Penyelidikan (2)
Saat ini Reina dan Tetsuo tengah duduk di sebuah kursi panjang di dalam rumah milik Nakamura Akemi.
Ruang tamunya terlihat sangat berantakan. Banyak sampah dan debu di lantai rumah itu. Kain-kain yang terhambur di mana-mana, dan yang paling merusak pemandangan adalah botol-botol minuman keras yang berserakan di meja tamu.
Tidak berapa lama Akemi datang sambil membawa dua gelas minuman yang terletak di atas nampan berwarna cokelat yang sedang ia pegang.
Akemi lalu meletakkan kedua gelas itu di atas meja tamu. Ia kemudian balik ke dapur untuk mengambil karung kosong. Botol-botol yang berserakan di atas meja tamu itu lalu ia masukkan ke dalam karung yang baru saja ia ambil.
Setelah itu, Akemi pun mengambil tempat duduk di samping Tetsuo. Tapi dengan cepat Tetsuo langsung berpindah tempat untuk menjauh darinya.
"Apa bisa kita mulai sekarang?" tanya Reina yang ingin mempersingkat waktu.
"Aku akan menjawab pertanyaannya kalau yang menanyaiku adalah adiknya Hiroki." Pinta Akemi terdengar memaksa.
Mendengar perkataan itu Tetsuo langsung berdiri dan hampir meninggalkan ruangan jika saja Reina tidak menahannya. "Kau ini, ikuti saja! Bukannya kau yang ingin menuntaskan kasus ini?" bisik Reina pada Tetsuo.
Dengan sangat terpaksa Tetsuo pun menuruti keinginan Akemi. "Apa kau kenal siwa bernama Uchida Saki?" tanya Tetsuo to the point.
"Uchida Saki? Gadis culun itu? Hahaha... kenapa juga harus berteman dengannya? Lagi pula aku tidak mau punya teman pelacur."
"Aku hanya bertanya apa kau kenal dengannya atau tidak, bukan tentang kau berteman dengannya atau tidak." Sanggah Tetsuo yang berhasil membuat Akemi gugup seketika. "Menurutmu bagaimana sifatnya?" lanjut Tetsuo bertanya.
"Dia itu perempuan munafik! Di luar keliatan lugu tapi di dalamnya sangat busuk! Dia itu selalu menggoda semua laki-laki, bahkan Hiroki juga pernah menjadi korbannya. Entah trik apa yang ia pakai sampai Hiroki bisa menyukainya."
"Hiroki-san menyukainya? Siapa yang mengatakan itu padamu?" selidik Tetsuo.
"Untuk apa mengatakannya pada kalian?" tanya Akemi balik.
Tetsuo lalu menatap tajam mata Akemi, dia lalu berkata, "oh, kukira kau mau lebih dekat dengan kakakku."
Siapapun bisa tahu kalau itu hanya umpan, tapi anehnya Akemi malah terpancing kata-kata Tetsuo.
"Baiklah-baiklah... seseorang pernah mengirim pesan e-mail padaku dan menceritakan semua kebusukan wanita penghibur itu padaku."
"Kau tahu nama orang itu? Atau masih menyimpan alamat e-mail orang itu?"
"Tidak sama sekali."
"Hm..,"—Tetsuo menarik napasnya pelan untuk memikirkan pertanyaan selanjutnya—"apa dia sering dirundung?"
"Tentu saja! Semua orang pasti akan merundung pelacur sepertinya, itu adalah hal yang wajar, apalagi dandanannya yang culun itu, semua orang pasti membencinya!"
"Tapi, bukannya kalian pernah akrab? Dan juga, aku pikir kau pasti pernah tampil culun." Sindir Tetsuo sambil tersenyum miring.
"Siapa yang mengatakannya padamu?!" tanya Akemi dengan nada suara yang berubah tinggi.
"Tidak penting!" potong Tetsuo dingin, baginya kalau pembicaraan itu tidak penting, dia tidak akan pernah meladeninya.
"Kenapa dari tadi kau terus mengatakan dia adalah wanita murahan?" Takao melanjutkan pertanyaannya.
"Dia itu selalu menjual dirinya pada guru-guru untuk mendapatkan nilai bagus. Banyak juga yang bilang kalau dia itu suka menjual dirinya untuk mendapatkan uang."
"Kau punya buktinya?" kali ini Reina yang bertanya. Jujur saja, Reina saat ini sudah sangat kesal karena perkataan Akemi.
"Siapa yang menyuruhmu bertanya?" tanya Akemi balik, dengan nada yang terdengar sinis.
"Katakan saja kalau kau tidak punya buktinya!" tambah Tetsuo membela Reina.
"Tentu saja aku punya! Aku selalu melihat kalau Saki itu selalu pulang diantar oleh Takeda-sensei. Mereka juga sering berlama-lama di sekolah sampai larut malam. Katanya sih belajar, tapi aku yakin mereka berbuat hal yang lebih dari belajar."
"Kata 'aku yakin' itu belum bisa dijadikan bukti yang kuat," sindir Reina. Akemi lalu menatap sinis ke arah Reina.
"Lalu bagaimana menurutmu tentang kasus pembunuhan itu?" tanya Tetsuo lagi.
"Maksudmu pembunuhan terhadap Takeda-sensei? Katanya sih karena Takeda-sensei mau melecehkannya. Tapi seseorang pernah mengatakan padaku kalau Saki itu hanya ingin mengambil uangnya Takeda-sensei, karena itu Saki memberi alasan yan tidak-tidak agar dia mendapatkan uang dari keluarga Takeda-sensei."
"Hm... kalau begitu terimakasih sudah mau menjawab pertanyaannya." Setelah mengatakannya Tetsuo langsung berdiri dan mulai berjalan ke arah pintu. Reina lalu mengikutinya, tapi sebelumnya dia sempat berpamitan pada Akemi.
"Hei tunggu! Apa kau pikir aku menjawabnya secara gratis?" tanya Akemi sambil tersenyum puas.
"Apa maksudmu?" tanya Tetsuo balik.
"Aku mau alamat kakakmu, aku juga ingin kau membantuku biar lebih dekat dengan—"
"Kan sudah kubilang jangan terlalu bermimpi!" ucap Takao memotong perkataan Akemi. "Oh iya, Hiroki-san itu tidak pernah menyukai siapapun, dia tidak pernah menyukai Uchida Saki, apalagi perempuan sepertimu,"
"Apa maksudmu? Jelas-jelas dia menolak ku dulu pasti karena dia dekat dengan Saki."
"Sudah kuduga kau pasti pernah ditolak dan mulai dendam kepada Uchida Saki sejak saat itu. Tapi asal kau tahu saja, Hiroki-san menolak mu bukan karena dia tidak suka dengan penampilan culun mu atau karena kenyataan kalau kau itu sering dirundung, tapi karena dia sudah punya tunangan."
Penjelasan Tetsuo tepat menusuk perasaan Akemi. Ia terpaku di tempat dia berdiri, pandangannya terus menatap ke bawah. Ia kaget, sangat kaget, fakta bahwa orang yang dia suka sudah mempunyai tunangan, dan juga tentang gosip yang salah tentang Hiroki yang menyukai Uchida Saki.
Tetsuo terus memperhatikan Akemi yang saat ini masih menunduk diam, sekedar ingin melihat reaksi Akemi terhadap perkataannya tadi.
Beberapa detik kemudian, "jadi gosip tentang Saki yang menggoda Hiroki itu tidak benar?" Akemi lalu terduduk lemas, pandangannya tampak kosong.
"Jadi apa yang dijelaskan Saki kepadaku itu memang benar? Dia tidak pernah sekali pun berbohong kepadaku?"
Tidak lama kemudian Akemi menangis, dia menangis sejadi-jadinya, kembali terbayang padanya bagaimana sosok Uchida Saki yang mati-matian menceritakan fakta tentang Hiroki yang sudah bertunangan tapi Akemi tidak pernah mau mempercayainya hanya karena ia merasa Saki terlalu dekat dengan Hiroki.
"Jadi begitu ya..," gumam Tetsuo dengan wajahnya yang masih saja datar. Tetsuo lalu mengambil sebuah catatan lengkap dengan pulpen dari tasnya dan mulai berjalan perlahan ke arah Akemi.
"Tolong berikan alamatnya, kami sangat membutuhkannya." Pinta Tetsuo sembari memberikan catatan dan pulpen itu pada Akemi. Akemi lalu mengambilnya dan menuliskan sebuah alamat di catatan itu.
Setelah berterimakasih, Tetsuo dan Reina lalu pamit dan segera menuju ke alamat yang baru saja di tulis oleh Akemi, karena alamat itu tidak terlalu jauh dari rumahnya.
Hanya butuh 30 menit untuk sampai ke alamat itu. Ketika di perjalanan, suasananya sangat canggung, setidaknya bagi Reina.
"Tetsuo!" panggil Reina untuk mencairkan suasana.
Tetsuo lalu menatap Reina dengan ujung matanya, "apa?"
"Apa maksudmu tadi? Kenapa perempuan itu menangis? Dan alamat siapa itu? Apa kau sudah tahu siapa pembunuhnya?" tanya Reina sekaligus.
Pertanyaan Reina hanya dijawab oleh Tetsuo dengan kalimat, "kau akan tahu sebentar malam."
Tiba-tiba ponsel Tetsuo berdering. Ketika dia melihatnya, di sana ada nama Hikari yang sedang menelponnya. Tetsuo lalu mengangkat panggilan itu.
"Moshi-moshi*, Tetsuo?"
"Ada apa Hikari? Apa kau akan datang?" tanya Tetsuo langsung, sekedar ingin mempersingkat waktu.
"Eh, i-iya aku ingin ikut... ta-tapi, Hitoshi tidak—"
"Datang saja! Akan kukirim alamatnya lewat e-mail," potong Tetsuo.
"Ta-tapi aku..,"
"Sudahlah, soal Hitoshi tidak usah dipikirkan, dia itu memang seperti itu. Lagi pula yang menentukan kau akan pergi kemana saja itu dirimu sendiri bukan Hitoshi."
"Ba-baiklah..,"
Setelah Hikari menyetujuinya, Tetsuo pun langsung memutuskan sambungan telpon itu.
***
Mereka berdua, Tetsuo dan Reina akhirnya sampai ke tempat tujuan mereka. Alamat itu jelas menunjukkan sebuah rumah minimalis dengan halamannya yang dipenuhi tanaman berwarna hijau. Tetsuo lalu mendorong pagar besi yang tidak terkunci, diikuti Reina di belakangnya.
Ketika sampai di depan pintu rumah itu, Tetsuo lalu mengetuknya. Tidak berapa lama, seseorang lalu membuka pintu itu. Tampak jelas seorang wanita paruh baya yang tersenyum ke arah mereka.
"Maaf, apakah ini rumahnya keluarga Uchida?" tanya Tetsuo ramah.
"Iya, saya Uchida Asa, pemilik rumah ini. Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya si pemilik rumah tidak kalah ramah.
"Apakah anda... Ibunya Uchida Saki?" tanya Tetsuo ragu-ragu.
Wanita itu lalu terlihat menunduk, beberapa menit kemudian dia kembali menatap Tetsuo. Tatapan wanita itu terlihat sendu, matanya sembab. Wanita itu seperti ingin menangis.
"Iya, saya adalah ibunya."
"Ada yang ingin kami tanyakan pada Anda, apa bisa kita bicara di dalam?" ucap Reina meminta izin dengan sopan.
"Iya-iya, masuklah." Balas wanita itu mempersilahkan Reina dan Tetsuo masuk ke rumahnya.
Wanita itu lalu pergi ke dapur untuk membuat minuman, sementara itu Reina dan Tetsuo melihat-lihat seisi rumah itu dengan seksama.
Foto-foto yang tergantung di dinding itu semuanya adalah foto dari Uchida Saki dan ibunya. Mereka tampak sangat bergembira di gambar-gambar itu.
Ketika Reina mengalihkan pandangannya kepada Tetsuo dia menyadari sesuatu. Saat ini Tetsuo tengah tersenyum sambil menunduk. Senyuman yang biasa ia tunjukkan saat ia baru saja menyelesaikan sebuah kasus.
Reina lalu menepuk bahu Tetsuo, "kau kenapa senyum-senyum sendiri?"
Tetsuo lalu menatap Reina dan berkata, "tidak, tidak apa-apa. Hanya saja... kurasa semuanya memang terhubung."
"Huh? Aku tidak mengerti maksudmu!" kesal Reina karena tidak mengerti dengan perkataan Tetsuo yang menurutnya tidak nyambung.
Belum dia bertanya lebih jauh, nyonya Uchida sudah datang menemui mereka sambil membawa nampan lengkap dengan minuman dan cemilan di atasnya.
Setelah sekitar 25 menit berlalu, akhirnya Tetsuo dan Reina pamit pulang. Tidak ada hal yang berarti dari pembicaraan mereka tadi.
Tetsuo hanya bertanya bagaimana keseharian Uchida Saki dengan ibunya. Tetsuo bahkan membawa nama Hiroki hanya untuk sekedar basa-basi, dan terakhir Tetsuo mencoba menyemangati nyonya Uchida yang telah kehilangan anaknya.
Tetsuo sama sekali tidak membahas kasus pelecehan ataupun bunuh diri Uchida Saki. Tujuan Tetsuo ke sana hanya untuk mencari bukti, dia tidak ingin memaksa nyonya Uchida untuk berbicara banyak.
Sebelum pergi Tetsuo sempat membisikkan sesuatu pada nyonya Uchida dan berhasil membuat nyonya Uchida sedikit kaget.
Tetsuo mengatakan, "lebih baik untuk mengatakan yang sebenarnya walaupun sangat berat. Setidaknya anda bisa membersihkan namanya dari gosip-gosip yang tidak mengenakan telinga dengan mengatakan kebenarannya."
***
Tujuan selanjutnya Tetsuo adalah ke rumah keluarga Takeda, yaitu mantan kepala sekolah yang kabarnya dibunuh karena hampir melecehkan muridnya.
Ketika sampai di halte bus terdekat, mereka melihat Hikari sudah menunggu. Reina sangat senang dan langsung memeluknya, begitu pun Hikari. Mereka bertiga akhirnya bersama-sama pergi ke rumah keluarga Takeda untuk mencari bukti-bukti tentang kasus yang terjadi dua tahun silam.
###
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro