There's Always Room for Dessert
Aku mengaguminya. Dia yang selalu ramah pada pelanggan. Dia yang selalu tersenyum hangat tiap kali aku mampir ke kafe kuenya.
Hari ini aku datang lagi sehabis makan malam. Terdengar suara lonceng mungil ketika aku mendorong pintu masuk kafe. Aroma kue menggelitik hidung begitu aku melangkah masuk. Atmosfer di dalam sini begitu hangat dan menenangkan.
Aku melangkah masuk, melewati meja-meja yang sudah terisi oleh berbagai macam pelanggan. Ada yang kulitnya hijau, ada yang kulitnya merah, bahkan ungu. Ada yang bersisik, ada pula yang berbulu. Mereka semua terlihat unik di mataku yang hanyalah manusia biasa ini.
Menghampiri bagian konter, dia menyambutku dengan ucapan, “Selamat datang di kafe kue yang tidak berada di mana-mana. Kue dan minuman apa yang Anda inginkan pada waktu yang tidak tentu ini?”
“Orange-berry Cake dan Blueberry Milk, tolong ....” Aku berucap dengan suara pelan. Pandanganku terkunci pada netranya yang berwarna jingga terang. Dia takpernah gagal membuatku terpesona. Ya, sepertinya dia tidak mencoba.
Dia menjentikkan jari seraya mengedipkan sebelah matanya. “Seperti biasa, ya, Nona Manis.” Telunjuknya kemudian diarahkan ke meja kosong di tengah kafe. “Silakan duduk. Pesanan Anda akan segera saya antarkan.”
Aku mengangguk sambil menghindari kontak mata. Tanpa berkata-kata lagi, aku berbalik, menghampiri meja yang dia tunjuk tadi. Rasanya telingaku sedang terbakar.
Dia jelas-jelas menggodaku. Di depan banyaknya pelanggan di kafe ini.
Kuperhatikan sekeliling dengan kepala tertunduk. Baguslah, pelanggan lain tidak memerhatikan interaksiku dengan dia. Meski demikian, ini sangat memalukan. Biasanya tidak seperti ini. Biasanya dia memperlakukanku seperti pelanggan pada umumnya, dengan senyum hangat terpampang pada wajah.
Ada apa gerangan? Tingkahnya hari ini membuatku agak risi.
Setelah beberapa saat, aku menopang dagu dengan siku bertumpu di atas meja. Pandanganku kembali terfokus pada dirinya. Kali ini, yang menarik perhatianku adalah ekornya yang kelihatan seperti gumpalan awan berbaris.
Apa ekor itu lembut seperti kapas? Atau tidak bisa kusentuh seperti awan?
Aku terus mengamatinya. Dirinya sedang menyiapkan pesananku, menaruhnya di atas nampan, kemudian mengantarkannya ke mejaku.
“Pesanan Anda telah tiba, Nona. Selamat menikmati,” ujarnya setelah memindahkan pesananku ke atas meja.
Aku bengong, masih menatapnya lamat-lamat. Dia masih berdiri di hadapanku, dengan nampan kosong di depan dada serta senyum manis di wajah. Kami saling tatap tanpa mengucapkan kata-kata.
Fokusku mendadak buyar ketika para pelanggan satu per satu menaruh perhatian pada kami berdua. Telingaku panas bukan main. Mungkin sudah beruap seperti susu panas di meja. Pun seperti ada yang menggelitik perutku dari dalam.
Dia tertawa kecil, lantas berkata, “Baiklah, saya permisi dulu.” Ia pun kembali ke konter. Duduk di atas kursi yang tersedia sambil membaca koran dengan gambar-gambar buram serta tulisan yang tidak kukenali.
Tanganku terangkat, meraih sendok mungil di samping piring yang berisikan kue pesananku. Satu suapan kecil masuk ke dalam mulutku. Rasa asam dan manis menjalar di lidah, membuatku merasa tenang dan nyaman. Tekanan dari pelanggan lain juga menghilang.
Aku menikmati setiap sendok kue yang masuk ke dalam mulut. Sesekali aku menyeruput susu yang sudah tidak begitu panas.
Datang ke kafe antah-berantah ini memanglah terapi terbaik. Aku bisa melupakan segala beban hidup sebagai seorang gadis yang baru memasuki umur 20-an. Ditambah lagi, kafe ini dijalankan oleh seorang pemuda tampan. Bukan manusia, memang. Namun, dia tidak terlalu aneh untuk ukuran makhluk yang mirip dengan manusia.
Sudah sepuluh kali aku datang ke kafe ini. Tidak sekali pun dia mengucapkan namanya. Aku tidak bisa menemuinya di tempat lain. Aku juga tidak tahu kapan jalan menuju tempat ini menghilang. Kalau itu terjadi, setidaknya aku ingin mengingat dan mencatat namanya dalam buku harianku.
“Ekhem. Nona yang manis ini sedang memikirkan apa?” Tahu-tahu, wajah pemuda yang kumaksud sudah berada tiga puluh senti di depan wajahku. “Pelanggan lain sudah pergi. Apakah Anda keberatan jika saya duduk di sini?”
Aku tersentak kaget. Segera kualihkan pandangan ke sekeliling, mengamati seisi kafe yang kini sudah sepi. Setelahnya, aku mulai merenungi piring serta gelas kosong di depanku.
Sepertinya aku lupa waktu karena terlalu menikmati.
“Kamu itu ... manusia pertama yang datang kemari.”
Aku refleks mengangkat kepala. Baru kali ini aku mendengar dia bicara tanpa formalitas. Mengejutkan.
Otakku butuh waktu cukup lama untuk memproses situasi ini.
Tersisa kami berdua di dalam kafe ini. Dia berbicara dengan santai. Ada sepotong kue Blueberry Cloud dan secangkir teh di hadapannya. Dia juga bilang, aku adalah manusia pertama yang mampir ke kafenya.
“Kenapa baru bilang sekarang?” sahutku dengan kepala dimiringkan sedikit. Fakta itu sama sekali tidak mengejutkan bagiku.
Wajar saja kalau aku adalah yang pertama. Siapa juga yang bisa menemukan jalan ke kafe antah-berantah ini? Aku sendiri tidak tahu jalan kemari.
Suatu hari, sehabis makan malam seorang diri, aku kembali ke kamar dan berbaring. Saat itu aku belum tidur. Aku hanya berkedip dan tiba-tiba aku sudah berdiri di depan pintu sebuah kafe yang terletak di tengah kegelapan. Karena tidak tahu harus ke mana lagi, aku masuk saja.
“Karena baru kali ini aku tertarik padamu,” jawab pemuda itu. Dia pun menunjuk piring serta cangkir kosongku yang tiba-tiba terisi kembali.
Aku merenungi cangkir dan kue tersebut hampir satu menit. Ketika aku mendongak dan membuka mulut untuk melontarkan komplain, pemuda di hadapanku mendesis, “Bukannya selalu ada ruang untuk makanan penutup?”
Mulutku kembali terkatup. Dia benar. “Selalu ada ruang untuk makanan penutup”. Itu adalah kata-kata andalanku.
“Namaku Nael.” Pemuda itu mengukir senyum sendu di wajahnya. “Maukah dirimu menemaniku? Kali ini saja.”
Ini pasti mimpi. Pemuda yang kukagumi memberi namanya dan dia memintaku untuk menemaninya. Menemaninya makan kue dan minum. Berdua di dalam sebuah kafe yang makin lama makin kecil saja.
Kafe yang awalnya begitu luas dan ramai akan pengunjung kini berubah menjadi yang sebaliknya. Aku tidak tahu bagaimana tempat ini bertransformasi menjadi kafe kue mini yang hanya ditempati oleh Nael dan aku.
Karena kafe ini berada di tengah kegelapan yang pekat, bisakah aku berkata bahwa dunia benar-benar terasa milik berdua? Maksudku, kenapa tidak?
Hanya ada kami di tempat ini. Pelanggan-pelanggan dengan wujud aneh tadi sudah pergi entah ke mana. Mungkin mereka sudah berpulang ke dunia masing-masing.
“Aku serius waktu memanggilmu manis tadi,” ujar Nael setelah menyeruput tehnya. Dia memandangiku sejenak, lalu lanjut berkata, “Kamu ini pendiam, ya.”
“Begitulah.”
Aku memang irit kata saat berucap, tetapi sebenarnya pikiranku kebajiran kata-kata hampir setiap saat. Contohnya sekarang.
“Kehidupanmu membosankan, ya? Mau ikut denganku saja?” Nael mengepalkan kedua tangan di atas meja. Dia menatapku dengan mata berbinar.
Sebelum menjawab, aku termenung. Hidupku memang membosankan. Itu-itu saja yang kulakukan setiap harinya. Aku tidak merasakan perkembangan dalam hidupku itu.
Monoton. Membosankan. Suram. Sepi. Karena itu aku sering datang ke tempat yang penuh dengan kehangatan ini. Aku suka suasana kafe ini. Aku juga suka pemuda yang menjalankan kafe ini.
“Ikut ke mana memangnya?”
Nael mengetuk meja dengan jari telunjuknya. Seketika semua yang terletak di atas meja tersebut menghilang. “Ke mana pun kamu mau selama kafe tutup. Kalau kafenya buka, kita sama-sama jaga kafe.”
Aku menaikkan salah satu alis. “Selain bisa pergi ke mana saja, apa yang menyenangkan?”
“Menjaga kafe itu menyenangkan, tahu.” Senyum cerah mengembang di wajahnya kala ia mengetuk-ngetuk meja. Tidak ada yang hilang kali ini. “Kalau bosan melayani pelanggan, kamu bisa bereksperimen dengan resep-resep kue. Banyak bahan yang bisa kamu pakai.”
Membuat kue. Sudah lama aku tidak merasakan rasa senang karena melakukan hal itu.
Sejak beranjak dewasa, banyak waktuku yang tersita. Bekerja, bekerja, dan bekerja. Waktu untuk diri sendiri saja hampir tidak punya.
“Jadi, bagaimana? Mau atau tidak?” Nael mencondongkan badan ke depan, menantikan jawaban dariku.
Apakah ini kesempatan yang datang sekali dalam seumur hidup? Kalau iya, untuk apa kutolak? Rasanya bodoh sekali kalau kutolak ajakan Nael.
“Kenapa tidak.” Aku menaik-turunkan bahu. Senyum tipis terlukis pada wajahku. “Aku mau, ikut denganmu.”
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro