༺CHAPTER 2༻
Hari ini adalah hari yang menyebalkan bagi seorang Shinazugawa Sanemi, bagaimana tidak, hari ini ia harus mengejar empat orang anak SMA yang berlarian di jalan raya dengan kecepatan yang tidak seperti manusia pada umumnya.
Pagi-pagi sudah membuat orang kesal, dasar anak-anak.
Tin! Tin!!
Brukk!!
"Aduh!"
Sanemi menoleh ke arah persimpangan jalan, mendapati seorang perempuan yang terjatuh, dengan posisi yang tidak aesthetic alias tersungkur ke jalan.
Sanemi segera berlari menuju perempuan itu, untungnya perempuan itu tidak tewas di tempat, ia hanya mengalami sedikit luka-luka dan sepertinya kakinya terkilir.
"Kau lagi!" ucap Sanemi sembari membantu perempuan itu berdiri.
[Name] meringis ketika ia bangun, tapi tetap ia paksakan untuk berdiri, memang dari awal ini kecerobohan nya, menyeberangi jalan tanpa melihat lampu lalu lintas.
Setelah meminta maaf, dan berbicara dengan pengemudi mobil tersebut, Sanemi menyuruh [Name] untuk pulang dengan hati-hati.
Namun, [Name] sepertinya tidak sanggup untuk pulang sendirian.
"Tck!" dengan kesal Sanemi menggendong [Name], membawanya menuju pos terdekat, wilayahnya berpatroli.
─🌹🗡️🌹─
"Kau ini! Berapa kali sudah ku bilang, jangan menyeberangi jalan sembarangan! Kau pikir nyawa mu itu ada sembilan, atau kau ingin bunuh diri?!"
Gendang telinga [Name] berdengung karena sedari tadi Sanemi tidak henti-hentinya menceramahi [Name].
[Name] ingin menjauh tapi kakinya tidak bisa melangkah, sakit.
[Name] mendongak ke bawah, menatap Sanemi yang sedari tadi berjongkok sembari mengobati luka [Name] dengan perlahan dan sangat hati-hati, berbeda dengan kalimat nya yang sedari tadi menusuk ke dalam hati.
"Kenapa rasanya deja vu? Dulu aku pernah begini, kan? Dengan orang ini?" batin [Name] sambil terus menatap Sanemi.
"Dengar, tidak?" tanya Sanemi dengan tidak pelan.
"Dengar," sahut [Name] sembari menghela napas pelan.
Ponsel [Name] berdering, sebuah pesan masuk ke ponselnya, pengirimnya sudah pasti Kanae. Kanae menanyakan di mana [Name], karena sudah hampir dua jam lewat dari jam mereka bertemu, tapi [Name] sama sekali belum datang.
Ah, sudah di timpa sial, bertemu Sanemi, gagal bertemu dengan Kanae pula.
[Name] segera menghubungi Kanae dan meminta maaf, ia menceritakan secara singkat bahwa ia mengalami kecelakaan kecil dan tidak bisa pergi menemui Kanae.
"Oi, di mana orang tua mu? Kenapa mereka belum menjemput mu?" tanya Sanemi sembari ia meletakkan kompres es batu pada kaki [Name] yang terkilir.
"Rumah ku cukup jauh," ucap [Name], ia mencoba bangkit, memaksakan kakinya untuk berjalan meskipun sakit.
"Hei, aku hanya bercanda saat meminta mu pulang! Tunggu di sini sampai orang tua mu datang!" ucap Sanemi, takut kalau [Name] memaksakan diri untuk pulang, kemudian akan ada tragedi yang lebih parah.
"Aku bukan anak kecil yang perlu di jemput orang tua nya," ucap [Name], namun Sanemi tetap memaksanya untuk duduk.
"Aniki, hari ini di─"
Genya masuk ke dalam pos di saat yang tidak tepat, Sanemi sedang menarik [Name] agar duduk, tapi [Name] menolak dan mendorong Sanemi, membuat mereka terlihat sedang berkelahi seperti─
"M─Maaf," ucap Genya sebelum akhirnya ia berjalan keluar secepat mungkin.
"Tunggu, Genya! Bukan begitu!" teriak Sanemi dengan wajah yang memerah karena malu, sedangkan [Name] tengah kebingungan.
Perlu waktu yang cukup lama agar Genya mau mendengarkan penjelasan mereka, kemudian setelah itu, Sanemi berniat untuk mengantarkan [Name] pulang karena sampai sekarang orang tua [Name] masih belum datang.
[Name] menatap ke arah Genya ketika protofon¹ nya menyala.
"──Bzzz! Pan-pan²! Sakusa bicara kepada Shinazugawa, ganti!"
"Masuk! Di sini Shinazugawa Genya, ganti!" sahut Genya.
"Di Jalan xxx terjadi kecelakaan, pelaku sedang menuju ke arah xxx, ciri-ciri nya dengan mobil jenis Yxhama, berwarna hitam, dengan tanda nomor kendaraan xx616xx──Bzzz! Apakah Anda menyalin?"
Genya segera menjawab dengan suara lantang, "Ya, Copy³!"
Setelah meletakkan protofon miliknya, ia menoleh pada Sanemi, "Aniki, aku pergi duluan!" ucapnya, setelah itu ia segera berlari pergi.
Sedangkan Sanemi terlihat tenang, membuat [Name] berguman, "Apakah Anda tidak pergi juga? Anda hanya makan gaji buta?"
Sanemi segera menoleh, "Enak saja!" jawabannya dengan nada ketus, seperti biasa.
"Aku akan menyusul setelah aku mengantarkan mu pulang," ucap Sanemi, tanpa pikir panjang, ia menarik tangan [Name], tanpa persetujuan dari [Name] pula.
"Tapi─!"
"Diam," Sanemi memotong ucapan [Name], sembari menyeretnya.
Mereka pun menaiki mobil patroli yang biasa Sanemi pakai, [Name] pun hanya diam sepanjang jalan, selain hanya bicara untuk memberitahukan rute menuju rumahnya.
Kebetulan, rute yang mereka lewati adalah rute dimana kecelakaan yang dikabarkan terjadi, saat itu jalanan sedang macet, dengung suara ambulans bergema, tempat itu dipenuhi dengan orang-orang yang menjadi saksi mata atas kecelakaan tersebut.
Disaat mereka melewati sebuah mobil dengan keadaan yang cukup rusak, [Name] tiba-tiba minta di turunkan dengan segera.
"Memangnya kenapa?!" tanya Sanemi, masih berusaha menahan [Name] agar tidak melompat dari mobil.
"Itu mobil milik orang tua ku!"
─🌹🗡️🌹─
Setelah berlari meninggalkan Sanemi, [Name] segera berlari menuju ambulans, ia merangkul korban kecelakaan tersebut sembari menangis tersedu-sedu.
Kedua orang tuanya dinyatakan telah meninggal dunia.
Berdasarkan informasi dari saksi mata, pelaku terlihat seperti dengan sengaja menabrak mobil milik orang tua [Name], kemudian pelaku segera melarikan diri.
Untungnya kemarin Genya berhasil menangkap pelaku dengan cepat.
Namun saat di interogasi, sang pelaku terus membungkam mulutnya, meskipun Sanemi telah mengancam pelaku tersebut.
Hari ini, seperti biasa, Sanemi berdiri di bawah lampu lalu lintas, mengatur jalan sekaligus berpatroli agar kejadian yang sama tidak akan terulang lagi.
Seperti biasa pula, [Name] berjalan melewati nya, tapi perempuan itu terlihat sangat suram, ia juga tidak seperti biasa yang selalu tergesa-gesa.
Wajah [Name] menunduk sepanjang ia berjalan, berjalan nya pun sangat lambat, bahkan barusan ia hanya berdiri diam saat sudah berada di tengah jalan, hingga beberapa mobil membunyikan klakson mereka agar [Name] berjalan lebih cepat.
Sanemi segera menarik [Name] menjauh. Kemudian ia memarahi [Name], tapi sepertinya [Name] tengah melamun, ia sama sekali tidak mendengarkan Sanemi.
─🌹🗡️🌹─
"Minum," ucap Sanemi sambil mengulurkan segelas teh hangat.
[Name] mengangguk dan menerimanya, namun setelah itu ia melamun lagi.
Setelah kejadian tadi pagi, Sanemi menyeret [Name] ke kantor polisi, lagi, tentu saja karena ia ingin memarahi [Name] dan menanyainya lebih lanjut.
Saat ini mereka berdua tengah duduk di rooftop kantor polisi tempat Sanemi bekerja, dengan di temani hembusan angin, serta secangkir kopi dan teh hangat.
"Hei!" teriak Sanemi, membuat [Name] tersentak kaget.
"Iya?" tanyanya sambil menatap Sanemi dengan wajah murung itu, entah kenapa Sanemi merasa kesal setengah mati.
"Kau gila?! Kenapa kau diam di tengah jalan?! Kau mengganggu jalur lalu lintas!"
Yang dimarahi hanya menatapnya dengan tatapan kosong, seakan jiwanya telah melayang entah kemana.
Sanemi menghela napas berat seraya ia meletakkan segelas kopi nya di atas pagar pembatas.
"Hey, kau, dengarkan baik-baik, ini tentang orang tua mu," ucap Sanemi, dan benar saja, kalimat itu menarik perhatian [Name] dalam sekejap.
"Sepertinya ada yang membayar pelaku itu untuk mencelakakan kedua orang tua mu, apakah selama ini ada beberapa orang yang benci pada mereka, atau mungkinkah mereka punya hutang kepada seseorang?" tanya Sanemi.
[Name] menggelengkan kepalanya, "Mereka orang yang baik, semua orang mencintai mereka."
"Hei, mau sebaik apapun kau, pasti akan ada seseorang yang benci padamu," sahut Sanemi, berusaha mengajari [Name] akan sakitnya realita.
[Name] meletakkan gelasnya di kursi kosong di sebelahnya, kemudian ia berjalan menuju pagar tersebut dan nyaris memanjat pagar itu.
Untungnya dengan sigap, Sanemi menarik [Name] menjauh.
"Apa kau benar-benar sudah gila?!" teriak Sanemi.
[Name] mengangguk dengan pasrah, membuat Sanemi semakin kesal, lantas segera menyeret [Name] kembali menuju kursi.
"Sekarang kau tinggal dengan siapa?!" tanya Sanemi lagi.
"Sendiri," sahut [Name].
"Argh, aku bisa gila kalau begini," gumam Sanemi, kemudian ia kembali menatap [Name], "Apa kau tidak punya kerabat lain?!" ia kembali bertanya.
[Name] menggelengkan kepalanya, "Tidak ada satupun," sahutnya, seakan melupakan bahwa Hiroki dan Touka memiliki banyak sekali keluarga, saat mereka berada di panti asuhan.
Sanemi menggelengkan kepalanya, "Kau, ikut dengan ku."
―――――――――――――――――
To be continue...
―――――――――――――――――
NOTE :
1.) Protofon itu lebih di kenal dengan nama Walkie-talkie, alat komunikasi genggam yang dapat mengomunikasikan dua orang atau lebih dengan menggunakan gelombang radio.
2.) Pan-pan adalah salah satu kode yang termasuk dalam Panggilan Distres dan Urgensi. Panggilan ini adalah panggilan terpenting kedua, ini menandakan situasi mendesak yang tidak segera mengancam jiwa tetapi membutuhkan bantuan. (Sc : https://herdaradio.com/id/blog/radioknowledge/walkie-talkie-lingo/)
3.) Copy, mirip dengan "Roger." Mengonfirmasi bahwa penerima telah menerima dan memahami pesan tersebut. (sc : https://herdaradio.com/id/blog/radioknowledge/walkie-talkie-lingo/)
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro