15b. Mendayung dalam Gelap (2)
"Ayo, lebih cepat!" seru Jala. Ketiganya mendayung menembus kegelapan seperti orang gila, melupakan rasa nyeri yang mulai menyiksa lengan dan bahu. Beberapa kali ujung sampan menabrak pinggiran sungai atau tersangkut akar kayu.
Perahu yang melaju tanpa arah yang jelas dan melawan arus itu pun mulai tersusul oleh para pemburu. Jala sempat menoleh ke belakang. Di bawah cahaya obor, tampak para penyerang itu kini bersiap melempar tombak. "Tombaaak! Merunduk!"
Sebuah batang kayu berujung runcing menyerbu mereka. Beruntung tembakan itu meleset. Tombak itu hanya menancap di lantai sampan.
Tahu tembakan temannya meleset, penyerang yang lain bergerak akan melempar tombak kedua.
"Jiaaaah!" Sebuah pekikan nyaring menyeruak dari arah hutan. Sosok-sosok menerjang cepat ke arah para pemburu. Detik berikutnya terdengar denting besi yang beradu bercampur suara erangan dan teriakan perang. Dari arah sampan, Urai sempat melihat sosok ramping ber-ewah merah yang tak asing.
"Riwut, kamukah itu?" bisik Urai.
"Mereka diserang penghuni betang. Ayo, ini kesempatan untuk kabur. Kayuh lagi lebih cepat!" seru Jala.
"Tapi ... salah satu dari mereka sepertinya Riwut. Kita tidak menunggunya?" tanya Urai. Ia masih melihat ke area pertempuran. Obor-obor sudah terserak ke berbagai arah. Pekikan-pekikan terdengar menembus udara malam.
"Tidak ada waktu, Urai!" tegur Jala dengan tegas. "Cepat mendayung!"
Dengan berat hati, Urai terpaksa membalikkan badan ke depan dan menuruti Jala. Di belakang sana, pertempuran masih riuh. Ada suara tubuh yang tercebur ke sungai disertai erangan panjang. Urai menggigit bibir dengan perasaan campur aduk.
Semoga erangan itu bukan dari kamu, Riwut, doanya dalam hati.
Ketiga orang itu kembali mendayung sekuat tenaga. Sampan kembali bergerak ke hulu. Suara-suara pertempuran semakin jauh dan akhirnya mereka memasuki kekelaman malam yang gelap total dan lengang.
Mereka terus mendayung sepanjang malam dengan meraba-raba jalur di depan menggunakan tongkat kayu. Tak ada yang berani berbicara, takut seseorang mendengar mereka. Rombongan itu terus bergerak sepanjang malam.
Entah berapa jam mereka mendayung dalam kegelapan. Tangan dan bahu mereka telah kebas dan sangat ngilu saat sampan kecil itu terhalang sesuatu dan sama sekali tidak bisa maju.
Jala menggerakkan batang sumpitan berujung tombak ke depan, samping, dan ke air di sekitar sampan untuk mendeteksi apa yang menghalangi mereka.
"Apa kita tersangkut lumpur sungai?" bisik Urai.
"Tidak. Air di sini cukup dalam. Sepertinya ada sulur-sulur rotan di depan. Atau akar pohon."
"Kita harus putar balik?" tanya Urai lagi.
"Kita istirahat saja di sini. Sepertinya sudah aman," usul Jala. Tangannya sudah mati rasa. Bahkan hampir tak sanggup diangkat untuk memijat bahu. Lagipula, badannya belum pulih dari luka-luka penganiayaan sebelumnya.
"Jala, bisakah kita membuat api supaya bisa melihat jalan?" tanya Urai.
"Bisa, asal ada bahannya. Coba cari di bawah, siapa tahu mereka menyimpan obor atau bahan lain yang bisa dibakar."
Urai dan Jala meraba-raba sisi bawah jukung. Ternyata sampan kecil itu memang dipersiapkan untuk pelarian darurat. Mereka mendapati sekantung beras dan panci. Mereka juga menemukan obor kecil terbuat dari sabut kelapa yang diikatkan pada batang kayu bulat. Namun, Urai tidak menemukan pemantik api.
"Dengan apa kita menyalakan obor? Nggak ada korek api," keluh Urai.
"Korek api?" tanya Jala. "Tidak perlu. Ada ini." Jala mengeluarkan dua buah batu kecil dari lantai jukung. Ia menyuruh Urai memegang obor, lalu mulai memukul-mukulkan kedua batu itu. Percik-percik api pun terbentuk. Beberapa saat kemudian, upaya telatennya berhasil menyulut sabut kelapa di ujung obor. Nyalanya berwarna kuning kemerahan, terlihat indah di tengah kekelaman malam.
"Wah, seperti di film-film!" ucap Urai terkagum, walau tidak berani bersuara nyaring. Api itu sekarang tampak seperti keajaiban. "Aku belum pernah sebahagia ini melihat api. Lihat, Kodeka!"
Deka tidak menjawab. Urai baru sadar bahwa sejak melarikan diri dari para pemburu berobor tadi, lelaki itu sama sekali tidak bersuara. Urai memutar tubuh untuk memperlihatkan obor menyala itu kepada junjungannya. Namun, ia malah menemukan Deka duduk lemas, bersandar pada dinding sampan. Wajahnya penuh peluh. Tangannya memegang leher sebelah kiri. Ada darah merembes hingga membasahi kerah dan bagian atas kausnya.
Urai panik. "Kodeka, kamu terluka?" Gadis itu segera beringsut mendekati junjungannya. Demikian pula Jala.
"Rai, kayaknya aku ... kena sumpitan," desah Deka sambil terengah.
—Bersambung—
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro