Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB 10 | Narayana yang Malang

"A-ampun ibunda, ini tidak seperti yang semua orang kira, Bu." Narayana berusaha untuk menjelaskan bahwa dirinya tidak bersalah. Dia bahkan tidak mengambil sekeping emas pun, dia hanya tidak sengaja tersandung kantong berisi pundi-pundi emas itu, dan terjatuh. Dia lalu memungut kembali setiap keping yang terjatuh ke tempatnya semula. Narayana baru saja selesai menjelaskan kepada Shima dan para maha menteri yang hadir.

"Ba-bagai mana ini, Jaka. Sepertinya kita salah sangka kepada pangeran Narayana," ucap Satrio, salah satu punggawa yang mendampingi Narayana.

"Kalau begitu kita harus mengaku kepada Yang Mulia Ratu, kalau memang apa yang dikatakan Pangeran Narayana benar adanya," bisik Jaka, berusaha untuk tetap tenang.

"Lebih baik dihitung saja bukan? Kalau memang ada kepingan emas yang bilang, maka jelas Pangeran Narayana bersalah, Yang Mulia Ratu," usul seorang dari maha menteri.

Shima mengembuskan napas kasar. Rasanya sakit di kepalanya terus bertambah, entah kenapa Shima takut saat membayangkan putranya yang masih sangat muda itu harus ia jatuhi hukuman. Biar bagaimanapun, jika Narayana bersalah maka hukuman itu harus Narayana terima. Rasa sesak menjalar di dadanya, membayangkan bagaimana putranya sendiri harus dia eksekusi. Kedua telapak tangan Shima terkepal, menahan luapan emosi serta ketakutan pada dirinya.

Apakah ... apakah aku harus kehilangan dirimu, Nak?

Shima berucap dalam diam, kedua manik biji kopi miliknya bergetar saat menatap wajah tampan putranya. Mata cokelat Narayana mengerjap, sementara butiran bening terus saja mengalir dari sana. Bibirnya terus menerus mengiba, memanggil nama Shima.

"I-ibu ... percayalah kepada Narayana, Bu ...." Kalimat itu lagi-lagi lolos dari mulut kecil Narayana. Tubuh kecilnya gemetar hebat.

Melihat ibunya yang berpaling muka, Narayana semakin banjir air mata. Dia lalu mengelap kedua pipi tembemnya yang basah, dia tahu, ibunya adalah seorang ratu yang harus memberikan contoh kepada rakyat, dan menegakkan keadilan sebagaimana mestinya. Namun, Narayana hanya ingin ibunya percaya perkataannya.

"Hitunglah, Jaka," titah Shima setelah dia berbicara dengan urusan dari Timur Tengah yang mengaku sebagai pemilik dari emas itu. Dia berkata, dia diberikan perintah oleh Kaisar Ta-Shih untuk menaruh kantung berisi emas itu di alun-alun kota.

"Tenanglah, adik. Kakak percaya padamu, Kakak yakin kamu tidak akan mengambil barang yang bukan milikmu. Kakak tahu, sebab itu adalah hal yang selalu diajarkan kepada kita oleh ibunda." Parwati menggenggam tangan Narayana.

Tangan kecil Narayana basah penuh keringat. Parwati mengusap punggung adiknya, dia lalu berkata, "Kakak tahu kamu takut, tapi yakinlah kamu tidak akan apa-apa karena kamu tidak salah, Dik," ungkap Parwati tanpa melepaskan genggamannya.

"Te-terima kasih, Kak Parwati ... terima kasih sudah percaya kepadaku," ungkap Narayana mengusap sisa air mata yang membasahi pipi tembemnya.

"Kakak bisa percaya padaku, tapi kenapa ibunda tidak begitu, Kak?" lirih Narayana.

"Hus! Jangan bicara begitu, Dik .... Kakak tahu kalau ibu pasti akan melakukan yang terbaik, percayalah," bisik Parwati yang sejak tadi memilih berada di samping Narayana.

Narayana mengangguk sebagai jawaban.

Setelah dihitung ternyata kurang satu keping emas, dan berdasarkan hukum yang berlaku di Kalingga, dengan berat hati Shima menjatuhi hukuman mati untuk Narayana.

"Aku, Ratu Kalingga, hukum yang aku tegakkan akan selalu tajam ke atas juga ke bawah, aku tidak akan pandang bulu kepada setiap orang di Kalingga yang melakukan kesalahan, termasuk mengambil hak yang bukan miliknya, itu adalah sebuah kejahatan berat dan ...." Shima menelan salivanya, rasanya begitu berat untuk melanjutkan kalimatnya. Keringat dingin mulai mengalir dari tubuhnya.
Kedua matanya beradu tatap dengan manik cokelat Narayana, putranya, darah dagingnya. Namun, seperti yang ia katakan, dia akan tetap menjatuhkan hukuman kepada Narayana.

Air mata jatuh dengan deras dari kedua mata cokelat Narayana. Kedua kaki Parwati seolah dilolosi tulang-belulangnya, gadis belia itu lemas bukan main, dia tahu betul kalimat apa yang akan diucapkan oleh ibunya. Segera Parwati mendekap tubuh Narayana dengan erat, air matanya membuncah tak tertahankan melihat wajah mungil adiknya.

Sang Hyang Widhi, tolong ... Narayana, adikku ... aku yakin dia tidak bersalah. Parwati berkata dalam hati, sambil terus menenggelamkan tubuh kecil Narayana dalam dekapannya.

"Bagaimana mungkin koin emas itu kurang?" ucap Narayana pelan.

Hari itu, tanpa bisa berkata-kata lagi, Narayana dinyatakan bersalah, dengan bukti kurangnya satu keping emas dari kantong itu. Ratu Shima menjatuhi hukuman mati, tetapi tiba-tiba utusan dari Timur Tengah itu tidak tega melihat Narayana yang terduduk pasrah menunggu hukumannya.

"Apakah, Yang Mulia Ratu yakin akan menghukum putra mahkota Kalingga dengan hukuman mati?" tanya urusan dari Timur Tengah.

"Itu sudah menjadi keputusanku, Tuan. Aku sebagai ibunya, minta maaf atas nama putraku, Narayana. Maaf karena dia telah lancang dengan emas milik rajamu. Tolong sampaikan permintaan maaf dariku kepada Kaisar Ta-Shih," ungkap Shima sambil menahan air matanya agar tidak jatuh.

Anda jelas sedang menahan rasa sakit sebagai seorang ibu, Yang Mulia Ratu. Namun, anda tetap tegas sebagai ibu dari negerimu, Kalingga. Ucap utusan dari Timur Tengah tersebut.

"Mohon maaf, aku akan mengganti kepingan emas yang sudah hilang," tambah Shima, wajahnya yang cantik terlihat begitu tegas, pembawaannya anggun dan secara bersamaan auranya sebagai seorang ratu terpancar saat sebuah bulan sabit terbit dengan indah di wajahnya.

"Tanpa mengurangi rasa hormat dariku, apakah bisa kita bicara sebentar, Yang Mulia Ratu?" tanya utusan dari Timur Tengah.

"Tentu saja, Tuan, silakan," ucap Shima.

Saat itu orang yang mengaku sebagai utusan dari Timur Tengah mengungkapkan penyamarannya, pria itu ternyata adalah Kaisar Ta-Shih yang sengaja menyamar untuk menguji seberapa adil seorang Ratu Shima yang namanya sampai ia dengar dari kerajaannya di Timur Tengah.

"Aku minta maaf sudah melakukan hal ini, Yang Mulia Ratu," ucap Kaisar Ta-Shih.

"Tidak apa-apa, Yang Mulia, aku pun minta maaf atas ketidak nyamanan yang sudah anda lihat di Kalingga, terlebih itu dilakukan oleh putra mahkota," sesal Shima.

Setelah mengetahui kebenaran dari Kaisar Ta-Shih akhirnya para maha menteri meminta keringanan hukuman untuk putra mahkota Kalingga, agar Pangeran Narayana diberikan hukuman yang lebih ringan. Akhirnya, dengan pertimbangan dari Kaisar Ta-Shih dan para maha menteri, Shima memutuskan hukuman potong kaki untuk Narayana.

"Aku akan meringankan hukuman untukmu, putraku," ucap Shima setelah terdiam beberapa saat.

"Kau tidak akan dihukum mati, tapi, kau akan tetap dijatuhi hukuman karena sudah menyentuh barang yang bukan milikmu," tambah Shima dengan suara lantangnya.

"Seluruh rakyatku, jadikanlah hal ini sebagai pembelajaran, agar tidak ada lagi yang mengambil hak orang lain, tidak ada lagi yang melakukan kejahatan apapun, sebab setiap kejahatan harus diadili sebagaimana mestinya. Dan ... hukuman ini berlaku untuk semua lapisan rakyat di Kerajaan Kalingga ini." Suara Shima terdengar lantang dan menggelegar di seluruh penjuru Kalingga.

Rakyat bersorak mengagungkan nama sang Ratu Kalingga.

"Hidup Yang Mulia Ratu Shima!"

"Hidup Dewi bumi Kalingga!"

"Hidup Yang Mulia Ratu Shima!"

"HIDUP!"

Setelah hari itu, Parwati meminta tolong kepada Jaka untuk mencari kepingan emas yang mungkin masih berada di dekat alun-alun kota. Setelah beberapa hari mencari, Jaka menemukan koin emas yang hilang. Namun sayang, nasi sudah menjadi bubur, Narayana sudah mendapatkan hukuman potong kaki.

"Setidaknya, namamu sebagai pencuri hak orang lain bersih, Dik," ungkap Parwati seraya mendekap erat tubuh adiknya.

Hati Shima seolah tercabik-cabik, dia merasa telah menjadi ibu yang gagal, dia bahkan telah berlaku tidak adil terhadap Narayana. Dia ingat saat mulutnya dengan mudah mengatakan hukuman mati untuk putranya. "Maaf ... maafkan ibu, Nak ... maafkan ibu, Narayana," ungkap Shima dengan perasaan bersalah, dia memeluk tubuh kedua anaknya.

Tangisnya pecah, dia meraung sejadi-jadinya, menumpahkan betapa menyesal dirinya sudah bertindak gegabah. Dia percaya pada putranya, tetapi saat tahu kalau koin emas itu kurang, mau tidak mau Shima memberikan hukuman kepada putranya itu.

"Tidak apa-apa, Ibu. Sungguh tidak apa-apa ...." Tangan kecil Narayana menangkup wajah ayu ibundanya, dengan hati-hati jari-jari kecilnya mengusap lembut menghilangkan jejak air mata di pipi ibunya.

"Bukankah ibunda sudah berjanji kepada ayah, kalau ibunda tidak akan menangis lagi?"

Perkataan itulah yang Narayana dengar saat Shima berjanji untuk tidak menangis setelah kematian raja terdahulu, di kamarnya beberapa waktu lalu. Narayana tahu, sebab malam itu, dia masih terjaga, dia hanya memejamkan matanya menikmati setiap kasih sayang yang ibundanya curahkan.

***

Kanda ... Ada kalanya aku tidak nyaman dengan topeng yang kupakai dengan jubah sang Maharani ....
Kadang, topeng yang aku kenakan ini membuatku sulit bernapas, hanya senyum dan ketegaran yang harus selalu diperlihatkannya .... Jujur saja, itu sulit, Kanda
Sebab, aku hanya seorang diri, tanganku hanya dua, begitu juga kakiku ... terkadang aku merasa kerikil pun begitu tajam hingga tapak kakiku penuh darah
Namun, lagi-lagi topeng yang kupakai seolah olah menginterupsi diri ku ini, Kanda.
Katanya, "kau ini sang Maharani, kau bukan lagi Shima putri resi
Kau ini sang Maharani, kau bukan hanya istri dan ibu anak-anak mu
Lebih dari itu semua, kau adalah sang Maharani."
Begitu katanya, Kanda ....
Kanda, aku hanya wanita biasa, insan Sang Hyang Tunggal yang sama-sama bisa lelah, dan kadang aku hanya bingung ingin mencurahkan lelahku pada siapa?
Tapi, Kanda harus tahu, kalau aku baik-baik saja, aku istrimu sampai kapanpun akan begitu ... dan istrimu ini akan terus melangkah di atas tajamnya kerikil, dan duri pada mawar merah indah sekalipun.


Wanita itu mengembuskan napas kasar, ekor matanya beralih dari kertas di atas meja kerjanya kepada lukisan raja terdahulu. Bibirnya melengkung, ada rasa sedih yang sekali lagi membuatnya merasa bersalah.

Setiap kali aku berucap, jauh sebelum kalimat-kalimat itu terlontar dari mulutku, pikiranku sudah lebih jauh mengelana, bahkan tidak jarang tanya-tanya bermunculan di kepala dan sering kali berakhir gamang ... entahlah, rasanya seperti simalakama, Kanda.
Pada akhirnya aku akan dengan congkaknya berkata semua hal yang terjadi adalah yang terbaik.
Tapi, lagi-lagi tanda tanya itu kembali menghardik isi kepalaku, "Benarkah?"
Entahlah.
Aku hanya bisa menangkupkan kedua tangan, dan menempatkan diri sebagai hamba,
Lalu sekali itu aku lihat wajah yang terpantul pada cermin, aku tertawa ... Dirinya begitu lucu, setiap gerakannya seperti boneka wayang. Dan ... dia adalah aku .... 

🪻

"Aku akan datang lagi saat puja, Kanda." Wanita itu menyudahi tarian jemarinya pada kertas putih yang kini sudah terisi dengan goresan tinta.

Dia merenggangkan otot tubuh dan memutuskan untuk segera tidur, sambil berdoa untuk hari esok yang baik. 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro