BAB 1 | Bersama Hujan yang Jatuh
"Idak usah menangis, idak usah bedesau, Mak ... budak ni kuat, dia akan baik-baik saja*1)," ucap seorang gadis berkulit kuning langsat dengan hidung mancung, sorot mata tajam dan rambut panjang sampai pinggang yang ia biarkan terurai. Dia baru saja membaluri kaki seorang anak dengan menggunakan bayam berduri yang sudah dia haluskan terlebih dahulu.
Wanita yang terlihat seumuran dengan ibunya itu mengangguk, dia mengusap jejak air mata yang membasahi pipinya yang terlihat sudah penuh keriput. Wanita itu mengusap pucuk kepala putranya yang terbaring lemas, sesekali mengipasi saat bulir-bulir keringat muncul di permukaan kulit putranya, sesekali dia juga mengusap lembut dengan kain menghilangkan keringat di sana.
"Lekas pulih, nak ... Mak tahu kamu kuat," ucapnya, lalu mendaratkan sebuah kecupan pada kening putranya yang masih belum sadarkan diri setelah tergigit ular.
"Nak, Shima ... sini, nak," panggil seorang wanita dengan tangan penuh warna dari hasil meramu tumbuh-tumbuhan obat.
"Iyo, emèk, sedenget *2)" Gadis bernama Shima itu segera melenggang menuju sang ibu.
"Ada apa?" tanya gadis itu pada ibunya.
"Ini, nak ... nanti, tolong kamu berikan ini untuk diminumkan ke budak kecik tu*3) agar dia segera pulih." Ibu memberikannya segelas ramuan herbal untuk memulihkan tenaga yang harus Shima berikan kepada anak laki-laki yang beberapa menit sebelumnya datang digendong oleh ayahnya, sementara sang ibu meraung-raung ketakutan di belakang suaminya. Mereka begitu panik saat melihat putranya tergeletak tepat di depan mata mereka setelah tergigit ular berbisa saat ikut mengambil buah-buahan di hutan.
Shima mengangguk sebagai jawaban. Gadis itu menyerahkan gelas yang terbuat dari tempurung kelapa kepada ibu anak yang sedang mendapatkan perawatan itu. "Nanti saat putra Ibu sudah siuman, tolong minumkan ini untuknya, ya, Bu," ucapnya ramah.
Ibu itu mengangguk mengerti, dia lalu berkata, "Terima kasih, nak."
"Bagaimana keadaan putranya, Bu?" tanya seorang pria mengenakan pakaian putih tradisional tanpa alas kaki memasuki ruangan pengobatan di rumah tersebut.
Ibu dengan pakaian lusuh itu segera menangkupkan kedua tangannya, seraya tertunduk. "Salam, Resi, seperti yang Resi lihat, putraku masih belum siuman, tapi tadi sudah diobati oleh nak Shima," ucapnya.
"Tunggu saja dulu, Bu, kalau sudah diberi ramuan obat, putra Ibu akan membaik, hanya butuh sedikit waktu." Pria dengan rambut sedikit ikal sebahu dengan warna putih yang nyaris mendominasi itu menghampiri wanita yang sedang bersimpuh di hadapannya, dia lalu menepuk sambil lalu pundaknya. "Kembalilah pada putramu," tambahnya.
"Baik, Resi," sahut wanita itu lalu kembali duduk di dekat anaknya yang masih terpejam.
Sura, seorang resi yang menyebarkan ajaran agama Hindu di Desa Melayu Sribuja. Dia berjalan menuju bilik samping, tepat di sebelah ruang pengobatan. Sura melihat istri dan putrinya yang sedang menyiapkan hidangan santap malam. Langkahnya tidak berhenti, dia menghampiri istrinya yang tengah menyiapkan air hangat untuknya.
"Tidak biasanya abah pulang sebelum bintang di atas sana bertebaran," ucap Sadayu pada suaminya.
Sura merebahkan diri pada salah satu kursi kayu yang tampak sudah reyot. Shima menghampiri bapaknya, dia lalu memberikan pijatan-pijatan di pundak bapaknya. Memijat pundak dan kedua tangan bapak seperti sudah menjadi rutinitas yang Shima lakukan setiap kali bapaknya pulang dari kuil dan menyampaikan ajaran kitab suci kepada masyarakat setempat.
Sura menerima gelas berisi air dengan aroma wedang jahe bercampur serai yang menyeruak memenuhi indera penciumannya. Sura menengguknya perlahan, membiarkan tubuhnya merasakan hangat dari air wedang dengan rasa gula aren yang pas dilidahnya. "Wedang buatanmu kenapa rasanya selalu enak?" Sura bertanya sembari menyimpan gelas di atas meja, dia lalu mengelus punggung tangan yang sudah mulai banyak keriput milik istrinya.
"Itu karena emèk membuatnya dengan cinta, abah," sahut Shima. Detik berikutnya derai tawa renyah memenuhi ruangan.
Bersama dengan semburat jingga yang mulai menghilang di atas sana, awan kelabu dengan bunyi gemuruh menumpahkan airnya, perlahan-lahan daun-daun, pepohonan, bunga, serta semua yang ada di Melayu Sribuja menjadi basah.
***
Prabu Kirathasingha menyesap tehnya sambil memikirkan permintaan istrinya yang ingin segera memiliki seorang menantu sebelum dia melakukan wanaprasa. Matanya melirik saat seseorang baru saja mengetuk pintu ruang kerjanya.
"Ayahanda, apakah, ayahanda ada di dalam?"
"Masuk, Nak," sahut Prabu Kirathasingha mempersilakan tamunya untuk masuk.
Seorang pemuda dengan perawakan gagah, berwajah tampan mengenakan mantel dari sutra, sepatu dari kulit, dan rambut sebahunya disanggul dengan sebagian yang diurai, memakai kerincing emas, lengkap dengan hiasan emas yang melekat pada leher dan juga kedua lengannya yang kekar, membuat pemuda yang baru saja memasuki ruang kerja raja di Kerajaan Kalingga itu tampak sempurna.
"Salam, ayahanda," ucap pemuda itu sembari sedikit membungkukan tubuh jangkungnya.
"Salam. Duduklah, Nak ... ayah ingin berbicara denganmu."
Tanpa diminta dua kali, pemuda itu menuruti ucapan ayahnya, duduk pada salah satu kursi dengan bahan kayu jati yang diukir sedemikian rupa cantik. Prabu Kirathasingha menghela napas sebelum mulai berbicara dengan putranya. "Apakah kau sudah membaca surat dari ibumu, Nak?" tanyanya membuka pembicaraan.
Pemuda di hadapan Prabu Kirathasingha terlihat terdiam beberapa saat. Pemuda itu teringat surat yang belum lama ini datang dari Kerajaan Melayu Sribuja, surat yang berisi tulisan tangan sang ibunda, surat yang berisi permintaan kepadanya untuk segera melangsungkan pernikahan. "Sudah, ayahanda, aku sudah membacanya." Akhirnya pemuda itu berkata.
"Baguslah." Prabu Kirathasingha beranjak dari duduknya, dia menghampiri putranya yang terlihat murung. "Ada apa, Nak?" tanyanya seraya mengusap punggung putranya dengan sayang.
Pemuda itu menggeleng cepat, dia lalu berkata, "Tidak ada, ayahanda."
"Kartikeyasingha, tidak apa-apa, kamu boleh cerita kepada ayah."
Pemuda tampan yang merupakan pangeran dari kerajaan yang terletak di daerah Jawa Tengah itu berusaha mengukir sebuah senyuman untuk meyakinkan sang ayah kalau tidak ada hal yang perlu dirisaukan. "Aku hanya sedikit merasa lelah setelah berburu tadi," dustanya.
"Istirahatlah, nak."
"Baik, ayahanda, terima kasih. Ayahanda juga, istirahatlah."
Langkah Kartikeyasingha seolah terasa berat meskipun sudah sekuat tenaga ia curahkan untuk segera tiba di kamarnya. Setelah mencapai gagang pintu, dia segera membuka dan menghamburkan diri ke dalam kamar. Langkahnya berlanjut sampai di balkon kamar yang menghadap pada taman yang terbentang luas. Pandangannya menjelajah melihat betapa megah istana ayahnya. Jujur saja, Kartikeyasingha merasa kesal dengan permintaan sang ibu yang secara tiba-tiba memintanya untuk menikah. Di sisi lain dia belum yakin harus menjadi seorang suami, di sisi lain rasa takut menyusup di dadanya. Dia takut kalau nanti hubungannya dengan wanita yang entah siapa, yang dipilihkan oleh sang ibu tidak akan cocok dengannya.
Dalam benaknya, bermunculan tanya, bagaimana jika dia dan pendamping hidupnya itu harus mengarungi hari-hari mereka tanpa adanya cinta? Sementara ketakutan terbesarnya saat dalam surat, ibunya berkata ingin melakukan wanaprasta. Pikirannya tiba-tiba pendek saat membaca kata itu. Dia tahu kalau setiap yang hidup pada akhirnya akan mati saat Sang Hyang Widhi mengambilnya. Namun, Kartikeyasingha hanya tidak siap jika harus kehilangan ibunya dalam waktu dekat. Mengingat, sudah nyaris satu tahun ibunya pergi meninggalkan Kalingga dan memilih untuk kembali ke tanah kelahirannya di Melayu Sribuja.
"Aku rindu, ibu," ungkapnya pada langit yang sedang ditelan gelap pekat disertai derasnya hujan yang turun membasahi bumi Kalingga.
==========
Idak usah menangis, idak usah bedesau, Mak ... budak ni kuat, dia akan baik-baik saja*1): Tidak usah menangis, tidak usah cemas, Bu ... anakmu ini kuat, dia akan baik-baik saja.
Iyo, emèk, sedenget *2): Iya, Ibu, sebentar.
Budak kecik tu *3): Anak kecil itu
==========
Halooo ... aku update nih. Mau curhat sedikit ya, aku deg-degan saat mau update BAB 1 ini. Mohon maaf kalau banyak kekurangan ya. Semoga terhibur. ❤️
Mohon dukungannya teman-teman semua, bantu vote cerita aku. 🙏🙏
Terima kasih banyak banyak, LOVE sekeboooon! 🥰🥰🥰
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro