16. Darah
"Walaupun Anna kita pekerjakan jadi pengasuh, tapi aku pikir, dia juga bakalan kecapean, Mas. Jadi, biarin ya, Bella sama Fella berangkat bareng kita?" ucap Raisya ketika seluruh anggota rumah berada di teras siap untuk berangkat. Sebelum mendapatkan balasan dari sang suami, Raisya sudah berbalik menghadap Anna untuk memberikan arahan dengan senyuman terbaiknya. "Kamu hari ini istirahat aja, Anna. Urus Fella aja. Bella biar saya sama Mas Theo yang antar ke sekolah."
Anna sempat kebingungan, dengan melirik Theo untuk meminta penjelasan. Namun, pria itu secara samar memberikan gelengan kecil sebagai ketidaktahuannya atas rencana Raisya.
"Baik, Bu. Terima kasih atas kepeduliannya," kata Anna dengan suara sopan.
Raisya hanya mengangguk, lalu mengajak Bella dan Theo untuk berangkat. Ia sendiri memilih untuk duduk di kursi belakang, demi bersama putrinya, dan tidak terlalu peduli pada sang suami.
Setelah meninggalkan pekarangan rumah, suasana hening dalam mobil mulai mencair setelah Raisya mengajukan sebuah pertanyaan.
"Bella lebih suka Mama atau Kak Anna?"
Pertanyaan bernada santai itu, secara spontan membuat Theo melirik ke kursi belakang melalui spion tengah.
"Rai, ngapain sih harus tanya begituan. Jelas, Bella anak kamu," balas Theo.
Namun, Raisya sama sekali tidak peduli. Ia hanya fokus pada Bella, menantu jawaban sang anak.
"Kak Anna," jawab Bella dengan jujur. "Soalnya Kak Anna seru, lucu, baik juga. Dia selalu bikin aku nyaman, dan selalu bikin aku sama Fella ketawa. Aku suka banget sama Kak Anna. Tapi aku juga cinta sama Mama."
Jawaban di kalimat terakhir Bella seharusnya melegakan, tetapi tidak untuk Raisya. Perempuan itu terlihat lebih dingin dari sebelumnya, membuat Theo merasa terancam walau bukan dirinya yang ditanya.
"Kalau kamu emang nggak nyaman sama Anna, pecat dia, Rai!" kata Theo dengan tegas, mulai jengkel terhadap topik yang selalu dibahas oleh sang istri.
Raisya sempat terkejut karena suaminya berbucara menyerupai sebuah teriakan. Namun segera, ia mengendalikan emosi, dan hanya perlu melirik pada Bella untuk memberikan jawaban pada sang suami.
"Nggak boleh! Kak Anna nggak boleh dipecat! Kak Anna nggak boleh pergi! Aku bakalan ikut Kak Anna kalau Kak Anna pergi! Aku bakalan benci Papa kalau Papa usir Kak Anna!" balas Bella dengan teriakan lebih nyaring.
Segera, Raisya mrngusap bahu putrinya demi menenangkan. Senyumnya turut mengandung aura ketenangan, yang dilirik oleh Theo melalui spion.
"Kak Anna nggak bakalan pergi, Sayang," jawab Raisya dengan tenang, yang berhasil menular pada Bella. "Nggaj bakalan pergi, sampai Bella sendiri yang bosan sama dia."
"Aku nggak bakalan bosan sama Kak Anna! Aku suka Kak Anna! Titik!" balas Bella dengan suara tegas, kemudian melipat tangan di depan dada.
Raisya melirik lurus pada Theo dengan pandangan yang mengandung arti, lihat sendiri, kan?
Theo bungkam seketika. Hanya bertukar pandang dengan sang istri. Ia sedikit bergidik melihat ketenangan dan kecemburuan bersatu dalam tatap Raisya. Perempuan itu dengan jelas menyiratkan bahwa ia tidak akan membiarkan perempuan mana pun mengambil putrinya.
*
Pukul lima sore lebih, seperti biasa, Theo akan mampir ke tempat Raisya bekerja untuk menjemputnya pulang. Namun, ia tidak memiliki keinginan untuk ke ruangan Raisya karena enggan mengganggu perempuan itu. Mengingat terakhir kali mereka bertengkar di sana, Theo menyeslinya akhir-akhir ini. Nama baik Raisya bisa saja tercemar jika mereka mengulanginya lagi. Maka, berada di dalam mobil di parkiran sebuah restoran menjadi pilihan. Ia juga memesan makanan untuk mereka berdua.
Semuanya berjalan lancar pada awalnya. Saat Theo akan menyantap makannya, ia memberitahu Raisya melalui pesan singkat mengenai lokasi dirinya menunggu. Setelah mendapatkan balasan 'oke', pria itu langsung meletakkan ponsel di atas kursi sebelahnya, lalu lanjut untuk makan.
Namun, di pertengahan suapan, Theo menemukan Raisya yang berjalan meninggalkan kantor hendak menyeberang. Jalanan lengang sebenarnya, bahkan perempuan itu sudah menoleh ke kanan-kiri sembari memberi isyarat bahwa djrunya akan menyebarang.
Sayangnya, di pertengahan jalan, sebuah mobil dari arah samping datang dengan kecepatan tinggi. Menabrak tubuh Raisya dengan keras, membuat perempuan itu jatuh membentur kap mobil, berputar di udara, sebelum akhirnya terpental ke aspal yang keras. Membuat perempuan itu langsung kaku seketika.
Begitupun Theo. Ia sempat membeku di tempat dengan mata yang hampir lupa caranya berkedip usai melihat pemandangan tersebut. Napasnya sempat tertahan selama beberapa detik, sampai melihat kerumunan manusia mulai mengelilingi istrinya.
Membawa tubuhnya yang bergetar hebat, Theo meninggalkan mobilnya tanpa peduli pintu yang belum tertutup. Ia berlari mengabaikan beberapa kendaraan lewat di sekitarnya.
Setelah berhasil mecapai kerumunan, ia membelah mereka sehingga memilih celah untuk masuk dan mendekati Raisya yang sudah tidak sadarkan diri.
"Saya suaminya ...." Theo memberitahukan statusnya sehingga ia memiliki ruang yang leluasa untuk membawa tubuh berdarah Raisya dalam gendongannya menuju mobil.
Beberapa orang menyusul untuk membantu membukakan pintu mobil belakang. Setelah memastikan bahwa Raisya sudah berbaring aman di belakang, Theo segera mengendarai mobilnya menuju rumah sakit dengan kecepatan yang maksimal ia lakukan. Jantungnya berdetak sangat keras, oleh ketakutan yang mengancam. Pria itu nyaris tidak bisa tenang selama perjalanan, dan seringkali mengarahkan pandangan ngeri pada tubuh Raisya.
Cucuran darah tidak berhenti mengalir. Kondisi mobil sudah dihiasi noda merah, tetapi Theo tidak peduli. Bahkan ia mengabaikan kemeja putihnya yang dihiasi cairan merah kental.
Theo segera memanggil perawat secara menggila agar menyiapkan ruangan untuk Raisya. Mengabaikan berbagai jenis tatapan terhadap dirinya, Theo tidak peduli. Saat seorang perawat datang mendekat untuk mengarahkan ke ruang UGD, Theo segera mengikutinya dengan berlari membawa Raisya di lengannya.
Tubuh Raisya diletakkan di atas ranjang pasien. Sebelum perawat berbicara, Theo segera memotongnya.
"Panggil dokter sekarang! Dimana saya harus urus-urus biayanya? Cepat urus istri saya sekarang!" kata Theo dengan tegas dan cepat.
Suster ikut panik, dan mengikuti arahan tersebut. Dokter segera masuk ke ruangan, sementara Theo mengikuti sang perawat menuju meja resepsionis. Mengurus segala keperluan dan identitas pasien.
Setelah selesai, Theo masih tidak bisa tenang. Ia berdiri dengan gelisah di depan ruang UGD, menunggu informasi dari dokter. Waktu sepuluh menit terasa satu jam, dan Theo sudah hampir kehilangan kesabaran saat dokter akhirnya datang.
"Pasien kekurangan banyak darah, dan butuh emoat kantung darah. Di rumah sakit ini hanya ada dua kantong, dan butuh dua lagi. Apa Anda punya keluarga dengan golongan darah B?" tanya dokter.
Theo bingung sebentar. Pikirannya langsung tertuju pada Fella, karena saat ia luka kemarin, darahnya diketahui bergolongan B, tetapi anak itu masih terlalu kecil untuk menolong ibunya. Ia semakin berpikir keras, sampai akhirnya teringat sesuatu.
"Mama saya B, Dok." Theo memberitahu.
"Segera hubungi, agar bisa diperiksa dan dilakukan pendonoran darah," jelas si dokter.
Theo segera memenuhinya. Namun, ponsel tertinggal di mobil. Jadi, ia berlari secepat yang kakinya bisa dengan sangat lincah menuju parkiran. Baru mengetahui bahwa kendaraan itu sama sekali tidak tertutup dengan kuncinya menempel di tempat.
Theo mengambil ponselnya untuk menelepon Dewi sembari mengamankan mobil.
"Halo, Ma. Mama tolong ke rumah sakit sekarang. Raisya kecelakaan, dan kehabisan banyak darah. Butuh dua kantong darah B. Tolong ... datang ke rumah sakit, Ma. Sekarang! Aku bakalan pesen taksi online buat Mama," kata Theo dengan cepat, hampir tidak memberikan waktu untuk Dewi membalas.
"Oke. Mama segera ke sana," balas Dewi.
Theo kembali ke ruang tunggu dengan perssaan gelisah selama menunggu Dewi. Ia duduk termenung, dengan pikiran terus mengulang kejadian beberapa saat lalu. Secara jelas, Theo menangkap setiap detik dari tabrakan itu. Membuatnya merasakan sengatan sakit di dada kiri, dan mengharuskan ia memejam kuat demi menghilangkan bayangan itu. Namun, selalu berakhir gagal.
Theo terus berdoa sembari mengetukkan kaki dengan gugup, agar Raisya bisa selamat. Ia tidak mau sang istri kenapa-napa. Ketakutan Theo berkembang dengan cepat, sulit terkendali.
Tidak lama kemudian, Dewi sudah datang. Theo langsung mengarahkannya ke perawat yang mengurus Raisya untuk melakukan tes sebelum pengambilan darah. Sementara Theo kembali menunggu di depan UGD.
Sampai, ponsel Theo berdering. Mengejutkan pria itu. Ia segera menggeser icon hijau setelah menemukan nama 'Guru Kelas' di layar.
"Halo," sapa Theo dengan ramah.
"Halo, Pak. Maaf mengganggu. Saya mau infokan kalau Arabella Puspa Erigantara sedang berada di rumah saya, Pak. Tadi dia tunggu jemputan di sekolah, belum datang juga. Saya hubungi pengasuhnya, tapi tidak diangkat. Ibunya juga. Jadi saya telepon Anda."
Theo spontan berdiri dengan tegak.
"Pengasuhnya sama sekali nggak ke sana, Bu?" tanya Theo dengan cemas.
"Iya, Pak. Sebelumnya saya temani menunggu di sekolah hampir dua jam, baru saya bawa pulang ke rumah karena pengasuhnya tidak datang-datang juga."
Theo mengusap rambutnya dengan khawatir. Ia mengiyakan hcapan guru wanita tersebut, kemydian menjanjikan akan segera ke sana.
Melebihi Bella yang berada aman di rumah gurunya, Theo lebih mengkhawatirkan Anna yang tidak bisa dihubungi. Nomornya selalu tidak aktif saat Theo mencoba. Bukan karena tuntutan siss perawatan yang menyebabkan ketakutan, melainkan fakta bahwa Fella ikut dengan Anna. Jelas, Theo khawatir jika putrinya kenapa-napa.
Jadi, Theo lebih dahulu ingin meminta Dewi menjaga Raisya dan menghubungjnha saat sang istri sudah sadar, sementara dirinya akan menjemput Bella sembari mencari keberadaan Anna.
Namun, di samping ruangan di mana Dewi baru saja mendonorkan darahnya yang sepi, Theo membatalkan niat untuk langsung menghampiri Dewi, dan memilih mendengarkan obrolan sang mama.
"Apanya yang susah, Anna? Lakukan seperti tujuh tahun lalu. Kamu ahlinya sembunyi, 'kan? Muncul kalau suasana sudah aman saja. Jangan pernah aktifkan nomor lama kamu, dan segera ganti HP supaya nggak ada yang bisa lacak keberadaan kamu."
Secara spontan, tangan Theo mengepal kuat di samping tubuh. Matanya memandang tajam, sementara kakinya mulai bergerak maju penuh perhitungan seolah siap memangsa mangsa.
"Mama!"
[UPDATE SETIAP HARI SELASA]
Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini LEBIH AWAL/secara lengkap di :
KBM App : Es_Pucil
***
Mari kenalan :
Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III
🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro