Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sisi Lainnya Yang Telah Kembali

"Ayolah... aku sudah menunggumu satu jam, mau sampai kapan lagi?" gerutu Yuki yang sudah tidak sabar ingin segera keluar dari ruang perpustakaan yang di penuhi banyak buku, bagi Yuki pemandangan buku-buku itu terlihat sangat membosankan.

"Menunggu atau pergi, itu pilihanmu." Jawab Tetsuo dingin sambil terus mengarahkan pandangannya pada buku yang ia pegang saat ini.

"Bagaimana mungkin bocah sombong sepertimu bisa tahu kelemahan kami?" ucap Yuki sambil memutar bola matanya kesal.

Tetsuo hanya diam dan tidak menanggapi ucapan Yuki.

"Kau mengabaikan ku?" Yuki sedikit meninggikan suaranya.

Tetsuo masih saja diam.

Yuki tampak semakin kesal. Dalam hitungan detik Yuki sudah berada di samping Tetsuo sambil memegang pisau dengan mata pisaunya yang mengarah langsung ke leher milik Tetsuo.

Seperti biasanya, Tetsuo hanya diam, tidak memperdulikan Yuki dan hanya melanjutkan tugasnya.

Keadaan sempat hening beberapa detik sampai Tetsuo membuka suaranya, "kalau kau ingin mati, lakukan saja."

Yuki lalu menjauh dan kembali tertawa lepas, "hahahaha... seberapa banyak kau tahu tentang kami, huh?" Yuki tidak menyangka kalau Tetsuo tahu kelemahannya yang bahkan Reina tidak tahu.

Salah satu kelemahan Yuki adalah, jika dia sudah terikat janji dengan salah satu manusia, dia tidak bisa membunuh manusia yang lain secara langsung dengan tangannya sendiri. Oleh karena itu selama ini dia hanya menghasut Reina untuk melakukan semua pembunuhan.

Selama ini juga Yuki hanya mempercepat kematian orang lain yang dekat dengan Reina, dan tidak pernah secara langsung membunuh orang itu. Dia hanya menghilangkan barang bukti dan membantu memberikan senjata pada Reina, selebihnya dia hanya tertawa saat melihat Reina membunuh orang.

Di saat Yuki tertawa, Tetsuo mulai menutup buku-buku di depannya, menandakan tugasnya sudah selesai. Tetsuo lalu merapikan buku-buku itu ke tempatnya semula dan bersiap-siap untuk pulang.

"Apa yang kau inginkan?" tanya Tetsuo terlihat lebih serius dibanding mengerjakan tugas dari gurunya tadi.

Raut wajah Yuki tiba-tiba berubah serius, lalu menatap tajam mata Tetsuo. "Mau sampai kapan kau bersenang-senang di tempat barumu ini?"

"Aku tidak sedang bersenang-senang." Jawab Tetsuo datar, sambil merapikan alat tulisnya ke dalam tas.

"Di sana semakin kacau, Reina terus saja disalahkan dan parahnya sifat buruknya kembali muncul, introvert dan selalu menutup diri."

"Wah-wah, rupanya kau sangat peduli dengan makananmu ya..," ejek Tetsuo sambil tertawa kecil.

"Tch, kata siapa aku peduli? Aku hanya merasa terganggu melihat sikapnya itu, itu sangat menyebalkan. Aku tidak berjanji dengan manusia untuk melihat hal-hal membosankan seperti itu." Sanggah Yuki menjawab ejekan Tetsuo.

"Yah, tidak salah aku memanggil kalian iblis."—Tetsuo mulai melangkahkan kakinya ke luar ruangan—"Baiklah aku akan ke sana, kebetulan aku juga punya urusan dengan sahabatku, dia sepertinya perlu disadarkan."

***

Setelah membeli beberapa makanan cepat saji dari minimarket, Reina pun menemani Hikari untuk menunggu bus selanjutnya.

Sebenarnya mereka tidak benar-benar menunggu bus. Mereka hanya terus bercerita hingga tanpa sadar hari sudah mulai gelap. Saat itu Reina juga menjelaskan semuanya pada Hikari, Reina terus berusaha agar Hikari mau mengerti keadaannya, dan pada akhirnya itu membuahkan hasil yang baik.

Hikari terus meminta maaf, dia merasa bersalah. "Ma-maafkan aku Reina, aku sudah salah menilai mu."

"Tidak apa-apa, yang penting kau mau mendengarkan ku, aku sudah sangat senang dengan itu. Tapi, aku masih tidak tahu bagaimana menjelaskannya pada Hitoshi."

"Hmm... kalau soal itu aku tidak bisa berbuat banyak..," sambil menunduk Hikari mengucapkannya, terlihat ia seperti orang yang menyesal karena tidak bisa berbuat banyak.

"Baiklah, kalau soal Hitoshi aku yang akan memikirkannya nanti, yang penting sekarang kau sudah mau mempercayaiku." Kata Reina sambil tersenyum lebar. Baginya itu sangat berharga, walaupun hanya satu orang.

"Hmm..," balas Hikari dengan senyum yang tak kalah lebarnya dari Reina.

"Ngomong-ngomong Hikari, apa kau juga menyukainya?" tanya Reina blak-blakan.

"E-eh?! A-apa maksudmu Reina? Me-menyukai siapa?" tanya Hikari balik, dia terlihat gugup saat ini.

"Hitoshi." Jawaban yang sangat singkat dari Reina tapi mampu membuat Hikari memalingkan wajahnya.

"Te-tentu saja tidak! Tidak mungkin aku menyukainya." Sanggah Hikari yang saat ini wajahnya memerah.

Reina lalu tersenyum puas, menurutnya saat ini Hikari terlihat sangat mencurigakan. Sangat nampak ia menyukai Hitoshi. "Benarkah?" goda Reina.

"Berjanjilah untuk tetap diam, kumohon..," mohon Hikari pada Reina.

Reina mengangguk, lagi pula kalaupun ingin membicarakannya pada Hitoshi rasanya sangat tidak mungkin. Bagaimana tidak, baru saja Reina berdiri satu meter di samping Hitoshi pasti sudah diusir, apalagi berbicara dengannya.

"Hitoshi juga menyukaimu." Kata Reina singkat padat dan jelas. Memang dia tidak bisa memberitahukan perasaan Hikari pada Hitoshi, tapi setidaknya dia bisa memberitahukan perasaan Hitoshi pada Hikari.

Tapi ada yang aneh pada diri Reina, entah apa itu, dia sendiri pun tidak bisa menjelaskannya. Dadanya terasa sesak saat mengetahui kedua temannya itu yang saling suka. Perasaan itu mulai ia rasakan sejak Hitoshi memintanya untuk berubah, baginya saat itu Hitoshi terlihat seperti penolongnya.

Sejak tadi Reina terus tertawa dan tersenyum saat menggoda Hikari, tapi itu semua hanya untuk menutupi rasa sakitnya.

"A-apa maksudmu Reina? Hitoshi tidak mungkin—"

"Dia menyukaimu, aku menyadarinya saat melihat perhatiannya padamu." Potong Reina yang tengah mencoba meyakinkan Hikari.

"E-eh?! A-aku tidak menyadarinya..,"

"Benarkah? Padahal menurutku kalian terlihat seperti sepasang kekasih."

Yang dikatakan Reina benar, siapa saja yang baru melihat Hitoshi dan Hikari pasti mengira mereka adalah sepasang kekasih. Tentu saja itu termasuk alasan kenapa Hikari sering dibully di sekolah.

Reina lalu menyenggol tangan Hikari, "Hikari, kalau masih tidak percaya coba saja kau ungkapkan saja perasaanmu kepadanya." Entah apa yang dipikirkan Reina sampai ia mengatakan sesuatu yang bisa membuat dadanya tambah sesak.

"E-eh?!! Apa yang kau bicarakan Reina?!"

"Ya itu, ajak dia berkencan. Sebisa mungkin kau harus mengatakan sesuatu yang bisa menembus jantungnya—" Reina terdiam sesaat.

"Tembak sampai menembus jantung..," gumam Reina sangat pelan.

Wajahnya Reina berubah pucat, bayangan kematian Erina kembali terputar di kepalanya. Di saat Reina melihat dengan mata kepalanya kalau sesuatu telah menembus jantung adiknya, dan dengan hitungan detik mampu melenyapkan nyawa adiknya.

"Reina ada apa?" tanya Hikari cemas karena melihat keadaan Reina saat ini.

"Sniper..," gumam Reina seperti berbicara dengan dirinya sendiri.

"Sniper? Apa maksudmu? Ja-jangan-jangan kau mau aku menembak Hitoshi dengan pistol beneran?" tanya Hikari yang tidak mengerti dengan keadaannya.

"Ti-tidak, mana mungkin aku melakukan itu... lihatlah! busnya sudah datang, hati-hati di jalan ya." Tepat setelah Reina mengatakannya, salah satu bus sudah datang.

Reina lalu mendorong Hikari ke dalam bus itu, lalu melambaikan tangannya dengan senyuman yang dipaksakan. Reina terlihat aneh di mata Hikari, padahal sejak tadi dia yang menahan Hikari agar jangan pergi dulu, tapi sekarang justru dia yang mendorong Hikari untuk segera pulang.

***

Reina sampai di apartemennya dengan kedua tangan yang mengepal dan rahang yang mengeras.

Ketika sampai di dalam apartemennya dia tidak lagi merapikan letak sepatu yang baru saja ia lepas, dan asal membuang barang belanjaannya.

Ia terus berjalan sampai di depan lemari bajunya. Ia melihat ke dalam laci yang terletak di dalam lemari itu, di sana ada sebuah foto yang bergambarkan seorang anak kecil berambut hitam pendek dengan tatapan datarnya.

"Bagaimana mungkin aku sampai melupakan kematiannya. Maafkan kebodohan kakakmu ini, Erina."

"Laki-laki itu..,"—Reina lalu mulai tertawa geli—"berubah katanya? Bagaimana mungkin aku bisa berubah kalau dia menjauhkan ku dari semua orang. Aku sangat bodoh sampai mau mempercayai ucapannya."

Rahang Reina kembali mengeras, tangan kanannya mengepal, tatapannya tajam. Reina lalu berkata, "Taniguchi Hitoshi, aku pasti akan membunuhmu!"

Tanpa sadar Reina mulai kembali ke sisi buruknya, dendam mulai menguasainya lagi. Ia kembali tersadar tentang kematian adiknya. Dengan ini, sisi lain Reina telah kembali dari tidur yang panjang.

###

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro