10. Siapa Dia?
Langit kota Bandung pagi ini tampak mendung. Angin dingin mulai terasa berembus. Meysha melangkahkan kakinya tergesa-gesa, takut hujan keburu turun. Namun, dia terpaksa harus berhenti karena menemukan sesuatu yang aneh. Beberapa meter dari tempatnya berpijak, Raihan terlihat sedang bengong menatap ke suatu tempat. Meysha mengikuti arah pandangan cowok itu. Dia mengerutkan dahinya keheranan, karena yang dilihat Raihan adalah dua cowok yang sedang mengobrol. Bukan cowok yang kemarin di kelas. Meysha tidak mengenalnya kali ini.
Langkah Meysha kini berbelok menuju Raihan. Dia berdeham, Raihan menoleh.
"Kamu lihat apa?" tanya Meysha.
"Ada yang harus aku awasi."
Meysha mengerutkan dahi lagi. "Siapa? Anak itu?" Meysha menunjuk ke arah dua orang yang ditatap Raihan sejak tadi.
"Memangnya mereka siapa? Kandidat pelakunya?" tanya Meysha lagi.
"Bukan."
"Lalu?"
Alih-alih menjawab, Raihan mendesah dan pergi dari sana. Meysha menatapnya dan juga dua anak cowok itu bergantian.
"Apa, sih? Kenapa dia gak mau bilang?" gumam Meysha.
Meysha akhirnya pergi memasuki gedung sekolah. Dia celingukan dan tidak menemukan Raihan di mana pun. Entah anak itu berbelok ke mana. Masa bodoh. Meysha pergi ke kelas saja. Dia melepas tas dan menaruhnya di meja. Duduk di kursi, lalu mengeluarkan buku-buku. Meysha biasa belajar setiap punya kesempatan. Namun, kali ini konsentrasinya tidak bisa diandalkan. Raihan mengganggu pikirannya.
"Kenapa Raihan mengawasi anak-anak itu?" gumam Meysha sambil memainkan bolpoinnya.
Sejurus kemudian, Meysha menggeleng sambil menghela napas. Dia kembali mengalihkan perhatian pada bukunya, tetapi deretan huruf yang dibaca tidak ada yang masuk ke kepala. Malah teringat dengan perkataan Calla yang bilang kalau si pelaku dan Anonim adalah orang yang sama.
"Enggak. Aku yakin mereka orang yang berbeda. Kode yang diberikannya aja beda. Satu pakai kode pramuka, satunya lagi enggak." Meysha bicara sendiri.
Kepala Meysha kemudian memutar ingatan tentang ucapan Juna pada Raihan yang menyuruhnya agar membuat si pelaku segera menyerahkan diri. Lalu, apa maksud jawaban Raihan?
"Sepertinya memang mereka berdua. Satu berperan sebagai Anonim, satu lagi pelakunya," ujar Meysha. "Tapi siapa yang Anonim, dan siapa yang pelaku?"
Meysha menatap ke luar jendela sambil menerawang, mengingat-ingat perkataan seseorang di toilet tempo hari. Kalau benar Juna pelakunya, dia punya motif yang kuat untuk melakukan pemberontakan. Bisa saja Juna tidak terima posisinya diambil karena kecurangan.
"Tapi kalau Juna pelakunya, kenapa dia malah mengajukan diri untuk menangkapnya?" Meysha menggaruk dagu, teringat ketika pertama kali mereka terjebak dalam masalah. Junalah yang paling semangat ingin menangkap pelakunya.
Meysha berpikir lagi. Bagaimana kalau sekarang posisinya dibalik? Raihan menjadi pelaku, dan Juna anonimnya.
"Mungkin aja Raihan yang tahu tentang skandal itu dan membuat kekacauan. Lalu, Juna kesal karena harus ikut terseret ke dalam masalah. Makanya dia mau menangkap Raihan." Meysha menghela napas. "Yang ini juga gak kalah masuk akal."
Meysha meregangkan kedua tangan dan lehernya. "Oke. Sekarang awasi saja dulu mereka berdua," katanya pada diri sendiri.
"Siapa yang mau kamu awasi?"
"Astaga naga!" Meysha terlonjak di tempat duduknya sambil memegang dada. Jantungnya serasa menerobos keluar. "Kamu hobi ngagetin orang, ya?"
"Jangan mengalihkan topik." Raihan berdiri di hadapan Meysha. "Siapa yang mau kamu awasi?"
"Eng ... a-aku ... m-mau mengawasi ... anak-anak tadi. Yang kamu awasi juga."
Raihan manggut-manggut. "Baguslah. Kalau kamu menemukan sesuatu, jangan lupa lapor aku."
"Tapi ... apa yang harus aku awasi dari mereka?"
Raihan membuang napas sambil geleng-geleng. "Terus? Kenapa kamu mau mengawasi mereka kalau gak punya tujuan?"
"A-aku cuma penasaran ... karena kamu mengawasi mereka juga."
Raihan terdiam sejenak. "Ya, sudah. Pokoknya laporkan semua yang kamu lihat."
"I-iya." Meysha mengangguk, dan Raihan pergi ke tempat duduknya.
Meysha menyemburkan napas, lalu menoleh lagi pada Raihan. "Apa dia mau menjadikan anak-anak itu sebagai kambing hitam?" gumamnya.
Kedatangan Calla mengalihkan perhatian Meysha. Gadis itu melambaikan tangannya sambil tersenyum. Meysha membalasnya dengan lambaian juga. Calla menaruh tas di meja sebelum akhirnya menghampiri Meysha.
"Kamu selalu belajar bahkan di luar jam pelajaran, ya?" ujar Calla berdiri di samping meja Meysha.
Meysha tersenyum. "Aku cuma bisa belajar di sekolah. Jadi, harus dimanfaatkan dengan baik."
"Memangnya kenapa kalau di rumah?"
Meysha diam sejenak dan tersenyum lagi. "Enggak sempat."
"Kenapa?"
"Y-ya ... pokoknya enggak bisa."
Calla mengangguk meski wajahnya tampak bingung. Meysha buru-buru menunduk menatap bukunya. Namun seseorang keburu membuat kehebohan, hingga kepala Meysha kembali terangkat.
"Guys! Breaking news! Si pemberontak itu menulis sesuatu lagi!" teriak Angga di depan sana.
Sontak semua orang riuh dan berdiri dari tempat duduknya, tak terkecuali Meysha. Angga menggerak-gerakkan tangan mengomando teman-temannya untuk ikut keluar. Meysha meninggalkan buku-bukunya dan berlari mengikuti mereka.
"Itu, kan, kelas Juna," ujar Calla yang berlari di samping Meysha.
"Iyakah?"
Tampak anak-anak bergerombol memenuhi kaca jendela sampai ke pintu. Raihan menerobos kerumunan melalui pintu belakang sehingga Meysha dan Calla bisa ikut masuk ke kelas untuk menyaksikan secara langsung apa yang sedang terjadi. Semua orang sedang memandang ke arah whiteboard yang dihiasi tulisan berwarna merah. Bukan bekas spidol. Lebih terlihat seperti cat semprot. Sama seperti di ruang ekskul pramuka tempo hari.
Mungkin kamu bisa membeli posisi seseorang. Tapi apa kamu bisa membeli takdir seseorang?
Meysha terbelalak melihat tulisan yang lebih kecil di bawahnya. "Anonim? Bagaimana bisa ...." gumamnya.
"A-apa maksudnya itu?" ujar Calla. "Posisi apa yang dibeli?"
Mata Meysha mengedar mencari keberadaan Juna. Dia bisa melihat Juna di samping sebelah kiri. Cowok itu sedang bertopang dagu menatap ke depan. Ekspresinya kelihatan tenang. Meysha jadi kesulitan untuk menebak apa yang ada dalam pikirannya sekarang.
"Wah, dia mulai memberikan ultimatum yang lebih besar," ujar seseorang yang duduk di hadapan Juna.
Pupil Meysha melebar. Dia masih ingat sosok itu. Rambut panjang dengan poni tipis menutupi dahinya. Dia adalah pemilik papan nama Rania Julia.
Rania bangun dari tempat duduknya, lalu menoleh pada orang-orang yang berkerumun. "Kalian tahu apa maksud ucapannya?"
Semua orang hening, hanya saling bertukar pandang.
"Kamu mungkin bisa membeli ranking seseorang, tapi tidak dengan kecerdasannya," kata Rania.
Kelas dipenuhi riuh dengan bisikan-bisikan. Meysha bertukar pandang dengan Calla.
"Kalau orang itu sudah ditakdirkan cerdas, ya, cerdas aja. Keluar dari kelas ini, kamu tetaplah seorang pecundang." Rania melanjutkan.
Riuh kini terdengar lebih keras. Seseorang keluar dari tempat duduknya hingga menimbulkan derit kursi. Suasana kembali hening. Terlihat seorang cowok sedang memandang ke arah Rania. Meysha melebarkan pupilnya lagi. Dari name tag-nya terbaca nama Bayu.
"Bukannya dia cowok yang kamu awasi tadi?" Meysha menoleh pada Raihan.
"Iya," jawab Raihan.
Calla yang juga mendengar perkataan Meysha ikut penasaran. "Dia? Kenapa Raihan mengawasinya?"
Meysha meletakkan telunjuknya di bibir. Calla kembali diam.
"Rania, kenapa kamu meracau seperti ini?" tanya Bayu.
"Kenapa? Kamu tersinggung?"
Bayu mengedarkan pandangan pada kerumunan, lalu tertawa kecil. "Rania, kami tahu kamu kehilangan posisi kamu, tapi enggak usah bicara omong kosong seperti ini."
"Dan kamu enggak perlu menanggapi omong kosongku kalau gak merasa tersinggung."
"Rania, kamu cuma ranking tiga. Kalaupun kamu tergelincir bukan sesuatu yang besar, kan?"
"Benarkah?" Rania keluar dari tempat duduknya. "Lalu bagaimana dengan Juna?"
Cowok itu terdiam. Rania beralih memandang kerumunan.
"Coba aku tanya. Menurut kalian, apa mungkin seseorang yang tadinya tidak terkalahkan bisa keluar dari tiga besar sekaligus hanya dalam satu semester? Nilai sehari-harinya bahkan selalu tertinggi di kelas ini." Perkataan Rania membuat riuh kembali terdengar.
"Rania, sudahlah hentikan. Kenapa kamu ikut-ikutan membuat masalah seperti pemberontak itu? Apa kamu kaki tangannya?"
"Kenapa? Apa kamu takut? Takut karena kamu salah satu pembeli ranking di kelas ini?"
"Rania!" Bayu menghampiri Rania dengan wajah merah padam.
Secepat kilat Juna keluar dari tempat duduk dan menyembunyikan Rania di balik punggungnya. Dia bertatapan sengit dengan cowok itu.
"Apa-apaan ini? Apa kamu pemberontaknya?" Bayu tersenyum sinis. "Wow! Seorang pemberontak dan kaki tangannya kompak sekali, ya?"
"Diamlah, atau kamu akan membongkar kebusukan kamu sendiri tanpa sengaja."
Bayu tertawa meledek. "Harusnya kelakuan kamu yang terbongkar. Pergi dan menyerahkan diri saja daripada melibatkan teman-teman kamu yang gak punya dosa."
Bunyi guntur terdengar menggelegar di antara perdebatan mereka, tetapi tidak lebih mengejutkan dari perkataan Bayu. Meysha menganga dan menoleh pada Calla di sampingnya. Calla menggeleng dan bergumam, "Enggak mungkin."
"Aku ingin sekali menyerahkan diri," ujar Juna. "Sayang sekali bukan aku pelakunya."
"Benarkah? Kalau begitu biar aku yang buktikan kalau kamu adalah pelakunya."
"Silakan saja. Terima kasih sudah membuatku berubah pikiran. Kali ini aku akan ada di pihak pemberontak itu dan mengungkap kebusukan kamu. Bagaimana? Siap bertarung?"
Bayu tidak berkutik lagi. Dia hanya memandang Juna dengan tatapan kesal. Kedua tangannya tampak mengepal.
"Wah, dia memang pandai menyerang dengan kata-kata," ujar Raihan.
Meysha geleng-geleng. "Kata-katanya memang bukan main."
Raihan terkikik. Meysha memandangnya heran. Merasa ditatap, Raihan menoleh. Seketika senyumnya memudar. Dia berdeham sambil melengos.
Suara derit kursi mengalihkan perhatian semua orang. Tampak satu orang cowok lagi yang tidak asing di mata Meysha. Cowok itu menendang kursi dan keluar dari kelas tanpa bicara apa pun.
"Dia juga cowok yang kamu awasi tadi?" tanya Meysha pada Raihan.
"Iya."
"Kenapa kamu mengawasi Irgy juga?" Calla menimbrung.
"Aku rasa kalian akan paham kalau melihat situasi sekarang," jawab Raihan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.
Bayu ikut keluar juga. Sekarang sudah tidak ada tontonan yang menarik. Kerumunan juga membubarkan diri. Rania terlihat sedang bicara pada Juna, tetapi tidak terdengar karena teredam suara orang-orang yang mengobrol sambil mengantre keluar. Juna menepuk lengan Rania sebelum akhirnya keluar melalui pintu depan di samping kanan.
Meysha menarik lengan Calla ketika gadis itu masih bengong memperhatikan Rania. Mereka ikut keluar. Di beranda kelas, Pak Daniel langsung menghambur ke arah mereka. Raihan yang berjalan paling depan menjadi sasaran pertama.
"Ada apa ini? Bapak tidak bisa masuk karena penuh sesak. Cuma bisa lihat papan tulisnya dari jendela," ujar Pak Daniel terdengar buru-buru.
"Ya, seperti yang Bapak lihat. Situasinya mulai memanas." Raihan menjawab enteng seolah tanpa beban.
Pak Daniel membuang napas sambil mondar-mandir. Kemudian, dia berhenti ketika matanya beradu pandang dengan seseorang. Meysha dan teman-temannya ikut menoleh pada orang itu. Meysha tidak mengenalnya, tetapi dia yakin orang itu salah satu guru di sini. Dia pernah melihatnya saat di ruang ekskul juga. Pria itu terlihat tidak nyaman dan memilih pergi ke arah berlawanan dan menjauh dari mereka.
_______________
Anonymous Code, winaalda©2020
All Right Reserved
11 November 2020
Author note:
Hai. Udah sampai sini, gimana menurut kamu? Komen, dong. Heheh
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro