Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26. Markas

Sabtu pagi, pintu paviliun tempat Juna tinggal sudah digedor-gedor. Juna yang baru saja keluar dari kamar mandi termangu sebentar. Apa itu mamanya Raihan? Perasaan baru kemarin dia datang ke paviliun untuk mengisi kulkasnya. Kenapa sekarang datang lagi?

Juna terheran-heran. Kalau didengar-dengar, ketukan itu beda dari biasanya. Mama Raihan biasa mengetuk pintu sambil memanggil namanya. Ini tanpa panggilan, tetapi ketukannya keras sekali. Seperti rentenir yang mau menagih utang.
Juna bergegas menuju pintu sambil menggosok rambutnya yang basah menggunakan handuk. Ketika pintu terbuka, dia melongo sendiri. Di hadapannya ada Raihan, Meysha, dan Rania yang sedang kompak memasang senyum lebar.

Sedetik kemudian, Juna membanting pintu sampai tertutup. Tak lupa dia kunci juga. Gedoran terdengar lagi. Kali ini disertai teriakan pula. Juna buru-buru membereskan barang-barang yang berserakan di sofa. Ada buku, kemeja, jaket, celana. Astaga! Juna kerepotan sendiri membawa barang-barang itu ke kamarnya. Dia jatuhkan begitu saja di tempat tidur, lalu keluar dan pergi ke depan. Namun, dia kembali lagi karena lupa mengunci pintu kamar. Setelah kunci kamar aman di saku celana pendek selututnya, Juna baru membukakan pintu untuk teman-teman.

"Kamu apa-apaan, sih? Kirain kami gak boleh masuk." Meysha langsung mengomel.

"M-maaf. Ada sedikit masalah di dalam."

"Masalah apa?" Raihan melongok ke dalam. "Kamu menyembunyikan sesuatu?"

"E-enggak."

Kedua bola mata Raihan membeliak. Mulutnya ditutupi kedua tangan, lalu berkata pelan-pelan. "Kamu ... sedang menonton video—"

"Hei!"

Raihan terkesiap mendengar teriakan Juna, sementara Meysha dan Rania bergidik jijik.

"Aku gak kayak gitu!" tegas Juna.

"Iya, iya." Meysha tergelak, diikuti Rania.

Raihan memimpin dua cewek itu menerobos masuk. Meysha dan Rania celingukan sambil melongo, sementara Raihan langsung melompat ke sofa dan menyalakan televisi.

"Kalian mau apa ke sini?" Juna masih heran dengan kedatangan mereka.

"Kami, kan, udah janji mau ke sini," jawab Meysha.

Juna mengangkat alis. "Kapan?"

"Kamu gak baca chat grup?"

Juna garuk-garuk tengkuk. "Chat kalian terlalu banyak. Aku malas baca."

"Tapi ...," kata Juna lagi, " ... mau ... apa?"

"Raihan bilang kamu udah nyiapin markasnya. Wah, jadi ini tempatnya?" kata Meysha.

Juna termangu. Tatapannya tertumbuk pada Raihan yang tiduran di sofa sambil menonton televisi, tidak terlihat merasa bersalah sama sekali.

"Kalian bahkan udah punya markas. Kalian memang udah merencanakan ini dengan matang," ujar Rania.

Juna menarik napas hendak menjawab, tetapi tidak jadi. Dia hanya bisa mendengkus pada akhirnya.
Meysha menaruh sesuatu di atas meja setelah berkeliling melihat-lihat seisi rumah. Raihan buru-buru menyambarnya.

"Apa ini?" kata Raihan.

"Ayam goreng dari kedai ibuku."

"Kamu yang bikin?"

"Aku cuma bantu goreng."

Rania dan Meysha ikut bergabung bersama Raihan di sofa. Juna mengikutinya. Dia baru menyadari sesuatu setelah memandang mereka bergantian.

"Calla mana?" tanya Juna.

Ketiga temannya yang sedang menyantap ayam kompak menoleh, lalu mereka bertukar pandang.

"Calla ... sepertinya masih marah sama kita. Dia juga gak kelihatan nimbrung di grup." Meysha menjawab, terlihat sedih.

"Kemarin?"

"Kemarin dia gak masuk."

Juna menghela napas. Dia kira, semua sudah membaik setelah kedatangannya ke rumah Calla satu hari yang lalu. Kemarin, hari pertama dirinya diskors. Jadi, Juna tidak tahu keadaan Calla bagaimana. Dia juga tidak berkabar dengan gadis itu karena berniat memberinya ruang untuk sendiri.

"Apa dia sakit?" tanya Juna.

"Katanya, sih." Raihan menyahut.

"Dan kalian gak mau memastikan?"

"Udah coba dihubungi, tapi ya ... gitu."

Juna membuang napas. Dia pergi ke kamar mengambil ponselnya dan menelepon Calla.

"Calla?" Juna berujar setelah Calla terdengar menjawab teleponnya.

"Iya, Jun. Kenapa?"

"Kamu gak ikut teman-teman ke sini?"

"Ke sini? Mereka ke mana?"

"Ke rumahku."

"Aku gak tahu mereka mau ke sana."

"Kamu gak baca chat grup juga?"

"Aku baru pegang handphone lagi."

"Katanya kemarin kamu gak sekolah. Kamu sakit?"

"Iya, sedikit. Cuma demam."

"Sekarang?"

"Udah mendingan."

"Mau ... ke sini gak?"

"Heh? A-aku tanya Bunda dulu, deh. Aku diomeli gara-gara sakit sehabis keluyuran pulang sekolah. Disangka ngapain aja di luar sana."

Juna terkekeh. "Oh, ya? Wah, harusnya Irgy tanggung jawab, dong."

"Eh, kenapa bawa-bawa Irgy?"

Juna merengut. "Kenapa gak boleh? Dia yang antar kamu pas hari sudah mau gelap. Kamu pasti masuk angin."

"Tapi, kan, bukan gara-gara dia."

"Kenapa kamu belain dia?"

"Bukannya belain dia. Kamu kenapa, sih?"

Juna terdiam, gelagapan menjawab. "Y-ya ... a-aku juga sama kayak bunda kamu. Kalau kamu pulang-pulang langsung sakit ... ya ... aku khawatir."

Hening. Calla tidak terdengar menyahuti lagi. Juna sampai melihat ponselnya, memastikan telepon masih tersambung.

"Calla, kamu masih di sana?" tanya Juna.

"Heh? I-iya. A-aku mau tanya Bunda dulu. Udah dulu, ya."

"Kamu tahu alamatnya, kan?"

"Tahulah! Walaupun kamu gak pernah bolehin aku main ke sana. Tumben banget sekarang ngajakin."

Calla menutup telepon sebelum Juna sempat bicara lagi. Juna akhirnya kembali ke ruang tengah sambil membawa ponselnya.

"Kamu telepon Calla?" tanya Raihan.
Juna menjawab dengan anggukan.

"Dia mau ke sini?" tanyanya lagi.

"Mau tanya bundanya dulu."

"Heleh, dia emang kayak gitu. Apa-apa harus izin sama bundanya."

Ponsel Juna berdenting setelah dia duduk. Satu pesan masuk. Dari Calla.

Aku ke sana sekarang.

Juna tersenyum tipis, lalu mengetik balasan, "Mau aku jemput?"

Juna terkesiap sendiri setelah pesannya terkirim. Mau dijemput pakai apa? Juna, kan, belum punya SIM. Masa pakai sepeda?

Juna menggigit kuku jempolnya, gelisah. Bagaimana kalau Calla benar-benar mau dijemput? Apa Juna minta bantuan Mang Dadang—sopir pribadi dirinya dan Raihan—untuk menjemput Calla? Juna geleng-geleng. Aneh sekali dia tiba-tiba meminta diantar Mang Dadang, padahal selama ini cuma Raihan yang menggunakan jasanya. Atau pesan taksi online saja?
Ponsel berdenting lagi. Balasan dari Calla.

Aku udah jalan sama Pak Ruslan.
Juna menyemburkan napas, menyandarkan punggung di sofa, sementara kakinya selonjoran di karpet.

"Calla jadi mau ke sini?" tanya Meysha.
Juna menoleh. "Iya. Lagi di jalan."

"Wah, dia langsung berubah pikiran kalau kamu yang ngomong."

"B-bukan begitu, kok. Kemarin dia cuma salah paham. Aku udah coba jelaskan ke dia. Sekarang hatinya udah baikan."

Meysha manggut-manggut, lalu menutup kotak ayam gorengnya. "Jangan dimakan lagi. Buat Calla," katanya.

"Aku baru makan satu." Raihan mengacungkan tulang ayam.

"Aku juga." Rania menyahuti.

"Iya, tahu." Meysha mengangguk. "Makanya jangan makan lagi. Tungguin Calla dulu."

"Itu, kan, satu kotak masih utuh," kata Raihan.

Meysha berdecak sambil memelotot. Raihan buru-buru melengos.

Beberapa saat berlalu. Juna mendapat pesan lagi.

Aku di depan.

Juna buru-buru mengetik balasan, "Tungguin."

Juna bergegas keluar dari paviliun, setengah berlari. Dia melihat Calla sedang celingukan di halaman depan. Juna termangu sebentar. Gadis itu mengucir rambut panjangnya seperti biasa. Anak-anak rambutnya tidak terikat dengan rapi, dibiarkan tergerai menutupi sebagian dahi dan pelipisnya. Penampilan yang sangat biasa, sebenarnya. Namun sekarang, Juna melihatnya agak berbeda.

Juna terkesiap ketika Calla melambaikan tangan padanya sambil tersenyum. Desiran aneh yang tiba-tiba datang membuat Juna membuang muka. Dia menghela napas dalam-dalam sebelum menghadapi Calla dengan matanya. Gadis itu berlari kecil ke arahnya.

"Aku terlambat?" tanya Calla.

Juna menggeleng sambil tersenyum. "Enggak, kok."

"Kenapa kamu dari sana?" Calla terlihat bingung karena Juna datang bukan dari arah rumah utama.

"Oh, markasnya sebelah sini."

"Markas?"

Juna tertegun. Sepertinya Calla juga tidak tahu-menahu mengenai hal itu. "Ikut aja," kata Juna.

Teman-teman yang sudah datang kompak berdiri setelah Juna membuka pintu. Calla bersembunyi di balik punggung Juna. Juna tersenyum tipis. Sepertinya gadis itu masih merasa canggung. Juna menarik tangannya menuju sofa.

"H-hai, teman-teman!" Calla melambaikan tangannya kaku.

"Calla ...." Meysha langsung menghambur memeluk Calla. Juna yang masih belum melepaskannya terksiap sendiri saat Calla menarik tangan untuk membalas pelukan Meysha.

"Calla, maaf, ya," ujar Meysha.

"Enggak. Aku yang minta maaf."

"Enggak. Harusnya aku yang minta maaf."

"Tapi harusnya aku yang minta maaf."
Setelah itu, mereka menangis bersama sambil berpelukan. Juna dan kedua teman yang lain saling bertukar pandang. Raihan menghampiri mereka dan memisahkan keduanya.

"Sudah, sudah. Kalian mau bikin paduan suara nangis?" omel Raihan.

Calla menarik ingus dan mengusap pipinya yang basah. Dia digeret oleh Raihan dan didudukkan di sofa.

"Daripada nangis, mending makan ayam," kata Raihan.

"Ini ayam goreng dari kedai Ibu. Aku bawa buat promosi. Nanti kalian beli, ya," sahut Meysha sambil ikut duduk.

"Ngomong-ngomong, kamu jual ini dua singgit?" tanya Raihan menunjukkan ayamnya pada Meysha.

Calla memukul punggung Raihan yang duduk di sampingnya. "Kamu pikir dia Mail?"

Juna tertawa sampai semua orang menoleh padanya. Dia berdeham. Buru-buru mengambil sepotong ayam, lalu memakannya sambil membuang muka.

"Barusan kamu ketawa? Ini pertama kalinya aku lihat kamu ketawa beneran," kata Meysha. "Dan kamu ngetawain aku? Wah, aku merasa terhormat dan terluka sekaligus."

Raihan tergelak.

"A-aku ambil minum dulu." Juna beranjak dari duduknya, buru-buru kabur ke dapur.

Setelah menghabiskan ayamnya cepat-cepat, Juna mengambil beberapa gelas dan mengaturnya di atas nampan. Seseorang datang mengalihkan perhatiannya. Calla.

"Wah, tempat apa ini? Ini, sih, kayak rumah beneran," ujar Calla sambil berkeliling dan berhenti di depan kulkas yang kemudian dibukanya.

"Aku tinggal di sini."

"Oh? Sama Raihan?"

Juna tersenyum tipis dan menggeleng.

"Ah, begitu." Calla meringis sambil menutup kembali kulkasnya.

"Aku gak pernah izinin kamu main ke sini karena ... takut ketahuan kalau aku memisahkan diri."

Calla tertegun, lalu tertawa kikuk. "Udahlah, Jun. Gak usah dibahas lagi."

Juna tersenyum, Calla membuang muka. Calla mundur selangkah ketika Juna menghampirinya.

"Wajah kamu masih merah. Kamu masih demam?" tanya Juna.

"Heh? I-iya ... kadang-kadang masih suka datang tiba-tiba." Calla menjawab sambil tertawa tidak jelas, lalu menyambar nampan dan pergi lebih dulu.

Juna termangu sebentar, lalu menyusulnya sambil membawa teko kaca. Tiba di ruang tengah, Juna tertegun melihat mama Raihan sedang ada di sana. Dia menoleh pada Juna sambil tersenyum.

"Kata Raihan mau ada tamu, jadi Mama bawakan buah," katanya sambil menujuk piring besar berisi macam-macam buah yang sudah dipotong.

"Di kulkas masih banyak, kok."

"Enggak apa-apa. Nanti kalau kurang, baru keluarkan yang di kulkas."

Juna mengangguk kaku. Mama Raihan pamitan pergi. Juna menaruh tekonya di atas meja dan duduk di karpet lagi.

"Ngomong-ngomong, apa ada perkembangan dari ruang kepala sekolah?" tanya Raihan.

"Belum ada. Aku pikir papanya Irgy akan datang ke sana," jawab Juna.

Raihan membuang napas. "Sepertinya dia akan sangat berhati-hati."

"Sebenarnya aku mau menaruh satu lagi alat penyadap di tas Irgy, tapi uangnya ...." Juna meringis. "Aku berniat mengawasi papanya di luar semasa skorsing."

"Apa enggak bahaya?"

"Iya, Jun. Hati-hati." Calla menimbrung. "Aku gak sengaja dengar Irgy bicara sama papanya. Dia marah-marah, menyuruh papanya mengurus semua seperti biasa. Aku gak mau buruk sangka, sih. Tapi kalau situasinya begini, ya, aku langsung kepikiran kalian." Calla memandang Juna dan Raihan bergantian.

Juna termangu memandang Calla. Apa karena itu Calla membuntuti Irgy?

_______________

Anonymous Code, winaalda©2020

All Right Reserved

27 November 2020

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro