Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Bab 3

Anshara terkesiap saat Theana mendorong pintu dengan kakinya. Dia yang hendak buang air kecil pun urung, lantaran Theana mendesaknya ke dinding. Anshara meringis hingga dia merasakan keran air mengenai pinggulnya, selain air yang membuat roknya basah, dia juga merasakan sakit akibat tekanan Theana terhadapnya. 

Anshara memejamkan mata. Dia merasakan energi yang kuat mengalir ke dalam tubuhnya. Membuat tubuh Anshara terus mengolah energi tersebut, sehingga dia tidak begitu mendengar apa yang dikatakan Theana, meski begitu dia tahu Theana sedang membicarakan dirinya sendiri karena terkurung di kamar mandi, hingga pingsan. Sesuai dengan apa yang dikatakan Anshara kemarin. 

    Saat tangan Theana hendak mencengkram lehernya, mata Anshara terbuka dan membuat Theana terjengkang seolah sesuatu dari mata Anshara mendorongnya dengan keras, hingga tubuhnya terpental.

    Anshara terkejut melihat Theana terbang seperti kapas tertiup angin kencang. Hingga gebrakan punggung Theana pada pintu kamar mandi berbahan PVC yang ada tepat di seberang Anshara berdiri, membuat semua yang ada di sana menjerit histeris. 

    Anshara tergopoh berlari ke arah Theana. “The, aku tidak bermaksud menyakitimu,” ucapnya seraya membantu Theana untuk bangkit. 

    Theana meringis kesakitan. Dia cepat-cepat menepis tangan Anshara, seolah ketakutan tengah merajainya saat ini. “Aku bisa sendiri,” ketusnya seraya bangkit. Dia terhuyung berjalan sembari memegang pinggangnya yang sakit. 

    Anshara tercenung. Apa yang telah dia lakukan pada Theana? Pasti Theana sangat ketakutan melihatnya. Semua perempuan yang ada di toilet tersebut, mengernyit dan mundur saat Anshara melewati mereka. 

    Dalam keadaan rok yang basah, Anshara berjalan menuju kelasnya, dia tidak peduli dengan para pasang mata yang saling mengernyit menatapnya, bahkan saling berbisik membicarakan dirinya. 

Anshara menoleh pada Theana yang terhalang bangku kosong tempat Gathan biasa duduk. Namun, perempuan itu segera berpaling. Sungguh Anshara tidak ingin menyakiti siapapun, kejadian barusan adalah di luar kendalinya.    

    Tiba-tiba Miss Erina masuk dan berdiri di depan kelas. “Anak-anak, ibu dapat kabar kalau ayah dari Natasha telah meninggal dunia tadi malam,” ucapnya. 

    Mata Theana membola dan menatap tajam ke arah Anshara. Meski mata mereka bersirobok, Theana tetap menghujamkan tatapan menusuk, seolah dia lupa bagaimana energi yang kuat ke luar dari mata itu dan berhasil menerbangkannya.

    “Ini semua gara-gara Anshara!” pekik Theana sesaat setelah Miss Erina berlalu. Dia kemudian bangkit dan semua teman sekelas menatapnya. 

    “Kalian tahu, ‘kan bagaimana Anshara mendoakan Gathan celaka?” 

    Brian tak mengiyakan atau menolak apa yang dikatakan Theana, begitupun dengan teman-teman yang lain. 

    “Kemarin dia juga mendoakanku, lebih tepatnya Anshara telah menyumpahiku,” ucap Theana sembari menatap Anshara. “Aku terkurung di kamar mandi rumah sakit sampai pingsan karena aku phobia gelap.”

    Tak ada satupun yang bertanya bagaimana cara Theana bisa ke luar dari kamar mandi tersebut. Bukan karena mereka tidak peduli, tapi karena Theana tak mengizinkan siapapun untuk bertanya. 

    “Dia--” tangan Theana menunjuk pada Anshara, “telah mengatakan kalau ayah Natasha akan meninggal.” 

    Anshara tak menunduk, karena dia merasa tidak bersalah dengan apa yang dia katakan pada mereka. “Dengar,” pintanya seraya bangkit. “apapun yang aku katakan, itu bukan sebuah doa, atau sumpah seperti yang dikatakan Theana.” Anshara memberi jeda. “Kalian harus percaya, kalau apa yang aku katakan adalah peringatan.”

    “Dasar cewek gila!” pekik Theana. Sebutan aneh sudah berubah menjadi gila, lalu sebutan apalagi yang akan Theana sematkan untuk Anshara? 

    Brian tak mencoba membela siapapun di sini, sebagai sahabat Gathan dia tahu bagaimana Gathan kecelakaan. Hanya memang apa yang dikatakan Anshara sulit untuk dicerna, mungkin itulah maksud Theana, tapi dia terlalu berlebihan dengan menyebut Anshara gila. 

    “The, kamu lupa bagaimana aku peringatkan Gathan, kamu, juga Natasha. Kamu hanya ingat hal buruknya saja,” tutur Anshara. “The, coba kamu ingat-ingat lagi apa yang aku katakan kemarin,” imbuhnya. 

    Theana mendecih. Dia tidak ingin mengingat lagi kejadian buruk yang menimpanya. Anshara memang keterlaluan, bisa-bisanya perempuan itu mendoakan hal seburuk itu padanya, pada sahabatnya dan pada Gathan, orang yang paling Theana sayang. 

“Kalian lihat!” Kelima jari Theana menunjuk Anshara. “Keanehan dia bahkan begitu mencolok dari penampilannya, dia suka sekali warna hitam, aksesoris yang dia pakai serba hitam, kalung, gelang, topi, jaket, bahkan sampul buku dia bungkus dengan warna hitam, lihat lembar demi lembar kertas di dalamnya, entah dia dapat dari mana, sehingga lembar kertas pun dia jadikan hitam, untung bolpoinnya putih,” cibir Theana. 

Seisi kelas masih menjadi pendengar yang baik, Theana hanya mengizinkan mereka untuk bernapas, bukan untuk berkata, dia tidak suka ada orang yang memotong ucapannya atau membuatnya diam padahal dia masih ingin bicara. 

 “Hei, cat kukunya saja warna hitam, lihatlah bibirnya, dia memolesnya dengan lipstik hitam, kenapa tak sekalian saja mukamu dibuat hitam, hmm? Biar seram sekalian.” 

    Kali ini seisi kelas tertawa. Namun, tidak dengan Brian. Dia tipe orang yang tidak peduli dengan apa yang mau Anshara lakukan. Bahkan, dia merasa aneh pada Theana, memang orang yang membenci sampai ke tulang, biasanya lebih tahu segala hal dari orang yang dia benci. Dan itu terjadi pada Theana terhadap Anshara. 

    Anshara hanya bisa menghela napas. Apa yang harus Anshara katakan agar mereka percaya? 

“Mulut Anshara itu ber--” 

“Ini ada apa?” tanya Miss Erina yang baru saja masuk. “Kenapa ribut-ribut?” 

Theana mendengkus, Miss Erina telah memotong ucapannya. Dengan sangat terpaksa dia dan Anshara pun kembali duduk.

Miss Erina percaya kalau mereka hanya sedang berdebat. Ada hal yang lebih penting yang harus disampaikan ketimbang mengurusi perdebatan Theana dan Anshara.

“Pulang sekolah, kita akan berbela sungkawa ke rumah Natasha.” Miss Erina menginstruksikan. “Brian, karena Gathan tidak ada, untuk sementara kamu sebagai wakil ketua menggantikan tugas ketua kelas.”

    Brian mengangguk.

“Kita akan adakan donasi untuk Natasha. Siapkan ya.” Miss Erina kemudian kembali berlalu dari kelas Anshara. 

Sebenarnya Theana belum puas mengatai Anshara, hanya saja dia merasa tidak enak lantaran seisi kelas sedang berkabung untuk Natasha. 

Anshara bangkit dan memberikan beberapa lembar uang jajannya selama seminggu.  “Ini untuk donasi,” ucapnya pada Brian. 

    “Nggak kebanyakan?” tanya Brian. 

    Anshara menggelengkan kepala. Dia kemudian berjalan ke luar membawa serta tas gendongnya. Namun, tak sengaja tubuhnya menabrak Miss Erina yang kembali masuk ke kelas, heels yang dipakai Miss Erina membuatnya hilang keseimbangan. 

    “Maaf, Miss.” Anshara segera menarik tangan wanita itu. Lagi-lagi Anshara melihat bayangan kejadian yang akan menimpa Miss Erina. “Miss, hati-hati … sebaiknya uang donasi buat Natasha jangan di bawa Miss, karena aku lihat akan ada orang yang jambret tas Miss Erina.”

    Miss Erina yang belum berdiri tegak, segera menegakkan tubuhnya. Dia kemudian mengusap kepala Anshara. “Kemarin, Bu Lana cerita. Sebaiknya kamu kurang-kurangi berkhayal, ya.”

    Anshara tercenung. “Berkhayal?” Dia kemudian menoleh pada Miss Erina. “Miss, aku serius, sebelum Gathan kecelakaan, aku lihat sudah sebelumnya, terus Theana dan Natasha. Miss aku mohon.”

    “Sudahlah Anshara, itu hanya kebetulan.”

    Theana semakin geram. Dia bangkit, kemudian mendekat. Rambut hitam Anshara yang tergerai, dia tarik sekilas hingga Anshara terdongak dan menoleh padanya. 

    “Aku curiga, jangan-jangan kamu yang ngunci aku di kamar mandi.”

    “Aku sudah bilang, kamar mandi itu rusak, The.” 

    Miss Erina menoleh. “Kalian kenapa lagi?”

    Theana segera merangkul bahu Anshara. “Kita nggak apa-apa, Bu. Mau ajakin Anshara melayat,” ucap Theana sembari menginjak kaki Anshara. 

    “Maaf, Bu. Saya tidak bisa, saya mau pulang duluan. Salam untuk Natasha dan keluarganya,” ucap Anshara sembari menarik kakinya yang diinjak Theana. 

    “Loh, kenapa?” tanya Miss Erina. 

    Theana mendengkus. “Dia, ‘kan penyendiri, Bu. Mana mau di ajak ke tempat ramai. Mungkin nanti kalau makam sudah sepi dia akan datang dan menginap di sana,” cibir Theana. 

    Anshara menggelengkan kepala dan tersenyum tipis sekali. Sepertinya dia harus banyak-banyak berterima kasih pada Theana. Perempuan itu mengaku hatersnya, tapi sebenarnya dialah yang paling menyayanginya, terbukti hanya Theana yang paling perhatian dan pengertian padanya. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro