelan.
"Saya doakan kesehatan Anda tetap prima," ujar Mala seraya berjalan pergi. Ia melempar pandangan kosong padaku, lalu mengalihkan perhatian pada murid-murid yang sedang berduka palsu.
***
Tahun ajaran baru dimulai dengan iringan kegundahan hatiku yang menolak melupakan Rin. Aku agak terkejut ketika melihat Mala di antara jajaran murid pindahan. Ia sekarang di kelas 2C; kelas Rin.
Jam mengajarku tidak begitu banyak di awal kurikulum dan kesibukanku juga sedikit. Aku menyempatkan diri duduk di depan mejaku di ruang guru, mengoreksi tugas yang dikerjakan murid-muridku membaca kembali puisi-puisi Rin.
"Tuan Kematian"
"Majikan dan Budaknya"
"Seorang Marionet"
Astaga. Petunjuk-petunjuk Rin sangat jelas. Kelelahan dan kebodohanku membuatku tidak menyadarinya. Rin yang malang.
"Permisi, Ibu Mina," ujar seorang murid. Aku buru-buru menyembunyikan puisi Rin ke dalam kantung baju.
Murid yang menyapaku bernama Milly, seorang murid kelas dua. Ia tersenyum manis sambil mengenyahkan rambut cokelatnya yang menutupi mata kirinya.
"Ada sampel kue pai gratis, Bu Mina. Kami membuka usaha."
Ah, ya. Murid diajak kreatif, jadi mereka boleh membuka usaha atau bisnis kecil-kecilan sendiri. Sayang, kreativitas mereka tidak membuat nurani mereka bangkit.
Di sampingnya, Luna, seorang gadis pirang yang lebih tinggi daripada Milly, menyodorkan sebuah kue pai. Bayangan Luna yang tinggi menutupi lampu terang yang menyinari ruang guru. Di belakang mereka, ada Seira, seorang gadis keturunan Jepang berambut perak, yang memegang kotak berisi puluhan kue pai.
Kue pai susu yang dihiasi buah ceri dan kiwi itu sangat menggoda. Untungnya, aku ingat pada penyakitku.
"Maaf, saya mengidap diabetes."
Milly, Seira, dan Luna mengganguk pelan. Kue pai itu ditaruh kembali ke dalam kotak kardus.
Aku melihat sekeliling. Guru-guru sedang lahap memakan kue pai mereka sampai habis tandas dan memunculkan senyum di wajah mereka. Aku memutuskan pergi ke UKS untuk bertemu dr. Nawal, teman baikku.
Kami berdua pecinta biologi. Bedanya, ia memilih menempuh jalur kesehatan, aku pendidikan. Toh, tempat kerja kami akhirnya sama. Sebelumnya, aku singgah dulu di kantin untuk mengisi perut.
Di kantin, aku melihat toko milik Milly, Seira dan Luna ramai diserbu pelanggan dari kalangan guru dan murid. "Ah, ramai sekali. Apa seenak itu?" gumamku. Aku agak sebal pada penyakit diabetes bawaanku; diabetes yang membuatku harus pantang makan ini itu.
"Bu, tolong roti bakar kejunya satu," pintaku pada Bu Munah, seorang pedagang kantin.
"Siap, Bu!" Tangan Bu Munah yang cekatan langsung mencomot dua potong roti tawar dari bungkusnya. Ia oleskan selai keju di permukaan roti dengan cepat. Aku menaruh selembar uang sepuluh ribuan di atas sebuah nampan.
Aku mengamati lautan manusia yang menggerayangi toko kue milik Milly, Seira, dan Luna. Banyak murid yang membeli tiga atau empat potong kue sekaligus.
"Selezat itu kah?" gumamku sambil mencengkeram erat kantung rokku. Sumpah serapah kukeluarkan dalam hati.
"Rumornya, sih, memang enak, Bu Mina," suara Mala yang kaku mengejutkanku.
"Ah, Mala!" seruku, "jangan membuat Ibu kaget, dong!"
"Baik, Bu," balas Mala dingin.
"Kamu tidak ikut membeli?" tanyaku.
"Saya kurang menyenangi kudapan manis. Saya pamit dulu, Bu Mina." Segera setelah Mala pergi, aku mendengar suara serak Pak Yusuf, guru bahasa Inggris.
"Maaf, Bu Mina. Tolong jangan menghalangi jalan," pintanya.
"Ah, ya, silakan, Pak Yusuf!" kataku. Lelaki yang agak gondrong itu tersenyum tipis.
Kukira Pak Yusuf akan mengikuti antrian yang mengular itu, tapi ternyata tidak. Ia hanya menggeram pelan, sambil melempar pandang pada toko kue itu. Milly mengangguk pelan padanya, kemudian melemparkan senyum kecil.
Kubatalkan niatku ke UKS setelah aku melihat dr. Nawal berjalan ke dalam kantin. "Hei, Nawal!"
"Mina!" balasnya. Ia hendak berjalan menujuku, tapi dihalangi orang-orang yang mengantri. Ada barangkali 250 orang yang mengantri, padahal sekolah ini hanya berpopulasi 800-an orang. Badan dr. Nawal yang kecil jadi terisap ke dalam ombak manusia yang kacau.
"Dokter! Ada yang demam!" teriak seorang murid. Aku melihat kepala dr. Nawal yang nampak samar-samar berbalik arah, kembali ke UKS.
Aku melirik toko kue pai yang makin laris, mengambil roti pesananku, kemudian kembali ke ruang guru. Aku baru ingat ada tugas yang perlu kunilai.
Kehadiran toko kue pai itu menimbulkan banyak hal aneh. Nilai-nilai murid-muridku turun drastis. Guru-guru semakin lama semakin buruk kemampuan mengajarnya. Staf semakin kacau bekerjanya.
Rokok dan miras bertebaran di sana sini, padahal sekuriti yang ketat biasanya bakal mencekal benda-benda seperti itu. Banyak murid yang telat atau bahkan tidak masuk kelas. Ada pula yang tidak memakai seragam atau mengecat rambut.
Pernah suatu hari aku memanggil Akane, muridku yang dulu selalu peringkat pertama di kelas.
Ketika ia kupanggil, gadis Jepang berambut coklat itu sedang mengunyah kue pai yang kukira ia beli dari booth Luna, Mala, dan Seira. Seragamnya acak-acakan; roknya lusuh, bajunya dikeluarkan, dan lengan bajunya dipotong.
"Akane," kupanggil ia, "apa ini?"
Aku menyodorkan sebuah kertas ulangan dengan nilai nol besar berwarna merah.
"Aku enggak bisa," ujarnya santai. Kue painya habis, jadi ia mengambil satu lagi dari kotak makannya.
"Jangan makan saat guru berbicara. Tidak sopan," kataku tegas. Akane menatapku tidak senang, tapi ia memasukkan kuenya kembali ke kotak.
"Kenapa tidak bisa? Tidak belajar?" Aku bertanya dengan sopan. Mungkin perasaanku saja, tapi aku mencium bau alkohol dari mulutnya.
"Nggak," ujarnya kalem.
"Lain kali belajar, ya," saranku, "Sudah, kamu boleh pergi."
"Iya," katanya. Saat ia berdiri, sebuah benda terjatuh dari kantung bajunya. Sebungkus rokok.
Dengan sangat santainya, Akane mengambil kembali bungkus rokok itu dan memasukkannya ke dalam kantungnya.
Aku syok. Kaget. Aku masih menatap nilai nol itu. Aku membuka buku nilai dan kulihat nilai-nilai semuanya anjilok. Hampir semuanya mendapat nol.
Dua bulan setelah kulaporkan kelakuan Akane yang awut-awutan itu, kepala sekolahku, Bapak Agus, akhirnya memanggil staf dan guru yang ia anggap masih kompeten untuk menanggulangi masalah ini.
Dalam perjalanan ke ruang kepsek dari ruang guru, aku melihat bagaimana kehancuran sekolah hebat ini nampak seperti tak terbendung.
Murid-murid gemar merokok, minum alkohol, dan bermain judi kartu. Guru-guru aneh menjadi bomat alias bodo amat. Staf kebersihan tidak peduli terhadap kebersihan lingkungan sekolah.
Dan kue pai di tangan mereka.
Kue pai.
Aku terkejut ketika kuketahui hanya ada tiga orang yang dipanggil: Pak Yusuf, dr. Nawal, dan aku. Kukira setidaknya ada tiga orang wakepsek, tapi ternyata tidak.
Di dalam ruangan dingin itu, hanya ada kami berempat. "Langsung saja ya, saudara-saudara," gumam Pak Agus. Orang tua itu sudah beruban; mungkin dampak stres mengurus sekolah yang mendadak berubah menjadi sarang remaja berandalan.
"Prestasi anak murid kita merosot jauh. Kondisi kebersihan lingkungan juga memburuk. Semakin banyak murid yang melanggar aturan. Kinerja guru menurun drastis. Banyak juga murid dan bahkan guru yang berkelahi; itu yang saya dengar dari dr. Nawal sebagai kepala UKS. Rapat mendadak ini saya adakan untuk mengatasi masalah ini."
"Hal ini mulai terjadi pada awal tahun ajaran. Apa yang sekiranya terjadi?" tanya dr. Nawal.
"Meninggalnya siswa kita Rin," jawab Pak Yusuf serak. Setetes air mata keluar dari netranya, tapi langsung diseka memakai sapu tangan.
"Saya kira itu tidak berhubungan," kata Pak Agus.
"Secara pribadi, saya agak mengkhawatirkan booth kue pai yang baru buka awal tahun ajaran baru ini," komentar dr. Nawal.
"Mengapa, dr. Nawal?" tanya Pak Agus.
"Sepemahaman saya, Ibu Mina dan Pak Yusuf tidak pernah mengonsumsi pai itu dikarenakan penyakit diabetes yang mereka alami. Anda dan saya pun tidak pernah memakan pai tersebut. Bukankah aneh jika performa semua staf turun kecuali kita yang tidak pernah makan pai itu?" beber dr. Nawal. Ia memang tidak suka makan makanan manis.
"Saya kira analisis Anda masuk akal, dr. Nawal. Anak didik saya pun yang performanya masih bagus tinggal Mala, Seira, Milly, dan Luna. Namun, saya tidak memahami hubungan pai dengan performa kita atau performa murid," ujar Pak Yusuf.
Saat itulah, kami mendengar teriakan protes di luar.
Kami mengintip dari balik jendela. Massa sedang mengamuk. Mereka berteriak, "Pai! Pai! Pai!"
"Ada yang salah dengan pai itu," ujar dr. Nawal sambil memicingkan mata, "Pai biasa tidak mungkin menimbulkan ketagihan seperti itu."
Kami menyelinap keluar. Jelaslah bahwa ratusan murid dan guru itu sedang mengepung ruang kantin yang untungnya berpintu kuat. "Pai! Pai! Pai!"
Ada teriakan kencang dari Luna, "Maaf, painya habis!"
Massa menggila. Banyak yang berteriak kesetanan, ada yang mencoba mendobrak pintu kantin. Ada pula yang mengamuk, memukuli pintu dengan tongkat atau kursi.
"Ini gila!" ujar Pak Agus. Kami kabur ke laboratorium kimia yang memiliki pintu kokoh dan kunci kuat.
Pak Agus, seorang mantan guru kimia, mencampurkan beberapa bahan kimia, menciptakan gas air mata yang ia masukkan ke dalam penyemprot yang ia bagikan pada kami.
"Kita harus menelepon untuk meminta bantuan," ujar dr. Nawal.
"Ya, tapi bagaimana, dr. Nawal?" tanya Pak Yusuf geram, "gawai milikku dan milik Bu Mina ada di ruang guru, gawai milikmu di UKS dan gawai Pak Agus sedang diperbaiki karena rusak!"
Situasi makin mencekam. Beberapa murid jadi gila, mengambil pisau atau cutter atau gunting dan mulai memotong daging mereka sendiri dan mengisap darah mereka.
Ada yang menebas aorta mereka dengan pisau, membuat darah menyembur kencang sementara mereka dengan bahagia menjilatinya. Akane bahkan memotong tangannya sendiri dan meminum darah yang menyemprot keluar. Adegan-adegan gila seperti di film zombie ini mulai membuatku mual.
"Tidak salah lagi! Pai itu pasti mengandung narkoba!" kata dr. Nawal seraya menggigit bibir.
"Sangat berguna, dr. Nawal. Kukira mereka sedang berubah jadi zombie," ujar Pak Ysuuf geram.
"Perhatian semua, penjualan kue pai ada di aula lantai tiga. Aula lantai tiga."
Suara dari speaker itu membuatku terkejut. Suara lembut itu milik Seira. Gerombolan murid dan guru dan staf itu pun pergi ke aula lantai tiga dengan tergopoh-gopoh. Kesempatan!
"Aku akan mencari HP untuk menelepon. Barangkali kalian bisa menginvestigasi apa yang terjadi di sana!" ujar Pak Agus.
Aku, Pak Yusuf, dan dr. Nawal pun berpisah. Dr. Nawal dan aku lewat tangga biasa, sementara Pak Yusuf lewat tangga darurat.
Betapa kagetnya kami melihat banyak bagian dari lantai tiga sudah terbakar. Banyak orang yang sudah dijemput malaikat maut karena terkena lidah api. Anehnya, alarm tidak menyala. Kami sangat hati-hati. Jika ada api, kami memutar.
Kami lebih kaget lagi saat melihat Pak Yusuf terbujur kaku di atas lantai, dikelilingi lidah api. Di sampingnya, Milly terbaring.
"Milly!" teriakku sambil, secara instingtif, menerobos api. Untungnya, dr. Nawal menarik tanganku.
"Bu Mina ...," ujar Milly pelan dengan suara lemas, "ternyata ... begini akhir romansa terlarangku dengan Pak Yusuf."
"Dengarkan baik-baik. Luna, Seira, dan aku memanggang pai dengan narkoba di dalamnya atas perintah seseorang. Tolong cari orang itu dan bereskan masalah ini."
Suara Milly semakin lemah hingga akhirnya hanya ada bisikan sendu darinya,
"... apa salahku?"
Lidah api makin ganas menjilat tubuh Milly. Kami terpaksa mundur. Pak Agus muncul dari lantai satu, membawa sebuah pemadam api. "Ada apa ini?"
Kami menjelaskan perkaranya. Pak Agus langsung berujar, "Sudah kupanggil polisi. Ayo kita cari orang itu dan juga Luna dan Seira."
Pemadam api itu memungkinkan kami bergerak maju, bukan memutar-mutar. Tak jauh dari aula, kami menemukan Luna.
Ia hampir terpanggang seutuhnya, tapi masih hidup. Ia diikat pada sebuah tongkat besi dengan tali. Mulutnya dibungkam dengan gulungan kain.
Kami melepaskannya dengan cepat. "Aku ... maaf ...."
"Apa yang terjadi?" tanyaku setengah menghardik.
"Dia ... dia tahu aku pernah mengganti nilaiku sendiri di komputer sekolah ... dia tahu aku pernah memaksa anak lain memberikan contekan ..."
"Dia? Siapa dia?" aku bertanya.
"Tidak tahu ... S-Seira tangan kanannya ... tanya dia ...."
Suara Luna terputus. Nyawanya sudah tiada. Aku menelan ludah dengan getir.
Harus berapa banyak lagi orang yang mati?
Apa boleh buat. Kami harus terus maju. Gas pemadam api kami menghapuskan kobaran api di sana sini, tapi mayat murid dan guru sudah bertebaran.
Aku akhirnya melihat Seira. Rambut peraknya diikat pada kipas angin di langit-langit. Ia diselimuti darah, dihiasi pisau tajam, dan ditutupi kain basah.
"Seira!" jeritku. Kami segera menurunkannya, tapi kukira itu sia-sia. Badan Seira sudah kaku.
Ternyata tidak. "Bu ... M-Mina ... dia ...." Bibir Seira bergetar, membisikkan kata-kata terakhirnya.
"Hentikan dia... namanya..."
"Mala."
Suara dingin Mala membuat api terasa padam sementara pedang panjang miliknya menusuk jantung Seira, merubuhkannya.
"Seira!" kami menjerit bersamaan.
"Kurasa aku harus berterimakasih pada gaya hidup borjuismu itu yang menyebabkan kau sampai jual diri. Bahan pemerasan yang bagus, ya," gumam Mala dingin. "Para boneka yang bodoh."
Dengan satu sabetan cepat, ujung pedang itu mengenai dada dr. Nawal dan Pak Agus, menumbangkan mereka ke tanah.
"Mala! Kenapa kau lakukan ini?!" hardikku marah.
"Bu Mina, Anda satu-satunya yang boleh keluar dari sekolah ini, karena Anda satu-satunya yang peduli pada Rin."
"Setelah kau bantai satu sekolah ini?!" bentakku, "tahukah kau berapa banyak nyawa yang melayang hari ini karena perbuatanmu?"
"Jangan paksa saya, Bu Mina. Jujur saya mengagumi Anda," ia berujar sambil mengangkat pedangnya.
"Polisi akan segera datang, Mala."
Gadis itu malah tertawa kecil. "Saya pun akan mati. Semuanya sudah selesai. Semuanya sudah habis, kecuali Anda yang memang punya hak hidup. Anda adalah satu-satunya yang akan hidup setelah kejadian ini; hal itu bisa saya jamin."
"Semua di sekolah ini berdosa terhadap Rin. Apa ada lagi yang peduli padanya? Pada kondisi mentalnya? Tidak! Yang dipedulikan sekolah sial ini cuma nilai dan prestasi!" teriak Mala marah, "seolah-olah orang yang tidak berprestasi adalah sampah yang tidak berguna!"
"Rin sendiri tidak akan mau hal ini terjadi!" jeritku.
"Ini puisi terakhirnya. Puisi terakhir untuk saya," ujar Mala sambil mengangkat tinggi-tinggi selembar kertas lusuh.
"Sekolah Api; Mayat dan Abu"
"Ini keinginan Rin. Saya hanya membantu mewujudkannya. Anda nampaknya tidak ingin bekerja sama, jadi ..."
Ia mengangkat pedang. "Tidak akan kubiarkan!" maki dr. Nawal. Ia rupanya tidak terkena tebasan tadi. Ia menendang paha Mala, membuatnya hilang keseimbangan.
Aku maju sedikit, menyemburkan gas air mata, membutakan Mala. "Mati! Mati saja semuanya!" Mala berteriak histeris. Ia memencet sebuah tombol yang ia ambil dari kantungnya. Gedung sekolah mulai meledak.
Bom!
Kulihat Pak Agus sudah tak bernyawa. Segera kutarik dr. Nawal dan kami kabur lewat tangga yang dihiasi puing, darah dan mayat. Ledakan demi ledakan beruntun memecah gendang telinga kami. Dr. Nawal dan aku menutup mata, membuat satu lompatan akhir untuk keluar dari gedung sekolah yang meledak.
Kami berhasil. Kaki kami lemas. Ledakan mulai merembet ke seluruh sekolah. Kukira bom sudah ditanamkan Mala dan anak buahnya di seluruh sekolah. Anak buah yang diperas, maksudku.
Polisi yang dipanggil oleh Pak Agus akhirnya datang juga bersama pemadam kebakaran.
"Itu ada yang selamat!"
***
Semuanya berakhir. Sekolah megah itu hancur lebur. Murid, guru, dan staf meninggal mengenaskan.
Mala dan orang-orang yang ia manipulasi; Seira, Luna, dan Milly, pun lenyap dalam kobaran api.
Satu minggu setelah kejadian itu, aku dan dr. Nawal akhirnya diperbolehkan keluar RS. Kami dirawat karena menderita luka bakar sedang dan trauma berat.
Saat aku sedang bersantai di rumah, menonton TV (berita kebakaran dan pembunuhan di sekolahku masih ramai dibicarakan) dan membaca puisi-puisi Rin, aku menerima sebuah surat dari kantor pos.
Pria jangkung pengantar pos itu menyuruhku menandatangani beberapa dokumen lalu pergi meninggalkan secarik surat dalam amplop.
Kubuka amplop itu. Isinya adalah dua lembar puisi Rin yang dulu ia berikan padaku.
"Tali di Leherku"
"Terima Kasih dan Selamat Tinggal"
Kemudian, sebuah foto rumah terbakar. Ada pula secarik kertas bertuliskan "kukira adikku ingin Anda menyimpannya".
Tanganku bergetar hebat. Mala. Bukankah ia sudah mati, hangus terbakar atau terkena ledakan bom?
Lalu kuperhatikan foto rumah terbakar itu. Alangkah kagetnya aku melihat wujudnya; tiang berwarna putih, dinding dengan cat hijau, dan garasi yang super besar.
Rumah itu ....
TV menyemburkan berita baru. "Kejadian rumah terbakar ini terjadi dua jam yang lalu, dengan korban tewas satu orang pemilik rumah. Pemilik rumah diketahui seorang dokter sekaligus kepala UKS di ..."
Beku. Tubuhku beku. Aku menggapai gawai dalam kantung celanaku, memanggil dr. Nawal. Hasilnya nihil; tak ia jawab panggilanku.
"Berita selanjutnya. Mala Satsumi, kriminal yang melakukan pembantaian di SMAN XX Jakarta, ditemukan bunuh diri ...."
Suara Mala menghantuiku.
"Anda adalah satu-satunya yang akan hidup setelah kejadian ini; hal itu bisa saya jamin."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro