Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Ekspedisi Gunung Samur

Pagi yang mendung itu, aku sedang menikmati sarapan yang dimasak istriku, Shizuka, sambil mendengarkan berita di TV sebe9lum berangkat kerja. Aku lebih senang mendengar dibanding melihat, karena mataku memiliki penyakit rabun jauh. Aku juga kurang menyukai kacamata.

Berita di TV cukup membosankan, sampai aku melihat berita mengenai sebuah gunung.

"Shizuka, itu berita apa, ya?" tanyaku. Istriku yang sedang bersih-bersih menjawab,

"Berita Gunung Samur, Jonan. Ada kejadian-"

Gunung Samur?

Gunung Samur itu?

Keringat jatuh dari pelipisku saat aku mengingat kejadian sepuluh tahun yang lalu.

----------------------------

"Iya. Kelompokmu ada yang mengikuti," ujar Mbah Parman si dukun.

Kak Andi, pemimpin ekspedisi kami, mengeluarkan keringat hingga bajunya basah.

"Kalian tidak boleh meninggalkan gunung ini."

Ekspedisi kami menaiki Gunung Samur dalam rangka perpisahan universitas tiba-tiba berubah mencekam saat salah satu anggota kami, Evira, hilang tanpa jejak. Kak Andi sebagai pemimpin dan Kak Sakurako dan aku sebagai wakil sedang berkonsultasi dengan dukun setempat. Kami diberi tahu tentang keberadaan Mbah Parman oleh Paijo, warga lokal dan murid Mbah Parman.

"Mbah, saya tidak mungkin melanjutkan ekspedisi. Saya akan membawa mereka semua pulang," ujar Kak Andi bersikeras.

Mbah Parman menyalakan kemenyan. "Temanmu, Evira, belum seratus persen diambil oleh lelembut di sini," ujarnya, "jika kalian pergi, ia pasti akan diambil. Banyak pula anggotamu yang akan diambil."

Kak Layla membalas, "jadi kami harus bagaimana?"

"Kalian bisa berkemah di sini sampai mbah bisa meyakinkan lelembut di sini untuk melepaskan kalian. Untuk urusan makan kalian tidak usah khawatir, desa Paijo melimpah ruah padi dan kedelainya."

"Begitu ya, Mbah," kata Kak Andi pasrah, "adakah hal yang perlu dipantang di sini?"

"Ya. Janganlah kalian merokok atau minum miras, serta hindari hubungan badan. Hal-hal itulah yang membuat kalian diikuti lelembut. Dulu, sempat ada pandemi yang membantai banyak warga di sini. Kegelapan yang menyelimuti gunung ini sangatlah kuat."

Aku melirik Kak Layla, gadis tomboi yang suka merokok dan minum miras. Aku jadi teringat pada pesta gila yang dilakukan setengah (kurang lebih 15 orang) anggota ekspedisi kami kemarin. Pesta yang melibatkan banyak minuman keras dan rokok. Kak Andi sangat marah waktu itu; hal ini wajar berhubung ia memang sedang menjalani pelatihan menjadi anggota kepolisian.

Setelah itu, kami undur diri. Setelah menyampaikan kabar pada 26 anggota kami yang tersisa, banyak resistansi yang muncul.

"Yang benar saja!"

"Bodoh! Panggil polisi, bukan dukun!"

"Bagaimana ini, Jonan?" tanya Kak Andi padaku.

"Ah, bodo amat! Aku akan pergi sendiri kalau begitu!" ujar Markus. Ialah inisiator pesta gila kemarin.

"Hei, tunggu!"

Percuma. Markus dan enam temannya sudah pergi meninggalkan kami. Mereka membawa perlengkapan milik mereka dan menghilang ke dalam hutan.

"Tolong tenang. Kalian tetap di sini," perintah Kak Layla. Kak Andi, Kak Layla, dan aku bersiap mengejar mereka meskipun rembulan mulai bergerak naik.

Berbekal air minum, beberapa buah senter, kapur, serta pisau lipat, kami dengan nekat memasuki hutan.

Vegetasi hutan sangat tebal dan pohon-pohon yang tinggi menjulang menakuti kami. Senter kami hidupkan terus menerus dan mata kami melihat ke kanan dan kiri untuk menemukan Markus dan rombongannya. Setelah dua jam berjalan, kami melihat sesuatu di kejauhan.

"Brengsek, apa itu?" ujar Kak Layla kasar setelah melihat bahwa mahkluk itu bukan manusia.

"Hus!" Kak Andi memicingkan matanya. Tanpa sinar yang kuat, sulit melihat wujud jelas mahkluk itu.

"Demit."

Aku, Kak Layla, dan Kak Andi saling berpandangan.

"KABUR!"

Kaki kami gemetar. Senter kami arahkan ke belakang dan kami melihat mahkluk berkaki empat itu mengejar kami.

"Pergi!" Mendadak, Mbah Parman muncul di belakang kami. Ia mengangkat tangannya, bersiap menghadapi lawan magisnya.

Kami berlari selama setengah jam, kemudian berjalan biasa selama satu jam. Badan kami nyeri dan persediaan air minum kami segera habis.

Saat kami kembali, Mbah Parman sudah menunggu kami. "Kalian ini. Sudah diperingatkan, malah keras kepala. Untung Mbah datang."

Kami meminum air yang disediakan Mbah Parman. "Maaf, Mbah," kata Kak Andi.

"Itu tadi namanya Lawang Sewu, demit yang paling ditakuti di daerah sini. Kalau ia mendekat, korban bisa halusinasi sampai gila. Mbah kaget juga melihat kalian tidak terpengaruh. Artinya, mental kalian cukup kuat."

"Teman-teman kalian banyak yang pergi setelah kalian mengejar yang tujuh tadi," kata Paijo.

"Kenapa kau tidak hentikan mereka, Paijo?" tanya Mbah Parman yang tersentak mendengarnya, seperti kami.

"Ada lima belas yang pergi, Mbah. Yang memimpin wanita yang bernama Suzuran. Saya hanya sendiri."

"Artinya hanya ada delapan yang tersisa," gumam Mbah Parman.

"Mbah, Mbah bisa menyelamatkan mereka, kan?" tanya Kak Andi panik. Aku melihat sendiri kesaktian Mbah Parman yang bisa muncul mendadak dan kembali lebih cepat dari kami serta menangkal serangan demit tadi.

"Bisa, Nak. Sabar saja."

Kami hidup dalam ketidaktenangan selama seminggu; mencemaskan nasib 22 orang teman kami yang entah di mana sekarang. Pergi dari gunung bukanlah pilihan, tapi Mbah Parman nampaknya belum bisa mengembalikan kawan-kawan kami.

Akhirnya, Mbah Parman mencapai kesepakatan dengan para demit itu.

"Demit-demit di sini minta bukti dedikasi dan semangat kalian untuk mau keluar dari hutan ini. Mereka meminta kalian mengambilkan seember air dari mata air di tengah hutan sana," ujar Mbah Parman di ruangannya yang penuh kemenyan, "dan itu harus dilakukan hari ini."

Demit sial. Sekarang sudah pukul tujuh malam, sementara menurut Mbah Parman, jarak tempat itu sekitar sembilan puluh menit dari kamp kami.

"Baiklah. Jonan, Layla, dan aku akan pergi ke sana," ujar Kak Andi mantap.

"Jangan," balas Mbah Parman, "kalian sempat berhadapan dan membuat marah Lawang Sewu. Biar kelima teman kalian yang pergi ke sana ditemani Paijo."

Maka kami mengutus kelima teman kami untuk mengambil air seember. Mbah Parman diam saja dalam pose duduk. Menurutnya, ia sedang berkomunikasi dengan para demit. Kak Andi, Kak Layla, dan aku diselimuti ketegangan. Kami bolak-balik ke toilet dan tangan dan kaki kami terasa dingin.

"Astaga!" Tiba-tiba ia membuka matanya dan memelototi kami. "Mbah kecolongan!"

Ia mengambil tongkatnya, kemudian segera berlari keluar. Ia menyiratkan agar kami mengikutinya.

"Kenapa, Mbah?" tanya Kak Layla panik.

"Mbah kecolongan. Para demit itu mau memangsa teman-teman kalian!"

Kami segera berlari kencang. Setelah kurang lebih setengah jam, Mbah Parman berhenti sambil memegang jantungnya.

"Mbah tidak apa-apa?!" jerit Kak Layla.

"Mbah tidak apa-apa. Kalian lari terus, lurus saja, jangan belok! Mbah akan mengikuti dari belakang!"

Kami pun meninggalkan Mbah Parman di belakang. Namun, belum sepuluh langkah kami berlari, kaki kami terperosok.

"Aahhh!"

Kami terjatuh sejauh kurang lebih tiga meter ke dalam semacam lorong buatan manusia. Ada beberapa sepeda di dalam lorong yang cukup luas itu dan juga obor dalam jumlah banyak.

Kami mendengar desahan minta tolong dari kejauhan. Didasari insting, kami segera mendekati sumber suara itu meskipun kaki kami sedikit terkilir.

"Astaga!" Betapa kagetnya kami melihat puluhan teman kami diikat dan dibungkam mulutnya.

Segera kami membuka pisau lipat dan mulai memotong tali yang mengekang mereka. Saat kami hendak melakukannya, aku merasakan besi dingin di leherku.

Sosok Evira tersenyum dingin sambil mengacungkan sebuah pedang panjang. Di sampingku, Markus sedang menawan Kak Andi dan Suzuran sedang menaruh pisau di leher Kak Layla.

"Kalian! Bukannya kalian-"

"Kalian benar-benar percaya pada omong kosong itu?" tanya Suzuran mengejek, "kalian kira kami benar-benar dibunuh demit?" Mbah Parman dan Paijo muncul dari belakang.

"Kenapa kalian melakukan ini?!" bentak Kak Layla.

"Bisnis perdagangan manusia itu sangat menguntungkan, Kak Layla," ujar Evira kalem.

"Kalian sengaja menjebak dan menahan kami di sini," desis Kak Andi, "jadi kalian jaringan perdagangan orang yang sedang diburu polisi."

"Heh, 'diburu'. Mereka bahkan tidak tahu keberadaan kami," ujar Mbah Parman. Ia merobek jenggot palsunya dan menanggalkan rambut palsunya. Rupanya, ia masih cukup muda.

"Begitu ya. Evira yang memicu masalah, Paijo dan Mbah Parman mencegah kami keluar, dan Markus dan Suzuran memancing rombongan-rombongan untuk masuk perangkap. Lalu Paijo memancing kelima anggota yang tersisa dan Mbah Parman mengurusi kami bertiga. Sungguh rencana yang bagus," ujar Kak Andi menganalisis.

Benar-benar analisis yang fantastis, Kak Andi, tapi aku tidak yakin bagaimana hal itu bisa menyelamatkan kita yang sedang ditawan memakai pedang.

"Tentu saja bagus," balas Suzuran sombong.

"Sayangnya, kalian melupakan satu faktor penting."

"Jangan bergerak!"

Mendadak saja, suara-sura serak muncul dari berbagai arah. Nyala obor yang sayup-sayup memperlihatkan polisi berseragam cokelat yang sedang menodong kelima kriminal itu.

Kak Andi tersenyum kecil. "Tentu saja kami memburu kalian. Kalian saja yang naif hingga tidak menduga bahwa aku adalah mata-mata mereka."

"Andi, jangan kau ocehkan posisimu di depan warga sipil dan kriminal!" tegur salah satu anggota polisi.

"Jatuhkan senjata tajam kalian kalau tidak mau timah panas bersarang di tubuh kalian!" seorang polisi berteriak.

Suara pisau berdentingan saat dijatuhkan ke tanah. Suzuran, Evira, dan Markus diringkus dan dibawa ke kantor kepolisian. Seluruh anggota ekspedisi, terutama teman-teman kami yang berjumlah 24 orang, diberi terapi.

Kini Mbah Parman, Paijo, Suzuran, Evira, dan Markus sudah berada di balik jeruji besi. Mereka dikurung di penjara yang ketat sehingga mereka tidak mungkin kabur.

Ya, tidak mungkin.

Tidak mungkin.

Mustahil.

Kata polisi, mereka tidak mungkin bisa keluar.

Mereka akan membusuk di sana sampai akhir hidup mereka.

-----------------
"... tindakan penculikan massal ini diduga dilakukan oleh kelompok kriminal Parman Supriatno, Paijo Guntur, Evira Salsa, Suzuran Satsumi, dan Markus Waru."

Tanganku bergetar. Kakiku kaku. Lidahku kelu. Keringat bercucuran dari dahiku.

Kata polisi, mereka tidak mungkin bisa keluar.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro

Tags: #cerpen