Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

13. Stubborn Friends

Aku terbangun dari tidurku yang lelap semalaman. Mataku mengerjap, kemudian melihat ke samping.

Kosong.

Pandanganku tertumbuk pada nampan berisi semangkuk bubur oats, sebutir apel, dan segelas susu di atas meja. Di sampingnya tertulis rapi: habiskan sarapannya.

Aku tersenyum kecil. Bian manis juga, ya. Walaupun pergi tanpa pamit, setidaknya dia masih peduli padaku. Itu membuatku merasa jauh lebih baik pagi ini. Aku mulai mengunyah makananku perlahan sambil memikirkan sesuatu.

"Sudah berapa lama aku tidak bertemu Lay???" gumamku bermonolog.

Aku jadi merindukan pemuda itu. Serius, aku benar-benar ingin bertemu dengannya setelah berbulan-bulan menghilang begitu saja. Lagipula, bertemu dengan Lay sebentar saja bukanlah sebuah dosa dan kesalahan besar, asal tidak ketahuan Bian atau Minah.

Jariku mengetik sebuah pesan dengan cepat.

To              : Lay
Message :
Sibuk? Mau main? Pukul sepuluh di supermarket Sunmart, ya.
Send

Tidak berselang lama, balasan dari Lay muncul. Aku tersenyum simpul membaca isi pesan sahabatku itu.

From        : Lay
Message :
Eh? Mendadak sekali. Oke. Aku dan Risa kesana. Kau tahu? Kami sudah dating.
Reply

Ah, aku tidak terkejut mendengar kabar dating itu. Aku pun meletakkan ponsel dan segera bersiap. Pukul delapan menuju pukul sepuluh bukan waktu yang lama. Kalau diakumulasikan antara waktu yang aku butuhkan untuk mandi, memilih baju, berdandan, hingga menuju tempat pertemuan, itu saja sudah menghabiskan waktu hampir dua jam. Lama memang. Tapi sepadan dengan hasilnya. Aku sangat cantik.

Lima menit telah berlalu, dan aku masih menunggu di depan supermarket. Aku melirik jam tangan. Masih tujuh menit lagi, tapi aku melihat Lay dan Risa melambaikan tangannya dari kejauhan sambil berjalan menghampiriku.

Senyumku merekah saat mereka semakin dekat. Lama tidak bertemu, rupanya gadis bernama Risa itu bertambah cantik saja. Aura orang yang sedang jatuh cinta memang berbeda, ya.

"Aku mencium ada aroma cinta yang baru saja bersemi. Apa aku benar?"

Aku sengaja sok puitis yang sebenarnya terdengar sangat picisan.

"Heh! Kenapa kau menghilang?! Kau tidak menghubungiku atau Lay sama sekali! Kau bahkan tidak memberikan alamatmu yang baru! Teman macam apa kau ini?!" balas Risa menonjok lenganku untuk menumpahkan kekesalannya.

"Aww! Siapa bilang? Aku sudah menghubungi kalian!" elakku polos.

Bibir Lay membulat.

"Oh ya? Kapan?" tanyanya heran.

"Tadi pagi," jawabku sok lugu yang membuat keduanya kompak menoyor kepalaku.

"Kau belum pernah dibelai gerobak takoyaki, ya?!" gerutu Risa yang merasa aku permainkan.

"Belum. Dibelai pria tampan sih, sering," ucapku tersenyum nakal sambil mengibaskan rambutku.

Seketika Risa dan Lay berlagak muntah. Mereka betulan mual mendengar perkataan recehku barusan.

"Heh! Tidak sopan! Kalian pasti iri padaku, kan?" tanyaku dengan gaya sok marah.

"Otakmu tercecer di mana, huh? Untuk apa aku iri padamu? Aku bukan homo yang berharap dibelai pria tampan," balas Lay sambil menggamit lengan Risa. Maksudnya melakukan itu adalah untuk menunjukkan kalau dia adalah pemuda normal yang mustahil akan melenceng kodratnya untuk menyukai teman sejenis.

Risa tersenyum penuh arti.

"Aku juga sudah punya pria tampan yang siap menyayangiku kapan saja," sambung gadis itu seraya melirik Lay.

Sekarang gantian aku yang mual melihat tingkat keduanya. Sungguh aku jadi menyesal sudah mengatakan hal tadi. Sekarang pasangan baru itu pamer kemesraan di depanku.

Aku tidak menanggapi ocehan busuk keduanya. Dengan segera, aku menarik mereka masuk ke dalam supermarket dan berjalan menyusuri bagian pakaian dalam.

"Kau mau beli apa?" tanya Lay agak risih melihat kumpulan bra ukuran jumbo yang menggantung di sampingnya.

"Pakaian dalam," jawabku sambil melihat deretan bra berwarna hitam.

"Ya ampun. Jadi aku ke sini hanya untuk menemanimu melihat ini???" tanya Lay sambil mengangkat sebuah bra hitam.

Aku mengendikkan bahu melihat tingkah absurd pemuda itu, lalu kembali fokus pada objek yang sedang aku cari.

"Kau lebih gemuk ya sekarang," komentar Risa memperhatikan tubuhku baik-baik.

Aku tersenyum bodoh sambil menyiapkan jawaban palsu. "Iya. Aku kebanyakan makan belakangan ini. Jadi aku gemukan dan butuh beberapa underwear---"

"Honey, ukuranmu berapa?" Lay menyela ucapanku sambil memilih-milih bra untuk Risa.

Astaga....

Aku berjalan menjauh, berpura-pura tidak mengenal kedua mahluk yang memalukan itu.

"Hey! Apa yang kau lakukan?!" pekik Risa dengan wajah memerah.

"Memilihkan bra untukmu," jawab Lay polos.

Dari kejauhan, aku terkikik geli melihat pemuda itu menghampiri Risa sambil menenteng bra berenda berwarna pink yang sangat norak. Pemuda itu gantian memandang bra dan dada Risa untuk memastikan kalau pilihannya benar. Risa merebut bra itu dengan wajah memerah.

"Hentikan! Kau membuatku malu!" semprot Risa segera mengembalikan bra itu ke tempat semula.

"Tapi aku mau belikan---"

"Aku bisa beli sendiri!" potong Risa dengan wajah semerah tomat, lalu berjalan menjauhi Lay untuk menyelamatkan harga dirinya.

Kami menghabiskan hampir sepuluh menit di bagian pakaian dalam. Selanjutnya, aku memutuskan untuk menyambangi bagian buah dan sayur. Karena anak dalam perutku ini suka sekali apel, aku pun membeli dua kilogram apel untuk persediaan.

"Jihyun, kita mau kumpul-kumpul di malam Natal. Kau mau ikut?" tanya Risa sambil ikut memasukkan apel ke dalam troliku.

"Aku mau. Tapi aku tidak bisa," ucapku cepat.

"Kenapa? Karena perjanjian itu?"

Langkahku terhenti.

"Eh? Lay sudah mengatakannya padamu?" selidikku.

Risa terdiam sambil memandangi Lay yang juga menatapnya. Mungkin mereka pikir, aku akan marah. Tapi aku tidak apa-apa. Toh, yang mereka tahu hanya sekadar perjanjian. Tentu saja pasal-pasal perjanjiannya tidak akan pernah aku bocorkan.

"Sudah. Tapi dia tidak bilang perjanjian apa."

Senyumku terkembang untuk memastikan bahwa semuanya baik-baik saja. "Soal perjanjian itu, tolong rahasiakan. Sebenarnya, aku tidak bisa lama-lama bertemu kalian. Tapi terima kasih banyak sudah mau menemaniku walau hanya sekadar belanja seperti ini."

"Apa kau juga tidak boleh bertemu denganku?" Risa masih berusaha menuntaskan rasa penasarannya.

Aku menarik napas dalam-dalam. Tanganku meraih package berisi buncis, lalu memasukkannya ke dalam troliku.

"Risa, sudah jelas, kan?" tanyaku berusaha menegaskan.

"Tapi sampai kapan?"

"Setahun atau mungkin dua tahun."

"Hah?! Kenapa lama sekali?!" protesnya keras.

"Mau bagaimana lagi. Itu perjanjiannya," sahutku mengangkat bahu.

"Jihyun, memangnya tidak bisa dipercepat?" Ia mulai merengek.

"Tidak."

"Kena---"

"Bertanya lagi, kupotong asetmu yang berharga itu," selaku cepat dengan lirikan tajam ke arah dadanya.

"Dasar psikopat mesum!!!" Ia berteriak sambil menimpuk kepalaku menggunakan wortel.

"Kalau begitu diamlah!" Aku balas memukul kepalanya dengan bungkusan buncis.

"Aku hanya bertanya!"

"Astaga! Kalian berisik sekali! Bisa diam tidak?!" tanya Lay tiba-tiba dengan wajah kesal.

"Aku akan diam kalau Nona Risa ini berhenti bertanya."

"Heh, aku kan khawatir padamu. Makanya aku bertanya sebanyak itu," tukas Risa membela diri.

"Tapi perta---"

"Diam atau aku hamili kalian berdua?" ancam Lay yang sontak membuat mataku dan Risa melotot.

"Lay!!!!" Aku dan Risa berteriak bersamaan.

Lay bodoh! Aku sudah hamil tanpa perlu kau hamili, gerutuku dalam hati.

Hampir tiga puluh menit mereka berdua menemaniku. Setelah itu, aku mengajak mereka ke kafe dekat supermarket. Karena sekarang uangku sangat banyak, kupikir bukan masalah jika aku membelikan mereka makanan. Selama ini, mereka yang kerap membelikan makanan atau barang untukku. Jadi anggap saja ini salah satu upaya balas jasaku untuk mereka, walaupun aku tahu, mereka melakukan itu karena menyayangiku. Aku cukup tahu diri.

Aku telah membayar semua makanan dan tinggal menunggu pesanannya datang. Beberapa saat kemudian, pramusaji meletakkan tomyam pesanan Risa tepat di depanku. Aroma makanan itu menusuk hidungku tanpa ampun. Tanganku segera menggeser mangkok itu ke hadapan Risa. Belum selesai dengan aroma kuat tomyam, pramusaji kembali meletakkan semangkuk kari pesanan Lay di hadapanku.

Sialan! Kenapa ia tidak menyajikannya langsung di depan Lay? Aku mengomel dalam hati.

"Jihyun, sebenarnya semalam ada orang yang menanyakanmu," ucap Lay hati-hati.

"Oh? Benarkah?" Sejenak aku melupakan soal tomyam dan kari.

"Tadinya aku tidak ingin memberitahumu, karena aku pikir kita tidak akan bertemu lagi dalam waktu yang lama," katanya sambil mengaduk makanan di mangkok.

"Dia ingin menggunakan jasaku atau bagaimana?"

"Tidak. Dia hanya menanyakan hal-hal tentangmu dan alamatmu."

Dahiku mengernyit. Ada yang mencariku, tapi bukan untuk kencan? Hmmm, ini menarik.

"Kau memberikan alamatku?" tanyaku lagi.

Lay menghentikan gerakan tangannya. Mata tajamnya menatapku, dengan sebuah senyuman mengejek tersungging di bibir.

"Yang benar saja. Aku saja tidak tahu alamatmu. Apa perlu aku berikan alamat rumah sakit jiwa?"

"Kau pikir aku orang gila?!" balasku nyaris melayangkan sendok ke wajahnya.

Ia tersenyum enggan.

"Tuan Bian Lee telah mengambilmu dariku. Aku benar-benar kehilangan kau yang dulu. Bahkan alamat rumah pun aku tidak boleh tahu," keluhnya.

"Bian Lee? Maksudmu pengusaha properti dan jaringan bisnis Mid Plaza Group?" gumam Risa mengerutkan dahi. Ia yang sedari tadi sibuk dengan makanannya, mendadak tertarik ikut dalam obrolanku dan Lay setelah mendengar nama seorang Bian Lee.

Sontak aku dan Lay menoleh pada gadis itu dan bertanya bersamaan. "Kenapa?"

"Dia mitra bisnis kakakku. Mereka berteman baik. Bukannya dia sudah menikah?"

Aku merasakan kepalaku bak dihantam asteroid. Dalam hitungan detik, aku sudah mengambil kesimpulan bahwa bertemu dengan Lay dan Risa hari ini adalah satu kesalahan besar. Gadis itu memandangku dengan raut wajah yang penuh pertanyaan. Aku berusaha terlihat santai, tenang, dan kalem.

"Kau berkencan dengan Bian? Berapa hari? Bayarannya pasti banyak."

Pertanyaan tambahan dari Risa membuat kepalaku semakin pusing dan perutku semakin teraduk-aduk. Aku mengambil langkah seribu ke toilet. Setiba di depan wastafel, hampir semua isi lambungku keluar sampai mulutku terasa masam. Ini menjijikkan dan menyiksa.

"Jihyun, kau sakit?" Tiba-tiba Risa sudah muncul di belakangku.

Aku tidak menjawab karena sibuk berkumur untuk menghilangkan rasa menjijikkan dalam rongga mulutku. Lambungku serasa diaduk, sehingga aku berusaha keras menahan diri agar isi perutku tidak keluar lagi. Setelah cukup membaik, aku berusaha menegakkan badanku yang lemas, lalu berbalik dan menatap Risa dengan lesu.

"Siapa nama kakakmu?"

Aku malah menanyakan hal yang lain. Walau aku bersahabat dengannya, tapi aku sama sekali tidak tahu nama kakaknya. Lucu, ya. Di saat seperti ini, aku masih sempat mengutuki ketololanku yang satu itu.

"Yuuki. Kenapa?"

Aku menggeleng.

Tentu saja aku pernah mendengar nama itu dari Bian ketika ia sedang menghubungi Yuuki melalui telepon. Ada begitu banyak orang bermarga Kim di Korea, tapi kenapa Yuuki Kim harus menjadi kakak Risa Kim?

Risa menatapku dengan seksama. "Kau pucat."

Aku pasrah saja ketika ia menarikku keluar dari toilet dan menghampiri Lay.

"Kita antar Jihyun pulang. Dia sakit."

Telingaku melebar mendengar kata-kata Risa, spontan aku melepaskan tanganku dari genggamannya.

"Aku pulang sendiri. Terima kasih sudah menemaniku," tolakku bersiap pulang.

Kedua alis gadis itu nyaris bertabrakan mendengar penolakanku. Ia merangkul bahuku, berusaha merayu pastinya.

"Jihyun, aku paham kalau kau tidak ingin kami tahu di mana tempat tinggalmu sekarang. Tapi kami akan tetap mengantarmu. Kami janji akan berpura-pura tidak mengetahui apa pun," ujar Risa tersenyum dengan lagak dilembut-lembutkan.

Dasar gadis keras kepala. Aku mengumpat dalam hati.

Aku menatap Lay, berharap pemuda itu membantuku untuk membuat Risa mengerti.

"Risa benar," kata Lay singkat.

Sialan! Lay mengkhianatiku!

Pemuda itu membawakan belanjaanku ke mobil---tanpa kuminta. Tanganku sendiri dipegang kuat-kuat oleh Risa. Seolah dia sedang membawa anak kecil ke dokter dan khawatir jika aku kabur karena takut disuntik. Iya, dia memang seperti itu. Percuma saja berdebat dengan Risa. Kekeraskepalaannya akan punah hanya ketika dinosaurus hidup kembali di Bumi atau ketika Bill Gates menjadi orang termiskin di dunia dan Lionel Messi menjadi pekerja paruh waktu perkebunan bunga chamomile di Turki.

Ketika mendudukkan pantatku di mobil, aku memutar otakku. Tapi rasanya aku tidak sanggup memikirkan apapun untuk membatalkan rencana mereka berdua. Pikiranku terasa mulai buntu karena pusing dan mual.

"Di mana alamatnya?" tanya Lay.

Licik. Mereka berdua mengambil kesempatan dalam kesempitan.

Aku tidak menjawab.

"Jihyun, mengertilah. Kami tidak mungkin membiarkanmu pulang sendiri dalam keadaan sakit." Lay berusaha meminta pengertianku dan aku masih berusaha mengabaikannya.

Mengerti? Harusnya kalianlah yang mengerti aku dan posisiku sekarang, gerutuku sendirian.

Risa merangkul bahuku. Dia pasti ingin membujukku, sama seperti Lay. Perlahan, satu senyuman yang sangat kukenal mulai tersungging di bibirnya. Senyuman licik.

"Katakan alamatnya atau kami akan membawamu ke rumah sakit? Aku tahu kau benci rumah sakit." Ia memberikan pilihan secara sepihak.

Rasanya sumpah-serapah seolah akan keluar satu per satu dari mulutku. Ia memberikan pilihan yang sama-sama buruk. Tapi pilihan kedua adalah yang paling buruk. Bukan soal kebencianku pada rumah sakit. Masalah terbesarnya adalah aku tidak mungkin ke rumah sakit dan membiarkan dokter memeriksaku lalu mengatakan pada Risa jika aku sedang hamil. Gadis keras kepala itu tidak akan membiarkanku diperiksa sendirian.

Itu baru tentang Risa. Belum lagi jika mereka membawaku ke tempat Minah bertugas. Wanita itu pasti akan melihatku di rumah sakit bersama dua orang sialan ini. Itu bunuh diri namanya.

Aku menghela napas.

"Orchidea Apartment," ucapku pelan.

Tangan Lay yang akan memasang sabuk pengaman berhenti di udara. Dengan sorot mata tidak percaya, ia menoleh ke belakang, tepatnya ke arahku. Hal yang sama dilakukan Risa. Mereka berdua seperti habis mendengar berita kedatangan alien dari Planet Exo yang akan menginvansi Bumi.

"Kenapa?" tanyaku.

"Tidak. Itu hanya ... apartemen mahal," jawab Risa.

Aku tersenyum hambar.

Aku paham. Maksud mereka adalah aku ini gadis miskin yang tidak akan mungkin bisa membeli sebuah apartemen mewah sekelas itu.

Aku mengangkat bahu. Sudah cukup banyak informasi yang harusnya tidak diketahui, tapi telah bocor ke mereka. Aku akan menutup mulutku rapat-rapat dan pura-pura sibuk dengan ponsel. Pasangan itu tampaknya mulai mengerti dan tidak berkata apa-apa lagi. Lay mulai menjalankan mobil.

"Oh ya, soal pria yang aku katakan tadi. Kau mungkin mengenalnya," kata Lay membuka topik percakapan yang baru.

"Benarkah? Siapa namanya?" tanyaku heran.

"Willis Neville."

"Eh, bukan orang Korea?"

"Bahasa Koreanya terdengar kaku. Sepertinya dia berdarah campuran. Entahlah. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas semalam."

Aku berusaha mengingat. Tapi aku merasa tidak kenal dengan si Willis itu. Seingatku, aku tidak punya kenalan orang bule atau campuran selain teman lamaku di kelab malam.

"Aku tidak kenal. Jangan katakan apapun tentangku padanya," pintaku.

Anggukan Lay mengakhiri percakapan kami. Beberapa menit kemudian, kami sampai di gedung apartemen. Aku berjalan masuk dan sialnya, kedua orang itu mengikutiku.

"Kenapa kalian masih di sini? Pulang sana."

Aku mencoba mengusir Lay dan Risa sebelum memasuki lift. Tapi dua orang itu malah semakin nekat mengikutiku. Setahuku si tampan Lay ini bukan orang yang keras kepala. Rupanya Risa telah berhasil menyebarkan virus keras kepalanya pada kekasihnya yang polos itu. Percuma saja bicara dengan mereka. Itu hanya akan membuang energi dan kesabaranku.

"Oh, jadi di lantai tiga...," gumam Risa ketika kami tiba di depan pintu.

Aku memasukkan cardlock untuk membuka pintu. Ajaib sekali, pintu itu terbuka dengan sendirinya dan membuatku hampir terkena serangan jantung. Keringat dinginku mulai keluar ketika melihat sosok lelaki yang berdiri tegap di hadapanku.

Bian....

Hellooo....

Aku ada cerita baru judulnya DIKSI BINTANG dan RHYTHM 0.

Dua judul itu satu universe sama FANGIRL TALE.

Kalau mau baca yang sejenis ANOMALY, bisa baca RHYTHM 0 duluan.

Kalau mau baca yang agak ringan ala FANGIRL TALE, bisa baca DIKSI BINTANG duluan.

Bebas sih.

Oh ya, kalau mau baca ANOMALY yang update-annya lebih banyak, bisa ke KARYA KARSA Dimudipu ya.

Thanks....


Buat yang merayakan Natal, selamat Natal.

Buat yang ultah, met ultah.

Buat yang lagi liburan, met liburan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro