Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 7 | Parwati dan Narayana

"Baginda, jika anak ini lahir, Baginda akan memberi nama siapa?" tanya Shima perutnya sudah terlihat semakin membesar.

Kartikeyasingha terlihat berpikir sejenak sebelum akhirnya dia berkata, "Narayana jika yang lahir laki-laki," ucapnya seraya membelai rambut panjang Shima yang tengah duduk sambil menyandarkan kepala di dadanya yang bidang.

"Narayana?" tanya Shima tanpa beranjak dari tempatnya.

"Iya, Dinda ... Sang penegak dharma, aku ingin kelak anak kita jika dia laki-laki akan memiliki sifat seperti awatara dewa Wisnu di bumi, Narayana." Kartikeyasingha begitu antusias menyebutkan nama calon penerusnya. Dia begitu mengidamkan kelak anak-anak yang lahir dari rahim permaisurinya adalah anak-anak yang akan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran.

Senyum di wajah ayu Shima terukir. Dewa Narayana, ya? ucapnya dalam hati.

"Lalu, kalau perempuan Kanda ingin memberikan nama siapa?" tanya Shima yang tidak kalah antusias dengan suaminya. Shima mengambil posisi duduk tepat di samping Kartikeyasingha.

Kedua manik biji kopi miliknya berbinar, menunggu jawaban sang suami. Senyum Shima menular kepada suaminya, sebuah bulan sabit terukir pada wajah Kartikeyasingha. Dengan gemas dia mendaratkan cubitan pelan ke pucuk hidung mancung wanita cantik yang tengah mengandung calon anaknya.

"Menurutmu, nama apa yang cocok untuk calon anak perempuan kita, Dinda?" Kartikeyasingha menjawab pertanyaan Shima dengan melontarkan pertanyaan balik kepada sang istri.

Kali ini giliran Shima yang terlihat berpikir sejenak, kelopak matanya terpejam memperlihatkan betapa lentik bulu matanya.

"Jika anak kita yang lahir adalah anak perempuan, maka aku ingin memberikannya nama Parwati, Kanda!" ungkap Shima dengan penuh semangat.

"Parwati?"

Shima mengangguk sebagai jawaban. Dia lalu kembali memposisikan diri di atas pangkuan suaminya untuk menikmati sentuhan lembut sang suami di rambut panjangnya.

"Aku ingin putri kita memberikan manfaat bagi seluruh rakyat Kalingga, seperti arti namanya, mata air pegunungan." Shima mengusap-usap perutnya sambil membayangkan bagaimana wajah calon anaknya yang akan lahir ke dunia, pipi bulat putih dengan semu merah, tangan dan kakinya yang kecil dan mungil, belum lagi tawa mereka yang menghangatkan hati. Entah kenapa membayangkan kehadiran seorang anak dalam keluarga kecilnya membuat air mata mengalir.

"Ada apa, Dinda?" tanya Kartikeyasingha saat tiba-tiba pipi istrinya basah.

Shima menggeleng cepat sambil mengusap jejak air mata. Seulas senyum diperlihatkan Shima. "Aku hanya merasa sangat bahagia sampai air mataku tumpah, Kanda."

Kartikeyasingha tahu betul apa yang dimaksud Shima, sebab, dia pun demikian--perasaannya campur aduk antara senang dan cemas yang meluap-luap atas kehamilan sang istri yang sudah memasuki usia tujuh bulan--juga ada secuil perasaan sedih saat kembali teringat akan mendiang raja terdahulu.

_Andai saja ayahanda ada di sini, betapa senangnya ayahanda akan memiliki seorang cucu._ Kartikeyasingha berucap dalam hati.

"Aku suka nama mereka, Kanda," ucap Shima yang berhasil membuat Kartikeyasingha kembali pada kenyataan.

Kartikeyasingha mengangguk sepakat. "Sehat-sehat selalu, Sayang," ucapnya seraya ikut mengelus perut Shima.

Hal ajaib terjadi, perut Shima bergerak, seolah bayi di dalam kandungannya mendengar percakapan keduanya. "Shima! Sayang! Ta-tadi ... ta-tadi ...." Kartikeyasingha kehabisan kata-katanya.

Shima mengangguk sebagai jawaban. "Iya, Kanda, tadi si kecil kita bergerak-gerak dengan lincah di perutku," ungkap Shima tanpa menghilangkan senyum di wajah ayunya.

_Kau aktif sekali anakku,_ ucap Shima.

"Kanda," panggil Shima saat jemarinya saling bertautan dengan jemari Kartikeyasingha.

"Hm, ada apa?"

"Aku mengidam, rasanya ingin sekali merasakan buah yang segar dengan sedikit rasa manis dan rasa asam yang mendominasi. Aku ingin buah kecapi, Kanda." Shima mengutarakan keinginan yang tiba-tiba terlintas di benaknya.

"Kalau begitu tunggulah, aku akan meminta Jaka untuk mencarikan buah kecapi untukmu, Dinda."

Shima menggeleng cepat, dia lalu beranjak dari tempatnya. "Tidak, Kanda. Aku tidak ingin Jaka yang mencarinya, aku ingin mencari buahnya sendiri lalu memetiknya langsung dari pohon, dan kemudian memakannya." Shima terlihat begitu antusias saat membayangkan betapa segar buah kecapi saat masuk kedalam mulutnya.

Kartikeyasingha awalnya keberatan karena alasan keselamatan Shima. Namun, Shima berhasil membujuk sang suami dan di sinilah akhirnya Shima beserta Jaka dan para punggawa di sebuah desa mencari pohon buah kecapi, demi menuntaskan ngidamnya.

Dari Kalingga, rombongan berjalan kaki menuju ke arah barat. Setengah hari berjalan Ratu Shima belum juga menemukan buah yang diidamkannya itu. Beberapa desa pun sudah dilewati, tetapi hasil pencariannya itu masih nihil.

Saat tiba di suatu wilayah yang banyak ditumbuhi pohon rembulung, Shima beserta punggawa beristirahat.

Setelah rasa lelah hilang, rombongan kembali melanjutkan perjalanan ke arah selatan. Baru berjalan beberapa waktu, para punggawa berteriak, “Kecapi ... kecapi! Kecapi!" berulang ulang.

"Pangapunten, Tuanku permaisuri, kami sudah menemukan sejumlah pohon kecapai yang tengah berbuah lebat. Tempatnya tidak jauh lagi dari sini, di sana," ungkap Jaka memberitahukan letak pohon kecapi yang berhasil mereka temukan saat tuannya tengah beristirahat.

Tanpa ragu lagi, Shima segera rutun dari tandunya. Matanya membulat sempurna saat melihat pepohonan yang rimbun dan banyak buahnya. Shima bergegas memetik buah kecapi yang diidamkannya itu.

"Enak sekali buahnya, terasa segar di mulut," gumam Shima.

Setelah itu Shima kembali lagi ke istana bersama para punggawa. 9 Bulan sudah dilewati Shima, hari ini setelah perjuangan panjang, antara hidup dan mati, akhirnya seorang putri cantik lahir. Sesuai dengan yang sudah dibicarakan bersama dengan sang suami, akhirnya putri cantik yang merupakan anak pertama mereka diberi nama Parwati.

***

Wanita itu mendekap tubuh mungil bayinya dengan haru, dia daratkan kecupan demi kecupan pada pipi yang begitu bulat dengan rona buah persik yang kentara di sepasang pipi kecilnya. Setiap gerakan yang dilakukan makhluk mungil itu berhasil membuat senyum terbit pada wajah-wajah yang melihatnya.

Wanita itu baru saja membelai rambut-rambut halus yang tumbuh di atas kepala sang putri kecil yang begitu jelita parasnya, bagai pinang di belah dua dengan sang ibunda. Wanita terhormat yang telah mempertaruhkan nyawa demi si kecil terlahir. Tangisnya yang begitu kuat memecahkan rasa cenat-cenut yang sudah lama dirasakan oleh setiap orang di sana, begitupun dengan sang pria bermahkota yang pecah tangisnya karena sang bayi cantik.

"Selamat datang ke dunia ini Putri kecilku, Parwati," ungkap Kartikeyasingha terlihat menyeka butiran bening yang membasahi pipinya hari itu.

"Aku seorang ibu ...."

Sekali lagi tangan wanita itu membelai pucuk kepala putri kecil Parwati, dari kepala turun pada dagunya yang juga mungil. Dengan gemas Shima mengetuk dua kali kedua pipi, hidung dan terakhir dagu si kecil.

Terima kasih karena kehadiran dirimu telah membuatku menjadi seorang ibu, juga suamiku sebagai seorang ayah ...
Kehadiran dirimu begitu berarti, Nak.



_____________
Oleh sebab itulah, wilayah di sebelah selatan Desa Bulungan itu kini dinamakan Desa Kecapi.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro