17a. Rahasia Jala
Dalam keremangan cahaya dari bara sabut kelapa, Deka dan Urai bisa melihat kegelisahan Jala. Pemuda itu mendesah beberapa kali. Duduk pun tidak tenang, memutar ke kiri dan kanan.
"Deka benar, Jala. Sebaiknya kamu menceritakan semua selengkapnya," ujar Urai.
"Kalian sudah mendengar semua di betang tadi. Aku sedang mencari calon istriku yang diculik orang tak dikenal," tukas Jala.
"Kenapa mereka menculik calon istrimu?" tanya Deka. Urai segera menerjemahkannya ke dalam bahasa Ngaju.
"Aku tidak tahu. Kami disergap saat sedang berada Sungai Kahayan, dekat Pahandut. Kalian lupa?" jawab Jala dengan nada ketus.
"Maksudku, apa hubunganmu dengan para penyerang itu? Kenapa Datu Penyang menuduhmu sebagai penyebab petaka ini?" lanjut Deka.
"Aku tidak tahu!" tukas Jala lagi. "Aku bahkan tidak mengenal mereka! Aku sendiri tawanan!"
Mendengar reaksi yang kental dengan pertahanan diri itu, Deka dan Urai saling pandang.
"Aku rasa, arwah amnesia itu memang membutuhkan bantuan kita, Rai. Aku yakin peristiwa ini ada hubungannya dengan dia," bisik Deka. "Coba kamu tanya latar belakang calon istrinya."
Urai mengangguk, lalu menggeser duduk ke bagian depan sampan, di mana Jala berada. "Jala, sebaiknya kita bekerja sama. Aku dan Kodeka akan membantu mencari tunanganmu. Sedangkan kami butuh pemandu yang bisa mengantar kami pulang ke tempat asal kami. Kamu tahu, kan, hutan Kalimantan ini sangat berbahaya. Hanya kamu yang bisa membantu kami melewatinya."
Jala memandang Urai yang wajahnya hanya terlihat samar-samar. "Kalian sungguh-sungguh mau membantuku mencari Riun?"
Urai mengangguk tanpa ragu. "Iya! Tapi setelah itu, kamu harus menjadi pemandu jalan buat kami. Setuju?"
Jala terdiam sejenak. "Memandu ke mana?"
"Ke Bukit Matang Kaladan, dekat Banjar."
Jala menggeleng kecil. "Aku belum pernah mendengarnya. Di mana itu?"
Urai memutar otak, mencari nama di zaman ini yang mungkin dikenali Jala. "Bukit Matang Kaladan itu letaknya di dekat Pegunungan Meratus."
"Di mana Pegunungan Meratus itu?" Jala masih belum bisa membayangkan lokasi Matang Kaladan.
"Begini, Jala. Kampung halamanmu itu berada di utara Pulau Kalimantan atau tanah Dayak ini. Nah, tempat asal ibuku, Pegunungan Meratus, terletak di bagian timur agak ke arah selatan pulau ini," ujar Urai.
Jala mengangguk-angguk, tapi masih belum memahaminya. "Jauhkan itu dari Banjar? Banjar ada di selatan, bukan?"
"Dekat! Kamu tahu Martapura?"
"Ya, aku pernah mendengarnya. Itu dulu tempat istana Sultan Banjar sebelum dikalahkan Belanda."
"Nah, benar! Bukit Matang Kaladan itu ada di hulu Sungai Martapura, ke arah timur Kota Martapura."
Jala mengangguk-angguk. "Kalau ke sana, kita harus ke Kuala Kapuas dulu, lalu hilir, sampai muaranya. Dari situ kita masuk ke Sungai Barito, pergi ke hulu, lalu membelok ke Sungai Martapura."
Deka dan Urai mengangguk-angguk sambil memikirkan jalur perjalanan mereka. "Kita lewat lautkah?" tanya Urai.
"Iya. Tapi masalahnya, kita tidak tahu sekarang berada di mana."
"Sungai di dekat betang itu bagian mana Sungai Kapuas?"
"Entah. Aku hanya tahu sedikit karena disekap. Kalau tidak salah, tempat mereka itu dekat dengan Kuala Kapuas."
"Berapa lama ke Kuala Kapuas dari betang?"
"Tidak lama. Karena ke hilir, cuma sekitar setengah hari menggunakan jukung kecil seperti ini. Tapi waktu pulang lebih lama karena kita ke arah hulu."
"Setengah hari itu termasuk sebentar?" tanya Urai sambil menggigit bibir. "Lantas berapa hari kita sampai di Matang Kaladan?"
Jala mengangkat bahu. "Entahlah. Aku belum pernah ke sana. Bisa jadi satu minggu atau lebih."
Deka dan Urai langsung mendesah panjang. "Satu minggu itu lama sekali," keluh Urai.
"Sebaiknya kalian ikut rapat damai di Tumbang Anoi. Aku yakin ada utusan dari Meratus. Kalian bisa pulang bersama perahu mereka."
"Apa ada orang Belanda akan ikut ke Tumbang Anoi? Riwut bilang rapat itu dibuat oleh Belanda," tanya Deka. Sebuah ide meletup dalam benaknya.
Jala kembali mengedikkan bahu. "Mungkin saja."
"Rai, kita bisa menumpang kapal Belanda ke Banjarmasin, lalu kita lanjutkan jalan darat ke Matang Kaladan. Kalau nggak salah, mereka punya kapal layar yang besar."
"Kalau kita malah dianggap musuh gimana?" bantah Urai. "Kita bisa dipenjara, Kodeka! Jangan-jangan kita nanti dikirim ke pulau lain buat kerja paksa."
"Tidak semua orang Belanda jahat. Ada juga yang baik. Saudara majikanku di Kaso dulu dibawa orang Belanda sampai ke Papua. Sewaktu pulang, dia mendapat upah uang gulden banyak sekali."
"Oh, ya? Buat apa mereka diajak ke Papua?" tanya Urai.
Jala kembali mengedikkan bahu. "Orang kulit putih itu suka masuk ke pedalaman pulau. Katanya mau mengumpulkan tanaman dari hutan. Mereka juga membawa obat-obatan dari negeri mereka."
"Hm, itu pasti ekspedisi Belanda buat mencari tahu cara hidup penduduk pribumi," gumam Urai.
"Ya. Mereka menggunakan informasi itu untuk membuat strategi menguasai negeri kita," timpal Deka. "Jangan lupa, mereka pasti juga mencari sumber daya alam yang bisa mendatangkan kekayaan."
"Benar. Harus diakui, strategi Belanda dulu memang cerdik. Ilmuan-ilmuan mereka tidak keberatan menyabung nyawa di hutan-hutan perawan buat mencari informasi."
Deka dan Urai tiba-tiba tercenung.
"Kodeka, di zaman kita juga mirip seperti ini, kan? Orang asing menyelidiki perilaku kita dan sumber daya kita, lalu diam-diam memanfaatkan itu untuk kepentingan mereka."
Deka mendesah panjang. "Jangan dibahas. Zaman kita penuh intrik yang nggak jelas."
"Zaman? Zaman apa?" Jala ikut menyahut. Rupanya ia berusaha memahami bahasa yang digunakan kedua rekan seperjalanannya.
Deka dan Urai saling pandang kembali.
"Kodeka, sebaiknya kita beritahu dia atau enggak?" bisik Urai.
"Menurutmu gimana?"
"Beritahu ajalah. Toh belum tentu dia mengerti."
Deka setuju. "Tapi kalau kita jujur, dia juga harus jujur."
Urai menatap Jala kembali. "Jala, kalau kami ceritakan siapa kami sejujurnya, kamu juga mau menceritakan semua kisahmu tanpa kecuali?"
Jala diam sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah. Asal kalian mau berjanji membantuku mencari Riun."
"Ya, kami berjanji membantumu mencari Riun," sahut Urai sambil mengangguk kecil beberapa kali untuk meyakinkan pemuda itu.
"Baiklah. Aku akan ceritakan semua yang kutahu."
"Nah, tolong beritahu kami siapa para penyerang itu," ujar Urai.
—Bersambung—
Yuk komen dan vote😍
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro