Korporasi Yagura
"Hahaha, lucu sekali!" Aku tertawa terbahak-bahak mendengar kisah Ichiko.
"Lucu sekali kan, Victor? Hahaha!"
Aku adalah seorang WNI yang bekerja di Jepang. Di negara matahari terbit ini, aku bertemu dengan Ichiko, seorang blasteran Jepang-Indonesia. Kami menjadi sepasang kekasih yang mesra dan kami akan menikah beberapa bulan lagi.
Kami juga merupakan rekan kerja. Aku menjabat direktur, sementara Ichiko menjabat wakil direktur utama bersama dua orang lainnya. Kami bekerja di Perusahaan Yagura, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang pariwisata, terutama perhotelan.
Hotel yang sedang kami tempati adalah Hotel Yagurako No 2, sebuah hotel bintang tiga yang dikelola Perusahaan Yagura. Ichiko dan aku diminta melakukan negosiasi dengan beberapa klien penting, jadi perusahaan menyuruh kami menginap di sini. Sebetulnya negosiasiku sudah selesai kemarin; sekarang giliran Ichiko.
Pada saat kami bertukar cerita lucu, seorang pelayan datang ke kamar kami membawakan pesanan makanan kami: kaarage dan kentang goreng untuk Ichiko dan sekotak bento untukku.
"Ah, aku jadi teringat menu bombastis ibu kantin SMA. Karaage dan bento disebutnya 'paha ayam goreng ala Jepang dan nasi kotak khas Jepang'," ujarku santai sambil mengambil sumpit kayu.
Saat aku berkata begitu, pelayan yang membawa makanan nampak agak terkejut. Ia menatapku agak bingung. Setelah ia menaruh hidangan, ia berdiri sebentar tanpa keluar.
"Tolong keluar," ujar Ichiko agak kurang senang, "Anda mengganggu privasi kami."
"B-baik, Nona Watanabe!" jawab pelayan itu sambil menundukkan kepala. Ia langsung keluar.
"Wah, kita malah lupa membeli minuman!" seru Ichiko, "biar kubelikan di mesin penjual minuman di bawah. Kamu mau apa?"
"Eh? Ah, aku saja yang turun," kataku sambil berdiri, "jus jeruk untukku dan soda untukmu, kan?"
"Jangan!" perintah Ichiko setengah membentak, "kamu baru selesai negosiasi dengan klien. Istirahat saja!"
Ia langsung turun dengan lift. Ichiko dan aku memang sangat memperhatikan satu sama lain.
Tidak sampai lima menit kemudian, ia sudah kembali dengan senyum manisnya dan dua kaleng minuman.
Ichiko langsung mengambil sebuah kaarage renyah dan mengunyahnya. Aku mengambil sepotong tamagoyaki lalu mulai menikmati kelembutannya.
Ichiko membuka soda kalengnya dan isinya menyembur di wajahnya; rupanya ia sempat menggoyangkan soda tersebut.
Aku mengambil selembar tisu, kemudian wajah Ichiko kuusap dengan perlahan. Saat itu, dompetku jatuh dari kantung baju dan sebuah foto menghambur keluar.
"Siapa itu di sampingmu?" tanya Ichiko agak cemburu setelah melihat sosok wanita di sampingku di foto itu.
Ah, aku tidak ingin menceritakan hal itu. Sejarah kelam keluargaku.
Tapi Ichiko kan calon istriku.
"Dia adikku," jawabku.
"Adik?" Ichiko yang kebingungan menyipitkan matanya; aku memang tidak pernah menceritakan soal Rein.
"Ya. Ia dulu kuliah di Jepang; di Daerah Aoda."
"Daerah Aoda? Gila! Tempat itu lokasi paling dihindari di seluruh Jepang!" Ichiko menatapku nanar; semua orang tahu bahwa Daerah Aoda berisi narkoba, tempat judi, dan preman.
"Iya. Adikku Rein terpengaruh pergaulan seperti itu. Ia membuat orangtuaku stres sampai mereka jatuh sakit dan meninggal," ujarku sedih.
"Kamu membencinya?" Bibir Ichiko melayangkan pertanyaan yang tak kuduga. Aku menatapnya sebentar.
".... iya."
-----------------------
Nggak.
Kakak macam apa aku jika aku begitu saja melupakan adikku Rein? Setiap hari aku minta kabar pada kepolisian tentang jejak Rein. Aku menyebar brosur di mana-mana. Aku memasang iklan di internet.
Nihil.
"Ah! Direktur Sanjaya!" sapa Wakil Direktur Utama Shirashi Ao, "sedang apa Anda di Daerah Aoda?"
"Ah, itu, tidak apa-apa." Aku menyembunyikan kertas-kertas brosur milikku, tapi mata tajam Pak Ao menangkap isi brosur-brosur itu.
"Mari kita bicara di kedai oden di sana!" ujarnya sambil tersenyum ramah. Aku ingin menolak, tapi sungguh tidak sopan jika aku tidak menerima tawaran Pak Ao yang merupakan seniorku.
Akhirnya, Pak Ao dan aku mengobrol di kedai oden. "Ini kedai favorit saya. Harganya murah dan makanannya enak," kata Pak Ao.
"Foto orang hilang siapa itu?" tanyanya sambil memesan sup.
"Adik saya, Pak Ao," balasku sopan.
"Namanya Rein ya? Rein Sanjaya? Saya pernah melihat iklan daringmu."
"Betul, Pak Ao," jawabku, lalu meminum sup oden. Sup yang semestinya gurih itu terasa getir di lidahku yang kelu.
"Kapan ia hilang?"
"Tanggal 23 Juni tahun lalu di Daerah Aoda. Menurut salah seorang warga yang kudapatkan informasinya, ia terakhir memasuki Hotel Yagurako No 2."
Ya.
Alasan aku bekerja di Perusahaan Yagura.
Mencari Rein.
Pak Ao mengangguk takzim.
"Oke."
---------------
"Ayo, kita semua rayakan promosi Pak Sanjaya!" ujar Pak Kei sambil mengangkat gelas alkohol.
Aku baru saja dipromosikan menjadi wakil direktur utama menyusul pensiunnya Pak Ao. Untuk itu, dua wakil direktur utama, yaitu Bu Shizuka dan Ichiko serta Pak Kei selaku direktur utama mengadakan pesta kecil untukku di kamar teratas Hotel Yagurako No 2.
Lalu, Pak Kei dan Bu Shizuka pergi, meninggalkan Ichiko dan aku.
Kemudian, Ichiko menutup mataku dengan secarik kain. "Kami punya kejutan untukmu."
Aku dituntun menuruni lift, kemudian aku merasa kakiku menyentuh besi yang keras dan agak dingin, bukan lantai marmer yang lebih elegan.
"Paha ayam goreng ala Jepang dan nasi kotak khas Jepang." Aku agak kaget mendengar ia berbicara dalam bahasa Indonesia. Biasanya, ia hanya berkomunikasi dalam bahasa Indonesia padaku.
Lalu aku mendengar seseorang membuka sebuah pintu besi. Ichiko lalu membuka tutup mataku.
Tuhan, penampakan itu membuat lidahku beku.
----------------
"Ini hadiah untukmu," bisik Ichiko.
Rein dengan rambut hitam peraknya terbaring dengan tangan dan kakinya diikat ke ranjang. Tak sehelai pakaian melekat pada tubuhnya. Ia memiliki banyak luka cambukan dan sabetan pisau di tubuhnya. Mulutnya disumpal oleh kain.
"R-Rein," gumamku gemetar, "apa-apaan ini?"
"Inilah Perusahaan Yagura yang sesungguhnya. Bisnis perdagangan manusia," ujar Ichiko kalem, "bisnis perhotelan dan tetek bengeknya hanya kedok agar tidak terkena masalah dengan pemerintah. Pariwisata adalah cincin Saturnus yang diperhatikan banyak orang; perdagangan orang adalah tubuh planet yang tidak diacuhkan publik."
"Korporasi Yagura .... bukan perusahaan pariwisata?"
Ichiko tertawa kecil. "Kamu pikir ada berapa perusahaan pariwisata di Jepang? Mana mungkin Perusahaan Yagura yang baru berdiri bisa bersaing dengan perusahaan lain. Yah, sebetulnya, hampir semua pegawai tidak tahu tentang ini, sih. Hanya Pak Kei, aku, serta Pak Ao; sebelum ia kami bunuh, tentu saja."
"Pak Ao? Ia tidak pensiun?"
"Rupanya ia mata-mata polisi," balas Ichiko kalem sambil mengunyah permen jeruk, "sebagai seorang wakil direktur utama di Perusahaan Yagura, kamu berhak tahu dan ikut campur soal perdagangan manusia kita."
"Lalu apa hubungannya dengan Rein, hah?!" teriakku. Gejolak amarah di dadaku sudah sulit dikendalikan.
"Wah, wah, tenang!" ujar Ichiko tertawa, "Perusahaan Yagura menyebarkan narkotika untuk menjerumuskan muda-mudi ke dalam utang. Kebetulan saja Rein menjadi salah satu korbannya."
"Gadis ini adalah hadiah kami untukmu. Kamu membencinya, kan? Ia yang membunuh ayah dan ibumu secara tidak langsung; sekarang kamu bisa melakukan apapun padanya," lanjut Ichiko dengan tenang sambil tersenyum tipis, "siksa dia. Cekik dia. Pukul dia. Cambuk dia. Tumpahkan amarahmu padanya. Buat dia menyesali tindak-tanduknya."
"Yang benar saja! Dia adikku!" jeritku membentak, "sejahat apapun dia, ia tidak layak diperlakukan seperti ini!" Aku mencoba membuka ikatan Rein, tapi daging tidak bisa merobek besi. Rein meronta-ronta, tapi ikatan rantai besi memang sulit dipatahkan. Air mata tumpah dari netranya.
"Apa yang sedang kamu lakukan?" tanya Ichiko agak dingin, "apakah kamu tidak suka dengannya? Kurang cantikkah ia? Atau karena ia bukan barang baru? Ada banyak budak yang bisa kamu pakai kalau kamu tidak menginginkannya."
Aku ingin mengamuk mendengar kata-kata Ichiko yang sangat santai; seolah-olah nyawa manusia hanya sekadar komoditi. Akan tetapi, aku tetap berusaha menghancurkan rantai besi yang kokoh itu.
"Menurutmu?!" desisku marah, "membebaskan Rein dan melaporkan perusahaan edan ini ke polisi!"
"Hmm ... begitu, ya."
Aku mendengar Ichiko menarik sebuah pisau dari kantungnya, lalu meletakkan ujungnya yang dingin di kepalaku.
"Pengkhianat."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro