14. Three Wishes
Aku memasukkan cardlock untuk membuka pintu. Ajaib sekali, pintu itu terbuka dengan sendirinya dan membuatku hampir terkena serangan jantung. Keringat dinginku mulai keluar ketika melihat sosok lelaki yang berdiri tegap di hadapanku.
Bian...
"Kau tidak kerja?" tanyaku dengan lidah kelu, mencoba bersikap biasa.
"Umm, begini... Jihyun sakit. Aku takut kalau ia pingsan di jalan. Jadi kami mengantarnya pulang," jelas Risa berusaha menjelaskan keadaan yang sebenarnya.
Bian tersenyum tipis. "Terima kasih, adiknya Yuuki dan sahabatnya Jihyun."
Ia mencengkeram lenganku hingga aku meringis karena terasa nyeri, lalu menarikku masuk ke dalam sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku harap kau tidak menceritakan ini pada siapa pun, terutama kakakmu. Kalian bisa pulang sekarang."
Risa mengangguk dengan cepat. Ia memang keras kepala, tapi ia tidak cukup tega untuk melihatku terjebak dalam masalah yang kali ini memang timbul karena dia dan Lay. Tapi aku khawatir dengan Lay. Wajah pemuda itu terlihat sangat serius. Lay meletakkan barang belanjaanku di lantai. Dengan sorot mata sangat tajam, ia menatap Bian.
"Aku akan pergi hanya setelah kau berjanji tidak akan melakukan hal buruk padanya," ucapnya mengejutkanku.
"Aku tidak akan melakukan hal bodoh seperti itu. Lay, pulanglah," balas Bian tersenyum manis.
"Cepat sembuh, Jihyun. Kami pulang dulu. Permisi," ucap Risa cepat-cepat berpamitan, lalu menarik tangan Lay yang terlihat enggan meninggalkanku berdua dengan Bian. Tapi mau tidak mau, pemuda itu beranjak juga setelah melihat tatapanku yang memohon.
Bian memasukkan belanjaanku ke dalam, sebelum akhirnya ia menutup pintu apartemen, kemudian berbalik melangkah melewatiku begitu saja. Aku masih berdiri mematung dengan dada bergemuruh, sekeras mungkin menyiapkan diriku untuk menghadapi ledakan amarahnya.
Waktu berlalu begitu saja, Bian tidak mengatakan apa-apa. Dia mengambil minuman di lemari pendingin, duduk di sofa, lalu menikmati tiap tegukan air dingin itu sampai tetesan terakhir. Aku berusaha melihat reaksinya dari sudut mataku. Dia terlihat santai, tenang, dan itu membuatku tidak percaya dengan penglihatanku sendiri.
Aku benar-benar merasa sangat bersalah sekaligus takut. Perlahan aku mendekatinya. Tubuhku yang terasa kaku, hanya bisa berdiri diam di sampingnya.
PRANGGG!!!
Selanjutnya, yang aku dengar adalah suara terbanting yang membuat gelas itu hancur berkeping-keping Aku memejamkan mata melihat Bian yang membanting gelas ke lantai. Kepalaku pusing dan perutku masih mual. Dan sekarang, siksaan itu bertambah dengan keadaan yang seperti ini.
Ia bangkit lalu mencengkeram pipiku dengan kuat. Membuatku terjebak dalam perasaan takut, bersalah, sekaligus kesakitan.
Ini sakit, ngilu....
Mataku mulai berair.
Aku sangat takut melihat Bian yang seperti ini. Ia menatapku sangat marah. Matanya dan wajahnya memerah. Ia mengerikan. Sorot mata itu telah kehilangan kepolosan dan kelembutannya. Aku bergidik mendapati kenyataan bahwa ia bisa saja membunuhku saat ini. Demi apa pun, aku berharap bisa memutar ulang waktu agar aku bisa memperbaiki kesalahanku yang tadi, sehingga pria ini tidak menyiksaku. Aku tidak suka melihat wajah marahnya yang mengerikan seperti monster.
"Mungkin bagimu perjanjian ini tidak terlalu penting! Tapi aku pertaruhkan reputasiku untuk ini! Bisakah kau mengerti keadaannya sekarang?!" bentak Bian tepat di depan wajahku.
"Aku salah... maafkan aku...," ucapku susah payah karena tangan Bian masih menghimpit kedua pipiku dengan sangat kuat.
"Kau minta maaf, setelah itu kembali melakukan kesalahan yang sama. Aku berusaha memahami ketika kau mengatakan tentang perjanjian kita pada Lay. Tapi kali ini, kenapa kau tidak memegang janjimu? Jihyun, kau keterlaluan...," desis Bian.
Kemarahan yang terpancar di bola matanya menghujamku hatiku dengan keras. Hatiku ciut melihat ledakan amarahnya. Sungguh, aku menyesal sudah mengikuti akal bulus dua orang tadi. Aku menyesal telah membuat Bian marah. Rasanya aku ingin menangis keras-keras.
Ia melepaskan cengkeramannya pada pipiku. Aku berusaha mengumpulkan keberanianku.
"Kirim saja aku ke daerah terpencil. Mungkin itu lebih membantu," ucapku pelan dengan kepala tertunduk.
"Demi Tuhan, Jihyun! Aku tidak akan melakukan hal itu pada anakku! Bagaimana jika sesuatu terjadi padamu dan bayimu?! Siapa yang akan menjagamu?!"
Nada suara Bian makin meninggi mendengar solusi picisanku. Seketika itu juga aku menyesal telah mengucapkan kalimat yang sama sekali tidak penting dan cenderung memperburuk keadaan.
Pipiku mulai basah. Aku benar-benar menyesal telah melanggar isi perjanjian itu.
"Apa susahnya bagimu untuk menghilang setahun saja? Minah sudah berulang kali mengatakan padamu, kan? Jika ada keperluan, hubungi aku atau Minah. Jangan membuat pengorbananku dan Minah sia-sia karena keteledoranmu," pinta Bian mulai menurunkan nada bicaranya karena melihatku sesenggukan.
Pengorbanan....
Ia selalu saja membicarakan tentang pengorbanannya dan Minah. Lalu bagaimana dengan semua pengorbananku?
Mungkin aku terlihat bukan sedang berkorban. Mungkin ini hanya sekedar transaksi baginya. Andai ia merasakan apa yang terjadi padaku saat ini. Andai saja ia di posisiku, apa ia masih bisa mengungkit soal pengorbanan di depanku? Aku bahkan rela kesehatanku memburuk karena mahluk kecil yang mereka harapkan ini.
Apa mereka pernah memikirkan itu?
Aku mengusap airmataku. Kepalaku yang pusing sejak tadi, semakin menjadi-jadi sakitnya. Pandanganku mulai kabur, hingga akhirnya aku tidak bisa merasakan tubuhku sendiri.
***
Wangi yang sangat lembut membelai indera penciumanku. Aroma parfum ini sudah sangat aku kenal. Si mahluk kecil ini pun sangat menyukai aroma parfum ayahnya.
Perlahan kesadaranku mulai kembali. Mataku terbuka dan berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya di ruang tempatku dirawat. Selang oksigen menempel di hidungku.
"Aku tidak akan bisa memaafkan diriku sendiri jika aku kehilangan anakku untuk ke sekian kalinya, Minah. Tidak akan bisa...."
"Tenanglah. Dia tidak apa-apa."
Aku mendengar percakapan antara Minah dan Bian. Pelan tapi sangat jelas. Ini pertama kalinya aku mendengar Bian begitu sedih dan nyaris putus asa sehingga Minah harus menenangkan pria itu. Aku masih ingin mendengar kelanjutannya, jadi aku diam saja meskipun sudut hatiku terasa menghangat dan meninggalkan perasaan bahagia.
Sayang sekali, tidak ada lagi obrolan setelah itu. Minah justru meninggalkan Bian. Wanita itu sepertinya sibuk sampai tidak melihatku yang sudah sadar. Mungkin ada pasien yang berobat yang membuatnya buru-buru pergi. Bian menoleh dan terkejut melihat mataku yang sudah terbuka.
Tapi ya... begitulah.
Tidak ada hal istimewa yang terjadi. Ia hanya terpekur di samping tempat tidurku. Ia terlihat senang melihatku sadar, tapi seakan menghindari melihat wajahku walau aku menatapnya terus-terusan.
"Kau tidak ingin mengatakan sesuatu?" tanyaku berusaha memecah kebisuan.
"Kau menunggu permintaan maaf dariku?"
"Tidak juga. Aku pingsan bukan karena kau," jawabku datar.
"Lalu kau ingin aku mengatakan apa?"
"Aku hanya bertanya."
"Oh."
Percakapan tidak berkualitas itu terhenti. Kebisuan kembali menguasaiku dan Bian. Sebenarnya aku sangat berharap ia mengatakan kekhawatirannya tadi langsung padaku. Aku senang mendengarnya tadi sebelum ia menyadari aku telah siuman. Walaupun aku sepenuhnya sadar jika kekhawatiran itu bukan untukku, tapi untuk bayinya.
Aku menyentuh lengannya.
"Aku ingin keluar dari rumah sakit hari ini. Bisa, kan?" tanyaku berharap.
"Tidak. Kau masih sakit."
"Ini hanya sakit biasa. Aku sudah baikan," tampikku cepat.
"Sakit biasa tapi sampai pingsan," sahutnya sarkastik.
"Aku mohon. Aku tidak tahan lama-lama di sini. Baunya membuatku semakin pusing. Bisa-bisa aku tambah sakit," pintaku memelas.
Bian menarik napas panjang. "Aku tanya Minah dulu."
Setelah meninggalkanku beberapa saat, ia kembali bersama seorang dokter wanita yang tersenyum manis padaku. Aku membalas senyumannya, berusaha meninggalkan kesan baik agar aku diperbolehkan pulang.
"Minah masih sibuk. Ini Dokter Yesha. Dokter, dia mau pulang sekarang," ucap Bian sambil menunjukku dengan kaku.
Dokter Yesha menanggapi dengan ramah.
"Kau boleh pulang. Tapi ingat, jangan terlalu lelah. Asupan makananmu juga harus bergizi seimbang agar tubuhmu cukup kuat selama kehamilan. Yang paling penting, jangan stres. Suamimu harus mendengar ini agar membantumu melewati kehamilan dengan baik," tutur dokter itu panjang lebar.
"Suaminya sedang di luar negeri dan menitipkannya padaku. Jadi aku dan Minah yang sekarang menjaganya," sahut Bian cepat.
Aku tersenyum kecut mendengarnya.
Di luar negeri kepalamu! Aku menahan umpatanku dalam hati.
"Maaf merepotkan. Terima kasih, Dokter. Aku janji akan lebih menjaga kesehatanku."
Senyuman dokter bernama Yesha itu mengembang. Dengan cekatan, tangannya melepaskan selang oksigen yang menempel di hidungku. Setelah menunggu sampai urusan administrasi selesai, akhirnya aku melenggang pergi dari salah satu tempat yang paling kubenci di dunia ini.
Di dalam mobil, aku menyandarkan kepala dan punggungku di jok. Sementara Bian mulai menyalakan mesin mobil, dan mulai menjalankannya setelah beberapa saat.
"Emm... Bian." Aku memanggilnya dengan ragu.
"Ya?"
"Aku minta maaf untuk yang tadi. Lay dan Risa sudah terlanjur mengetahui tempat tinggalku. Apa itu tidak apa-apa?"
"Untuk yang tadi aku maafkan. Tapi berikutnya, aku mohon dengan sangat agar kau menjaga rahasia tentang perjanjian kita. Jangan sampai dua orang itu datang lagi. Apalagi melihatmu hamil. Aku benar-benar berharap kita bisa bekerja sama dengan baik."
Lembut tapi tegas dan membuatku tidak berkutik. Bola mataku memandangnya yang tengah fokus mengemudi. Aku pun bangkit dari dudukku untuk menghadiahi sebuah kecupan ringan di pipinya.
"Terima kasih," ucapku lembut dengan satu senyuman.
Wajah pria itu tampak sedikit terkejut menerima kecupan dariku. Ia berdehem pelan, lalu menjilati bibirnya untuk mengurangi gugup. Itu membuat ingatanku terlempar ke masa pertama kali aku bertemu dengannya di kelab malam. Dia terlihat kikuk dan gugup seperti orang pemalu yang lembut. Itu adalah sisi lain darinya yang kebetulan keluar justru di saat pertama kali aku bertemu dengannya.
Ah, manis sekali.
Aku tersenyum sendirian seperti orang gila karena mengingat itu.
"Apa yang kau pikirkan?" selidik Bian sempat melirikku sekilas.
"Kau."
"Aku? Memangnya aku kenapa?"
"Tidak. Aku hanya iri melihat hubungan kau dan Minah. Aku agak merasa bersalah karena mengganggu kedekatan kalian. Maksudku, kalian jadi jauh karena aku sering memintamu menemaniku. Aku jadi merasa kalau aku ini pengganggu."
Aku bohong. Bukan itu yang sedang kupikirkan. Aku hanya tidak mau menyulut perdebatan baru dengan mengatakan kalau ia terlihat gugup. Egonya yang melebihi tinggi Namsan Tower itu pasti akan mencuat.
"Tidak usah dipikirkan. Emmm... kenapa kau masih sendiri?" tanya Bian.
"Siapa bilang aku sendiri? Kau lupa kalau sudah menikah denganku?"
"Lupakan soal pernikahan palsu kita. Jawab pertanyaanku. Kau tidak jelek, kau ju--"
"Aku memang cantik," sahutku memotong kalimatnya dengan cepat.
Ia mendengus. "Kau tidak cantik!"
"Kau pria pertama yang mengatakan aku tidak cantik."
"Oh ya? Aku merasa tersanjung." Mataku menyipit. Aku mendekatkan wajahku padanya yang masih fokus di melihat jalan.
"Memangnya kau lupa sudah memujiku waktu itu?" pancingku.
"Waktu itu? Kapan?"
"Waktu itu... di Bali. Kau lupa? Hummm?" godaku sambil mengelus lengannya dengan seduktif.
Nah, sekarang ia kelihatan gugup lagi.
Bohong kalau ia lupa. Tentu saja dia masih ingat bagaimana ia memuji fisikku habis-habisan ketika hormonnya meledak saat itu. Sungguh, aku menyukai kegugupannya. Ia terlihat sangat menggemaskan dan membuatku bertanya-tanya dalam hati: benarkah pria ini berusia 28 tahun?
Ia menepis tanganku dengan cepat.
"Jangan mengalihkan pembicaraan! Jawab pertanyaanku!" ucapnya berusaha menutupi malu.
Aku tersenyum polos. "Aku sudah tidak percaya pada cinta."
"Kenapa?"
"Aku telah melewati masa buruk yang membuatku menjadi Jihyun yang sekarang ini," jawabku masih tersenyum.
"Kau mengalami kejadian buruk, tapi malah tersenyum."
"Lalu kau mau aku menangis meratapi nasib?"
"Tidak. Aku senang melihatmu kuat."
Aku menarik napas panjang menyadari kenyataan yang sebenarnya aku rasakan.
"Aku memang kuat. Tapi sebenarnya tidak sekuat itu, sih. Hanya saja aku berpikir, apa untungnya bagiku menangisi itu? Useless. Air mataku sama sekali tidak akan mengubah apapun," tuturku seraya melihat ke jalanan.
"Itu pemikiran yang bagus. Aku harap, kau bisa mendapatkan lagi kepercayaan itu. Aku tidak tahu apa masalahmu. Tapi jangan pernah berpikir kalau semua pria itu sama saja."
Sontak telingaku tegak mendengarnya. Aku tidak salah dengar, kan?
Aku melihatnya dengan heran. Mungkin pria di sampingku ini telah salah minum obat. Atau bisa jadi dia habis membaca buku "Chicken Soup for Soul'' atau sejenisnya sehingga membuatnya sedikit bijak padaku.
"Kenapa melihatku seperti itu?" Bian melirikku.
"Heran saja melihatmu yang mendadak bijak seperti Bunda Theresa. Semoga kau tidak salah makan."
"Maaf."
Alisku nyaris bertabrakan mendengar kata maaf darinya. Aku tidak tahu ia minta maaf untuk apa.
"Mungkin selama ini aku sudah membuatmu stres atau buruk. Apa pun itu, aku harap kau mau memaafkanku. Jangan buat dirimu merasa tertekan," lanjutnya.
Aku pikir hal seperti ini tidak akan terjadi. Kemarin-kemarin aku merasa harus menunggu Menara Pisa runtuh dulu, baru arogansi pria ini ikutan runtuh. Diam-diam aku tersenyum mendengar pengakuannya.
Ia melanjutkan, "Sebagai ucapan maafku, katakan tiga keinginanmu saat ini. Tapi jangan minta yang aneh-aneh!"
Aku melonjak, semakin tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Tampaknya pria ini benar-benar salah makan atau salah minum obat. Mungkin ia kena suntik dokter atau mabuk karena bau obat di rumah sakit tadi.
Aku menatapnya habis-habisan. Pria itu balas menatapku dengan heran karena sorot mataku yang aneh.
"Kenapa melihatku seperti itu lagi?!" tanyanya risih.
"Aku punya kenalan psikiater. Kau mau ke sana?" tawarku.
Bian membaca arah pertanyaanku. Ia memijat pelipisnya, berusaha menenangkan diri.
"Astaga Jihyun. Aku serius!" sahutnya kesal, tapi tidak berani menaikkan volume suaranya.
"Ini benar-benar Bian Lee, kan?" Aku menyipitkan mata, berusaha memastikan bahwa pria di depanku ini benar-benar Bian Lee, bukannya Mahatma Gandhi atau Bunda Theresa yang sedang menyaru.
"Sekali lagi bertanya, penawaranku hangus," ancamnya kesal melihat tingkahku yang menyebalkan karena mulai menganggapnya kurang waras.
"Eh, jangan! Aku minta maaf!" sahutku cepat-cepat.
"Katakan sekarang."
Aku diam sebentar untuk memastikan aku sanggup mengatakannya. Setelah menarik napas panjang berkali-kali, aku berkata dengan hati-hati....
"Aku mau ke night club."
Aku diam sebentar untuk memastikan aku sanggup mengatakannya. Setelah menarik napas panjang berkali-kali, aku berkata dengan hati-hati....
"Aku mau ke night club."
Seketika mata Bian melotot.
"Apa?! Tidak boleh." Ia menolakku mentah-mentah. Tapi kali ini ia tidak berani meninggikan nada suaranya, takut akan membuatku pingsan lagi. Padahal aku pingsan karena lelah saja, bukan karena dia.
"Honey, kita ke kelab. Sekali saja. Mau, ya?" rayuku sok romantis.
"Jangan memanggilku seperti itu! Aku tidak tahan mendengarnya."
Aku mencebikkan bibir dengan sebal. Dia pikir hanya dia yang tidak tahan? Aku pun ingin muntah mendengar diriku sendiri mengucapkan kata itu.
"Bian, ayolah...." Aku mulai membujuknya lagi.
"Otakmu ketinggalan di mana? Kau habis pingsan, kondisimu sedang buruk, dan kau hamil. Apa perlu aku tulis besar-besar di jidatmu agar kau ingat kalau sedang hamil? Jangan membuatku pusing dengan permintaan konyolmu itu. Memangnya tidak ada permintaan yang lebih wajar?"
"Aku baik-baik saja. Hanya pingsan biasa. Kan aku yang tahu bagaimana rasanya, bukan kau. Kalau aku bilang aku baik, ya berarti aku sehat-sehat saja. Aku hanya ingin ke kelab, bukan mengangkat batu sampai keguguran," sahutku sambil melengos kesal. Aku malas melihat wajahnya.
"Tidak kalau ke night club. Iya kalau ke bar. Kita ke bar saja," ucapnya berusaha menggoyahkan keinginanku.
"Aku mau ke kelab! Aku janji, ini yang terakhir kalinya. Aku juga ingin menemui Lay untuk mengatakan kalau aku baik-baik saja setelah kejadian tadi. Jika tidak melihatku langsung, ia pasti akan terus ke apartemen untuk memastikan semuanya baik-baik saja," tuturku sambil melihat salju yang mulai turun.
Sesaat hening. Aku harap ada keajaiban yang membuatnya berubah pikiran. Satu helaan napas darinya membuat harapanku menguat.
"Hhh! Karena aku sudah terlanjur berjanji ... baiklah. Tapi janji kalau ini benar-benar yang terakhir." Akhirnya Bian menyerah mendengarku mengungkit nama Lay.
"Janji!" sahutku tersenyum senang dengan memberikan gaya v-sign padanya.
"Keinginan kedua?" tanya Bian melanjutkan penawarannya.
Aku kembali diam. Mataku menelusuri tubuhnya, dari rambut sampai kaki.
"Aku mau kau memakai pakaian wanita selama di night club nanti," ucapku sambil tersenyum bodoh.
"APA??!!!"
Tanpa sadar, suaranya meninggi. Dua oktaf kurasa, karena itu sangat mengejutkanku. Aku langsung memegangi kepalaku, berakting seakan sebentar lagi aku akan anfal.
"Aduh, kepalaku pusing. Aku mau pingsan...."
"Iya! Iya! Baik!!!"
Aku yakin Bian sedang menyesali keputusannya yang telah menawarkan tiga permintaan untukku.
***
Kemeja putih polos, black skinny jeans, dan high heels (yang baru saja aku beli sesuai ukuran kakinya) terlihat pas di tubuhnya. Sedikit BB cream, bedak, lipstick merah dan eyeliner hitam semakin menonjolkan kecantikannya yang tersembunyi. Untuk sentuhan akhir, aku memintanya untuk mengenakan wig panjang sepunggung berwarna kecoklatan.
Aku mendandani Bian dengan penampilan simpel. Dengan sepatu berhak tinggi, ia benar-benar kelihatan cantik dan sangat tinggi seperti model wanita kelas atas. Sedangkan aku yang hanya 165 cm terlihat sangat cebol di sampingnya. Aku tidak berani menggunakan hak tinggi selama kehamilan, karena Minah melarangku. Jadi aku bertahan dengan tinggi badanku yang terlihat sangat memprihatinkan bila berjalan bersama Bian saat ini.
Tidak mudah membuatnya mau menurunkan ego untuk ide konyolku. Sekeras apapun kami berdebat, ia kemudian mengingat kalau sudah berjanji padaku. Maka perdebatan konyol itu pun berakhir dengan kepasrahan Bian. Itu membuatku berpikir, dia ini penganut paham: lelaki sejati akan selalu menepati janji.
Sangat disayangkan, lelaki sejati itu kini lenyap entah kemana sejak aku mendandaninya habis-habisan. Seperti dugaanku saat hari pernikahan, ia cocok mengenakan apa pun, bahkan pakaian wanita. Dia bahkan mengenakan bra hitam milikku yang benar-benar membuatku tertawa sampai nyaris terkencing-kencing.
Aku benci mengakui ini, tapi dia memang sangat cantik. Dan buruknya lagi, dia seksi, bahkan ketika menjadi wanita abal-abal! Aku membencinya!
"Kenapa kau lebih cantik dariku?!" tanyaku setengah kesal. Sungguh, aku tidak bisa menerima kenyataan ini. Terlalu pahit.
"Aku tidak cantik! Aku manly! Pria jantan! Tulen!"
Mati-matian ia menolak kenyataan. Padahal jika aku kurang kerjaan mengadakan polling dengan pertanyaan, "Apakah Lee Bian cantik?", aku yakin, sembilan dari sepuluh pria di kelab malam nanti akan menjawab, "Ya".
Aku tersenyum bodoh. "Tentu saja kau jantan. Aku sampai hamil begini."
Matanya mendelik mendengar racauanku. "Heh!!!"
"Baiklah Miss Manly. Ayo berangkat. Aku akan mengatakan permintaan ketigaku nanti," ucapku menarik tangannya untuk keluar apartemen. Ia hanya mendengus kesal dalam kepasrahan mendengar panggilanku untuknya yang tidak masuk akal itu.
Aku sangat kagum akan kemampuannya yang cepat beradaptasi dengan sepatu hak tinggi. Rupanya kecerdasannya bukan hanya soal bisnis dan akademik, tapi juga cepat mempelajari hal baru, seperti memakai hak tinggi. Dia benar-benar luwes menjadi seorang wanita.
Tapi wajah cantik itu masam.
Ah, bukan masam....
Adakah kata yang menunjukkan ekspresi lebih dari masam? Sangat masam? Sangat masam sekali? Ya, apa pun istilahnya, itulah wajah yang ditunjukkan Bian saat ini.
Tadi aku mengirim foto selfie bersamanya pada Minah. Awalnya wanita itu bertanya, siapakah gerangan gadis cantik yang berfoto bersamaku itu. Setelah ia tahu bahwa gadis itu adalah Bian, ia menghubungiku dan langsung tertawa terpingkal-pingkal tanpa mengucapkan halo. Ia meneleponku hanya untuk menertawakan suaminya habis-habisan, lalu langsung memutuskan sambungan tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.
Kalian tahu? Sejak saat itulah wajah Bian yang sudah masam, menjadi semakin masam.
Mobil hitam mengkilat itu sudah terparkir. Sebelum keluar dari mobil, aku memegang tangan Bian dengan lagak manly sambil tersenyum. Dalam situasi normal, aku yakin dia akan menimpuk kepalaku menggunakan botol minuman yang ada di sampingnya.
"My lady, kau sangat cantik," ucapku membelai rambut palsunya.
"Jihyun!" Ia nyaris berteriak. Terlihat jijik mendengar ucapanku.
"Tapi suaramu itu terlalu laki-laki...."
Aku menggelengkan kepala dengan prihatin, masih dengan belaianku yang sangat lembut. Sepintas, kami terlihat seperti pasangan lesbian, aku yang jadi "pria", dia yang jadi "wanita".
"Aku tidak akan mengatakan apa pun nanti. Itu hanya membuatku ketahuan kalau aku ini pria! Anggap saja kau membawa teman yang gagu!" tukasnya cepat dengan wajah memerah.
Aku tersenyum miring.
"Kau sangat cantik. Boleh aku menciummu?" pintaku tidak tahu diri.
Mata Bian membesar. Ia pasti tidak percaya dengan apa yang barusan didengarnya.
"Apa yang kau---"
Cuppp!
Aku mencium bibir berlipstiknya sebentar saja. Ia menatapku jengkel.
"Jihy---"
Aku mengecup bibir ranumnya lagi.
"Kau sudah gi---"
Lagi.
"Hent-"
Dan lagi, untuk yang terakhir. Setelah itu, aku menatap Bian dengan sebuah cengiran tanpa dosa.
"Kau sudah tidak waras?!" makinya melihat cengiranku yang sangat menyebalkan.
"Mungkin iya. Aku hanya ingin merasakan bagaimana berciuman dengan pria yang berpakaian wanita," jawabku polos.
Brakkkk!!!
Pintu mobil terbanting keras.
Aku tertawa puas. Ulululu ... dia marah. Imut sekali....
"Bianca! Tunggu aku!" Aku segera membuka pintu mobil dan berlari kecil untuk menyusulnya.
Seketika ia menoleh mendengar panggilanku barusan.
"Bianca?!" Ia melotot.
"Katamu tidak ingin ketahuan?" Aku membulatkan mata dengan polos.
"Terserah," jawabnya melengos, berjalan masuk ke night club tanpa menungguku. Percaya diri sekali ia masuk dalam tempat yang baru dua kali ia kunjungi, dengan pakaian seperti itu pula. Mungkin dia mulai frustasi, lalu perlahan belajar menerima keadaan.
Hentakan musik yang dimainkan oleh disc jockey terdengar. Sinar laser dan lampu berkelip-kelip memeriahkan kehebohan suasana di sini. Orang-orang berlalu lalang keluar masuk ruangan. Rupanya, winter sama sekali tidak membuat mereka surut untuk melangkahkan kaki mereka kesini. Malah night club bertambah ramai saja.
Ada beberapa golongan orang di tempat seperti ini. Golongan pertama adalah golongan mayoritas, dominan. Mereka bergerombol sesuai dengan komplotannya masing-masing. Tidak terlalu peduli dengan kehadiran orang baru karena sibuk minum, bermain permainan, tertawa keras seakan tidak ada orang lain di tempat itu, atau bergoyang bersama rombongan atau pasangannya.
Golongan kedua, mereka yang sedang terkena ujian hidup. Butuh hiburan dan renungan sesaat tapi mendatangi tempat yang salah. Golongan seperti ini cenderung duduk menyendiri, minum dan makan dengan tatapan menerawang atau bergoyang dengan tanggung seperti mati segan hidup tak mau.
Golongan ketiga adalah golongan minoritas. Mereka adalah kumpulan manusia kekurangan belaian yang haus perhatian wanita cantik, hingga kurang kerjaan menggoda spesies betina yang terlihat jinak-jinak merpati.
Tapi, apakah Bian terlihat jinak-jinak merpati?
Seorang lelaki paruh baya-sepertinya baru saja terjun di dunia malam- sedang menggoda Bian. Sedangkan Bian sendiri diam saja. Mungkin ia tidak tahu harus berbuat apa.
Nah, tidak perlu polling kan? Sudah jelas kalau Bian itu cantik. Ya Tuhan, aku benci terus-terusan mengatakan dia cantik.
Aku menghampiri lelaki itu, berusaha menyelamatkan Bian dari jamahan tangan-tangan kotor dengan mulut bau alkohol. Aku menepuk bahu lelaki nakal itu.
"Maaf, dia wanitaku," ucapku santai.
Mata Bian dan lelaki nakal itu seakan sedang berlomba keluar dari tempatnya.
"Oh, begitu. Silahkan ambil wanitamu," balas lelaki itu tersenyum nakal.
Aku segera menarik tangan Bian kemudian duduk di depan Alessandro, si bartender tampan blasteran Amerika Latin.
"Fruit punch. Dua."
Pemuda semi bule itu girang melihat kehadiranku. "Jihyun, long time no see. Where you've been?"
Aku senyum-senyum saja tanpa menjawab pertanyaannya. Aku menyentuh punggung Bian, lalu memperkenalkan pada Alessandro.
"Ini temanku, namanya Hyuna. Dia pemalu. Jadi harap dimaklumi kalau dia diam saja."
Ia mengangguk-angguk, tersenyum sambil melihat wajah Bian alias Hyuna dekat-dekat.
"Wow, she's really pretty."
"Thank you," balasku senang.
Alessandro memuji kecantikan Bian yang aku yakin membuat hati orang yang barusan dipujinya itu dongkol setengah mati, karena orang itu menganggap dirinya sendiri sebagai lelaki yang sangat jantan.
Bian menarik lenganku agar aku mendekat. Ia menempelkan pipi halusnya di pipiku.
"Aku heran denganmu. Kau bilang tidak punya uang, tapi selalu datang ke sini. Masuk saja bayar. Yang benar saja!" bisiknya.
"Kau kan kaya. Kenapa mengeluh cuma gara-gara itu?" balasku berbisik.
"Aku bukan mengeluh soal uangnya, tapi kau! Kau menghamburkan banyak uang hanya untuk ke sini. Jihyun, ini kelab mahal kalau untuk orang menengah ke bawah."
"Lay yang membayarkan semuanya untukku. Puas???" ucapku lalu menarik wajahku jauh-jauh darinya.
Aku mengedarkan pandanganku, mencari sosok Lay atau Risa yang mungkin saja terselip di keramaian. Tujuan utamaku ke sini adalah bertemu mereka dan mengatakan bahwa aku baik-baik saja. Aku lega melihat kehadiran dua manusia itu yang ternyata baru datang. Jam menunjukkan sudah pukul sepuluh malam. Masih cukup awal untuk ukuran night club.
"Lay! Risa!"
Aku melambaikan tangan dan menghampiri mereka sendirian, tanpa mengajak Bian. Aku tidak cukup tega untuk membuat Bian semakin menderita dengan memperlihatkan batang hidungnya di depan kedua sahabatku. Maksudku, dia sekarang adalah wanita jadi-jadian.
Risa memelukku, girang bukan main menemukan fakta bahwa aku masih hidup. Seakan aku baru saja selamat setelah terjebak dalam sarang buaya yang sedang senewen karena musim kawin.
"Astaga Jihyun, aku pikir kau akan mati gara-gara tadi siang."
"Memangnya Bian sejahat itu?" tawaku lalu melepas pelukannya.
"Kau sendirian? Bian tidak melarangmu ke sini?" tanya Lay heran.
Aku menggeleng.
"Tidak juga. Aku berjanji ini yang terakhir."
"Aku benar-benar penasaran, sebenarnya apa perjanjianmu dengan Bian? Kau benar-benar tidak akan memberitahuku?" Lay mulai membahas perjanjian itu lagi. Aku tidak suka.
"Aku tidak akan pernah membahasnya. Kalian hanya perlu menungguku. Tidak masalah jika menghubungiku sekali-kali. Tapi jangan pernah temui aku sebelum aku minta. Bisa, kan?"
***
Aku meminjam Lay sebentar dari Risa. Gadis itu mengiyakan saja, lalu duduk berselang tiga kursi dari gadis cantik yang tanpa ia sadari itu adalah Bian. Aku hanya melihatnya sekilas, sedangkan pria itu memelototiku habis-habisan seakan memaksa ingin pulang. Aku hanya memberikan kode singkat: tunggu sebentar. Dan itu sukses membuat pelototan matanya semakin lebar.
Dengan mengabaikan kekesalan Bian, aku menarik tangan Lay dan mengajaknya mengikuti irama musik. Ini adalah kesempatan terakhirku di kelab malam. Tentu saja aku tidak akan melewatkan malamku begitu saja.
Anehnya, aku sama sekali tidak merasa pusing dengan bau alkohol, rokok, minuman, dan makanan di sini. Sepertinya si mahluk kecil ini ikut bersenang-senang. Kalau tahu begini, harusnya dari dulu aku tetap bertahan di kelab malam. Tapi kemudian aku ingat kalau aku tidak boleh menghirup asap rokok karena kehamilanku. Aku pun mengurungkan niat busukku itu.
Aku benar-benar lupa diri, kesetanan mengikuti dentuman musik bersama Lay. Sesekali aku memeluk pemuda itu yang berbalas dengan senyuman hangat. Risa sama sekali tidak peduli dengan perbuatanku dan Lay yang melanggar kaidah persahabatan. Lagipula, apa pun bisa terjadi di kelab malam. Tapi di luar itu, semua kembali normal. Seakan kami punya kepribadian lain begitu keluar dari dunia malam.
Yang jadi masalah adalah Bian. Ia terlihat benar-benar muak dengan tingkahku yang liar. Ia bersungut-sungut karena aku kelewatan menempelkan wajahku di wajah Lay. Tapi aku tahu, dia tidak bisa berbuat banyak karena penampilannya saat ini. Aku tertawa licik dalam hati.
Karena terlalu memperhatikan Bian, aku sampai tidak sengaja menabrak seorang pemuda tinggi tegap di belakangku. Cepat-cepat aku meminta maaf untuk menghindari kesalahpahaman. Ia hanya mengangguk pelan, menerima ucapan maafku, lalu memandang Lay.
Ia menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya.
"Lay?" ucapnya.
Oh, temannya Lay, pikirku sambil ikutan melihat Lay.
Tiba-tiba Lay menarik tanganku, memaksaku berdiri tenang di belakangnya, seakan ingin melindungiku dari sesuatu.
"Aku masih ingin bertanya soal Han Jihyun," lanjut pemuda itu mengejutkanku.
Mendengar namaku disebut dengan dialeknya yang kaku, aku segera mengambil kesimpulan bahwa pemuda tinggi ini adalah Willis Neville. Rupanya ia sama sekali tidak tahu wajah dari wanita yang sedang dicarinya.
Aku menunduk, diam saja. Berpura-pura bahwa aku bukan Han Jihyun.
"Aku sudah memberitahu apa yang aku tahu."
"Aku yakin kau masih menyimpan banyak hal tentangnya, termasuk nomor telepon dan alamatnya," ucap Willis sambil menyentuh pundak Lay.
Aku berdoa semoga saja tidak terjadi keributan di sini.
"Tidak, Willis. Aku sudah mengatakan semuanya."
"Mustahil. Kata orang-orang, kau sahabatnya, kan?"
"Iya. Tapi aku memang tidak tahu. Dia sudah pindah. Aku sama sekali tidak tahu alamatnya yang baru. Dia pergi dan benar-benar tidak mengatakan apa pun," jawab Lay bersikeras.
Di saat bersamaan, Risa datang menghampiri kami dengan wajah riang. Entah apa yang membuat gadis itu kelihatan senang sekali.
"Lay! Jihyun! Aku punya berita bagus!"
Aku dan Lay bersamaan memandang gadis itu dengan mata mendelik. Dia telah membuat usaha kami sia-sia dengan terang-terangan menyebut namaku di depan pemuda separuh bule ini.
Versi lebih banyak sudah post di Karya Karsa DIMUDIPU, ya....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro