Bab 16 | Ketahuan
"Biar saya bantu obati lukanya, Tuan," ucap gadis yang baru saja menyajikan makanan di atas meja tamunya.
Pria rupawan berhidung mancung, dengan rambut yang diikat habis ke atas, khas para petarung, bisa jadi dia adalah seorang prajurit atau pengawal dari salah satu saudagar di Kalingga. Pakaian pria itu begitu sederhana dengan setelan kain berwarna gelap baik bagian atas maupun celananya. Pakaian tanpa lengan yang jelas mencetak betapa kekar tubuh pria itu.
"Tidak usah, terima kasih, kau mungkin masih dibutuhkan oleh orang tuamu, Nak," ucap pria itu.
Tepat, baru sedetik pria itu selesai berucap, suara wanita pemilik tempat itu berteriak meminta gadis itu ke dapur. "Maaf, sepertinya Tuan, benar. Saya harus ke dapur," ucap gadis itu seraya membungkuk sebentar sebagai tanda hormatnya kepada pelanggan.
"Aku bisa membantumu membalut luka itu kalau Tuan tidak keberatan." Suara lembut wanita cantik di seberangnya menawarkan bantuan.
"Terima kasih atas tawarannya, Nyai. Tapi kalau Nyai membantu saya yang hanya seorang prajurit ini, bisa-bisa orang di sini salah paham."
"Ah, Tuan tenang saja, mereka tidak akan menjadi burung yang berkicau saat melihat seseorang membantu orang lain yang sedang kesusahan, Tuan." Wanita itu menatap sambil lalu sekeliling mereka yang terlihat sibuk dengan hidangan nikmat di mejanya masing-masing.
"Ah, Nyai benar, mereka terlalu lelah untuk berkicau setelah bekerja, sementara perut mereka menuntut agar mendapatkan haknya, betul?"
Wanita yang menjadi lawan bicaranya tersenyum.
"Boleh saya merepotkan, Nyai?" tanyanya.
Sekali lagi seulas senyum menghias wajah cantik wanita itu, dia lalu berkata, "Tentu saja," ucapnya.
"Permisi, Tuan," ucap wanita itu saat tangannya dengan cekatan mengambil kain untuk membalut luka, dan mengikatnya setelah dia berikan ramuan obat di atas luka itu.
"Apa ada sesuatu di wajah saya?"
"Ya?" Pria itu membatu saat dirinya terpergok sedang menatapnya lamat-lamat.
"Apa ada sesuatu di wajah saya?" Sekali lagi kalimat itu meluncur dari mulut wanita yang kini sudah kembali duduk pada posisinya semula.
Pria itu secara refleks menggeleng cepat. Tentu saja tidak ada yang salah dengan wajah cantik itu.
"Lalu kenapa Tuan terus saja memerhatikan saya?" Matanya memicing curiga kepada pria itu.
"Ma-maaf kalau saya sudah tidak sopan, Nyai. Saya hanya ... entah kenapa Nyai begitu cantik," puji pria itu yang segera berbalas sebuah tamparan keras dari lawan bicaranya.
Buru-buru wanita itu pergi ke tempat pemilik rumah makan, dan memberikan sejumlah keping emas untuk membayar dua hidangan yang telah ia pesan.
"Nyai, ini terlalu banyak," ucap gadis yang menerima kepingan emas itu.
"Ambil saja, untukmu. Terima kasih sudah memberikan ubi dan wedang yang membuatku teringat kampung halamanku," ujar wanita itu tulus, tangannya menyentuh pipi dengan banyak noda asap sisa pembakaran dari tungku. Dalam satu kali usap dia menghilangkan jejak noda hitam itu.
"Jadilah anak yang baik, Nduk," tambahnya dengan sebuah senyuman.
Air mata mengalir dari mata sayu gadis itu, dia lalu mengangguk mantap. "Tentu saja, Nyai, terima kasih." Sekali lagi gadis itu berkata.
Langkah wanita itu begitu terburu-buru meninggalkan tempat makan, berusaha untuk menghindar dari pria lancang yang menurutnya sudah tidak sopan kepada Ibu dari Negeri Kalingga.
Bukan salah dia sepenuhnya, dia tidak tahu siapa aku. Tapi tetap saja itu tidak sopan. Batin wanita itu.
"Nyai, tunggu!"
Wanita itu abai, langkahnya terus melaju sementara pandangannya lurus tidak berniat melihat ke belakang walau hanya sedetik. Namun langkahnya tiba-tiba saja melemah, saat mendengar suara kesakitan dari arah belakangnya.
"Anda tidak apa-apa, Tuan?" Dia berbalik dan menghampiri pria yang sedang memegangi luka di kakinya.
Oh gawat, lukanya berdarah lagi!
"Anda masih bisa berjalan?"
Yang ditanya menggeleng pelan. Tentu saja dia berdusta, dia masih sehat, bahkan untuk berlari. Namun, pria itu tidak ingin wanita yang entah sejak kapan telah menawan hatinya itu pergi begitu saja. Dia ingin lebih lama bersama, setidaknya dengan menjadi pria terluka seperti sekarang, dia berhasil mendapatkan perhatian dari wanita itu lagi.
"Sepertinya lukaku berdarah lagi, Nyai," ucap pria itu menatap meminta iba.
"Iya, lukamu sepertinya terbuka karena dipaksa berjalan cepat untuk mengejarku?"
"Ma-maaf, Nyai. Maaf karena telah lancang memuji keindahan wajah ...."
"Tidak apa-apa, sudah tidak usah dibahas lagi." Sergah wanita itu cepat.
"Aku akan membantumu berjalan. Aku akan kembali mengantarmu ke dalam rumah makan itu," tambahnya.
Pria itu hanya dapat mengangguk pelan. "Terima kasih, Nyai karena sudah menolongku, dan maaf karena selalu membuatmu repot."
"Tidak apa-apa, Tuan. Saling membantu bukanlah hal yang merepotkan sama sekali, tapi itu sudah menjadi kewajiban kita." Wanita itu meminta izin memapah tubuh pria itu.
Harum.
Satu kata itu terpatri pada otaknya saat angin samar-samar menaburkan wangi rempah-rempah khas dari tubuh wanita cantik yang sedang berusaha membantunya berjalan mencapai tempat makan yang tadi.
Lembut.
Satu kata lagi lolos dari benaknya saat kulitnya bersentuhan dengan kulit mulus wanita itu.
Apa aku bisa memilikimu, Ratu?
"Tuan," panggil wanita itu.
"Ya?"
"Kalau kau terus menatapku seperti itu aku tidak akan segan menjatuhkan mu." Wanita itu begitu tegas mengatakan sembari terus melangkah tanpa menatap wajah pria di sampingnya.
"Tuan," sapa wanita itu kepada salah satu pengunjung yang terlihat mengenakan baju prajurit di tempat makan yang tadi sempat ia kunjungi.
Pria itu nampak membelalakkan matanya, sekilas menatap pria yang sedang dipapah, sebelum akhirnya berkata, "I-iya, Ny-Nyai, ada apa?" ucap pria itu gagap.
"Begini, bisa tolong bantu Tuan ini, dia terluka." Shima meminta bantuan pengunjung tersebut, melihat sekilas pada orang yang sedang coba ia bantu.
"Tuan ini terluka, saya tidak tahu harus mengantarnya kemana. Sementara saya harus kembali ke rumah," jelas wanita itu seraya melihat beberapa kawanan burung melayang di atas kepalanya, jelas matahari sudah mulai lelah dengan tugasnya menyinari bumi, serta lampu minyak di depan rumah dan toko sudah terlihat menyala.
"Oh, te-tentu saja, Ny-Nyai." Sekali lagi pria itu tergagap.
"Terima kasih," ucap wanita itu seraya melepaskan diri dan membiarkan pria itu beralih tangan dari dirinya.
"Saya hanya bisa menolongmu sampai sini, Tuan. Cepatlah minta agar lukamu diobati. Saya pergi dulu," tandasnya seraya beranjak dari sana.
"Tunggu!" Tangan pria itu berhasil menggapai tangan wanita itu. Lalu, dalam satu kali hentak, tubuh mungilnya sudah berada dalam dekapan sang pria.
Mata wanita itu meleber dengan alisnya terangkat, bersamaan dengan itu wajahnya memerah, otot-ototnya tegang, kedua tangannya terkepal erat. Sekuat tenaga dia mendorong dada bidang pria di hadapannya, dengan napas yang memburu, dia berkata, "Apa yang Anda lakukan sudah sangat keterlaluan, Tuan!"
Matanya menyipit, menatap dengan tajam ke arah pria asing yang membuat tangannya sekali lagi melayang dan mendarat tajam pada pipi kiri pria itu.
"Maafkan aku, Ratu," kata pria itu cepat.
Wanita itu menatap dengan tatapan tidak percaya, bibirnya menukik tajam, dia lalu mendengkus kasar. "Siapa kau?" tanya wanita itu tidak sabaran, kedua tangannya masih terkepal, berusaha untuk tidak mendaratkan pukulan tajam ke arah pria kurang ajar itu.
"Tenang dulu, Ratu. Tolong jangan marah," ucap pria itu berusaha mengikis jarak dengan wanita yang tadi dia sebut sebagai Ratu.
"Aku tanya sekali lagi, siapa kau?" selidik wanita itu.
Perlahan-lahan langkahnya semakin mundur, menjauh, tapi sayang, langkahnya berhenti saat punggungnya mengenai dinding sebuah bangunan toko yang sudah tutup.
"Jangan takut, Ratu ... Tenang dulu, aku hanya ingin lebih mengenal dirimu, Ratu," ungkap pria itu akhirnya mengutarakan maksud hatinya. Tangannya bergerak cepat dan menyentuh selendang yang menjadi pemanis penampilan wanita pujaannya itu.
"Apa yang kau lakukan! Lancang!" Kepalan tangan wanita itu mendarat tepat di perut sang pria.
"Enyah, kau dari tanahku. Kalingga tidak bisa menerima seorang pria yang tidak menghormati wanita sepertimu!" desis wanita itu dengan jari telunjuk tepat di depan wajah lawan bicaranya.
Segera dia berlari dan masuk ke dalam kerumunan, wanita itu ingin menghilangkan jejaknya, berbaur bersama dengan rakyat di pasar.
"Maaf, maafkan aku, Ratu. Aku tidak bermaksud menakutimu!"
Kau bodoh, Jayanasa, kau sudah membuat Ratu membencimu. Selamat.
Ucap pria itu dalam hati, dia lalu meninju dinding di hadapannya.
"Kita kembali ke Sunda," ucapnya kepada pria yang sejak tadi mengikutinya dari kejauhan.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro