Anneta - Bab 8
Ah, harusnya dia sudah memikirkan hal ini dari awal. Dua tahun itu bukan waktu yang singkat. Dan lagi, untuk orang setampan Alfian, move on pastilah bukan perkara yang susah. Lihat saja, Alana begitu cantik dan nyaris sempurna. Tentu saja melupakan Naira bukanlah hal yang sulit baginya.
Gadis itu mengembuskan napas lelah lalu memilih memejamkan mata. Mungkin besok bisa dia pertimbangkan lagi apa yang harus ia lakukan. Tapi sepertinya, mundur adalah keputusan yang terbaik. Karena dia takut jika tanpa sadar, akan mengusik keluarga kecil yang terlihat bahagia itu.
***
"Ta ... Anneta." Gadis itu mengerutkan keningnya dengan mata yang masih terpejam.
"Bangun, Ta, aku mau ngomong." Kali ini dia menajamkan telinganya. Mencoba mengenali suara lembut itu.
"Anneta aku tahu kamu nggak tidur." Perlahan, gadis itupun membuka matanya. Dan langsung bangkit dari tidurnya saat melihat siapa orang yang kini duduk di ujung ranjang. Seketika itu juga jantungnya berdegup kencang. Bahkan dengan susah payah dia merapatkan tubuhnya pada tembok di sisi ranjangnya. Berharap tembok itu jebol dan ia bisa lari dari tempat ini.
"Jangan takut, aku datang bukan untuk menakutimu," kata gadis dengan wajah pucat itu.
Anneta hanya menggeleng, dia tak mampu menggerakkan bibirnya. Bahkan peluh sudah menitik di sela-sela keningnya.
Ini mimpi, yah ini mimpi. Bangun Ta, bangun.
Anneta menepuk-nepuk pipinya sendiri. Dan berhenti saat tiba-tiba saja gadis itu berdiri. Mata Anneta melebar saat itu juga.
"Tolong, jangan berhenti. Cuma kamu harapan aku satu-satunya. Sampaikan maafku Anneta, aku mohon." Dan saat itu juga sosok itu lenyap secara perlahan. Anneta menatap nyalang sekitar, mencoba mencari-cari sosok gadis yang ia yakini penjelmaan dari Naira. Tapi sosok itu tidak ada di mana-mana. Gadis itu mencoba mengatur napasnya yang tersengal. Hingga suara Bi Wati terdengar berteriak di sampingnya.
"Non Neta! Bangun, Non! Non Neta!" Anneta sontak bangun dari tidurnya dengan napas tersengal. Keringat sudah membanjiri wajah dan juga tubuhnya. Matanya mengedar, ternyata dia tertidur di sofa ruang tengah rumahnya, bukan di kamar. Jadi dia mimpi? Sungguh semuanya terasa seperti nyata.
"Non Neta minum dulu," kata Bi Wati cemas sembari menyodorkan segelas air putih yang langsung ditenggak habis oleh majikannya itu.
"Makasi, Bi," kata Anneta sembari memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya pada punggung sofa.
"Non Neta mimpi buruk, ya?"
"Emang tadi aku kenapa, Bi?" tanyanya sembari menoleh ke arah ART-nya yang masih menunjukkan wajah cemas.
"Tadi Non Neta teriak-teriak, Bibi sampai takut lihatnya. Mana dibanguninnya susah banget."
Anneta kembali menghela napas, lalu menatap langit-langit rumahnya. Jadi apa yang harus ia lakukan? Tetap mengikuti Alfian? Dan mencari cara untuk meminta maaf? Karena entah mengapa, Anneta yakin, dia memanglah Alfiannya Naira.
"Bibi permisi ke dapur dulu ya, Non!"
Anneta mengangguk lalu merogoh ponselnya yang bergetar.
Alana : Neta, besok kamu ikut kita makan siang, ya? Kali ini nggak boleh nolak.
Sekali lagi Anneta mengembuskan napas lelahnya. Sepertinya Tuhan memang sudah mengatur semuanya. Jadi? Oke, dia akan melanjutkan misinya.
***
Anneta dalam perjalanan menuju tempat makan yang alamatnya baru saja Alana kirimkan. Wanita itu sempat menawarkan untuk menjemputnya, tapi Anneta menolak secara halus. Dia memang lebih senang mengendarai motor matic-nya.
Fokus Anneta teralih saat mengenali sebuah mobil yang tidak asing di matanya, terparkir di pinggir jalan. Dia pun memilih membelokkan motornya ke tempat itu. Masih cukup waktu untuk melakukan pengintaian terlebih dahulu, sebelum meluncur ke tempat ia melakukan janji bertemu dengan Alana. Jadi Alfian tidak ikut? Tidak usah bertanya, karena laki-laki itu sekarang terlihat ada di tempat ini.
Anneta tampak celingukan di sisi gedung tua, yang kabarnya akan segera diruntuhkan itu. Netranya terus mencari-cari sosok Alfian yang tadi dia lihat dari kejauhan sedang mengobrol dengan beberapa orang. Tapi di mana orang itu sekarang? Sepertinya dia kehilangan jejak, karena laki-laki itu tidak terlihat di mana pun.
Ah sial! Gagal sudah hari ini.
Dia pun membuka tudung jaket yang dari tadi menutupi sebagian kepalanya. Tapi apa yang terjadi saat tubuhnya memutar penuh ke belakang? Sungguh bukan sesuatu yang ia inginkan. Laki-laki itu, yang sedang ia intai dari kejauhan, yang ia ikuti selama hampir satu minggu ini. Berdiri menjulang di hadapannya.
Tatapannya tajam dan mengintimidasi. Gadis itu tak berkutik di tempatnya, bahkan dengan susah payah ia menelan salivanya. Tidak usah lagi bertanya seberapa hebat debaran di jantungnya saat ini, bahkan waktu seakan berhenti pada detik itu juga.
"Kamu cari saya?" Suara berat itu akhirnya muncul. Ekspresinya datar, sangat tidak terbaca.
"Jangan kira saya nggak tahu kamu ngikutin saya selama ini," ujarnya lagi. Nada suara dan wajahnya masih sangat datar. Tapi mampu membuat gadis itu tidak berkutik, bahkan seolah membeku di tempatnya. Otak Anneta sudah tidak mampu lagi berpikir, alasan apa yang harus dia berikan untuk perbuatannya kali ini.
"Sekarang saya sudah ada di depan kamu, silahkan ... jika ada yang ingin kamu tahu tentang saya, langsung tanyakan saja! Nggak perlu menjadi penguntit!"
Gadis itu menundukkan kepalanya. Dalam hati merutuki kebodohan yang ia lakukan. Ternyata memang dia tidak berbakat menjadi seorang detektif. Ah! Tamat sudah riwayatnya sampai di sini. Apa yang harus ia katakan? Bahkan lidahnya mendadak kelu, tidak satu kosakata pun keluar atau pun sekedar melintas di otaknya.
Ya Tuhan! Apa yang harus hamba lakukan?
"Al, kamu ngobrol sama siapa, si?"
Anneta sontak mengangkat wajahnya dan tersenyum kikuk ke arah Alana, yang saat ini menatapnya dengan raut wajah bingung.
"Anneta? Kok kamu bisa di sini?" tanyanya dengan senyuman cantiknya. Matanya mengamati dua orang itu secara bergantian. Sepertinya kecurigaannya memang benar, kedua orang ini memang sudah saling mengenal. Dan jika melihat tatapan Alfian, sepertinya mereka memiliki hubungan yang kurang baik.
"Emm, ya udah kita pergi sekarang aja, yuk! Keburu kelewat jam makan siangnya," lanjut Alana cepat saat menyadari bahwa gadis di depannya ini sedang bingung mencari-cari alasan. Lalu bibirnya tersenyum ketika mendengar satu helaan napas lega yang lolos dari bibir tipis Anneta. Alfian pergi begitu saja tanpa bersuara.
"Kamu mau bareng kita?"
Anneta menggeleng, "Aku bawa motor, Kak! Kak Alana duluan aja. Nanti aku nyusul."
"Oke, aku tunggu, ya!"
Anneta kembali menganggukkan kepala dengan senyuman tipisnya. Dalam hati merapalkan berkali-kali rasa syukur karena Alana datang bak dewa penolong baginya. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi padanya saat ini. Mungkin sudah pingsan atau membeku di tempat karena tatapan dingin yang terus menerus Alfian lesatkan padanya.
***
"Apa? Office girl? Al, kamu yang bener aja! Masak gadis cantik kayak gini jadi office girl?" kata Alana saat mendengarkan pengakuan dari Anneta bahwa dia dan Alfian memang sudah saling mengenal. Dan juga menceritakan bahwa dia kini berkerja di kantor laki-laki itu.
Alfian tidak merespon sedikitpun, dia hanya mendengus kasar sembari melempar pandangannya ke arah lain.
"Neta, kamu pindah kerja di butik aku aja, ya?"
Mata Anneta langsung berbinar mendengar tawaran itu.
"Aku kebetulan lagi butuh model untuk baju-baju baru aku. Temanya cocok deh sama kamu," kata Alana sembari meneliti kembali wajah cantik dan juga tubuh Anneta yang sebenarnya tidak terlalu tinggi, tapi juga tidak terlalu pendek untuk ukuran seorang gadis.
Dan lagi, rambut panjang sepunggungnya yang tergerai lurus itu adalah yang paling Alana suka. Wajah Anneta pun nampak cantik meskipun tanpa polesan. Sangat cocok dengan tema baju yang kini memang sedang ia buat. Kecantikan yang sederhana.
"Hah? Model?" kata gadis itu tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya, mencoba mengabaikan decakan tak suka dari laki-laki yang kini duduk di hadapannya.
Alana mengangguk dengan senyuman yang mengembang cantik di wajahnya.
"Tapi, aku nggak ngerti yang kaya gituan, Kak," cicit Anneta sembari menggigit bibirnya.
"Nggak apa-apa, yang penting kamu mau dulu."
Anneta tampak menimbang-nimbang kesempatan bagus itu. Bukankah tawaran ini sangat menguntungkan dari berbagai segi? Yang pertama, dia bisa sambil belajar fashion pada Alana. Walaupun hal ini jauh dari jurusan kuliah yang kini ia ambil. Tapi itu tidak masalah, dia sangat senang dengan semua hal yang berbau fashion.
Dan yang kedua, dan ini yang paling penting. Dia bisa mencari tahu tentang Alfian dari istrinya itu. Jadi, dengan begitu dia tidak perlu lagi menjadi seorang penguntit. Ah! Ide bagus bukan? Lagipula niatnya kan hanya untuk menolong Naira, bukan untuk merusak kebahagiaan keluarga kecil itu. Tuhan pasti tahu, kalau dia tidak punya niat yang jahat.
"Gimana? Mau, ya?" kata-kata itu menarik kembali kesadaran Anneta pada tempatnya.
"Iya, boleh, Kak," jawabnya dengan senyum merekah. Mencoba mengabaikan tatapan tajam dan juga dingin dari orang yang kini duduk di samping Alana. Laki-laki itu tampak kesal lalu memutuskan pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah kata pun.
Sepertinya dia memang tidak pernah belajar sopan santun!
"Nggak usah diambil hati, Al memang seperti itu orangnya," kata Alana dengan ringisan tak enak saat melihat Anneta terus memperhatikan langkah Alfian yang sudah tak terlihat dari jangkauan.
"Udah biasa, Kak. Di kantor juga kayak gitu."
Alana tersenyum simpul, namun entah kenapa di mata Anneta ada sesuatu yang tersimpan dari arti senyum Alana.
"Tadinya dia tidak seperti itu, tapi semenjak ...."
Anneta sudah memasang telinganya baik-baik untuk mendengarkan apapun yang akan Alana katakan. Namun sayang, suara deritan telepon mengalihkan perhatian wanita cantik itu.
"Sori banget ni, Ta. Kayaknya aku harus cabut sekarang, ada yang harus aku urus," kata Alana setelah mengakhiri panggilan teleponnya.
"Oh, iya, Kak. Aku juga harus pulang sekarang," ucap Anneta ikut berdiri saat Alana bangkit dari duduknya.
Keduanya pun berjalan ke arah tempat parkir dan mereka berpisah di sana dengan kendaraan masing-masing. Alfian tak mengatakan apapun, bahkan sekedar menatap wajah Annetapun seolah enggan. Anneta sudah mulai terbiasa dengan sikap laki-laki itu, diapun memilih meluncur pergi saat mobil Alana keluar dari area parkir.
📕📕📕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro