11. Peperangan tanpa Ucapan
Kenapa nggak pecat aja si pengasuh calon pelakor itu, Rai?
Pesan itu masuk dari teman dekat Raisya setelah diceritakan semua kejadian di rumah tangganya dengan Theo. Awalnya berpikir untuk simpan sendiri, tetapi tidak menyangka bahwa membohongi diri sendiri dan orang lain membutuhkan banyak tenaga. Ia berusaha agar terlihat tidak peduli, tetapi nyatanya gagal.
Semula, Raisya hendak mengetikkan balasan untuk memberitahukan alasan mengapa ia tidak menghentikan Anna bekerja di rumah ini meski mampu. Namun, urung saat menemukan Theo baru saja bangun. Ia segera mengamankan ponsel, dan lanjut berdandan depan cermin.
"Mas, bangun ya. Kita mau ke rumah sakit dulu baru berangkat kerja. Mama bilang tadi, kalau Fella udah sadar," ucap Raisya.
Theo mengangguk sembari meninggalkan posisi berbaringnya. Ia juga mengusap wajah secara kasar demi menghilangkan sisa-sisa kantuk.
"Nanti Anna biarin antar Bella ke sekolah, baru jagain Fella." Raisya melanjutkan rencananya hari ini. "Oh iya, aku mau minta dia buat siap-siap lebih awal, supaya nanti pas udah selesai antar Bella, dia bisa langsung ke rumah sakit, dan kita bisa berangkat kerja."
Raisya bangun dari posisi duduk depan cermin rias. Ia menguatkan tali kimono mandinya lebih dahulu, kemudian keluar dari ruangan. Tidak memedulikan pandangan cemas yang samar ditunjukkan oleh suaminya.
Sama seperti semalam, Raisya yakin bahwa Theo khawatir jika Anna akan cemburu melihat kedekatan mereka. Namun, Raisya sama sekali tidak peduli. Sebab tujuannya sekarang adalah bermain-main dengan kecemburuan Anna, yang kemarin contohnya, dan hari ini juga.
Raisya hendak menuruni tangga, tetapi urung. Ia berbelok lebih dahulu menuju ruangan di sebelah kamarnya, untuk mengecek Bella. Putrinya itu pasti syok karena kecelakaan Fella, dan kesepian sebab uni pertama kalinya mereka berpisah setelah si bungsu lahir.
Saat pertama kali membuka pintu kamar, Raisya tersenyum melihat putrinya sedang cemberut di depan cermin. Ia segera mendekat, demi membantu sang putri bersiap. Raisya mengambil ikatan di atas meja rias, kemudian menyisiri rambut Bella. Sempat membuat putrinya itu terkejut kecil.
"Fella kapan pulang, Ma?" tanya Bella dengan suara lemah dan pandangan sayu. "Itu kemarin ... salah aku. Aku berantem sama Yoga, jadinya Kak Anna nggak jagain Fella, terus Fella jatuh, terus ... kepalanya luka sampai darahnya banget keluar. Fella ... pasti kesakitan banget kan, Ma? Fella juga lama banget tidurnya kemarin. Fella belum meninggal kan, Ma?"
"Fella baik-baik aja kok, Sayang," jawab Raisya dengan suara lembutnya menghibur sang putri. "Nanti setelah pulang sekolah, Bella boleh temui Fella di rumah sakit."
Namun, Bella terlihat tidak puas dengan jawaban itu. Kepalanya tertunduk dalam, dengan raut sedih yang sama sekali tidak berkurang.
Raisya tidak lagi menambahkan bujukan, sebab ia berpikir bahwa putrinya nanti akan mengerti sendiri. Ia menyelesaikan ikat dua di rambut putrinya, kemudian menepuk bahu Bella dengan lembut.
"Sudah. Selesai."
Bella menengadah, melihat bayangan sendiri, terutama rambutnya. Ia memegangi dua ikatan itu dengan raut tidak suka.
"Ma ... ini tinggi sebelah! Aku kayak orang gila!" protes Bella dengan jeritan bernada tinggi.
"Sini Mama perbaiki," usul Raisya yang menyetujui protes tersebut. "Mama nggak tahu, karena kamu tadi nund—"
"Mama emang nggak tau!" balas Bella, masih dengan suara tinggi. Ekspresi marahnya langsung mereda saat mendengar suara pintu terbuka, dan sosok Anna masuk di antara mereka. "Mendingan sama Kak Anna aja!"
Raisya hanya diam di tempat melihat interaksi putrinya dan sang pengasuh yang begitu dekat. Bahkan lebih akrab dibandingkan dengan Raisya sendiri.
Ekspresi tenang Raisya mulai memudar. Berubah menjadi pandangan tajam ketika hanya Anna yang menyadarinya.
*
Theo merasakan adanya hawa tegang di antara Raisya dan Anna sejak sarapan. Bahkan kebungkaman Raisya yang menjadi lebih sering, sangat aneh bagi Theo. Pria itu menyadari ada yang salah, tetapi tidak tahu letaknya di mana.
Semua berjalan lancar pada awalnya. Theo dan Raisya tiba di rumah sakit pagi-pagi, dan Dewi langsung pamit saat itu juga.
Mengalahkan Theo dalam kecepatan, Raisya berhasil menemui Fella lebih dahulu. Ia dengan penuh semangat menciumi pipi dan tangan putrinya. Sangat bahagia dan bersyukur dengan kesembuhan Fella.
"Fella nggak papa sekarang, sudah sembuh," kata Raisya dengan suara lirih, berbisik. "Sudah sarapan, Sayang?"
Fella menggeleng. Matanya berkaca-kaca oleh tangisan, dan bibirnya turut melengkung ke bawah.
"Mau gendong?" tanya Theo, menawarkan diri setelah berdiri di seberang ranjang pasien.
"Memang boleh?" Raisya balas bertanya.
"Kenapa enggak? Dia cuman dijahit aja, jadi seharusnya nggak papa yang penting selang infusnya nggak keganggu," jawab Theo dengan tenang.
Raisya hampir menyingkir untuk membiarkan sang putri dibawa oleh Theo. Namun, teringat kejadian tadi pagi, Raisya menjadi tidak rela.
"Nggak usah!" kata Raisya dengan tegas. "Biar aku yang urus, sambil tunggu Anna. Kamu ambilin makanan sama susu buat Fella."
Theo tidak melakukan protes. Ia keluar dari ruangan sebentar untuk memenuhi permintaan tadi. Sementara Raisya mulai memosisikan diri, ikuti duduk di atas ranjang pasien kemudian memangku Fella. Tidak lupa mengecup bagian kepalanya yang tidak lupa beberapa kali.
Entah mengapa, mendadak merasakan hawa bahagia dari sudut hati. Raisya merasa rindu dengan kegiatan ini. Seharusnya, ia masih menghabiskan waktu mengurus Fella, tetapi obsesi pada pekerjaan menghalang. Putrinya harus kehilangan hak sebelum dua tahun, membuat Raisya merasa sangat marah pada diri sendiri.
"Maafin Mama karena nggak jaga Fella dengan baik, ya?" bisik Raisya dengan suara lirih. Ia menggenggam lembut tangan Fella, dan memainkan jemari mungil putrinya. "Mama lakuin ini semua, demi kebahagiaan keluarga kita."
Tapi Theo malah mencoba mencari kebahagiaan tambahan dari perempuan lain, lanjut Raisya dalam hati.
Sekarang tidak lagi. Raisya memiliki tekad dalam hatinya.
Pintu ruangan dibuka, memunculkan sosok Theo yang datang bersama Anna. Membuat mata Raisya memicing curiga pada mereka.
"Rai, turun aja. Fella lagi nggak pakai popok itu. Dia bisa pipis kapan aja," kata Theo, sembari meletakkan dua buah kantongan besar di sudut ruangan.
Namun, Raisya tidak menimpali sama sekali. Ia hanya menyimak interaksi dingin antara Anna dan Theo, dan mencibir dalam hati. Sebaik apa pun mereka menyembunyikan hubungan—kata Raisya dalam hati—tidak akan pernah bisa mengelabui insting seorang istri.
Theo membuat susu, sementara Anna mendekati Raisya.
"Sini, Bu, saya yang ambil Fella. Dia juga belum dibersihkan. Saya mau lap," kata Anna dengan sopan.
"Ambil?" Namun, telinga sensitif Raisya menangkap maksud lain.
Anna sempat kebingungan dengan pertanyaan satu kata itu, jadi ia begitu polos menganggukkan kepala.
"Saya mau ambil alih Fella buat dilap, Bu."
"Mau ambil alih anak saya?" Raisya semakin sinis bertanya.
Anna memandang kebingungan pada Raisya dan Theo—yang juga menyimak —secara bergantian.
Raisya mulai menyadari sifatnya yang berlebihan, tetapi hal itu dipicu karena kejadian tadi pagi. Ia sendiri tidak menyangka, bahwa penolakan Bella bisa membuatnya bereaksi seperti itu.
"Nggak perlu, untuk sekarang," lanjut Raisya dengan suara lebih lembut. Ia juga merasa menyesal karena hampir memicu pertengkaran di depan putri bungsunya. "Kalau kotor, saya bisa ganti pakaian di jalan nanti."
Anna akhirnya menyerah. Ia memilih keluar dari ruangan tersebut, dan membiarkan pasangan suami-istri itu mengurus Fella dengan baik. Ia hanya menyimak dari luar, dengan pandangan sendu.
Berpikir bahwa ... seharusnya Anna yang ada di posisi Raisya sekarang.
Kepala Anna tertunduk ketika penyesalan itu semakin berkembang pesat. Ia memilih duduk demi menenangkan diri.
Beberapa menit kemudian, Raisya sudah keluar lebih dahulu. Ia dan Anna langsung beradu pandang dengan ekspresi yang berbeda.
Anna berdiri dari posisi duduknya dan berpindah ke dekat pintu untuk masuk. Sementara Raisya hanya diam memandang.
Ketika Raisya baru saja meninggalkan tempatnya berdiri di ambang pintu dan Theo sudah menarik gagang untuk keluar juga dari sana, sebuah halangan di depan kaki Raisya membuat perempuannya jatuh terjerembap ke depan tanpa bisa ditahan.
Theo melotot lebar, sembari meneriakkan sebuah nama, "ANNA!"
[UPDATE SETIAP HARI SELASA]
Kalau kamu nggak sabaran, kamu bisa baca cerita ini LEBIH AWAL/secara lengkap di :
KBM App : Es_Pucil
***
Mari kenalan :
Instagram : es.pucil
Facebook : Es Pucil III
🔺🔺🔺
Tolong dengan sangat, jangan buat aku merasa menyesal/kapok bikin cerita; jangan plagiat dan upload ceritaku di mana pun itu, tanpa dapat izin dariku.
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro