22. Kesempatan dalam Pertengkaran
Theo mendapatkan sambutan pagi hari berupa tamparan di kedua sisi pipinya. Ia terlihat enggan membuka mata, dan andai tidak menghirup aroma bayi, tentu akan memarahi siapapun pengganggu itu.
Hal pertama yang Theo lihat adalah Fella yang berada tepat di depan wajahnya, duduk di atas dadanya, dan menjadi pelaku utama penamparan tersebut.
"Papa apa tidul di lantai?" tanya Fella, dengan penyebutan huruf yang kurang sempurna.
Pria itu mengedarkan pandangan ke sekitar, menemukan Raisya hanya diam memandangnya sembari merapikan kasur anak-anak.
"Kamal Papa ada uga cicak na ayak kamal La sama Kak Ella? Maka na Mama uga tidul di sini?"
Theo masih mengumpulkan sisa-sisa kesadarannya sebelum mengangguk serta bergumam mengiyakan. Asalkan anaknya puas dan berhenti bertanya.
"Rai, nggak mandi dulu? Biar aku yang bantu siapin anak-anak dulu sampai kamu selesai siap-siap," ucap Theo, menawarkan bantuan.
Namun, istrinya malah berpaling sembari mencepol rambut secara asal.
"Rai ...." Theo masih enggan menyerah. Ia tahu bahwa istrinya secara sengaja untuk mengabaikan, sebab kegiatan merapikan kasur belum selesai, dan arah kepergian Raisya tidak menentu. Sebab, tujuannya adalah menghindar.
Ketika Theo sudah berada tepat di depan sang istri untuk menghentikan langkahnya, Raisya secara spontan berbalik dan mengubah haluan ke pintu kamar. Dikejar secara cepat oleh Theo, dan Raisya juga balas berlari. Sangat jelas, hendak menghindari suaminya sendiri. Seperti semalam.
Theo berhasil mendapatkan pergelangan tangan Raisya di depan pintu kamar. Bersamaan dengan itu, ia turut menutup pintu agar dua putrinya tidak menyimak interaksi baru dua orang tuanya. Ia memaksa perempuan itu berbalik, walau menggunakan cara kasar. Efek baru bangun tidur bercampur kebingungan menjadi alasan ia sulit untuk mengendalikan diri.
"Apa? Apa masalah kamu sebenarnya, Rai?" tanya Theo dengan nada menuntut. "Cuman karena aku bohong masalah kerjaan? Apa pengaruhnya sih, Rai? Ending-nya aku tetep keterima kerja, kan? Selama tujuh tahun kita sama-sama, baru satu kali aku bohong, Rai. Baru satu kali! Kamu udah ... sampai semarah ini! Kenapa?" Semakin banyak Theo berbicara, semakin sulit ia mengendalikan diri. Sehingga tanpa sengaja, ia menaikkan intonasi suara.
Raisya merotasi bola mata menunjukkan rasa malas yang dibuat-buat. Ia baru saja membuka mulut hendak menjawab, tetapi sosok Anna perlahan muncul dari arah tangga. Membuat Theo sempat lengah, dan kesempatan itu digunakan oleh Raisya untuk kabur.
"Kamu udah nggak ngasuh anak lagi! Ngapain ke sini! Turun!"
Anna pun tidak luput dari ketegasan Theo pagi ini. Setelah mengucapkan kalimat itu, ia segera menyusul Raisya ke kamar sebelum istrinya mengunci pintu. Ia berhasil menyelinap, dan menahan tangan Raisya dengan kuat. Tidak lupa, menutup pintu agar tidak dicampuri oleh orang lain.
"Ada alasan lain selain kebohongan itu, Rai?" tanya Theo dengan sangat yakin. Mengingat bahwa secara sengaja Raisya ingin memberikan batasan antara dirinya-Anna dari anak-anak, membuat Theo mengambil sebuah kesimpulan. "Karena Anna? Kan aku udah bilang, pecat dia! Pecat! Kenapa kamu masih pertahanin kalau itu bikin kamu makin sakit hati? Aku nggak ada urusan apa-apa lagi sama dia kecuali masalah pengasuhan anak-anak. Itu pun dulu. Setelah kamu yang urus anak-anak, apa aku pernah berurusan lagi sama dia? Pernah, Rai?"
Dipengaruhi oleh emosi yang meluap, Theo tidak segan memberikan guncangan di setiap kali pertanyaan dikeluarkan. Menunjukkan betapa jengkel dirinya saat ini.
"Pernah," jawab Raisya dengan suara pelan yang bercampur gemetar.
Membuat Theo membeku di tempat. Mencoba mengingat-ingat, kapan ia melakukan pendekatan dengan Anna? Di memori otaknya, tidak ditemukan ingatan itu setelah ia menikah dengan Raisya. Sebab, komitmennya bersama sang istri dipegang dengan erat.
"Saat aku di rumah sakit. Bella yang melapor."
Tangan Theo di pergelangan tangan Raisya secara spontan jatuh begitu saja. Membuat Raisya mendengkus geli dengan senyuman menyeringai yang bergetar. Matanya ikut memerah, menatap lurus pada Theo hampir tanpa kedipan sehingga secara perlahan, cairan bening terkumpul di sana, dan hanya butuh sebuah kedipan untuk membuatnya jatuh membasahi pipi.
"Rai," ucap Theo disusul helaan napasnya agar kembali tenang menjelaskan. Panik hanya akan membuatnya terlihat semakin berdosa. "Bella cerita semuanya secara detail? Kalau iya, dia harusnya bilang, kalau Anna yang peluk aku, itu pun dari belakang, pas aku di teras mau pergi ke rumah sakit. Kamu bisa paham situasinya, kan? Nggak ada pelukan romantis apa pun, yang bisa bikin kamu sakit hati bayanginnya. Dia yang peluk, minta balikan. Aku nggak balas sama sekali. Sedikit pun enggak, atau niat pun, nggak, Rai. Cuman, Bella salah paham. Dia juga masih anak-anak, Rai, di mana orang lawan jenis saling bicara aja udah dianggap pacaran. Tolong ... percaya aku. Aku beneran sumpah demi Mama, aku nggak pernah bohong sama kamu kecuali masalah kerjaan itu aja."
"Kenapa kamu bohong masalah kerjaan padahal aku udah nawarin kerjaan?" Kini, Raisya bertanya menuntut dengan topik berbeda. "Karena kamu bisa manfaatin waktu senggang kamu nyari kerja supaya bisa sama-sama dia, kan?"
"Rai, enggak sama sekali." Theo kebingungan menjawab. Sejujurnya, tebakan Raisya salah. Namun mustahil ia mengatakan bahwa sengaja berbohong demi menghindar satu kantor bersama Raisya akibat canggung dengan hubungan mereka bertiga saat kedatangan Anna pertama kali.
"Aku sama sekali nggak tertarik sama semua jawaban kamu, Mas, karena hampir semuanya ... mirip sama alasan Papa aku dulu pas selingkuh. Katanya mau menjauh, dikejar sama si pelakor—tapi ending-nya tetep milih si pelakor sampai bikin Mama yang coba untuk percaya dia, berakhir bunuh diri karena sakit hati," kata Raisya saat Theo masih kebingungan merangkai kalimat. "Jadi, sebelum aku berakhir seperti Mama, aku bakalan potong calon sumber sakit hati aku mulai sekarang. Mumpung aku belum taruh hati sama sekali ke kamu."
Theo paham, bahwa mereka menjalani pernikahan tanpa cinta sedikit pun. Namun entah mengapa, ia masih kurang nyaman dengan pernyataan terakhir Raisya. Ia tidak tahu alasannya.
"Sama kayak kamu, aku juga dari keluarga yang hancur, Rai. Papa aku juga mengecewakan, dan aku paham banget perasaan Mama ditinggalkan Papa. Aku nggak bisa rasai serupa perasaan Mama, tapi aku seenggaknya mengerti dengan baik, sampai aku bertekad bahkan bersumpah kalau aku nggak bakalan ulangi kesalahan Papa sama sekali. Karena selain kita, anak-anak juga bakalan terpengaruh. Oke, kamu bisa aja kuat, aku juga bisa nyari istri baru. Tapi anak-anak? Mereka nggak bakalan seceria sekarang, sebaik apa pun kamu urus dia, atau sesempurna apa pun aku berusaha buat membahagiakan mereka. Nggak bakalan sama seperti pas kita berdua yang jaga mereka, Rai. Please ... kita sama-sama paham sakitnya keluarga hancur gimana, dan tolong ... jangan bikin pernikahan ini hancur juga." Theo seperti kehabisan suara sehingga intonasinya kian melemah di akhir kalimat.
Theo sudah meluapkan segenap emosinya dalam penjelasan panjangnya, berharap Raisya akan sadar betapa seriusnya ia pada pernikahan ini. Sehingga niatannya berpisah akan batal. Namun, istrinya tampak tidak terpengaruh sama sekali.
"Kamu tahu, aku nggak mudah—bahkan mustahil—buat percaya sama seseorang, Mas. Kamu tahu itu dengan baik, karena sudah berulang kali aku bilang sebelum kita menikah. Sayangnya, kamu udah hancurin itu sekali, dan buat aku, nggak ada kesempatan kedua. Aku nggak kenal kesempatan kedua, dan ... aku nggak bisa sama sekali buat paksakan diri aku bertahan. Nggak. Aku ...." Raisya merasakan napasnya tersengal sehingga ia harus menarik secara rakus udara sebanyak mungkin. "Selalu aja kebayang kebohongan kamu, yang bikin aku langsung berpikiran buruk tanpa bisa aku kendalikan. Aku paksakan diri, cuman berakhir dua hal: aku tersiksa batin, atau kamu yang menderita hadapi sikap aku yang sekarang ini sepanjang pernikahan kita ke depannya. Dua alasan itu cukup ... buat bikin aku mantap lanjutkan perceraian."
Theo mendesis kesal, bahkan berbalik untuk memukul pintu dengan sangat kuat sampai jejak merah terlihat jelas di kulit tangannya. Ketika berbalik, ia membuka mulut hendak mengatakan sesuatu dengan ekspresi marah tak tertahankan. Namun kemudian, ia merapatkan bibir secara paksa sebelum akhirnya meninggalkan kamar dengan bantingan pintu yang kasar.
*
Menenangkan diri menjadi alasan mengapa Theo sangat terlambat pulang malam ini. Ia berusaha untuk menyetok kesabaran sebanyak mungkin sebelum menghadapi Raisya, agar kesalahan yang hampir ia lakukan seperti tadi pagi, tidak terulang kembali; mengajak Raisya bertengkar di rumah, dan hampir mengucapkan kalimat cerai seperti yang diinginkan sang istri.
Cuaca terik siang tadi kini berubah menjadi malam berangin yang memberikan hawa sejuk. Layar ponsel menunjukkan ramalan hujan deras disertai gemuruh, tetapi tidak menghentikan langkah Theo menuju mobil di parkiran.
Pria itu baru melewati sepertiga jalan menuju ke rumah, dan hujan deras langsung turun tanpa gerimis. Seperti air yang tumpah begitu saja dari langit. Seolah mendukung suasana kalut seperti di pikiran Theo saat ini.
Jalanan licin serta macet membuat perjalanan jauh lebih lama, tetapi Theo tidak merasakan jenuh sama sekali. Tahu-tahu, ia sudah sampai di halaman rumah, dan keluar dari sana tanpa memedulikan hujan. Alhasil, ia tiba di teras dalam kondisi sedikit basah.
Theo masuk ke rumah, dan menemukan suasana terasa sepi. Pukul tujuh malam, anak-anak diyakininya sibuk bermain atau menimbulkan suara. Namun, tidak ada bunyi kecuali hujan di luar sana.
Theo tidak memedulikan hal itu pada awalnya, jadi meneruskan perjalanan ke kamar. Sudah muncul perasaan gelisah, tetapi ia abaikan.
Setelah berganti pakaian, Theo berpikir untuk berbicara dengan Raisya secara tenang. Sebagai seorang pria yang sedikit memahami perasaan wanita penuh luka, Theo akan berusaha lebih sabar lagi dalam menghadapi Raisya. Yakin jika dengan kesabaran itu, ia bisa menaklukkan sang istri.
Maka, Theo segera mencari keberadaan Raisya. Awalnya yakin di ruang keluarga, sebab malam Sabtu, anak-anak akan sibuk bermain karena besok libur. Namun, jangankan ada orang, lampu di sana pun tidak menyala sama sekali.
Theo mulai merasa tidak nyaman. Mencari ke kamar anak-anak, juga tidak ada. Theo mengabaikan semua rasa lelahnya, dan berlari mengecek ke setiap ruangan yang ada di rumah, tetapi selalu berakhir nihil.
Tujuan terakhir Theo sekarang hanyalah dapur. Namun, selain Anna, tidak ada orang lain di sana.
Ke mana mereka bertiga pergi sampai malam seperti ini tanpa kabar sama sekali? Kekhawatiran Theo sulit dikendalikan, apalagi menyadari betapa buruknya cuaca malam ini.
"Pak." Anna yang semula membelakanginya, kini berbalik dan mendekat ke arah Theo dengan sebuah cangkir di tangannya. "Mau minum teh, Pak?"
Theo mengibaskan tangan sebagai isyarat penolakan.
"Bu Raisya sama anak-anak lagi ke rumah Bu Dewi, Pak. Tadi sempat telepon, katanya bakalan nginep di sana karena hujan deras. Pak Theo nggak perlu cari atau nyusul, kata Bu Raisya," lanjut Anna.
Theo sempat mempertimbangkan permintaan itu, tetapi ia menggeleng kasar. Sebelum Raisya membuat batasan kokoh antara mereka, ia harus meyakinkan sang istri secepat mungkin. Jadi, ia mengabaikan lagi ucapan Anna, dan memperlebar langkahnya meninggalkan dapur.
Anna menghela napas kasar. Sempat memejam, lalu ikut menyusul sesegera mungkin dengan teh masih di tangannya.
"Pak, ini termasuk rencananya Bu Dewi, jadi percuma datang ke sana. Bu Dewi nggak bakalan izinin Pak Theo masuk ke rumah," ucap Anna, berhasil membuat Theo berhenti walau tidak berbalik sama sekali. "Ada si sini bukan keinginan saya, Pak, tapi kerjaan dari Bu Dewi. Andai bukan itu, saya nggak bakalan ada di sini selama ini, Pak. Pak Theo tahu sendiri alasan saya ke sini."
Theo sama sekali tidak terpengaruh, membuat Anna hampir menyerah sembari melihat kepulan asap dari cangkir yang ia pegang.
"Setiap alasan Pak Theo, bakalan susah diterima Bu Raisya karena pengakuan dari terduga pelaku jarang bisa dipercaya," ucap Anna lagi. "Tapi mungkin, pengakuan saya bisa didenger Bu Raisya, Pak, apalagi kalau Bu Dewi dan Anda mau mendukung pengakuan saya. Ini cara satu-satunya untuk dapatkan kepercayaan Bu Raisya lagi."
Barulah, Theo berbalik usai mendengar tawaran yang menarik itu.
"Duduk di sofa, Pak. Sambil minum teh supaya Pak Theo nggak masuk angin. Setelah pengakuan itu, Pak Theo bisa pergi ke rumah Bu Dewi buat jelaskan semuanya ke Bu Raisya."
Perkataan Anna sulit untuk diabaikan oleh Theo, jadi ia mengikuti setiap instruksi perempuan itu. Mereka ke sofa, dengan cangkir teh tadi berada di hadapan Anna.
"Sebelum itu," kata Anna dengan senyum tipis saat melihat Theo mulai menyesap teh buatannya, "Pak Theo bisa siapkan rekaman supaya jadi bukti untuk ditunjukkan ke Bu Raisya."
Entah mengapa, Theo merasa ada yang salah. Namun, ia tetap mengeluarkan ponsel dari sakunya, membuka kamera, dan mengatur posisinya di atas lemari agar menampilkan mereka berdua.
Lalu, tombol merah di layar ditekan, rekaman dimulai.
[UPDATE SETIAP HARI SELASA]
Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini LEBIH AWAL/secara lengkap di :
KBM App : Es_Pucil
***
Mari kenalan :
Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III
🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro