Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

11. New Soul

Aku diam saja. Bian mengalihkan tatapannya pada Lay.

"Tolong jangan temui dia dulu," ucap Bian tegas.

Aku menatap Lay, berdebar menunggu reaksinya. Aku harap ia tidak melakukan hal bodoh seperti menghajar Bian. Permasalahannya sudah aku jelaskan dan aku berharap banyak padanya.

Lay tersenyum hambar.

"Aku mengerti, Tuan Lee. Jihyun telah menceritakan semuanya," katanya lalu melempar pandangannya padaku dengan satu senyuman dipaksakan.

Telapak tangannya yang besar menangkup puncak kepalaku.

"Jaga dirimu. Aku pergi," pamitnya yang seketika membuat hatiku semakin mencelos.

Untuk kedua kalinya, aku menatap kepergian orang dekatku dengan perasaan hampa. Mataku nyaris berkaca-kaca lagi, tapi urung terjadi karena aku buru-buru menarik napas panjang berulang kali hingga suasana hatiku membaik. Entahlah, aku jadi sentimentil begini.

Selepas kepergian Lay, aku mengalihkan pandanganku pada sosok pria congkak bernama Bian yang barusan mengganggu acara pelukanku yang indah. Ia malah balas menatapku berkali-kali lebih tajam daripada yang tadi.

"Semuanya? Bisa jelaskan maksudnya?" Ia berkata pelan tapi tegas.

Alisku bertaut. Ya ampun, sepertinya akan ada perang lagi.

Ia membuka pintu mobil lalu menyuruhku masuk tanpa menunggu jawabanku atas pertanyaannya tadi. Aku duduk di depan, tepat di samping kursi kemudi yang diduduki Bian. Melihat raut wajahnya yang masam, aku merasa perang yang barusan kupikirkan tadi benar-benar sudah di depan mata.

Dengusan pria itu terdengar. Ekspektasinya pasti sudah buruk. Dia pasti sedang memikirkan bahwa aku benar-benar menceritakan semuanya. Ah, ini juga karena si Lay! Kenapa dia harus mengeluarkan kata-kata 'semuanya', sih?

"Aku hanya bilang kalau aku ada perjanjian yang membuatku tidak bisa menemuinya seperti dulu," jelasku sebelum perang dunia ketiga pecah.

"Tapi Lay bilang 'semuanya'. Kau tahu kan ini perjanjian penting kita? Aku tidak akan memaafkanmu kalau kau sampai memberitahukan semuanya pada pemuda itu!"

Aku mendengus pelan. Lihatlah kelakuannya. Sekarang ia berusaha mengancamku. Bertambah sudah kejelekannya di mataku.

"Aku tidak akan melanggar perjanjian kita. Tapi memang aku harus memberitahukan padanya jika aku ada perjanjian denganmu, itu pun hanya untuk berjaga-jaga. Setidaknya dia sudah mengerti, kan."

"Astaga, mucikarimu itu--"

"Dia bukan mucikari dan aku bukan perempuan serendah itu! Tolong jangan membuatku merasa semakin buruk. Dia pemuda yang baik. Kau hanya belum mengenalnya," selaku kesal dengan suara meninggi. Demi apa pun, aku jadi semakin ingin menjejalkan sesuatu yang pedas ke dalam mulutnya yang berbisa itu. Ia berhasil membuat mood-ku terjun bebas ke titik terendah.

Bian terlihat sangat kesal. Lebih kesal dariku sepertinya. Baiklah, aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi. Aku sudah merasa cukup buruk dengan tubuhku yang kurang sehat saat ini. Aku tidak ingin menambah penderitaanku dengan pertengkaran tidak berfaedah dengan pria berwajah lembut, tapi berhati batu dan berlidah tajam di sampingku ini. Sebisa mungkin, aku menahan semua kemungkinan yang bisa membuat keadaan memanas di antara aku dan Bian.

Aku berusaha menetralisir keadaan melalui sebuah pertanyaan, "Minah bilang kau akan menjemputku satu jam lagi. Kenapa tiba-tiba kau muncul?"

"Kebetulan lewat," jawabnya singkat, padat, dan jelas.

Ia melirikku sekilas. "Wajahmu pucat. Kau sakit?"

Aku mengabaikan pertanyaannya dan bertanya hal yang lain, "Minah di mana sekarang?"

"Di rumah sakit. Dia menunggu kita."

"Oh."

"Sejak kapan kau sakit? Kenapa tidak memberitahuku?" Pertanyaan yang tadi terlontar lagi dari bibir tipisnya.

"Sejak kapan kau peduli padaku?" Aku balik bertanya.

"Jihyun, kau tanggung jawabku sejak perjanjian itu ditandatangani."

Mata dan bibirku membulat.

"Hooo... lihat pria ini. Kau baik-baik saja, kan? Kepalamu habis terbentur? Mana? Bagian mana yang terbentur? Mana???" tanyaku heran sambil mencari benjolan yang mungkin ada di salah satu sisi kepalanya, tersembunyi di antara helaian rambutnya yang lebat.

Bian menepis tanganku dari kepalanya dengan wajah masam.

"Jihyun! Aku serius!" sahutnya bernada jengkel.

Aku menyipitkan mata, lalu tersenyum dengan penuh arti.

"Jangan bilang kalau kau mulai menyukaiku," godaku sembari menusuk-nusuk pipinya dengan telunjukku yang lentik. Tentu saja aku tidak serius mengatakan hal itu.

"Kata-katamu membuatku mual."

Aku mengerucutkan bibirku dan memandangnya sinis.

"Aku lebih mual lagi. Aku bisa mendapatkan pemuda single yang tampan, bukan sepertimu yang...." Aku menarik kembali telunjukku dari pipinya dengan kalimat menggantung.

"Seperti aku? Memangnya aku kenapa? Aku tampan dan kaya. Apalagi?" Bian tidak terima karena aku rendahkan. Silahkan sebut aku sebagai si betina yang tidak tahu diri karena harusnya aku yang lebih pantas dipandang sepele daripada si Lee ini.

Aku memutar bola mataku dengan malas menanggapi kesombongannya yang tak berkurang.

"Terserah saja. Aku sedang malas bicara," jawabku mengakhiri obrolan.

Laju mobil terhenti di area parkir rumah sakit. Aku mengikuti langkah Bian. Ia menelepon sambil terus berjalan tanpa ragu menuju ke sebuah ruangan. Begitu pintu tebuka, sosok Minah menyambut kami. Cantik dan anggun, persis ketika pertama kali aku bertemu dengannya.

Wanita cantik itu mengenakan setelan putih dengan rambut terikat rapi. Riasan make up yang tipis menambah kesegaran dan kecantikan wajahnya, walau hari telah menginjak malam. Aku semakin memahami mengapa Bian begitu menggilai Minah. Wanita di hadapanku ini adalah sebuah definisi kesempurnaan bagi seorang wanita -kecuali di bagian tidak bisa memiliki anak.

"Selamat malam, Jihyun. Selamat malam, Sayang." Suara lembutnya menyapa kami.

Kecupan romantis Bian membalas sapaan Minah. Aku memutar mata dengan jengah mendapati adegan manis itu. Aku sedang di posisi tidak nyaman untuk sekadar tersenyum melihat kemesraan mereka. Katakan padaku, perempuan mana yang bisa tersenyum bila berada dalam posisiku?

"Kau sudah makan?" tanya Bian pada Minah.

"Belum. Kita periksakan Jihyun dulu. Setelah itu, kita makan malam."

"Dokternya mana?" tanyaku heran.

"Aku," jawab Minah polos.

"Heh?! Kau dokter?!" Aku terkejut bukan main.

"Kebetulan aku dokter spesialis kandungan."

Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini terlalu mengagetkanku. Aku terkejut mendapati kenyataan bahwa Minah adalah dokter, bukan pengusaha. Tapi yang membuatku lebih terkejut lagi adalah di bagian: Minah adalah seorang dokter kandungan yang mengenaskan karena tidak bisa memiliki anak sendiri.

Aku tidak bisa membayangkan perasaannya setiap kali ada ibu hamil yang memeriksakan kandungan. Sampai pada detik ini, aku merasa tertampar oleh ketegaran Minah menghadapi masalahnya.

Aku teringat kejadian nyaris sebulan yang lalu. Wanita ini mengatakan jika ia sedang di rumah sakit. Ternyata ini maksudnya dengan, 'banyak yang sakit'. Ya jelaslah, namanya juga rumah sakit. Pasti banyak yang sakit. Kan dia salah satu dokternya.

Perasaan takjub menyelimutiku saat memandangnya. Aku takjub dengan semua yang ada dalam dirinya. Aku takjub dengan kecantikan, kecerdasan, kebaikan, serta ketegarannya. Aku juga cantik dan cerdas, sih--ini fakta. Tapi aku kalah telak di dua poin terakhir. Abaikan soal kelicikannya dalam menjebakku dalam masalah beasiswa untuk Kyung. Aku tahu dia terpaksa.

"Kenapa melihatku seperti itu?" tanya Minah heran.

"Kupikir kau pengusaha seperti Bian karena kau founder dari yayasan itu."

Aku mengeluarkan jawaban yang sedikit lain dari yang ada di benakku. Mana mungkin aku menjawab jujur dengan pemikiranku tentang Minah yang menyedihkan seperti tadi?

Ia tertawa pelan.

"Aku memang founder-nya. Tapi aku bukan pengusaha atau direktur. Aku hanya kepikiran ingin membantu orang-orang. Aku mengusulkan itu padanya tiga tahun yang lalu, ternyata dia setuju. Begitu cerita singkatnya."

Aku kembali takjub untuk ke sekian kalinya.

"Kau wanita yang luar biasa...," pujiku terus terang.

"Wanita yang luar biasa itu istriku," komentar Bian menyambar kalimatku.

Aku melirik malas ke arah pria itu. Komentarnya sama sekali tidak aku butuhkan. Diam saja kau, Bian Lee!

Minah mulai melakukan tugasnya padaku. Hampir sepuluh menit aku berada dalam ruangan itu. Kepalaku mulai pusing lagi karena terpaan pendingin ruangan.

"Jihyun," ucap Minah dengan wajah cukup serius.

"Kenapa wajahmu serius begitu?" tanyaku waswas.

"Kau hamil."

Pikiranku mendadak kosong.

Kebisuan menyelimuti ruangan selama beberapa saat. Aku tahu masing-masing dari kami tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Minah hanya tersenyum. Tapi senyuman itu sungguh ... aku bisa melihat dengan jelas ada kebahagiaan sekaligus kepedihan di sana, di senyuman dan sorot mata itu.

Aku memandang Bian. Pria itu justru menatap Minah dengan sorot mata yang sulit kujelaskan. Nah, sekarang lihatlah. Dari awal aku sudah merasakan, ini bukan sekadar perkara bayi....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro