Bab 5
Sejak kemarin, setelah pemakaman ayahnya, Anshara terus mengurung diri, dia lupa kalau dia bisa menghadapi ini berdua dengan ibunya. Dia lupa kalau Leia sama terpukul seperti dirinya.
Anshara bahkan tidak ingin ditemui oleh semua guru dan teman-temannya. Dia membenci dirinya sendiri karena dia tidak sempat mencegah agar kebakaran itu tidak merenggut ayahnya.
Sepertinya memang ini cara alam menghukum dirinya. Mungkin memang benar, dia hanya pembawa sial untuk orang-orang di sekitarnya.
“Sha, makan dulu, yuk,” ucap Leia di depan pintu kamar Anshara. “Mama udah masak makanan kesukaan kamu.”
Anshara mendengkus, sialnya makanan tersebut juga kesukaan ayahnya. “Ansha nggak mau makan,” pekiknya dari dalam.
Leia kembali mengetuk pintu. “Mama sendiri,” lirihnya. “Masa mama makan sendiri lagi?”
Ansha menajamkan telinga, suara lirih ibunya adalah sebuah kepedihan. Bukankah ayahnya sudah berpesan agar Anshara selalu bersama ibunya apapun yang terjadi.
Anshara kemudian membuka pintu kamar. Dia mematung menatap sang ibu yang sedang tertunduk sembari menyeka air matanya.
Leia kemudian memeluknya erat. Tangan Anshara terangkat hendak membalas pelukan itu. Namun, tangannya tertahan di udara, lantaran dia tidak ingin jika dengan sentuhannya akan membuat seseorang mengalami hal buruk. Maka Anshara tidak akan pernah lakukan itu terutama pada ibunya.
Leia melepaskan pelukannya. Dia kemudian hendak menarik tangan Anshara. Namun, Anshara menjauhkan tangannya. “Mama duluan.”
Leia termenung. “Kamu kenapa?” Dia kembali hendak meraih tangan Anshara. Namun, Anshara kembali menjauhkan tangannya.
“Mama jangan pegang Ansha. Anshara pembawa sial,” tuduhnya pada diri sendiri.
Leia mengernyit.
“Stop!” Anshara mengacungkan kedua telapak tangannya ke depan, dia terlalu takut saat Leia hendak memeluknya kembali. Namun, secara tidak langsung Anshara telah melukai hati ibunya, hingga air mata yang turun kali ini adalah kepedihan yang ditujukan untuk Anshara.
Anshara menyadari perubahan itu. “Maaf, Ma.” Anshara mendekatkan wajahnya. “Ansha nggak ada maksud untuk membentak mama.”
Namun, kesedihan yang baru saja Anshara berikan membuat Leia pergi dari hadapannya. Anshara tergemap, sungguh dia tidak ada maksud untuk menyakiti ibunya.
Anshara segera berlari dan berlutut dekat ibunya yang kini sedang duduk di sofa sembari menyeka air mata yang tidak henti-hentinya terurai.
“Ansha salah. Ansha minta maaf.”
Leia bergeming. Dia bukan marah pada putrinya itu, hanya saja dia terlalu takut Anshara tidak menyayanginya lagi. Dan dia takut Anshara juga akan pergi meninggalkannya sendiri.
Anshara tak berani memegang Leia, terlebih bagian tangan. Maka dia hanya meletakkan kedua tangannya di sofa samping kanan dan kiri Leia.
“Maaf, Anshara bukan tidak mau menyentuh Mama. Tapi--” Anshara menarik napas. “selalu terjadi hal buruk pada setiap orang yang Anshara sentuh.”
Leia mengangkat wajahnya dan menatap Anshara. Dia melihat jutaan penyesalan terpancar dari sorot mata Anshara.
Anshara kemudian bangkit dan membelakangi ibunya. “Gathan, Theana, Natasha, Miss Erina dan terakhir papa.”
Leia menatap punggung Anshara. Dia tahu Anshara sedang menutupi kesedihannya. Namun, dia sama sekali tidak mengerti dengan apa yang Anshara sesali.
Anshara kemudian berbalik dan menatap Leia. “Pagi sebelum papa kecelakaan dalam kebakaran itu. Ansha lihat semuanya saat tak sengaja Ansha memegang tangan papa. Harusnya Ansha mencegah papa pergi, harusnya Ansha--”
Tiba-tiba Anshara terdiam saat Leia memeluknya. “Tidak, Sayang. Ini bukan salah kamu, ini sudah takdir papa, kamu harus tahu itu.”
Anshara menggelengkan kepala. “Lalu apa maksud dari bayangan itu? Ansha capek, Ma.”
Leia tercenung. Meski sebenarnya dia tidak mengerti dengan apa yang dirasakan dan apa maksud dari perkataan Anshara. Namun, dia merasa Anshara sedang butuh dukungan, agar dia tidak terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri.
Leia melepaskan pelukannya. Kemudian dia berlalu dan mengambil sepiring nasi untuk dinikmati berdua bersama Anshara.
Anshara masih termenung meratapi sesuatu yang direnggut paksa darinya. Tujuh belas tahun adalah waktu yang sangat singkat bagi Anshara dengan ayahnya.
Leia mengangguk sembari menganjurkan satu sendok nasi ke mulut Anshara. “Kamu makan dulu, dari kemarin belum makan, mama nggak mau kamu sakit.”
Anshara membuka mulut seiring dengan air mata yang jatuh melintasi pipi. Tiba-tiba pintu terdengar diketuk. Leia segera bangkit dan meletakkan piring yang dipegangnya di atas meja. “Sebentar,” ucapnya pada Anshara.
Leia berjalan menuju pintu. Dua orang siswa berseragam putih dan hitam kotak-kotak berdiri di depannya. “Siang, Tante,” sapa Gathan.
Leia hanya mengangguk tanpa ada seulas senyum sebagai sambutan atas kedatangan tamunya.
“Saya Gathan dan ini Brian, kami mau bertemu Anshara,” ungkap Gathan. Sementara Brian hanya terdiam.
Leia menoleh ke belakang tempat Anshara duduk sembari menikmati makan siangnya. Kemudian dia kembali menatap dua pemuda yang masih berdiri di depannya. “Silakan masuk.”
Gathan dan Brian mengangguk ramah, lalu mereka mengayun kaki dan masuk ke dalam rumah. Sementara Anshara yang baru menyadari akan kehadiran mereka, segera bangkit.
“Sha, kami turut berduka cita,” Gathan mengulurkan tangannya. Namun, Anshara hanya menatap uluran tangan Gathan dalam diam. Seolah ada rasa trauma tersimpan di sana.
Gathan menatap tangannya yang diabaikan Anshara. Dan sembari tersenyum dia berujar, “Maaf karena saat pemakaman ayahmu, aku tidak bisa hadir.”
“Silakan duduk,” pinta Leia pada kedua pemuda itu. Sementara Anshara tetap berdiri. Jantungnya berdebar hebat, saat dia kembali teringat apa yang dia katakan sebelum Gathan kecelakaan, dan hal itu mengingatkannya kembali pada sang ayah.
“Oh iya, ini dari kami dan titipan dari semua teman-teman.” Gathan meletakkan amplop kuning beserta parsel buah yang sudah dia siapkan untuk Anshara.
“Terima kasih, Nak.”
Sementara Anshara berjingkat dan pergi dari hadapan mereka tanpa berkata apapun. Gathan dan Brian terperangah menatap kepergian Anshara. Apa seperti itu cara Anshara menyambut kedatangan mereka?
Leia tergemap. Dia tidak enak hati lantaran Anshara bersikap seperti itu. “Maafkan Anshara.”
Gathan menatap Brian sekilas, kemudian dia menoleh pada Leia. “Tidak apa-apa, Tante, kami mengerti.” Mereka berdua kemudian bangkit. “Saya titip ini untuk Anshara.” Gathan menganjurkan satu kotak transparant berisi coklat warna-warni dalam berbagai bentuk. “Saya juga titip salam, tolong katakan, setiap rasa manis yang terkandung dalam coklat ini akan meringankan kesedihan yang Anshara rasakan.”
Leia tersenyum. Anak itu manis sekali. “Terima kasih, Nak. Nanti tante sampaikan.”
“Kalau begitu kami permisi. Selamat siang.”
Leia mengangguk. “Hati-hati.” Wanita itu mengantar dua tamunya sampai ke depan rumah, dia berdiri di sana hingga motor melesat pergi meninggalkan halaman rumahnya.
Leia kemudian pergi ke kamar Anshara setelah menutup pintu depan. Dia membawa serta coklat titipan Gathan untuk Anshara.
“Sha, mama masuk, ya,” pinta Leia sembari memutar knop pintu. Dia kemudian duduk di tepi ranjang. Sementara Anshara tidur membelakanginya.
“Ada titipan dari Gathan,” ucap Leia sembari meletakkan coklat itu di atas kasur depan wajah Anshara. “Dia bilang, setiap rasa manis yang ada di dalam coklat itu akan membuat kesedihan kamu berkurang.”
Anshara tersenyum tipis, hatinya tiba-tiba menghangat, itu artinya Gathan sudah memaafkannya.
“Gathan anak yang manis,” komentar Leia. “Lalu kenapa kamu harus bersikap seperti itu padanya?” tanyanya sembari membelai rambut Anshara.
Anshara kemudian berbalik. “Ansha takut.”
“Apa yang kamu takutkan?”
“Ma, Ansha takut hal buruk kembali terjadi pada Gathan dan itu membuat Ansha ingat sama papa. Apa yang Ansha lihat dan Ansha katakan selalu terjadi.”
Leia mengerti. Dari potongan-potongan penjelasan yang Anshara katakan, dia dapat menyimpulkan kalau Anshara lebih dari anugrah yang dia dapatkan dari Tuhan.
“Mama percaya kamu adalah orang pilihan.”
Mendengar ucapan sang ibu, Anshara segera menegakkan tubuhnya. Mungkin saja ibunya memiliki jawaban atas setiap pertanyaan yang terus mengaung di benaknya.
“Teruslah bantu orang, meski hasil akhir terjadi di luar kendalimu,” ucap Leia sembari membelai puncak kepala anaknya. “Mungkin Anshara memang tercipta untuk membantu banyak orang.”
Perkataan Leia menjadi motivasi dan penguat untuk Anshara. Mungkin memang dia tak dapat menghindar dari semua ini, dan sudah sepatutnya Anshara menjalani hidupnya, meski sedikit berbeda dengan kebanyakan orang.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro