Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

di atas awan ada apa?

Di atas awan ada banyak yang sedang tidur siang. Salah satunya adalah bocah bernama Kumo. Waktu itu, dia naik ke awan untuk melarikan diri dari ombak hitam-putih.

Sejak naik ke atas awan, warnanya yang semula memudar lambat-laun kembali cerah. Untuk itu dia hanya perlu tidur siang yang lama. Selama apa pun itu, tetap tidur siang namanya karena mentari tak pernah digantikan oleh rembulan di atas sana.

Ketika bangun, Kumo mendapati dirinya berbaring di tengah anak-anak yang pudar warnanya. Mereka semua masih tidur siang, perlahan mengumpulkan warna.

Kumo sudah selesai. Warnanya sudah kembali. Namun, kini ia tak punya tempat untuk kembali. Mengintip ke bawah, tempatnya berasal telah disapu habis oleh ombak hitam-putih. Semuanya abu-abu di bawah sana. Melihat kesuraman itu, Kumo sadar, dia harus mencari tempat baru untuk berpulang.

Sekali naik ke atas awan warna, tak ada yang bisa kembali ke tempat asal. Itu karena awan warna adalah tempat aman. Sarana berlindung ketika tempat asal disapu ombak hitam-putih.

Tempat yang disapu ombak hitam-putih tak beda dari padang gurun penghisap warna. Tanpa warna sama saja dengan mati.

Kumo dan anak-anak di atas awan warna berhasil menghindari kematian. Bayarannya adalah kehilangan tempat berpulang. Mereka harus mencari rumah baru. Itu yang Kumo lakukan.

Awan warna tidak hanya satu. Ada banyak awan warna lain. Hanya saja, warnanya sedikit pucat. Awan-awan itu melayang di udara, tak begitu jauh dari satu sama lain. Kelihatan membentuk jalur. Awan warna tempat tidur siang adalah garis awal.

Kumo melangkah ke tepi awan tidur siang, menghadap awan selanjutnya. Dia menunduk menatap kehampaan di bawah. Urung niatnya untuk melompat ke seberang, berharap udara sekitar mau menolong.

Sebagai usaha terakhir, Kumo melambai-lambaikan tangan. Mulutnya terbuka, tetapi tidak ada suara yang keluar. Hening menyelimuti, tidak mencekam, justru membawa damai.

Kumo memutuskan untuk duduk bersila, masih melambai penuh harap. Kilauan tidak pergi meninggalkan matanya. Artinya, dia masih dan terus berharap.

Tak terhitung berapa lama waktu berlalu hingga awan-awan mungil perlahan muncul. Awan-awan mungil berwarna putih, berbaris dengan jarak antara satu sama lain, membentang sampai ke awan selanjutnya.

Keraguan sejak awal tak pernah ada. Kumo memanfaatkan barisan awan tersebut sebagai jembatan. Warnanya berubah kala dipijak, kembali putih ketika Kumo berpindah ke awan mungil di depannya.

Dengan langkah ringan tanpa ragu, dihiasi wajah riang pun senandung, Kumo tiba di awan seberang. Tidak seluas yang sebelumnya. Juga tidak ada seorang pun terbaring di sana. Hanya ada gumpalan awan besar  yang menyerupai awan, terletak tempat di tengah.

Santai sekali Kumo melangkah ke depan pintu rumah tersebut. Ada tombol kecil yang langsung ditekannya tanpa pikir panjang.

Tidak ada suara.

Kumo hampir mendobrak masuk saat pintu awan mengayun terbuka dengan lembutnya. Tampak sesuatu berbadan wanita, tetapi berkepala awan. Meski makhluk itu tak memiliki wajah, Kumo dapat merasakan dirinya disambut dengan senyum hangat.

"Mari masuk," ujar makhluk itu ramah. Ia bergeser, membiarkan Kumo masuk terus menuntunnya ke depan meja besar.

Kumo dipersilakan untuk duduk di atas gumpalan awan bulat depan meja tersebut. Empuk seperti duduk di atas sofa kualitas tinggi.

Si wanita awan mengambil tempat di balik meja lebar. Dia merogoh meja awan tersebut, lantas mengeluarkan beberapa lembar kertas beserta bulu putih.

"Karena kamu tidak dapat berbicara, saya memintamu untuk mengisi kertas ini," ucap Wanita Awan seraya menyerahkan benda-benda di tangannya.

Bukan awan. Kertas dan bulu itu memanglah kertas dan bulu. Di atas kertas tersebut awalnya hanya kelihatan coretan-coretan tak bermakna, hingga mata Kumo menyesuaikan.

Mulut Kumo terbuka dan bergerak, mencoba membacakan isi kertas tersebut. Kembali mengangkat kepala, ia menatap Wanita Awan sebentar, lalu kembali menunduk.

Bisa atau tidak bisa menulis, Kumo tetap mengisi kertas tersebut. Tangannya bergerak dari pelan jadi sangat cepat. Tahu-tahu Kumo sudah selesai terus mengembalikan kertas dan bulu yang berfungsi layaknya pena.

"Terima kasih, Kumo." Wanita Awan lanjut mengamati isian bocah di hadapannya.

"Kumo. Waktu hidup selama delapan belas tahun. Dihantam ombak hitam-putih sebanyak enam kali. Menyelamatkan diri sesaat sebelum ombak ketujuh menerjang."

Kertas dan pena kembali dilahap meja awan setelah Wanita Awan membacakannya. Di sisi lain, Kumo tampak kebingungan.

"Ini terlalu cepat untukmu, tetapi apa boleh buat." Wanita Awan berdiri menghampiri Kumo, menuntunnya keluar rumah awan.

Mereka berdua berjalan dalam hening menuju tepian, temat mereka menghadap awan selanjutnya. Kali ini tidak butuh waktu lama untuk jembatan awan mungil muncul.

Wanita Awan menepuk pundak Kumo. "Semoga selanjutnya umurmu lebih panjang."

Kehangatan menjalar dari pundak ke sekujur tubuh. Spontan Kumo melompat, menginjak pijakan pertama dan terus maju.

Tak sempat Kumo dengar, Wanita Awan bergumam, "Jangan kembali terlalu cepat."

Tibalah Kumo di atas awan ketiga. Sempit. Kosong. Habis berkeliling pun ia tak mendapati apa-apa.

Kumo akhirnya duduk di tengah dalam kehampaan. Bersenandung tak bisa. Tidur pun tak bisa.

Sekian waktu berlalu, sesuatu mengambil wujud di hadapan Kumo. Perlahan membentuk wujud seorang pria berbadan besar. Kepala dan wajahnya ada, tidak seperti Wanita Awan. Pria ini tangannya terbuat dari gumpalan awan, dari bahu sampai ujung jari.

"Halo, maaf sudah membuatku menunggu." Pria bertangan awan itu tersenyum ramah ada Kumo.

Sebagai balasan, Kumo menggelengkan kepala terus mengacungkan jempol. Dia masih tidak bisa bicara.

"Baiklah, kita langsung saja ada intinya, ya." Senyum ramahnya tak kunjung luntur. Secarik kertas muncul dalam genggaman tangan awannya.

Selesai dibaca, kertas tersebut hilang ditelan tangan awannya. Pria itu lalu menepuk pelan kepala Kumo. Senyumnya berubah sendu. "Semoga kamu mendapatkan rumah yang lebih baik, ya"

Kumo mengangguk. Dia pun mengekori Pria Bertangan Awan ke tepi awan tersebut. "Kita akan menemui sosok yang nantinya mengantarmu ke rumah baru."

Jembatan awan terbentuk sampai ke awan keempat. Kali ini bentuknya benar-benar jembatan, bukan barisan gumpalan awan mungil.

Kumo dan pria itu tiba di tengah awan keempat. Ada satu gumpalan awan mungil yang muncul di depan wajah Kumo. "Halo!" sapanya.

"Nah, dia yang akan mengantarmu." Pria Bertangan Awan menyerahkan secarik kertas yang langsung ditelan Awan Mungil. Ia pun membisikkan sesuatu yang membuat Awan Mungil sedikit mengempis.

Kumo memandangi keduanya, menunggu dengan sabar. Sedikit pun Kumo tidak paham, hanya membiarkan dirinya diseret arus yang dirasa tidak berbahaya.

"Baiklah, Kumo!" Awan Mungil sudah selesai bercakap-cakap, ia melayang pun mendarat di atas kepala Kumo. "Waktunya berangkat," bisiknya.

Seketika Kumo berubah wujud menjadi gumpalan awal kecil seperti Awan Mungil. Dia masih tidak bisa bersuara.

Pria Bertangan Awan belum pergi. Ia menyempatkan diri untuk mengucapkan kata-kata terakhir pada Kumo. "Semoga kamu mendapat rumah yang bagus. Kalau bisa, rumah yang tidak akan dilanda ombak hitam-putih."

Kumo masih tidak mengerti maksudnya. Namun, kata-kata itu terdengar tulus dan penuh harap.

Kumo yang sudah kembali berwana lalu melayang pergi bersama Awan Mungil. Tujuan mereka adalah awan kelima, tempat portal warna-warni berbingkai emas berada.

"Kami harap dia bisa mempertahankan warnamu," ucap Awan Mungil sebelum mendorong Kumo masuk ke dalam portal tersebut.

Silau kala Kumo menembus portal warna-warni. Tak lama kemudian, dia muncul di tempat serba putih yang siap diberi warna. Pun Kumo kembali ke wujud bocah.

Kumo memutuskan untuk berkeliling. Tempat itu rupanya tidak sepenuhnya putih juga tidak kosong. Di kejauhan tampak padang bunga kertas warna-warni dengan kupu-kupu kertas terbang di atasnya.

Ada pula macam kertas bertutul ungu, buah naga bersayap, seluncuran lingkar, dinding penuh coretan, dan banyak lagi.

Senyum mengembang di wajah Kumo. Dia merindukan tempat seperti ini. Tempat yang penuh akan warna yang diberi oleh Kumo secara tak langsung.

Hanya satu harapan Kumo, yaitu agar temat itu tidak lagi disapu ombak hitam-putih.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro