Anneta - Bab 14
Jatuh cinta?
Ah tidak, masih terlalu dini untuk menyimpulkan hal seperti itu. Entah apa yang kini ia rasakan, tapi Alfian sangat yakin ini hanya sebatas rasa kagum.
Dibalik tingkahnya yang misterius dan terkadang sedikit ambigu. Sebenarnya Anneta adalah gadis yang cukup menyenangkan. Dia selalu saja bisa membuat kejutan-kejutan kecil dalam hidup Alfian yang rasanya terlalu lurus dan juga kaku. Bahkan lihat saja, laki-laki itu sampai lupa dengan pertanyaan yang sama sekali belum mendapat jawaban. Yaitu, apa tujuan Anneta mendekatinya?
Ya, sampai sekarang, Alfian masih sangat penasaran dengan tujuan gadis itu mendekatinya. Tapi rasa penasaran itu, untuk sementara waktu seperti menguap entah ke mana.
"Saya nggak bawa motor, Pak. Dipinjem Tara."
Alfian tersenyum dibalik alasan yang sangat tidak cerdas itu. Tapi tetap saja mampu membuat bibirnya tersenyum tipis. Tentu saja tanpa sepengetahuan Anneta.
"Kamu mau nunggu saya? Pekerjaan saya sebentar lagi selesai," katanya saat melirik arloji di tangannya sudah menunjukkan angka sembilan. Tidak mungkin dia membiarkan Anneta pulang sendiri, sedangkan meninggalkan pekerjaannya pun bukan pilihan yang bagus. Karena besok pagi, sketsa itu harus ia bawa untuk ditunjukkan pada klien.
"Emm, boleh," kata Anneta. Lalu keduanya pun turun dari mobil, dan kembali masuk ke dalam kantor yang sudah lumayan sepi.
***
"Saya buatkan kopi lagi, Pak," kata Anneta yang baru saja selesai mengganti seragam OG-nya dengan pakaian santai. Lalu meletakkan secangkir kopi panas untuk mengganti kopi yang tadi belum tersentuh oleh Alfian.
"Terima kasih," katanya tanpa menoleh ke arah Anneta. Karena kini dia sedang menyembunyikan sebuah senyum yang entah kenapa menjadi satu hal yang mudah sekali muncul di wajah kakunya.
Anneta memilih duduk di sofa ruang kerja laki-laki itu. Memperhatikan setiap gerak-gerik Alfian. Entah apa yang dia kerjakan, tapi sepertinya sedang membuat sketsa sebuah gedung.
Sesekali gadis itu menguap dan mengerjap-ngerjapkan matanya.
Kalau nggak demi lo Nai, mendingan gue pulang terus bobo cantik, deh. Ini sangat menyiksa. Gue takut lo datengin lagi dalam mimpi.
"Sedikit lagi, tolong tunggu," kata Alfian yang sadar bahwa gadis itu terus menguap semenjak tadi. Anneta hanya menganggukkan kepalanya, berharap sebentar yang dikatakan Alfian itu tidak lebih dari setengah jam.
Tepat jarum jam menunjukkan angka sebelas, akhirnya pekerjaan laki-laki itu benar-benar selesai. Dan saat itu Anneta sudah hampir masuk ke dalam dunia mimpinya.
"Udah selesai, Pak?" tanyanya saat melihat Alfian mengemasi barangnya dan menyeruput kopi yang sudah mendingin. Sebuah anggukan membuat wajah Anneta berbinar indah. Akhirnya, perjuangan untuk hari ini berakhir.
***
Alfian menghentikan mobilnya di depan rumah gadis itu. Selalu ada rasa khawatir yang tidak beralasan setiap kali mengingat Anneta tinggal sendiri. Bukan apa-apa, tentu saja hal yang tidak baik saat seorang gadis secan__, oke! Secantik Anneta tinggal sendiri tanpa pengawasan orang tua. Walaupun komplek ini dijaga oleh satpam yang bertugas duapuluh empat jam. Tetap saja, itu bukanlah hal yang bisa dikatakan aman. Buktinya waktu itu Ryan bisa menerobos masuk dan menganggu kenyamanan Anneta. Tidak menutup kemungkinan bukan, jika cowok gila itu akan kembali menganggu gadis ini.
Walaupun sebenarnya, Tara sudah melaporkan kejadian hari itu pada security dan berpesan untuk tidak mengizinkan Ryan masuk. Bahkan cowok itu tidak boleh terlihat berkeliaran di area sekitar komplek jika tidak ingin berurusan dengan polisi. Dan untung saja cara itu berhasil setidaknya untuk menjaga keamanan Anneta walaupun hanya di sekitar komplek perumahannya. Karena faktanya, Ryan bisa muncul di mana saja dan kapanpun.
"Ta, Anneta!" Alfian mengguncang tubuh itu, karena semenjak masuk ke dalam mobil Anneta langsung memejamkan mata. Alfian tersenyum, sungguh gadis yang pantang menyerah. Apapun tujuan gadis ini mendekatinya, usahanya ini patut diacungi dua jempol.
"Ta! Bangun, udah sampai!" Kali ini dia mengguncang bahu gadis itu dengan lebih keras. Dan berhasil, gadis itu membuka mata, lalu seperti mengingat-ingat sesuatu.
"Eh, udah sampai?" katanya seperti orang terkejut. "Maaf Pak, saya ketiduran," cengirnya sembari menegakkan tubuh, lalu membuka pintu untuk turun. Alfian hanya mengangguk, matanya terus mengamati tubuh Anneta yang sedang turun dari mobilnya.
"Makasih, Pak. Hati-hati di jalan," katanya sedikit membungkukkan badan untuk melihat Alfian. Laki-laki itu kembali mengangguk, tapi Anneta tahu ada senyum di mata Alfian.
"Jangan lupa cuci muka, biar lukisan pulaunya hilang," kata Alfian dengan senyum meledek, lalu meluncur pergi begitu saja mengabaikan mata Anneta yang terbelalak lebar. Otomatis kedua tangan gadis itu menyentuh dua sudut bibirnya. Lantas berdecap lirih saat tidak menemukan apa pun. Dengan senyum konyol, ia pun memilih masuk ke dalam rumah.
***
"Aku liatnya si, ada aura yang beda gitu, ya?" celetuk Alana saat melihat wajah Alfian yang sedikit berseri pagi ini. Menutup lingkaran hitam di bawah matanya, karena memang semalam tidak langsung bisa tidur. Ah, tidak usah ditanyakan apa yang dia lakukan. Karena sungguh, dia merasa bodoh saat pikirannya terus terbayang-bayang wajah polos Anneta saat tertidur di dalam mobilnya.
"Hari ini ada meeting sama klien, jadi ya harus menampilkan penampilan sebaik mungkin. Termasuk ekspresi wajah juga harus menyenangkan," kilahnya. Alana hanya mencibir lalu menyendokkan nasi ke dalam piring adiknya dan juga Moza yang sedang sibuk memainkan boneka minnie mouse pemberian Anneta.
"Mami!"
"Ya, Sayang?" kata Alana sembari menarik satu kursi di meja makan untuk duduk.
"Tante Neta kok nggak pelnah ke sini lagi? Aku kangen, deh," kata gadis kecil itu sembari mengerucutkan bibir.
"Coba tanya sama Papa. Kan Tante Neta sekarang kerja di kantor Papa."
Alfian hanya berdecap malas, berbeda dengan Moza yang menampakan binar indah di matanya. "Pa! Ajak Tante Neta main ya pulang kelja nanti?"
"Papa banyak kerjaan Sayang," katanya sembari menyendokkan sarapan pagi ke mulutnya.
Moza mengerucutkan bibirnya lagi, "Papa jahat! Nggak sayang Moza lagi," katanya dengan tampang merajuk.
"Anak kamu, tuh! Nggak usah macem-macem deh, Na! Aku lagi ngurusin proyek penting."
Alana malah menggerdikkan bahu, "Apa hubungannya proyek penting, sama ngajak Anneta ke rumah?"
Alfian kembali berdecap malas. "Aku bakalan lembur terus," katanya masih berusaha mengelak. Sepertinya dia mulai mengendus bau-bau mak comblang.
"Ya udah, kalau gitu hari Minggu aja. Kebetulan Mama sama Papa balik dari Jogja, kan? Jadi ...."
"Stop, Na! Nggak usah mulai!"
Alana hanya tersenyum manis, lalu tidak berkomentar lagi. Sementara Moza, yang tidak mengerti, memandangi kedua orang itu secara bergantian. Lalu, tiba-tiba saja bersorak girang.
"Yeiii!!! Jadi hali Minggu ajak Tante Neta ke sini ya, Pa! Jangan boong."
Alfian hanya melongo lalu mengisyaratkan dengan mata ke kakaknya yang hanya terpaut satu tahun di atasnya itu, untuk memberi pengertian pada Moza. Tapi seperti dengan sengaja, Alana malah pura-pura tidak mengerti.
"Nanti aku mau jalan-jalan sama Papa, Tante Anneta, Om Alta, telus Mami. Ya, ya, ya ...," kata Moza sembari mengangguk-anggukkan kepalanya ke arah maminya. Alana mengangguk senang, sementara Alfian hanya bisa mendesah pasrah.
***
"Selamat pagi! Kopinya, Pak." Itulah sambutan pagi ini yang ia dapat, saat baru saja sampai di ruangan kerjanya. Bibir itu tersenyum tipis lalu menggumamkan terima kasih.
"Ta, tunggu!" Anneta yang sudah siap untuk keluar pun mengurungkan niatnya. Kembali berputar penuh tubuhnya untuk menghadap ke arah Alfian.
"Ada apa, Pak?" tanyanya saat Alfian malah hanya mematung dengan tatapan lurus ke arahnya.
"Pak?"
Alfian tersentak, lalu berdeham beberapa kali. Anneta menahan diri untuk tidak tertawa. Sementara Alfian hanya bisa berdecap lirih, merutuki sikap konyol yang baru saja dia tunjukkan. Apa itu tadi? Bisa-bisanya dia terpesona, dan kenapa gadis itu seakan terlihat lain. Padahal penampilannya biasa saja. Tanpa make up berlebihan, dan yang ia pakai juga hanya seragam OG. Tak ada yang menarik. Selain rambut panjangnya yang kini hanya ia ikat setengah, tidak diikat penuh menjadi satu di belakang. Apa itu yang membuatnya terlihat lebih menarik pagi ini?
"Pak Alfi?" kata Anneta lagi, kali ini tidak bisa menyembunyikan senyuman gelinya, karena laki-laki itu kembali hanya mematung sembari menatap wajahnya.
"Ah, sori. Emm ini, apa ... emm." Sejak kapan dia bisa segugup ini di depan seorang gadis?
Oh shit!
"Iya, kenapa Pak?"
"Hari Minggu, kamu ada acara?"
Anneta mengernyitkan dahi, lalu menggeleng.
"Saya, emm ... maksud saya Moza, mau ngajak kamu jalan. Itu pun kalau kamu nggak sibuk."
Anneta tersenyum, "Saya bisa, kebetulan nggak sibuk."
"Oke, itu saja."
Anneta mengangguk, lalu kembali meneruskan langkahnya. Tapi kembali memutar tubuh saat mendengar bisikan itu.
"Kamu cantik hari ini."
***
Anneta mencoba menetralkan hatinya yang terasa kebat-kebit. Otaknya menolak untuk mengakui bahwa apa yang Alfian gumamkan tadi sukses membuat jantungnya terus berdebar-debar secara tak wajar. Sementara lengkungan senyum di bibirnya, tak bisa menyembunyikan bahwa ada rasa bahagia yang coba selalu Anneta pertanyakan. Tidak, dia tidak boleh baper dengan sikap manis yang Alfian tunjukan akhir-akhir ini. Dia harus fokus pada misi yang sedang ia kerjakan.
Tapi bagaimana mungkin dia bisa mengabaikan perasaannya begitu saja? Bagaimana bisa dia bersikap biasa saja, saat nama Alfian terus mencoba mendobrak masuk ke dalam hatinya.
Deritan ponsel di saku celananya membuat Anneta menghentikan aksi konyol dengan tersenyum sendiri di depan pantry. Ternyata itu pesan dari Alana.
Alana : Al ngajakin kamu pergi?
Annetapun mengetikkan kata 'iya' dengan cepat.
Alana : Kamu mau, kan?
Lagi, Anneta mengetik kata 'iya'.
Alana : Semoga kali ini sukses, aku sangat berharap kamu adalah sosok yang Tuhan kirim untuk meluluhkan hati adikku yang beku.
Anneta menggigit bibirnya membaca pesan tersebut. Ada rasa bersalah yang tiba-tiba saja bercokol dalam hatinya. Dia tidak bisa membayangkan betapa kecewanya hati Alana saat tahu apa sesungguhnya tujuan Anneta mendekati Alfian. Walaupun pada kenyataannya, Anneta merasakan perasaan lebih pada laki-laki itu. Meskipun perasaannya itu masih terus ia coba sangkal. Bahkan rasanya, ia ingin menghilangkan rasa yang sedang bertunas ini. Sebelum menyakiti banyak pihak. Termasuk dirinya.
📕📕📕
05 Oktober 2019
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro