Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

8. Interogasi Menegangkan

"Mobil mau kamu pakai, Rai?" tanya Theo, tepat setelah kendaraan mereka berhenti di depan gerbang kantor tempat Raisya bekerja. Perempuan itu masih duduk di tempatnya, mempertimbangkan pertanyaan tersebut.

"Mas bawa aja. Nanti bisa jemput?" Raisya balas bertanya, dengan ekspresi setengah berharap yang didominasi penasaran.

Untuk sesaat, Theo mempertimbangkan pertanyaan itu. Membuat Raisya memicingkan mata kebingungan.

"Mas nggak perlu urus anak-anak lagi, jadi ... apa yang bikin Mas nggak bisa jemput aku?" Kini, Raisya memperjelas rasa penasarannya dari pertanyaan barusan.

Berhasil membuat Theo gugup, dan langsung mengangguk.

"Iya. Nanti aku jemput. Kamu chat aja, pulang jam berapa, karena mungkin aku bakalan pulang lebih awal."

Raisya mengangguk, menyetujui gagasan itu. "Mas biasa pulang jam lima kan?"

Tanpa beban, Theo mengangguk. Padahal, ia bisa pulang jam berapa pun, sebab belum menerima panggilan kerja..

"Oke kalau gitu," ucap Raisya. "Nanti aku hubungi Mas kalau sudah mau pulang. Aku pamit dulu."

Theo hanya mengangguk menanggapi pamitan Raisya, dan membiarkan sang istri turun dari mobil. Mereka sempat saling bertukar lambaian tangan, sebelum Theo meninggalkan kawasan kantor tersebut tanpa tujuan pasti.

Sampai sore tiba, pukul lima, Theo hendak pulang ke rumah untuk membersihkan tubuhnya sekaligus mengecek anak-anaknya. Namun, baru setengah jalan, ia mendapati pesan dari Raisya.

Bisa datang ke kantor, Mas?

Untuk sesaat, Theo tidak percaya bahwa istrinya akan pulang lebih cepat. Ia segera memberikan balasan menyanggupi permintaan itu, lalu segera mengubah arah mobil menuju tempat sang istri bekerja.

Ketika sudah di depan gerbang, pesan lainnya masuk ke ponsel Theo.

Bawa mobilnya ke tempat parkiran aja, Mas. Abis itu ke ruangan aku, di lantai delapan.

Theo masih belum biasa dengan sikap Raisya saat ini, tetapi tetap memenuhi permintaan tersebut. Mobil diparkirkan, kemudian masuk. Ia tidak lupa memberitahukan bahwa dirinya dipanggil oleh Raisya, sehingga diizinkan masuk oleh pihak penjaga.

Tiba di lantai delapan, Theo sangat mudah menemukan ruangan sang istri. Sebab nama Raisya Anggraini tertulis jelas, disertai singkatan dari pendidikan terakhirnya. Sehingga Theo hanya perlu mengetuk, dan perizinan dari dalam langsung ia dapatkan.

"Duduk sini, Mas." Raisya memberikan arahan sembari menunjuk sofa santai di sudut ruangan.

Theo masih kebingungan, tetapi tetap menuruti setiap permintaan Raisya. Ia juga menutup pintu, sehingga ketenangan tetap terasa di sini.

"Mas tungguin aku ya. Mas bisa makan kue di atas meja. Mau aku pesenin kopi?" tawar Raisya.

Tidak langsung menjawab, Theo mengusap tengkuknya lebih dulu. Segan untuk bertanya, tetapi tidak siap untuk penantian yang entah kapan berakhir.

"Memang selesainya jam berapa?" tanya Theo. "Kalau masih lama, nanti aku bakalan balik lagi ke sini. Agak sayang kalau aku cuman nganggur liatin kamu di sini, padahal bisa pulang buat mandi atau beres-beres rumah. Aku juga bisa aja ganggu kamu kerja, atau bikin risi temen-temen kamu."

"Bentar lagi, kok," balas Raisya tanpa mengalihkan pandangannya dari laptop dan lembaran kertas di atas meja. "Mas mau teh atau kopi?"

Theo merasa tidak nyaman, tetapi tetap memilih salah satu agar tidak menyinggung sang istri. "Teh."

Melalui interkom, Raisya memesankan keinginan sang suami pada office boy. Lalu meyakinkan Theo agar tetap tenang di tempatnya duduk.

"Karena Bella sama Fella sudah ada yang jaga, jadi aku pikir, kita udah bisa santai sekarang, Mas," ucap Raisya guna mencairkan suasana agar tidak terlalu sepi. "Anna juga sudah aku minta buat bersih-bersih, dengan tambahan gaji pastinya. Jadi, urusan rumah nggak perlu Mas khawatirkan. Termasuk juga masak, udah masuk tugas dia sebagai asisten rumah tangga. Jadi, kita nggak berkewajiban buat ajak dia makan bareng kayak semalam. Dia sudah kita bayar, jadi, dia bisa tentukan dia mau makan di mana dan makan apa tanpa ganggu kita sebagai majikannya."

Theo mendadak saja berkeringat dingin sekaligus khawatir karena ucapan Raisya barusan. Ia baru teringat, bahwa sikapnya semalam agak berlebihan, dan sialnya, Raisya menyadari itu lebih dahulu. Theo sendiri tidak mengerti, mengapa jiwa kemanusiaannya sangat tinggi, sampai harus mengejar Anna ke ruang tengah hanya untuk mengajak makan. Mungkin juga, dorongan dari perasaan yang menjadi penyebabnya. Untuk itu, Theo mengusap wajah secara kasar, memarahi diri sendiri.

"Btw, menurut Mas, Anna bisa bawa pengaruh buruk, nggak, buat anak-anak? Aku cuman bisa nilai dari tampilan aja, karena dia agak ... berlebihan dalam berpenampilan. Gaya rambut, pakaiannya yang sering terbuka—aku takut Bella sama Fella ikutin. Menurut Mas—sebagai orang yang kenal dia dengan baik—sifat Anna bagaimana?"

Raisya meninggalkan pekerjaannya sejenak hanya untuk melihat Theo memberikan pendapat secara langsung.

Sementara suaminya sangat sulit untuk berkutik. Theo terlihat kebingungan, setelah Raisya mengucap kalimat terakhir.

"A—aku? Aku nggak kenal Anna. Mama yang minta dia buat kerja sama kita. Aku sama sekali nggak pernah tertarik buat bawa pengasuh ke rumah kita," jawab Theo setelah gugup pada awaknya.

Raisya terdiam, sedikit menyipitkan mata. Ia mulai teringat bahwa mertuanya yang menjadi 'awal' segalanya. Dewi yang mengirimkan Anna untuk jadi pengasuh, sekaligus memberitahukan fakta mencengangkan pada Raisya tanpa diminta. Padahal, andai tidak diberitahu, Raisya tetap akan menganggap normal interaksi antara Theo dan Anna.

Raisya mulai mempertimbangkan alasan Dewi melakukan ini semua. Ia masih sibuk berpikir, ketika Theo melanjutkan ucapannya.

"Kalau kamu nggak nyaman sama Anna, gimana kalau kita pecat aja? Aku nggak bisa, karena Mama langsung yang maksa buat aku terima dia. Kalau kamu yang pecat, Mama nggak bakalan bisa ngapa-ngapain."

Ide yang bagus, Raisya memuji sang suami dalam hati. Namun, ia tidak menerimanya, terlihat dari caranya menjawab berupa gelengan dua kali.

"Nggak perlu untuk sementara waktu," jawab Raisya. "Aku sudah kasih dia peringatan tadi pagi. Misal dia nggak pedulikan peringatan aku, aku nggak bakalan mikir dua kali buat pecat dia."

Theo semakin gugup. Ia mengusap pahanya demi mengeringkan tangan yang mendadak lembap.

"Kamu ... kasih dia peringatan?" tanya Theo memastikan. "Peringatan apa?"

Raisya baru saja membuka mulutnya hendak menjawab, tetapi dering ponsel milik Theo mencegahnya. Perempuan itu kembali merapatkan bibir, dan mempertajam indera penglihatan untuk menilai perubahan ekspresi suaminya secara mendadak. Theo terlihat tegang, dan menilik ragu pada Raisya dan ponselnya secara bergantian.

Membuat Raisya menebak, bahwa si penelepon adalah Anna.

"Angkat aja, Mas," kata Raisya, lalu kembali memandangi lembaran kertas di tangannya dengan tidak fokus.

Theo mengangkat panggilan, dan tidak menyapa apa-apa. Membiarkan lawan bicara menjelaskan tujuannya menelepon, dan berakhir dengan respons terkejut dari Theo yang bahkan berdiri dengan tegas.

"Apa? Fella kecelakaan?"

Raisya mendongak tegas. Sementara Theo mulai merasakan jiwanya gemetar, berpikir bahwa ini awal dari kemarahan yang Anna tunjukkan kemarin.

[UPDATE SETIAP HARI SELASA]

Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini LEBIH AWAL/secara lengkap di :

KBM App : Es_Pucil

***

Mari kenalan :

Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III

🔺🔺🔺

Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro