04. Stop Hurting Yourself
Aku betulan malas membahas tentang drama pernikahanku yang membosankan itu. Lagipula, tidak ada yang menarik untuk diceritakan. Sederhana dan serba buru-buru karena itu hanyalah pernikahan abal-abal bagiku dan Bian, meskipun sah secara hukum dan agama.
Setidaknya dari sisiku tidak ada cerita tentang fitting pakaian pengantin, memesan gedung, menyebar undangan, hingga drama penolakan pernikahan karena ini bukan perjodohan.
Cukup satu kata: menikah. Sesederhana itu saja, klasik dan membosankan. Sudah kubilang, kan.
Biar kuperjelas lagi. Intinya, aku dan Bian telah resmi menikah di gereja kecil yang berada di Pulau Geoje, si pulau cantik terpinggirkan. Kuberitahu bagian yang paling emosional bagiku di antara semua rangkaian prosesi itu: ciuman.
Iya, betul. Ciuman.
Ciuman memang sudah biasa bagiku. Tetapi kali ini tentu saja berbeda. Bian Lee itu benar-benar mencium bibirku di depan pendeta. Seharusnya ciuman yang satu ini masih bisa aku terima. Toh, pekerjaanku memang tidak jauh-jauh dari itu. Lalu di mana letak emosionalnya?
Hmmm, yakin masih bertanya?
Perlu aku perjelas lagi?
Pria itu menciumku di depan Kim Minah--istrinya.
Aku tahu betul bagaimana sakitnya hati seorang perempuan jika melihat lelaki yang dicintai berciuman dengan perempuan lain di depan mata secara riil. Aku pernah merasakannya. Dan sekarang, tiba-tiba aku merasa menjadi spesies betina yang jahat karena telah hadir di antara mereka.
***
Tiga hari setelah pernikahan diam-diam.
Kyung menghentikan langkahnya karena mendapatiku yang tengah sibuk mengemasi pakaian ke dalam koper biru bermotif kupu-kupu. Ia menghampiriku yang sedang berada dalam kamar dengan pintu terbuka. Aku sibuk tapi masih sempat meliriknya dengan ekor mataku.
"Noona, mau ke mana?" tanyanya.
"Kyung, kau bisa kan tinggal sendirian tiga hari? Aku harus pergi ke Pulau Jeju. Ada rombongan tamu dari Indonesia yang harus aku pandu ke sana," jawabku masih dengan tangan yang sibuk menjejalkan pakaian ke dalam koper.
Sejujurnya, Kyung sama sekali tidak tahu jika kakak tersayangnya ini telah menikah. Apalagi soal profesi lady escort yang kujalani. Ia hanya tahu jika aku adalah seorang tour guide dan freelancer sebagai penulis artikel dan cerita pendek online. Aku kuliah di jurusan sastra, jadi menulis adalah hal biasa bagiku.
"Noona belum pernah pergi sejauh itu selama jadi tour guide."
"Bagus, kan? Akhirnya aku bisa ke sana, gratis pula," senyumku senang.
Aku bohong. Sebenarnya aku akan pergi ke Bali bersama Bian.
Ia mengangkat bahu lalu berkata, "Selamat bersenang-senang."
"Oh ya, kapan kau berangkat ke Tokyo?"
"Sebulan lagi," jawab Kyung seraya beranjak dari hadapanku.
Aku masih sibuk mengemasi pakaianku. Setelah hampir dua puluh menit, aku mengetuk kamar adikku untuk berpamitan. Seperti biasa, tidak ada jawaban darinya. Pasti dia ketiduran lagi.
Ya sudahlah. Aku akan tetap pergi tanpa membuatnya terjaga.
Setelah meninggalkan beberapa lembar uang untuk Kyung di atas meja, aku meninggalkan rumah dengan cukup berat hati. Sebuah taksi telah berhenti di depan rumahku. Kaca jendelanya turun hingga memunculkan sosok Bian yang menggunakan baju dan kacamata hitam. Ia duduk di samping pengemudi taksi.
"Masuklah," ucapnya singkat tanpa membuka pintu.
Pengemudi taksi keluar untuk membantuku memasukkan koper ke dalam bagasi. Setelah itu, ia membukakan pintu dan mempersilahkanku masuk dengan senyuman terbaik yang ia punya.
"Terima kasih," ucapku singkat sambil membalas senyuman si pengemudi yang ramah itu.
"Langsung ke bandara," kata Bian setelah si pengemudi kembali ke joknya.
Ia menoleh ke belakang, tepat padaku. Harus aku akui, ketampanannya meningkat cukup signifikan dengan kacamata hitam itu.
"Dokumen keimigrasianmu sudah dicek semua?" tanya Bian memastikan.
Jempolku mengacung. Mobil pun melaju dengan kencang menuju Bandara Incheon. Bian pun kembali memandangku sejenak. Aku balas memandangnya sebelum akhirnya pura-pura melihat ke luar jendela.
Aku tidak percaya hal ini terjadi padaku. Ini gila! Aku tidak berani membayangkan apa yang akan terjadi di Bali selama tiga hari ke depan. Rasanya aku mendadak pening setiap memikirkan itu. Semoga ini segera berlalu. Semoga....
***
Perjalanan yang melelahkan. Aku dan Bian tiba malam hari. Kelihatannya aku akan mengisi malam pertamaku di Bali dengan hibernasi. Setelah menyegarkan tubuh dengan air hangat, aku merasa lebih baik dan fresh. Tapi sekarang perutku yang melolong minta diisi. Ketika ke luar kamar mandi, aku cukup terkejut melihat makanan yang telah tertata rapi di atas meja, lengkap dengan lilin aromaterapi. Kemudian pandanganku beralih pada Bian yang sudah duduk di kursi. Ia sedang sibuk memainkan game di ponselnya.
"Ayo makan," katanya tanpa mengalihkan fokus dari ponsel.
"Ini berlebihan," gumamku.
"Berlebihan apa? Lihat pasal satu," jawabnya datar, kemudian meletakkan ponselnya dan menikmati makanannya tanpa menungguku.
Ah, pasal satu.
Tentu saja aku sudah melihatnya. Kedua belah pihak harus tetap menjaga hubungan baik, menjaga sikap dan atau bersikap baik selama kontrak berlangsung, itu adalah inti pasal satu.
Bukan hal sulit bagiku untuk bersikap baik selama pria di depanku ini tidak memperlakukanku dengan buruk. Tapi melihat gerak-geriknya dari awal bertemu, sepertinya dia cukup menjengkelkan.
Suara ponsel menginterupsi Bian yang tengah mengunyah makanannya dengan khidmat. Lirikanku berhasil membaca nama Minah di layar ponselnya. Pria itu menelan makanannya, kemudian menjawab panggilan.
"Aku sedang makan malam.... Belum, aku baru tiba sejam yang lalu.... Hmmm.... Bye."
Ia meletakkan ponsel di atas meja setelah panggilan berakhir.
"Minah bilang apa?" Aku bertanya dengan lancang.
"Kau tidak perlu tahu." Bian menjawab sambil menyendok makanan.
"Kalau aku tidak perlu tahu, untuk apa aku bertanya? Dia bilang apa?"
"Penting untukmu? Tidak, kan? Makanlah," sahutnya setelah menelan makanannya.
"Iya, itu penting. Siapa tahu kalian merencanakan sesuatu yang buruk."
Ia menghentikan gerakan tangannya yang akan memasukan makanan lagi ke dalam mulut. Ia memandangku tidak suka sambil berkata, "Tinggalkan pikiran buasmu. Kau bukan di kelab malam sekarang."
"Kalau begitu jawab saja. Tidak susah kan bagimu, wahai orang baik-baik?" sindirku dengan penuh penekanan pada kata 'orang baik-baik'.
"Kau tidak akan mati walau aku tidak menjawab. Jadi diam dan makanlah."
Pria itu benar-benar bersikukuh dengan jawabannya. Aku memutar otak.
"Biar kutebak," sahutku keras kepala. Aku melanjutkan skenarioku, "Minah bertanya, 'kau sedang apa'. Kau jawab, aku sedang makan. Lalu Minah pasti bertanya lagi, 'emmm... Kau sudah melakukannya dengan Jihyun belum?' "
"Heh!" Wajah tampan itu mendadak memerah mendengar ocehanku.
Aku tersenyum nakal.
"Oh, aku benar? Hhh, aku memang cerdas. Pantas saja kau tidak mau menjawab. Ternyata obrolannya seperti itu," ejekku tidak tahu diri.
"Lain kali akan aku handsfree agar kau tidak cerewet," balasnya jengkel.
"Kau tidak akan merahasiakan apapun dariku, Bian. Aku sadar jika posisiku sangat beresiko. Jadi aku akan pastikan kalau kalian tidak membuat rencana busuk lain yang berkaitan denganku selama perjanjian ini."
"Kau keras kepala."
"Yes, I'am. Aku tidak peduli seberapa berkuasanya kau. Aku tidak suka didikte."
"Aku tidak akan mendikte atau merencanakan hal gila. Jangan samakan aku dengan orang-orang di kelab malammu itu. Aku hanya akan melakukan apa yang harus aku lakukan. Selebihnya terserah kau, asal itu tidak keluar dari pasal-pasal perjanjian kita."
"Oke. Sepakat."
Itu kalimat terakhir dalam perbincanganku dengannya selama makan malam. Dalam waktu singkat, makanan di atas meja ludes, berpindah tempat di lambungku dan Bian.
Aku suka makan malam kali ini. Pintu ke arah balkon terbuka lebar hingga aku bisa dinner sekaligus melihat keindahan alam di luar sana. Langit malam ini cukup cerah sehingga gugusan bintang dan Milkyway terlihat jelas tanpa perlu menggunakan teropong. Ternyata pegunungan tidak terlalu buruk. Aku menghirup udara segar dan memenuhi paru-paruku dengan oksigen.
Bian mengunci pintu balkon. Ia melucuti pakaiannya dan mengenakan piyama berwarna putih dengan santai di hadapanku. Aku memutar bola mataku dengan jengah, kemudian berbalik dan menghempaskan pantatku di sofa. Pria itu menyusulku setelah selesai berpakaian.
"Kapan terakhir kali kau melakukannya?" tanya Bian datar.
"Melakukan apa?" tanyaku tidak paham.
"Jangan sok polos di depanku."
"Aku serius. Melakukan apa? Kencan?" Aku bertanya ulang.
Ia menarik napas panjang-panjang, terlihat berusaha menabahkan hatinya sendiri. Aku mengingat lagi kalimatku barusan. Aku benar, kan? Harusnya pertanyaan dia lebih spesifik. Aku perlu tahu, apa makna imbuhan "nya" dalam kata "melakukan" yang baru saja ia tanyakan padaku.
Bian mendekatkan wajahnya padaku dan berkata, "Melakukan sesuatu yang bisa menghasilkan bayi. Paham?"
Aku bergidik. Meskipun aku lady escort, tapi kata-kata "menghasilkan bayi" sungguh terdengar sangat horor.
"Astaga Jihyun. Apa benar kau ini escort?! Itu saja kau tidak tahu?"
Wajahku memerah.
"Aku tahu! Pertanyaanmu saja yang terlalu luas maknanya! Lagipula aku ini the real escort! Aku menerapkan pengertian escort yang sesungguhnya, bukan jadi wanita tunasusila!" sambarku beralibi.
Bian memijat pelipisnya. "Bicara dengan mahasiswi sastra memang terlalu banyak aturannya, ya."
"Jangan bawa-bawa kuliahku! Aku pusing mendengarnya."
Sejurus kemudian, suara dering ponsel Bian memenuhi kamar. Aku sampai bosan mendengar suara ponselnya yang menyebalkan itu. Sungguh, aku tidak menyukai nada deringnya yang norak itu. Konglomerat macam apa yang menggunakan suara ayam berkokok sebagai nada dering? Aku rasa otaknya agak bergeser.
Ia terlihat lelah melihat nama Minah yang lagi-lagi muncul di layar. Bukan fisiknya, tapi hatinya yang lelah. Sebelum menjawab telepon, ia menghembuskan napasnya dengan kasar. Kali ini, ia mengaktifkan mode handsfree sesuai dengan ucapannya tadi.
"Aku tidak akan mengabarkanmu tentang apa pun yang aku lakukan di sini," ucapnya tanpa menyapa.
"Kau marah?" tanya Minah.
"Tidak. Aku tidak marah."
"Lalu kenapa?"
"Demi Tuhan, Minah! Jangan memaksaku mengatakan sesuatu yang membuat hatimu sakit. Aku tidak akan mengabarkan apa pun sampai aku dan Jihyun kembali ke Seoul," ucapnya tegas dan langsung mengakhiri sambungan telepon.
Nah, kalian sudah mengerti kan maksudku kalau ini bukan sekedar perkara bayi? Sekarang suami istri frustasi itu jadi bertengkar karenaku. Hebat sekali. Lebih baik aku tidur daripada harus mendengar pertengkaran via telepon yang menyebalkan itu.
Bian terlihat kesal, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Aku hanya melihatnya saja, tidak berminat mengajaknya bicara atau pun menanggapi pertengkaran tadi.
"Astaga! Kenapa para wanita sangat menyebalkan?!" keluhnya kesal, kemudian berbaring di sampingku.
Aku menatapnya lalu menyahut, "Para wanita? Termasuk aku?"
"Menurutmu?" balasnya kesal.
Aku mengangkat bahu.
"Terserah kau saja. Aku mau tidur," sahutku acuh tak acuh.
Aku sudah terlalu letih untuk menanggapi obrolan yang tidak berbobot. Mataku sudah berat, serasa ada bandulan satu kilogram menggantung di sana. Perjalanan panjang tadi sudah cukup menguras tenaga. Jadi aku mengabaikan pria itu dan menarik selimut . Baru saja akan melekatkan kelopak mataku, suara ponsel lagi-lagi terdengar. Nah, kali ini suara ponselku sendiri yang berbunyi.
Aku bangun dengan malas-malasan untuk mencari ponselku yang terselip di selimut. Nama Lay membuat kekesalanku menguap, lenyap begitu saja. Aku bersiap menjawab panggilannya dengan wajah berseri, tanpa peduli dengan raut wajah Bian yang mendadak masam.
Tiba-tiba pria itu merebut ponsel dari tanganku dan berkata tegas, "Jangan diangkat.
"Eh, kenapa?"
"Dia mucikarimu, ya?"
🌻🌻🌻
Kindly leave your vote and comments.
♡ Thank you ♡
®®®
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro