Yang Tak Pernah Selesai
"Lebur! Leburlah kamu bersama angin. Hilang! Hilanglah dan jangan pernah engkau nampak sekilaspun."
Aku tak pernah menyangka kumpulan kata-kata yang muncul di beranda facebook itu adalah sebuah pesan terakhir. Entah ditujukan kepada siapa, yang pasti dia tidak bisa dihubungi setelah itu. Email, DM, SMS, meski bertanda telah dibaca tapi tak pernah berbalas. Telepon pun selalu berakhir dengan bunyi tut tut tut yang menyebalkan. Aku tak tahu apa kesalahan yang telah aku perbuat. Kepergiannya yang tiba-tiba menyisakan sebuah rasa yang tak pernah selesai antara aku dan dia. Bagai anak ayam kehilangan induk, aku panik dan kebingungan, kesana kemari mencari jawaban. Akhirnya aku menyerah dan, jika bisa, ingin lebur saja bersama angin seperti perintahnya.
Udara dingin selepas hujan merasuk ngilu. Sesekali angin kencang menggoyahkan rimbun pepohonan bambu tepat di belakang kamarku. Sembari menyeruput susu jahe instan yang dibeli Eka di minimarket tadi sore, aku mencoba menelaah, lebih tepatnya menenangkan diri dari kegundahan luar biasa yang menyerbu. Dulu saat kami berhenti di jalanan, menikmati aroma aspal di tengah malam dan berpura-pura menjadi ilmuwan, dia pernah bilang jika otak akan menyimpan semua kejadian yang telah dialami. Ingatan itu mengambang-ngambang di dalam sana dan kadang-kadang muncul ke permukaan, yang kita sebut sebagai kenangan. Tapi kali ini bukan hanya dalam otak kecilku, bukan pula dalam hati rapuhku. Namanya tersebut lagi. Sosoknya muncul lagi.
"Apa kabar, Penyekat Senja?" Sebuah pesan singkat dari nomor tak dikenal bergambar seseorang memegang gendang muncul di layar.
Ya Semesta ! Cuaca macam apa ini?! Hujan yang telah berhenti tiba-tiba datang lagi. Mengancam, tak berperasaan, seolah hendak turun selamanya. Rasa ngeri, gelisah, dan kenangan terkandung dalam senandung mereka yang gemuruh dan suram. Bayangan mata coklat yang berbinar menyergap. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Perlukah membalas pesan atau cukup abaikan? Bertahun-tahun aku bersusah payah berusaha menghentikan tanya yang terus menghantui, kini setelah aku mencapai titik dan membuka lembar baru, dia seenaknya datang mengobrak-abrik tatanan yang telah rapi tersimpan. Meski harus jujur aku akui saat-saat seperti ini memang kadang terbesit dan terselip dalam doa.
"Aku tadi ke kantormu dan bertemu Anya. Kamu sedang cuti katanya jadi aku meminta nomormu. Bisakah kita bertemu? Sebentar saja." Getaran ponsel membuyarkan lamunan.
"Ada apa?" jawabku singkat setelah sang setan di kepala menang dalam pertimbangan.
"Arsitektur hujan* mencari pemiliknya."
Oh itu, buku yang mengandung lebih banyak kenangan dari yang bisa aku ingat. Seringnya kami berdebat antara suka dan tak suka, bagus dan tak bagus, tapi puisi memang soal selera. Dia membawanya pulang, dan katanya akan dikembalikan jika dia telah selesai memaknainya.
Setelah beberapa lama aku hanya bergeming, dia mengirim satu pesan lagi, "Aku tunggu kamu di tempat biasa."
"Ya."
Mungkin saja ini keputusan yang tidak tepat. Bagaimana jika rasa itu masih ada di dalam sana? Terkubur naluri manusiawi untuk bertahan hidup. Tapi hanya dengan cara ini semua tanya akan bertemu tanda jawabnya.
Itu dia. Tubuh tinggi semampai menggontai menuju tempat duduk dimana kami sering menghabiskan waktu bersantai. Aku sudah sampai dari tadi dan menunggu di toko seberang jalan. Tahun berlalu, tapi kebiasaan melekat. Dia masih saja datang terlambat dan aku datang terlalu cepat. Dulu aku tak pernah keberatan, tapi hari ini harga diriku akan terluka jika dia tahu aku tak berubah.
Dia muncul sebagai orang yang sama yang dulu membuatku bergetar, tersenyum bahagia hanya dengan melihat punggungnya. Layar tertancap, nostalgia memainkan perannya. Aku bertemu dengannya pertama kali ketika aku dan seorang teman berkeliling kampus untuk membunuh jenuh. Dia menyapa temanku dengan gaya bicara yang menyenangkan tapi menyiratkan keangkuhan. Aku diam, mendengarkan, dan jatuh cinta. Dia sama sekali tidak memperhatikanku yang sudah hanyut dalam khayalan memilikinya. Temanku itu pun tak mengenalkan aku dengannya, tapi hari-hari setelah itu kita jadi sering bertemu. Apakah saat itu aku yang dengan sengaja membuntutimu? Ataukah memang takdir yang bekerja untuk kami berdua?
. Dia mengajakku ke tempat latihan teaternya, menggandeng tanganku, membuat para perempuan melirik sirik dan bertanya-tanya siapa aku. Nonton bola, minum kopi, berdiam diri mendengarkan gemericik air di pinggir kali. Jika diingat lagi tidak ada yang istimewa, kurasa rasa cinta-lah yang membuat hal kecil menjadi luar biasa. Dia membuatkan aku puisi yang melelehkan hati. Dia tunjukkan hatinya yang baik, dan kesedihan dalam bait-bait. Aku adalah Penyekat Senja, dan aku sangat menyukai nama yang dia berikan itu. Sedangkan dia adalah sang Pembidik angin-ku yang gagah. Dia terlihat begitu sempurna saat menabuh gendang mengiringi para artis mengasah peran.
"Terbidik angin dan aku lebur menjadi apapun."
Ketika melihat dia lagi setelah sekian lama, tiba-tiba aku menyadari satu hal. Rasa sakit kehilangan membuatku merasa lebih hidup selama ini. Aku mencintai saat-saat aku merindukannya dan aku tidak ingin kehilangan rasa itu. Alasan kenapa dulu ia pergi tanpa permisi sudah tidak penting lagi. Aku tak ingin selesai urusan dengannya jadi aku urungkan niatku untuk menemuinya dan hanya mengamati, menunggu dia habis kesabaran. Satu jam berlalu, ternyata hanya segitu kemampuannya menungguku. Dia beranjak pergi. Ponselku bergetar.
"Aku mengerti jika kamu tidak ingin lagi menemuiku. Aku titipkan Malna* di kasir jika nanti kamu ada waktu untuk mengambilnya. Selamat tinggal, Senja."
Beberapa bulir mengalir tanpa bisa aku larang. Dengan maupun tanpa ucapan selamat tinggal, perpisahan tetaplah perpisahan, menyakitkan. Setelah dia pergi, aku mendatangi kasir untuk mengambil milikku. Mungkin saja dia ingin melanjutkan hidup tanpa satupun barang yang bisa mengingatkan dia tentang aku. Mungkinkah selama ini dia juga mengingatku seperti aku mengingat dia? Ataukah dia hanya tanpa sengaja menemukan kembali buku ini dan ingin segera menyingkirkannya? Aku membuka beberapa lembar dan kutemukan sebuah pesan.
"Senja,
Ada urusan yang tertunda
Sesuatu yang tak pernah selesai antara kita
Hingga seringkali
Halaman kertas kosong yang dulu kita tinggali
Menuliskan ceritanya sendiri."
Aku pulang dengan langkah ringan. Mandi, mematut diri. memakai gaun baru berwarna merah tua hadiah dari Eka. Aku lihat dia dengan sabar duduk menungguku di teras. Malam ini kami akan makan diluar untuk merayakan tahun kedua pernikahan.
***
Catatan :
*Arsitektur Hujan : Buku puisi karangan Afrizal Malna
*Malna : Afrizal Malna, Sastrawan, Penulis buku Arsitektur Hujan
published at wattpad @LudiraLazuardi 18/12/2021
terbit di antologi cerpen Semanis Cinta 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro