Tentang Sendu
Lagu yang terputar di laptopku, beriringan dengan suara jam dinding yang terus berdetak. Iringan gitar dari pengeras suara laptopku sungguh syahdu. Teh yang selalu hangat tersedia di sebelahku.
Hari ini tanggal 8 Januari. Tidak ada yang spesial tentangnya. Hanya diriku yang terduduk di depan laptopku tanpa arah, gelas teh di atas alas pemanas minuman, dan perasaan yang tak kunjung dapat terungkap.
Kesepian di ruangan apartemen yang cukup untuk seorang saja, yaitu diriku. Cahaya mentari sore masuk dari jendela kaca yang terbuka, ruangan ini hanya diterangi olehnya dan satu buah lampu yang terpasang di langit ruangan.
Melihat pesan-pesan dari grup percakapan yang terus berlalu-lalang. Tak menghiraukan betapa pentingnya untuk membaca semua itu. Sebenarnya, apakah membaca pesan orang lain sangat penting? Media penyampai pesan, kehidupan maya, serta kejiwaanku yang selalu terbawa. Jujur, aku tidak tahu-menahu soal apa yang ingin kulakukan sekarang.
Suara harmonis gitar itu sangat manis, hingga membuatku meneteskan air mata tanpa tersadar.
"Ah..?"
Air mata ini terus mengalir dengan dada yang terasa semakin sesak sekarang. Sekarang...? Atau mungkin aku sudah sejak lama merasa sesak.
Ingin bernapas, ingin tersenyum dan merasa tenang seperti dulu.
Ingin bebas tuntutan hidup, tanggung jawab yang tidak terlalu berat dan harapan yang kian gemilang.
Sebuah pesan pribadi masuk.
'Hey, kau sibuk?'
Pesan dari seorang teman internet yang bahkan kami tidak saling kenal suara maupun wajah. Hanya teman dari permainan video yang sangat santai.
'Tidak, ada apa?' balasku.
'Maaf jika mengganggu! Aku hanya ingin tahu kabarmu. Aku juga baru pulang kerja.'
Dia seseorang yang sangat baik. Aku berhenti menangis sejenak.
'Kabarku baik! :D'
Tidak, aku tahu aku berbohong. Lagian, siapapun bisa berbohong lewat layar ini kan? Aku, ataupun kalian. Semua orang dapat membuat personanya sendiri.
'Yeah, tapi. Kamu beneran baik-baik saja?'
Ah.
Mungkin pria di balik akun itu menyadarinya.
Sadar bahwa aku tidak baik-baik saja. Bahwa sebenarnya realita dunia memakan diriku. Bahwa Aku mencoba terus berjuang setiap hari untuk tidak termakan ucapan orang lain.
'Uh. Gak berapa haha.'
Mungkin menceritakan sedikit saja tidak apa- apa bagiku.
'Aku khawatir tentang dirimu. Kamu itu sahabatku.'
Pesan yang ia kirim selalu menghangatkan hati. Dia orang yang baik.
"Sahabat?" Bahkan teman dari dunia nyata tak tahu soal kesusahanku.
Pesan itu datang kembali.
'Apa yang terjadi?'
Di mulai dari pesannya, aku bercerita tentang kesusahanku.
Aku, seseorang yang gagal dalam ujian masuk universitas, merasa sesak di dada setiap harinya. Beban yang kian bertambah setelah aku tambah menua setiap tahunnya, beban omongan keluarga yang sebenarnya unjuk rasa kasih mereka. Aku yang juga terkadang tak mengerti mengapa aku menangis ketika menonton acara kartun yang sangat menggemaskan dan menyenangkan, mengapa tiap malam selalu dihabiskan dengan terjaga. Mengapa aku terus menangis di ruangan sendiri.
Mengapa dunia begitu menyakitkan, namun juga begitu manis.
Mengapa begitu banyak tanggung jawab yang mesti kuemban.
Ah, suara gitar melankolis yang masih terputar tidak terlalu membantu. Hanya menambah rasa senduku. Namun, aku merasa sedikit lega.
'Jangan terlalu dipikirkan, nikmati saja hidup. Meski pada akhirnya kita semua akan kesepian, kita harus tetap hidup dan menikmati segala momennya.'
Dia mengetik dengan sangat lama, namun sangat berarti. Pesan-pesan kami yang berada dalam bahasa Inggris campuran Jepang, meski batasan bahasa selalu ada, kami tetap berteman.
'Hey, terima kasih.'
Aku bersyukur.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro