
Bocah Pengelana Dunia Mati
Utopia.
Kata itu kutemukan dalam benda kuno yang mereka sebut buku. Benda itu kutemukan di antara puing-puing sisa peradaban manusia. Kebanyakan tulisan di dalam buku yang kutemukan ini sukar dibaca, telah memudar dimakan usia. Namun, masih ada beberapa kalimat yang dapat kubaca.
"Tempat ... penuh kebahagiaan." Langsung saja aku tertawa masam setelah membacanya. Siapa pun yang menulis buku ini pasti adalah seorang pemimpi sebab tidak ada tempat yang penuh dengan kebahagiaan. Aku tahu, dahulu kala dunia tak jauh berbeda dengan yang sekarang (bukan penampakannya). Kekacauan ada di mana-mana. Kelaparan, kematian, pembunuhan, pengucilan, diskriminasi, dan banyak lagi.
Tempat yang disebut utopia itu hanyalah omong kosong. Hayalan belaka. Hanya orang-orang naif yang percaya akan hal itu. Sayang sekali, orang-orang naif telah lenyap dari dunia ini, menyisakan kami yang berani menghadapi kenyataan pun mampu bertahan. Ya, itu juga kalau masih ada orang lain selain aku di dunia ini.
Jika utopia adalah tempat yang penuh kebahagiaan, maka dunia yang menjadi tempatku bernaung ini adalah kebalikannya. Mungkin ada sebutan untuk itu. Jika ada satu dari kalian yang mengetahuinya, tidak usah repot-repot memberitahuku karena aku tidak peduli.
"Tidak berguna," gumamku seraya menjatuhkan benda kuno tersebut ke tempat aku menemukannya. Debu mengepul kala buku itu menghantam permukaan puing-puing.
Sekali lagi aku mengamati sekeliling sebelum kembali naik ke permukaan. Tidak ada yang menarik di sini. Reruntuhan bangunan sejauh mata memandang. Hanya tempat di dekatku yang agak berbeda. Banyak buku berserakan pun potongan kayu-kayu tua yang mungkin sebelumnya adalah lemari untuk buku-buku ini.
Ini agak aneh. Kayu pun buku-buku ini kelihatan tidak setua reruntuhan di sekitar. Buku yang barusan kubuka sudah lama sekali dicetak, tetapi aku yakin sekali bahwa benda itu tidak akan bisa mempertahankan wujudnya hingga detik ini ... jika tidak dirawat.
Aku tidak bisa sihir ataupun memiliki peralatan canggih. Aku tidak bisa merasakan jika benda-benda ini diselimuti sihir. Aku tidak memeriksa status benda-benda ini dengan alat canggih.
Sepertinya aku harus mempertimbangkan untuk memasukkan dua hal itu dalam daftar pencarian. Kalau saja aku mendapatkan salah satu atau lebih bagus keduanya, hidupku di dunia hancur ini akan lebih mudah.
Sebelum benar-benar naik ke atas, aku lebih dahulu mengatur posisi masker dan goggles (bayangkan saja kacamata pengaman yang digunakan pilot pesawat dalam kartun anak-anak). Aku mengencangkan ikatan tali di pinggang, kemudian menoleh ke atas, menarik tali untuk memastikan apakah aman jika aku naik sekarang. Ini sudah kelima kalinya aku membuat simpul tali dan aku bersumpah jika kali ini aku tidak becus membuatnya, aku akan mengutuk diriku sendiri.
Penuh rasa percaya diri, aku mulai memanjat. Ya, aku sedang memanjat sebuah tali tambang. Seandainya dalam perjalanan tanpa tujuan ini aku dipertemukan dengan pengelana lain, mungkin pengelana itu akan mengatai peralatanku ketinggalan zaman.
Aku menemukan segala macam peralatan ini di tempat yang dulunya disebut Distrik Kuno (aku tahu dari sebuah papan tua). Hanya tempat seperti itu yang aman untuk kujarah. Tempat-tempat yang modern kondisinya antara dipenuhi monster menjijikkan, menjadi lautan cairan beracun, ladang gas beracun, atau terlalu hancur untuk dijarah.
Setibanya di permukaan, diriku disambut dengan hangat oleh langit merah suram juga hamparan tanah gersang. Debu beterbangan mengikuti embusan angin sepoi-sepoi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sekitar. Dunia ini sudah sekarat. Anehnya, aku belum rela mengakhiri hidup menyedihkan ini.
Aku akan mati saat dunia ini menginginkan aku mati.
Aku, bocah laki-laki yang entah sudah hidup selama berapa tahun, terbangun dalam gelembung sihir yang meletus tepat setelah kelopak mataku terangkat. Terjebak dalam kebingungan di tengah dunia yang sekarat ini. Itu terjadi sudah lama sekali. Aku lupa cara menghitung waktu, lagi pula itu tidak penting di tengah dunia ini.
Nama? Aku tidak memiliki—aku tidak ingat. Panggil saja Merah kalau kalian bersikeras meminta namaku. Kenapa Merah? Karena warna itulah yang senantiasa menemani ke mana pun aku pergi, kecuali saat aku menelusuri reruntuhan di bawah tanah seperti barusan.
Ngomong-ngomong, soal reruntuhan bawah tanah barusan. Ada perasaan yang mengganjal. Perasaan aneh yang teramat asing. Harap? Aku berharap? Di tengah dunia sekarat ini? Lucu sekali. Akan tetapi, aku tak bisa menampik perasaan ini begitu saja. Setelah melihat tempat itu, muncul secercah harapan dalam diriku.
Menurutku, tempat aku mendarat tadi adalah yang paling terawat. Dan setelah menusuri setiap sudut dari reruntuhan itu, tidak kutemukan satu pun mayat atau sekadar kerangka manusia. Mungkinkan hanya reruntuhan kota mati? Orang-orangnya hangus menyisakan debu? Atau mereka semua telah bermutasi menjadi monster, memanjat ke permukaan, lalu berpencar? Sungguh, menerka-nerka seperti ini membuatku merasa bodoh.
Aku memang bodoh, tetapi aku lebih suka mengabaikan fakta itu. Aku ini sangatlah bodoh karena tidak tahu apa yang sebelumnya terjadi.
Bagaimana bisa dunia menjadi seperti ini? Sebelum menjadi seperti ini, dunia itu bagaimana? Kenapa sihir bisa berdampingan dengan teknologi? Kenapa ada monster, cairan beracun, juga asap beracun? Kenapa langit berwarna merah? Sebenarnya lagi itu biru, bukan? Kenapa semuanya terlihat gersang pun rapuh?
Dan kenapa aku sendirian di sini?
Kenapa aku masih hidup di dunia ini? Dibiarkan hidup? Seseorang berkorban demi aku? Untuk apa? Apa yang bisa kulakukan?
Kadang ... aku merasa kesepian. Menyakitkan. Ini menyakitkan. Namun, aku berusaha mengabaikannya karena kurasa diri ini pandai dalam mengabaikan sesuatu dalam kurun waktu yang tak menentu.
Apa yang kuabaikan sesekali datang menampar, seakan-akan ia muak diabaikan. Kali ini yang datang menampar adalah harap dan kesepian.
Aku kesepian selama ini. Diam-diam mengharapkan perjumpaan dengan orang lain. Seseorang yang dapat kuajak bicara. Seseorang yang mau berbagi keluh kesah. Seseorang ... yang bisa mengisi kekosongan ini.
Air mata, setelah sekian lama kembali membanjiri area wajah yang ditutupi goggles tua ini. Terpaksa aku membuka pelindung mataku, berusaha mengapus serta menghentikan air mata yang terus mengalir ini.
Setelah sesi menyedihkan usai, aku mulai meratapi kedua tangan mungil yang dibalut sarung tangan tebal berwarna cokelat tua. Tidak bertambah besar. Aku beralih menarik helaian rambut. Sepertinya sudah bertambah panjang. Belum cukup panjang untuk bisa dikucir. Atau memang begini panjangnya dari dulu?
Sibuk merenung, tubuhku tahu-tahu gemetar. Tidak, aku tidak kedinginan ataupun ketakutan.
Dunia berguncang.
Semula hanya getaran, kini telah menjadi guncangan. Tak begitu kuat, tetapi cukup kuat untuk sesuatu di dalam reruntuhan bawah tanah roboh.
Aku mematung selama guncangan tersebut. Baru mulai mengemas barang-barang ketika guncangannya berhenti.
Ini kali pertama aku merasakan guncangan dunia. Entah ini pertanda apa, yang pasti bukan pertanda kedatangan gerombolan monster dari Distrik Modern.
Aku datang dari arah kanan, jadi aku bergegas pergi ke arah kiri. Lari dari apa? Lari ke mana? Jangan tanya. Aku hanya mengikuti insting. Siapa tahu insting ini membawaku pada seorang pengelana lain. Kalau benar, mungkin aku bisa mendapatkan jawaban darinya.
Berbekal secuil harap, aku terus berlari tanpa mengganti arah. Tanpa kenal lelah. Tanpa peduli akan sepatu kulit yang mulai koyak ini. Aku baru peduli kala tiba giliran kakiku yang koyak. Seketika aku jatuh tersungkur sebab gundukan tanah tak jelas. Tanganku ikut koyak. Segera aku membalikkan badan ke posisi duduk.
Apa yang terjadi? Ada apa dengan tubuhku? Tubuhku koyak layaknya sebuah boneka usang. Alih-alih darah dan daging, yang keluar justru kapas basah berwarna merah. Lidahku kelu, tak kuasa melafalkan kata-kata atau sekadar menjerit.
Dunia kembali berguncang, tetapi fokusku tidaklah padanya. Fokusku sepenuhnya tertuju pada tubuh ini. Tubuh yang bertambah rusak tanpa alasan jelas. Awalnya kaki dan tangan, lalu kerusakannya merambat ke tubuh sampai akhirnya tiba di kepala. Tak ada perih, nyeri, ataupun sakit. Bahkan ketika tubuhku meledak, tidak ada yang kurasakan.
Sekilas, mungkin tak sampai satu detik, kesadaranku bertahan setelah tubuhku hancur lebur menyisakan kapas-kapas basah berwarna merah semerah langit. Kulihat dunia turut hancur dan langit yang sewarna dengan darah itu pecah pun runtuh.
***
"Hei, kau! Mengapa kau masih bermain di sini?! Cepat, lari!"
Seorang wanita tengah duduk di hadapan meja berantakan, penuh dengan potongan kain dan kapas merah pun putih. Mendengar seruan panik seorang pria berjubah yang baru saja melewatinya, wanita itu menaikkan lidah topi kerucutnya, memberenggut kesal.
"Mereka tidak pernah mengerti," gerutunya lantas mengalihkan pandangan ke luar jendela. Para manusia berlarian dalam upaya menyelamatkan diri dari para mesin bersenjata yang memiliki kecerdasan lebih tinggi. Menopang dagu pun mengembuskan napas kasar, wanita itu berkata, "Terulang lagi dan lagi. Musnah satu peradaban, muncul yang baru, dan ada lagi yang lebih baru yang kemudian membinasakan peradaban sebelumnya."
Bosan menatapi pemandangan di luar restoran, wanita tersebut kembali mengurusi urusannya, yaitu membereskan sisa dari mainan lamanya serta bahan-bahan untuk memperbaikinya. Si wanita menjejalkan kain boneka yang sudah koyak juga kapas-kapas putih ke dalam kantong, meninggalkan gumpalan kapas basah berwarna merah.
"Baiklah, ke mana aku pergi sekarang? Mungkin aku harus mencarikanmu teman." Ia menepuk-nepuk kantong yang baru saja dikaitkan kembali pada ikat pinggangnya. "Kamu pasti kesepian."
Si wanita dengan santainya melenggang keluar dari restoran sambil meregangkan badan. Manusia ataupun para mesin pintau tidak menggubrisnya. Santai sekali wanita itu melangkah tanpa usaha menghindari kekacauan. Dia bahkan bersenandung ria.
Langkah kaki menuntunnya hingga tiba di pinggiran kota, tepat di depan rumah kayu renyot. Bau amis menguar tak luput dari penciuman si wanita. Bukannya menjauh, ia justru berderap mendekat dengan senyum merekah.
Dirobohkannya pintu rumah tua yang tak selaras dengan bangunan di sekitarnya itu. Tampak mayat gadis kecil terkulai di bingkai jendela bersimbah darah, membuat si wanita dengan riangnya berseru, "Nah, itu dia teman barumu!"
Sambil melangkah mendekati mayat tersebut, ia bergumam, "Aku hanya perlu memperbaikinya lebih dahulu."
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro