12. His Soft Side
Bian menatap Minah dengan sorot mata yang sulit kujelaskan.
Nah, sekarang lihatlah. Dari awal aku sudah merasakan, ini bukan sekadar perkara bayi....
Wanita itu meneteskan airmata. Aku menarik selembar tisu untuknya. Sementara Bian tidak berusaha melakukan apa-apa untuk menenangkan istrinya itu. Aku pun memutuskan untuk beranjak keluar ruangan. Kemudian aku menunduk, tertegun di depan pintu. Aku sengaja meninggalkan mereka berdua.
"Minah...."
Kepalaku terangkat. Aku masih bisa mendengar suara Bian dari sini.
"Aku baik-baik saja." Minah menjawab pelan.
"Tidak. Kau tidak baik-baik saja. Kenapa kau selalu berpura-pura kuat? Hatimu rapuh, Minah...."
"Tadinya aku pikir mudah untuk menerima ini. Ternyata aku salah. Ini menyakitkan, Bian...."
Aku menggigit bibirku. Kata-kata mereka membuatku merasa buruk. Dari awal ini memang sudah salah....
"Aku sudah melakukan apa yang kau inginkan. Lalu aku harus bagaimana lagi? Minah, aku mohon...."
Tidak terdengar jawaban. Hanya isakan Minah yang memecah keheningan dalam ruangan. Aku tahu ini pasti akan terjadi. Setegar-tegarnya Minah, dia tetaplah hanya seorang wanita lembut yang penuh perasaan.
"Jangan membuatku merasa bersalah karena sudah memaksamu melakukan apa yang aku mau," jawab Minah terbata-bata.
"Katakan saja apa maumu. Kau tahu kan kalau aku akan melakukan apapun untukmu. Kau tahu pasti kelemahanku. Kau tahu, kan?" tanya Bian.
Nada bicara lelaki itu terdengar sangat emosional dan menuntut. Ia terdengar seperti merutuki kelemahannya sendiri yang terlalu mencintai wanita itu.
Senyap untuk sesaat, kemudian Minah menjawab lirih, "Aku."
"Apa lagi yang harus aku lakukan untukmu?" tanya Bian dengan suara bergetar.
Lembut tapi sakit. Ada guratan kelelahan di setiap kata yang meluncur dari bibir mungilnya. Tapi rasa cintanya yang terlalu besar memaksanya melakukan keinginan gila istrinya.
Bian, kau sangat.... Kenapa kau mengorbankan perasaanmu sendiri? Aku sakit sendiri mendengarnya. Bukan karena aku mencintaimu. Tidak, tidak sama sekali. Aku tidak punya perasaan apa pun untukmu. Aku merasa sakit karena posisiku sebagai orang ketiga.
Hatiku ngilu.
"Kau harus menjaga Jihyun dan anakmu baik-baik. Kau mau berjanji padaku?" pinta Minah.
Aku termenung sambil menahan airmataku yang mendesak nyaris keluar.
Minah, sebesar itukah keinginanmu untuk memiliki anak ini? Sebesar itukah hingga kau merelakan hati rapuhmu semakin tergerus? Batinku kembali berkecamuk.
"Kau tidak perlu terus-terusan mengatakan itu. Kau tahu jika aku selalu menepati janji."
Itu adalah kalimat terakhir dari Bian yang kudengar ketika aku memutuskan untuk kembali ke rumah menggunakan taksi. Aku benci rumah sakit. Tidak mungkin aku bisa berlama-lama di tempat yang mengerikan bagiku itu.
Aku terus menunggu selama lima menit sampai akhirnya sebuah taksi datang. Di saat bersamaan, Bian menelponku. Aku mengabaikannya sejenak untuk mengatakan tujuanku pada pengemudi taksi. Setelah itu, aku mengangkat telepon dari suami kontrakku itu.
"Tidak usah mencariku. Aku sudah pulang," kataku tanpa berkata halo.
"Kenapa tidak bilang?!"
"Aku sudah bilang tadi. Kau tidak dengar, ya?"
"Kapan?" kejarnya.
"Baru saja."
"Aku kan sudah bilang! Kau itu tanggung jawabku!"
"Kau tidak perlu mengulangnya! Tanggung jawabmu bukan hanya aku, Bian..." Aku menyela dengan suara tercekat.
Tidak ada suara di seberang sana. Aku mengatakan hal yang benar meskipun dadaku terasa akan berdentum.
"Kau bukan superhero yang bisa membagi peranmu dengan sempurna demi orang lain. Bian, kau tahu siapa prioritasmu dan itu bukan aku...," ucapku pelan.
"Kau mau tahu siapa prioritasku sekarang?" Ia bertanya pelan.
"Aku tidak ingin tahu."
Aku mengakhiri panggilan itu secara sepihak. Aku tidak peduli dengan kelanjutan kalimat Bian dan aku sedang tidak ingin berdebat. Aku sedang sangat sensitif sekarang. Jadi, lebih baik aku pulang dan tidur.
Ponselku kembali berbunyi. Bian lagi.
Panggilan dari pria itu aku abaikan begitu saja. Aku tidak marah, kesal, atau emosi. Aku hanya ingin memberikan waktu pada mereka berdua. Dan lagi, aku tidak sakit. Aku hanya sedang hamil.
Ah, ya ampun .. hamil.
Aku hamil, melahirkan yang kemudian bayi itu akan diserahkan pada orang lain. Takdir macam apa ini? Aku sama sekali tidak pernah membayangkan kejadian ini menimpaku. Sejujurnya tangisan Minah tadi menyadarkanku akan suatu hal. Semua ini membuatku berpikir lebih jauh. Apa aku bisa melakukannya?
Tadinya aku juga berpikir ini akan mudah. Tapi, apa iya semudah itu memberikan anakmu pada orang lain? Aku takut membayangkan itu. Tanganku mengelus perut dengan perasaan gamang. Aku belum siap....
Pesan masuk dari Bian mengusik perasaanku. Jariku bergerak pelan menekan tulisan read message.
From : Bian.
Message :
Kaulah prioritasku saat ini, Han Jihyun.
Reply
Dadaku sesak.
***
Sudah hampir tiga bulan aku lalui nyaris seperti di neraka. Kyung sudah pergi dan aku harus tinggal sendirian di apartemen. Tapi bukan itu yang membuatku merasa seperti di neraka.
Kehamilanku ini....
Ini tidak enak, menyiksa! Aku bahkan tidak mau mencium aroma nasi. Aku hanya ingin buah-buahan--janin ini suka apel--karena tubuhku menolak makanan lain. Kabar buruknya lagi, anak ini selalu menginginkan ayahnya. Bagaimana bisa aku terus meminta Bian agar menemuiku nyaris setiap hari? Tidak, aku tidak bisa melakukannya.
Aku berusaha keras membuat lambungku terisi dengan roti panggang yang masih hangat. Tapi sebanyak apapun aku berusaha, lambungku justru semakin teraduk-aduk. Aku merasa mual tanpa tahu ingin mengeluarkan apa lagi karena sudah terlalu banyak yang keluar. Ah, sampai kapan penderitaan ini aku rasakan?
Aku memandang perutku dengan sebal.
"Kalau kau terus-terusan menolak makanan, kapan kau akan besar?" tanyaku pelan, berusaha lembut pada mahluk kecil itu.
Aku menuangkan susu pereda mual ke dalam gelas. Lalu melangkah masuk ke kamar dengan lesu sambil membawa segelas susu dan sebutir apel merah. Setelah memakan setengah butir apel dan meneguk setengah gelas susu, aku meringkuk di balik selimut sambil memandang butiran salju tipis yang turun di balik jendela. Indah.
Getaran ponsel mengejutkanku. Itu panggilan dari Bian.
"Halo...."
"Aku mau ke sana. Kau mau aku bawakan apa?" tanyanya.
"Aku tidak mau apa-apa. Cepat datang," tandasku cepat.
"Baiklah. Kau baik-baik saja?"
"Aku tidak akan baik-baik saja sebelum kau datang. Jadi, cepat datang!" kataku langsung mematikan telepon tanpa menunggu kalimat Bian.
Anak ini selalu membuatku merasa ingin selalu tetap berada di samping pria itu. Apa ya istilahnya... uhm, craving? Pokoknya seperti itu! Aku lebih suka anak ini membuatku mengidam makanan daripada harus bertemu dengan Bian nyaris setiap hari. Benar-benar merepotkan.
Tidak butuh waktu lama bagiku untuk menunggu si mata polos itu datang. Ia duduk di tepi ranjang, tepat di sampingku. Aku bangun dari tidurku dan memeluknya. Rasanya aku ingin menangis karena menderita dengan kondisiku. Janin ini benar-benar sialan! Ia merubahku jadi wanita cengeng, sakit-sakitan, dan manja. Benar-benar bukan aku. Tapi aku harus mengikuti kemauan si mahluk kecil sialan ini.
"Bagaimana keadaanmu?" tanya Bian membalas pelukanku.
Dia hanya berusaha bersikap baik padaku. Aku tahu itu pasti sulit baginya. Tidak apa-apa. Aku mengerti.
"Aku tidak tahu." Aku menjawab pelan, kemudian melepaskan pelukanku.
"Bisakah kau menemaniku lagi malam ini?"
Tidak ada jawaban.
Diamnya Bian membuatku sedikit kecewa. Kemungkinan besar itu berarti tidak. Di saat aku menantikan kepastian jawabannya, tiba-tiba Minah menghubungi ponselku.
"Ya, Minah."
"Bian belum pulang. Ponselnya tidak aktif. Apa dia di sana?"
"Iya. Boleh tidak dia menginap di sini lagi?" tanyaku langsung dengan tidak tahu diri.
Mata sipit Bian melotot mendengar perkataanku. Ia berusaha merebut ponselku, tapi sayangnya gerakanku lebih cepat untuk menghindari serangannya yang tiba-tiba.
"Tolong berikan ponselnya pada Bian...." Minah tidak menjawab pertanyaanku.
Dengan berat hati, kusodorkan ponselku pada Bian. Telingaku menempel rapat-rapat untuk menguping pembicaraan mereka di ponsel.
"Halo...." Bian menyapa pelan.
"Sayang, tetaplah di sana. Jihyun membutuhkanmu. Biar bagaimana pun, yang dikandung Jihyun adalah anakmu, anak kita. Bisakah kau menyingkirkan egomu untuk kebaikan bersama?"
Aku tersenyum penuh kemenangan pada Bian yang hanya dibalas dengan lirikan jengkel. Kemudian tidak terdengar suara dari seberang sana. Hanya terdengar samar-samar napas Minah yang menjadi sedikit berat dan tertahan.
"Minah, kau menangis?" tanya Bian pelan.
"Iya...."
Jawaban yang terlalu jujur dan menohokku. Ia bahkan tidak mencoba untuk menampik. Sekarang wanita itu membuatku merasa bersalah setelah tadi mengiyakan permintaanku. Jadi ini semacam mind blow atau apa? Aku merasa ia sedang memainkankan taktiknya agar membuatku tetap sadar jika Bian adalah miliknya dan aku hanya meminjamnya. Tapi aku harap, itu hanyalah pikiran sesatku.
"Kau akan tetap di sana. Penuhi janjimu," lanjut Minah lembut.
Mendengar ketulusan dalam nada bicaranya, sepertinya yang tadi itu hanya pikiran negatifku saja.
Wanita itu melanjutkan kalimatnya untuk berpamitan, "Selamat malam."
Sejak tadi Bian tidak bersuara mendengar Minah menangis. Ia pasrah menerima kenyataan bahwa dia kembali harus bermalam bersamaku, meninggalkan wanitanya sendirian nun jauh di sana karena aku. Jika aku ingat-ingat lagi, ini adalah ke delapan kalinya ia menginap di apartemen bersamaku.
Sambil menghela napas, ia mengambil handuk dan piyama putih yang selalu ada dalam lemari. Ia keluar kamar. Cukup lama yang membuatku berpikir kalau dia sedang mengguyur tubuhnya di bawah shower sambil meratapi nasib. Persis di drama-drama. Aku bersyukur ia memilih untuk menggunakan kamar mandi luar. Jadi aku tidak perlu menjerit dalam hati melihat tubuhnya yang menggoda itu.
Nyaris lewat setengah jam kemudian, ia kembali dengan semangkok salad buah buatannya sendiri dan segelas air hangat. Dia belum makan malam rupanya. Kasihan sekali Tuan Lee ini.
"Habiskan," ucapnya tiba-tiba menyodorkan sesendok creamy fruits salad ke mulutku.
Aku melebarkan mata.
"Eh, untukku? Aku sudah makan," tolakku pelan.
Pria itu menyeringai, lalu menunjuk potongan apel yang sudah mulai kecoklatan di atas meja.
"Itu kau sebut sudah makan?"
"Secara harfiah, iya," jawabku membela diri.
"Bagaimana anakmu bisa tumbuh besar jika kau tidak mau makan?"
"Aku juga sudah mengatakan itu padanya," jawabku seraya menunjuk perut.
"Aku mohon, Jihyun. Kau harus makan. Kau tidak boleh sakit," pinta Bian dengan suara yang melembut.
Aku belum pernah melihatnya selembut ini. Sorot mata dan suaranya benar-benar mengusik hatiku. Usahanya tidak sia-sia. Dengan terpaksa, aku menghabiskan semangkok salad buah buatannya.
Aku tidak mengira kalau ia cukup pandai meracik makanan. Kupikir dia hanya pandai bersilat lidah, bertengkar dan mengomel saja. Ekspektasiku padanya cukup buruk sebelum ini. Tapi perlahan citranya di mataku mulai membaik sejak ada mahluk kecil yang hadir dalam tubuhku. Aku tidak tahu, apakah itu karena Minah rajin mencuci otak Bian dengan petuah-petuah bijaknya atau memang muncul kesadaran dari dalam jiwa pria ini.
Bian berbaring di sampingku. Aku memiringkan tubuh ke arahnya. Sepintas mataku memandang ke arah jendela. Salju mulai berhenti turun. Kelap-kelip lampu di gedung-gedung tinggi menyapaku melalui jendela. Salah satu pemandangan yang aku sukai dari kamarku setiap malam adalah itu. Namun seindah-indahnya pemandangan di luar, tetap saja mata ini kembali tertuju pada mahluk jantan yang sedang memejamkan mata di sampingku.
Aku memandang fitur wajahnya dari samping. Hidungnya mancung lurus, bibirnya tipis dengan garis rahang yang tegas, dan mata yang lugu. Semua komponen indah itu terbingkai sempurna di wajah ovalnya yang tirus. Secara keseluruhan, dia adalah salah satu definisi ketampanan yang unik karena ada unsur feminin sekaligus maskulin tapi polos bak bocah yang terpahat disana. Aku rasa dia cocok menjadi seorang model androgini.
"Bian-ssi...," panggilku pelan.
"Hemmm...."
Bian menoleh padaku sambil membuka matanya. Aku menyentuh helaian rambutnya yang lembut dan wangi.
"Kenapa?" tanyanya heran.
"Apa pun yang aku lakukan selama kehamilan ini, baik itu hal romantis atau hal menyebalkan, itu semua karena kemauan bayi ini. Aku tidak bisa menolaknya karena itu akan menyiksaku. Jadi aku minta pengertianmu," jawabku setengah memohon.
"Naluri escort-mu memang selalu muncul. Kau berusaha mencari alibi untuk membela diri? Kau ingin memanfaatkan kesempatan dengan alasan kehamilanmu, kan?" selidiknya kejam.
Aku melotot. Boleh tidak aku menguliti pria menyebalkan ini?!
Aku melengos, menarik tanganku dari rambutnya yang harum.
"Tidak. Aku juga tidak ingin mempermalukan diriku sendiri dengan bersikap manja dan kekanakan pada orang yang tidak peduli padaku."
"Siapa yang tidak peduli padamu?" tanyanya lembut.
"Kau. Aku hanya meminta pengertianmu karena anak ini sangat rewel. Persis sepertimu."
"Kau selalu punya kalimat untuk membantahku ya...," gerutunya pelan.
Aku tahu jika ia sedang tidak ingin membalasku karena kondisiku yang memprihatinkan. Aku kembali menghadap ke arahnya, melingkarkan tanganku di dadanya yang bidang dan menempelkan kepalaku di bahunya. Ia tidak menghindar.
"Maaf karena membuatmu jauh dari Minah. Aku sangat menghormati hubungan kalian. Tapi aku harap kau mengerti keadaannya," ucapku lirih.
Tidak ada suara. Hanya sesekali suara hembusan napasnya yang terdengar pelan. Rambutnya yang masih sedikit basah menebarkan aroma wangi yang lembut. Membuatku sangat betah berada di dekatnya.
"Tidak perlu minta maaf. Dari awal dia yang menginginkan ini. Bukan aku atau kau."
Aku sedikit tersenyum mendengarnya. Jadi dugaanku selama ini benar, Bian sama sekali tidak menginginkan perjanjian itu.
"Aku sangat mencintai dia. Itulah alasanku ada di sini," lanjutnya lagi.
Lucu.
Ia mencintai Minah, karena itu ia ada di sini, tidur bersamaku. Wanita yang sangat ia cintai itu telah membuatnya tidur dengan wanita lain. Sangat paradoks. Otakku sampai berputar-putar memikirkannya. Apa ia tidak merasa bahwa ceritanya sungguh menyedihkan sekaligus menggelikan?
"Aku sudah tahu rasanya dikhianati. Jadi aku tidak akan macam-macam. Minah adalah kebahagiaanmu dan aku tidak akan mengusik itu. Selamat tidur."
Aku berkata pelan sambil memperat pelukanku pada tubuh berototnya. Perasaan tadi baru saja aku mengatakan "tidak akan macam-macam", tapi janin yang selalu ingin dekat dengan ayahnya ini membuatku serasa menjilat ludahku sendiri. Sialan!
Mataku mulai terpejam. Kemudian aku merasakan jariku menghangat. Ia menggenggam tanganku, hingga aku tertidur....
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro