Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

Sekali Lagi

Sepanjang jalan Reina terus memikirkan gelang aneh itu. Sejak kapan dia memakainya? Dan kenapa hanya dia yang bisa melihat gelang itu? Apa saat ini dia masih bermimpi atau itu hanya halusinasinya? Tapi, mau berapa kali pun Reina mengatakan itu hanya halusinasi, tetap saja ketika ia menyentuh gelang itu rasanya sangat nyata. Reina terus memikirkan gelang itu bahkan setelah Reina sampai di depan gerbang sekolahnya.

Sekolah Erina tidak terlalu jauh dari sekolah Reina, hanya butuh beberapa belokan ia pasti sudah sampai. Hanya saja, Reina kali ini terlihat sangat berbeda dari Reina yang biasanya di mata Erina. Biasanya saat mereka berdua berpisah di depan gerbang, Reina akan berubah menjadi bawel.

Reina biasanya selalu mengingatkan kepada adiknya agar tidak nakal di sekolah, tidak melawan guru, tidak bertengkar dengan temannya, dan juga hal-hal lain yang sebenarnya Erina sendiri sangat bosan untuk mendengarnya, karena dia sama sekali tidak terpikirkan untuk melakukan hal-hal seperti itu.

Namun, walaupun setiap harinya Erina bosan mendengarnya, tetap saja ia merasa tidak tenang saat tidak mendengar celotehan kakaknya lagi. Erina semakin bingung saat melihat kakaknya terus memandangi pergelangan tangannya sendiri. Seperti ada sesuatu yang terus mengganggu kakaknya, tapi memang pada dasarnya seorang Erina adalah anak yang acuh tak acuh, jadi dia berpikir kakaknya hanya bercanda saja.

Erina pun memilih tetap diam dan berlalu dengan wajah yang datar seperti biasa. Dia lebih memilih melupakan tingkah aneh kakaknya dari pada harus terlambat ke sekolah.

Di sisi lain, Reina masih terus memperhatikan gelang aneh yang saat ini dia pakai.

'Aneh sekali, sejak kapan aku memakainya? Dan kenapa Erina tidak bisa melihatnya?'

Reina mulai mengangkat tangannya dan mendekatkatkan gelang itu tepat di depan matanya. 'Dilihat darimana pun gelang ini sangat menakutkan, aku tidak mungkin membeli gelang seperti ini.' batin Reina masih terus menyangkal.

Di saat Reina sibuk memperhatikan gelang itu, tiba-tiba seseorang menepuk pundaknya dan membuatnya kaget.

"Reina!" pekik seorang wanita dengan rambut pendek tepat di telinga kanan Reina, membuat Reina harus menutup telinga dengan telapak tangannya.

"Kau mengagetkanku, Momo." Kata Reina kesal.

"Hehe... maaf-maaf." Jawab Momo sambil terkekeh pelan ketika melihat Reina yang merasa kesal karena ulahnya.

"Selamat pagi, Reina." Ucap seorang wanita yang langsung merangkul pundak Reina.

"Selamat pagi, Minami." Balas Reina sambil tersenyum hangat.

"Ngomong-ngomong, kau sedang apa? Dari tadi aku memperhatikanmu, kau terus menandangi tanganmu, memangnya ada sesuatu?" tanya Minami pada Reina.

"Ti-tidak kok, tidak ada apa-apa." Jawab Reina sedikit ragu. Ia ingin menjelaskan kepada mereka soal gelang itu, tapi takut diketawai karena dikira sedang berhalusinasi.

Momo pun langsung menarik tangan kanan Reina karena penasaran, terlebih saat menyadari Reina yang gugup saat ditanyai oleh Minami.

"EH!?" teriak Momo heboh.

"Ada apa ada apa?" tanya Minami penasaran.

'Apa dia bisa melihatnya?' batin Reina bertanya-tanya.

"Tidak ada apa-apa." Jawab Momo singkat namun terdengar menyebalkan, Momo pun tertawa puas setelah mengerjai kedua temannya.

'Tidak ada gunanya memikirkan gelang itu saat ini, daripada terlihat aneh lebih baik aku biarkan saja.' Reina pun memutuskan untuk membiarkannya. Lagipula gelang itu juga tidak dapat dilihat orang lain selain dirinya, jadi tidak ada yang akan menyadari kalau Reina sedang memakai gelang menakutkan itu.

Walau begitu, sesekali mata Reina melihat ke arah gelang itu, tidak bisa dipungkiri kalau Reina masih bingung dengan kehadiran gelang itu yang terkesan misterius dan sedikit menakutkan.

***

Ketika Reina dan teman-temannya masuk ke dalam kelas, mereka langsung disambut dengan keributan yang memang sudah terasa sangat biasa. Ada yang sedang mengobrol dengan suara yang kecil sampai ada yang tertawa kencang. Itu merupakan hal yang biasa mereka lakukan sebelum bel pelajaran dibunyikan.

"Selamat pagi semua." Sapa Reina sambil tersenyum lebar saat berdiri di depan kelas.

Sapaan dari perempuan cantik dan selalu ceria itu tentu membuat semua pandangan di kelas itu tertuju padanya, mereka pun membalas senyum Reina dan mengucapkan selamat pagi padanya. Terkecuali tiga orang wanita yang duduk di kursi paling belakang, mereka melihat Reina dengan muka masam. Tidak semua orang yang akan menyukainya, Reina juga menyadari itu. Saat Reina duduk di kursinya yang terletak di barisan kedua, ketiga wanita itu pun menuju ke arahnya.

"Heh, dasar gadis caper, jangan terlalu sok cantik deh! Masih pagi udah buat ulah." Kata seorang wanita yang berada di tengah dan diikuti anggukan oleh kedua temannya. Melihat bagaimana dia bersikap, wanita itulah yang merupakan pemimpinnya.

'Eh? Berbuat ulah? Bukannya kebalikan ya?' batin Reina. Namun, dia tetap tersenyum. Sebenarnya senyuman itu ia perlihatkan karena ia sedang menahan tawanya, ia sangat ingin tertawa karena melihat tingkah ketiga teman sekelasnya yang bagi dia pribadi terkesan lucu.

"Ehh... Seika, Akari, dan Eiko, selamat pagi ya." balas Reina pada mereka bertiga, seolah tidak mendengarkan perkataan sinis mereka barusan.

"Heh!! dasar—" ucap Seika sang ketua dengan kesal, tapi terpotong karena bel pelajaran pertama sudah dibunyikan.

"Hmm... obrolan kita sampai di sini dulu ya, bel pelajarannya kebetulan sudah berbunyi, maaf ya." Kata Reina sambil terus tersenyum. Dengan wajah kesal yang tanpa mereka sadari itu membuat mereka terlihat jelek, ketiga wanita itu pun kembali ke tempat duduk mereka.

Saat jam pelajaran pertama berlangsung, lebih tepatnya jam pelajaran matematika berlangsung, Reina merasakan sedikit keanehan yang ada pada dirinya.

Pelajaran matematikan yang baginya terbilang sulit, kali ini terasa sangat mudah. Ia mengerjakan soal yang sulit layaknya menulis buku harian, menjawab pertanyaan dari guru dengan cepat, tepat dan selalu benar.

Bukan cuman dalam matematika, begitupun dengan pelajaran-pelajaran lain, tidak terkecuali dalam diskusi, perkataan yang selalu diucapkan Reina terbilang sangat dewasa, tidak seperti anak seusianya.

Semua pelajaran yang ia lalui hari itu terasa sangat ringan, entah kenapa semua terasa seperti hanya mengulang pelajaran yang sudah pernah ia pelajari sebelumnya, padahal seingat Reina, pelajaran-pelajaran itu seharusnya tidak pernah ia temui sebelumnya. Dasar-dasarnya mungkin sudah pernah, tapi tidak sedetail seperti yang ada di dalam ingatannya hari ini.

***

Bel pulang akhirnya berbunyi, pertanda sekolah di hari itu telah selesai. Guru yang sejak tadi menulis di papan akhirnya menyudahi aktivitasnya dan berpamitan kepada para siswa. Setelah guru itu keluar kelas, keadaan yang tadinya hening tiba-tiba ribut kembali.

Sama halnya dengan siswa yang lain, Reina pun mulai mengatur tasnya, Momo kemudian menghampirinya.

"Reina, kamu mimpi apa semalam? Kok mendadak jadi cewek pintar?" tanya Momo yang menyadari perubahan tingkah Reina hari ini.

Reina memang bukan termasuk siswa yang sangat cerdas. Jangankan peringkat umum, di antara teman sekelasnya saja Reina tidak pernah masuk 10 besar, mungkin peringkatnya hanya berputar di 11 sampai 15 saja.

Teman senasibnya yaitu Momo yang selalu dapat satu tingkat dibawahnya tentunya merasa curiga dengan perubahan otak Reina yang tiba-tiba  sudah setara dengan siswa juara umum.

"Eh? Entahlah Momo, mungkin perasaamu saja." Jawab Reina pada Momo. Reina sebenarnya juga menyadari itu, tapi dia memilih untuk tidak menjelaskan apa-apa kepada Momo karena dia sendiri pun tidak mengerti.

"Hmm.. Reina, boleh juga kau hari ini, rupanya sekarang aku menemukan rivalku." Ucap Minami yang sekarang sudah berdiri di samping Reina dan Momo.

"Bu-bukan seperti itu, jangan salah sangka dulu." Reina terlihat gugup saat mendengar ucapan Minami yang memujinya. Minami adalah siswa yang sangat cerdas, ia selalu mengambil peringkat tertinggi di sekolah mereka.

"Santai saja, aku tidak akan memakanmu. Lagi pula aku memang sudah tahu kalau kamu itu pintar, hanya saja kamu itu terus menyembunyikannya." Tebak Minami dengan maksud bercanda.

Reina sempat terdiam beberapa menit, ia memikirkan sesuatu. 'Eh begitukah yang dia pikirkan? Tapi, entah kenapa aku malah berfikir kalau pelajaran-pelajaran itu sudah pernah kulewati sebelumnya, apa ini yang disebut deja vu?'

"Oi, Reina!" pekik Momo membuyarkan lamunan Reina.

"Ada apa?" tanya Reina yang baru saja terkejut karena pekikan Momo.

"Apa ada yang mengganggumu hari ini? Apa kau sakit? Dari tadi kau terlihat melamun terus." Ucap Minami cemas, dan diikuti anggukan oleh Momo.

"Ti-tidak, tidak ada apa-apa kok, kalian tidak perlu khawatir." gumam Reina masih ragu.

"Ayolah... kita kan sahabat, jangan menyembunyikan apapun." Kata Momo mencoba meyakinkan Reina.

Reina sejenak menatap mereka untuk meyakinkan dirinya bahwa ia harus bercerita kepada mereka yang merupakan sahabatnya. "Tapi janji, jangan tertawakan aku!"

"Baiklah."

Reina menjulurkan tangannya, lalu mulai mengatakan hal aneh yang sejak tadi pagi mengganggu pikirannya. "Kalian lihat? Sejak tadi pagi gelang ini ada di tanganku, warnanya sangat jelek, aku ingin melepaskannya, tapi tidak bisa."

"Eh?" Momo dan Minami malah terlihat semakin bingung saat mendengar perkataan Reina.

"Kan, sudah kubilang, kalian pasti tidak bisa melihatnya." ucap Reina sambil menghembuskan napas berat.

Minami kemudain meletakkan telapak tangannya di dahi Reina dan telapak tangannya yang satu lagi di dahinya sendiri. "Kau baik-baik saja, badanmu juga tidak sedang demam."

'Memangnya aku sakit apa?' Reina semakin kesal dibuatnya, ia pun memilih untuk berpamitan pada kedua temannya.

Respon itu sudah dia duga sebelumnya, aneh tapi bagi mereka gelang itu tidak terlihat, dan itu tentu membuat Reina terlihat seperti sedang berhalusinasi.

"Yasudah, kita lanjut besok saja, aku harus menjemput adikku, Dah."

Setelah berpamitan, Reina pun mengambil langkah cepat untuk meninggalkan kedua temannya itu. Mencoba menghindar dari pertanyaan lebih lanjut karena sudah membuat mereka berdua bingung.

***

Erina terlihat menunggu Reina di depan gerbang sekolahnya. Waktu pulang Erina memang sedikit lebih cepat dari waktu pulang Reina, jadi dia selalu menunggu kakaknya di depan sekolah untuk pulang bersama-sama ke rumah, tapi untuk kali ini Erina tidak terlihat sendiri, ia tampak ditemani seorang temannya.

"Sudah lama ya? Maaf membuat kalian menunggu. Bagaimana di sekolah?" tanya Reina seketika ia berdiri d deopan Erina dan temannya.

"Tidak apa-apa kak. Di sekolahku semuanya juga baik-baik saja.” Jawab Erina masih dengan wajahnya yang tampak datar. “Oh iya, Kak Reina, aku mau minta izin ke rumah temanku di daerah Chiba, boleh?" Tambah Erina meminta izin pada kakaknya.

"Baiklah, akan kuizinkan, tapi jangan pulang larut malam." Jawab Reina memberi izin sekaligus memberikan peringatan kepada adiknya.

"Iya kak." Erina pun segera menarik tangan temannya. Memang tidak terlihat jelas di wajahnya, tapi Reina tahu saat ini adiknya sedang merasa senang. Ketika sudah agak jauh, Erina kembali melambaikan tangannya kepada Reina dan dibalasnya sambil tersenyum geli melihat tingkah adiknya yang bagi dia terkesan lucu.

Setelah Erina benar-benar sudah hilang dari pandangannya, Reina pun memutuskan untuk segera pulang ke rumah. Mungkin dia akan sedikit kesepian saat di jalan pulang, tapi menurutnya tidak apa selagi adiknya merasa senang, lagi pula dia jarang mengajak Erina jalan-jalan, jadi tidak apalah sesekali membiarkan Erina pergi bersamanya temannya.

***

Saat malam tiba, sekitar pukul 21:00 Erina tidak kunjung pulang, tentu saja itu membuat Reina cemas. Reina sesekali duduk di kursi yang terletak di teras rumah, beberapa kali juga ia terlihat mondar-mandir, terlihat jelas bahwa saat ini ia sedang khawatir.

Walaupun sudah memakai jaket tebal, tetap saja hawa dingin masih dapat ia rasakan. Berulang kali ia menghembuskan napas berat disertai dengan asap yang keluar dari mulutnya karena udara yang dingin.

Setelah pukul 21:30, akhirnya kekhawatiran Reina terobati saat melihat Erina membuka pintu pagar kayu di depannya. Erina terlihat memakai sebuah jaket tebal. Rupanya teman Erina meminjamkan padanya karena melihat cuaca yang semakin dingin.

Reina pun berjalan menghampiri Erina untuk memarahinya. "Erina!? Kemana saja kau? Kan sudah kubilang untuk pulang lebih awal?"

"Maafkan aku..," ucap Erina menyesal.

"Apa kau tahu malam ini akan sangat dingin? Bagaimana kalau kau sampai sakit, ayolah Erina, kau seharusnya mendengarkan perkataanku!" Reina masih tampak marah, ia marah karena ia cemas pada adiknya.

Erina perlahan menunduk, semakin menunduk, dan kemudian mengambil tumpukan salju dengan tangan kecilnya lalu melemparkannya pada kakaknya. Awalnya Reina terlihat kesal tapi Erina terus melemparinya sampai Reina melupakan amarahnya dan ikut melempari bola salju. Mereka terus tertawa dan saling melempari salju. Kemudian, entah sejak kapan perang bola salju itu berubah menjadi kejar-kejaran. Erina mulai mengejar kakaknya.

Namun, Reina sempat terpaku karena tiba-tiba mengingat sesuatu. Dalam ingatannya ia melihat dua orang yang jatuh tersungkur di tengah salju putih yang sudah berubah menjadi warna merah. Reina ketakutan, seketika sekujur tubuhnya gemetar, kakinya mulai lemas, kepalanya mulai pusing. Ingatan itu datang tiba-tiba dan terlihat sangat menakutkan baginya.

Erina menatapnya heran, dan juga cemas. Saat Erina mendekatinya, Reina langsung berlari, Reina berlari ke dalam rumah, ia seperti lari dan menghindari sesuatu. Erina terus memandang punggung kakaknya yang berlari ke dalam rumah sampai pintu itu tertutup.

Saat Reina di dalam rumah ia langsung berlari ke dalam kamarnya, menutup pintu kamar, dan berjongkok di depan pintu, ia menutupi wajahnya, ia sangat ketakutan, tapi ia tidak mengerti kenapa ingatan itu tiba-tiba muncul dalam kepalanya.

‘Apa itu mimpi? Atau hanya sekedar potongan film yang pernah kutonton? Tidak! Aku tidak pernah menonton film semenyeramkan itu. Kalau itu ingatan di mimpiku, lalu siapa kedua orang itu? Kenapa banyak darah disekitar mereka?’

Tiba-tiba...

'Kembalikan waktuku...’

Kalimat itu lewat begitu saja di dalam pikirannya.

‘Waktu? Ada apa ini?’

Dor!

Suara tembakan terdengar dari luar rumahnya. Reina terdiam beberapa saat sampai kembali terbayang olehnya, dua orang remaja yang terbaring di salju yang berwarna merah.

'Oh tidak... apa itu nyata?'

Sedetik kemudian, mata Reina terbalalak, ia baru saja mengingat sesuatu. Reina tadi bermain dengan adiknya, dan dia meninggalkan adiknya sendiri di luar sana. Suara tembakan itu berasal dari luar sana.

'Tidak-tidak-tidak-tidak-tidak...'

Reina mengambil langkah cepat untuk sampai ke pintu depan di rumahnya. Ia sempat terdiam beberapa detik lalu perlahan membuka pintu itu.

Reina membuka pintu rumah itu hanya untuk melihat mayat adiknya yang tersungkur di tumpukkan salju yang perlahan namun pasti mulai berubah warnanya menjadi merah karena darah Erina yang terus merembes keluar.

Reina telah gagal mempergunakan waktunya, sekali lagi dia melihat kematian adiknya.

Keheningan di malam itu seketika langsung dipecahkan oleh suara tangisan Reina, ia berteriak dan terus menangis, kesedihannya tidak terbendung, ia kehilangan adiknya, sekali lagi ia telah kehilangan orang yang sangat dia sayangi di depan matanya sendiri.

###

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro