Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

-[ D A Y 0.7 ▻ CHIKA × SATOWA ]

Angst Week Pungut Project

[Free Day!]
Reach You

Kudou Chika x Hozuki Satowa
[Kono Oto Tomare! Sounds of Life]


Satu tangan terangkat, menyentuh tangan lain yang lebih kecil dengan lembut. Kelereng madunya terarah pada gadis itu dengan sorot mantap. Dihiasi cahaya jingga yang menyusup lewat jendela.

"Aku akan menggapaimu."



Satu pukulan terjadi. Suara ambruknya sosok yang tengah melindungi mengisi. Namun anehnya, sang gadis masih bisa bangkit dari posisi lemahnya. Hingga suara retakan tulang akhirnya menyusul, diikuti rintihan yang menyayat hati.

Semuanya terjadi dalam waktu yang terlalu cepat. Seolah hanya dengan menutup mata satu detik, seluruh bagian dari orang yang Ia sayangi dapat hancur berkeping-keping.

Chika mematung, berharap kejadian buruk ini hanya mimpi belaka. Lelaki itu terdiam, menatap kosong bagaimana orang-orang yang berniat buruk kepadanya meremukkan jemari kecil milik seseorang yang tengah berusaha melindunginya.

Butiran bening mulai mengalir membasahi pipi. Dua pasang tangan yang sedang menahannya membuat sang pria tak bisa bergerak dengan keadaannya yang melemas tak percaya melihat bagaimana cairan gelap berbau amis mulai membasahi tanah.

"Kau tidak punya siapa-siapa, Chika."

"Termasuk gadis ini sekalipun, dia bukan siapa-siapa untukmu."

Maniknya dipenuhi kemarahan. Nafasnya memburu mendengar bagaimana kalimat tersebut terlontar. Ia mungkin bukan apa-apa untuk seorang Hozuki Satowa. Ia mungkin adalah orang yang paling dibencinya.

Tetapi tidak untuknya. Tidak dengan bagaimana Chika melihat perempuan bermarga Hozuki. Satowa adalah tujuannya, Satowa adalah orang yang sangat Chika kagumi, Satowa adalah orang yang paling Ia cintai seumur hidupnya.

Pria itu ingin bergerak. Maju membalas perbuatan seorang Uzuki Sei meskipun masa depannya yang menjadi taruhan. Memberinya rasa sakit dan pedih yang sedang dilalui oleh sang gadis. Akan tetapi, selama dua pasang tangan tersebut memaksanya melihat bagaimana mereka menyakiti Satowa, Ia tak bisa apa-apa.

Namun, tidak ketika dua orang tersebut mulai lengah. Pegangannya melemah. Kala Chika sadar akan melemahnya pertahanan mereka. Dia menghempaskan dua orang yang barusan menahan Ia untuk mencegah Uzuki dari kegiatannya yang tak henti menginjak jemari Satowa.

Chika maju, menerjang Uzuki, melepaskan usahanya untuk melumpuhkan tangan sang gadis. Menatap tajam dengan manik gelap tak terkendali.

"JANGAN PERNAH MENYAKITINYA!"

Uzuki terjatuh, terbaring dengan benturan yang cukup keras, "Chika ...."

Tidak bisa. Suara memelas itu tak bisa lagi menghentikan Chika. Melihat bagaimana pria gila ini menyakiti gadis yang sangat Ia cintai membuatnya tidak bisa mengendalikan diri lagi.

Lututnya ditekankan di atas perut Uzuki. Kedua tangannya menarik kerah pakaian, mempererat dasi seolah akan mencekiknya. Jika saja teriakan terpaksa dari suara yang mulai melemah tidak menyadarkannya Chika.

"Kudou, hentikan itu!"

Chika menoleh, menatap Satowa yang sudah terduduk dengan tangan lemah dan air mata yang bercucuran. Melihat hal tersebut, tatapan sang pria melembut. Air bening menggenangi pelupuk matanya, hingga akhirnya terjatuh mengeluarkan sesak menatap bagaimana kacaunya Satowa sekarang ini karena dirinya.

"Hozuki ...."

'Maaf.'


*


Helaian pirang terjatuh, menutupi kelereng madu yang tampak menunjukkan sorot malu. Dihiasi cahaya senja, satu butir air mata terjatuh. Lalu tak lama kemudian mengalir lebih banyak lagi. Mengeluarkan rasa sedih melihat bagaimana tangan yang ingin Ia genggam selamanya terbungkus tanpa bisa melakukan apa-apa, menatap sorot polos yang begitu berharga baginya dari sosok Hozuki Satowa yang kini tengah berada di tengah-tengah ruangan berbau obat.

Chika menutup mata dengan sebelah tangan, berusaha menghadang air kesedihan yang tak kunjung berhenti. Persis ketika sang kakek berada pada detik-detik akan meninggalkannya.

"Maaf," lirihnya setelah beberapa menit diam di hadapan Satowa.

"Maaf," ulang sang pria sama lirihnya.

"Maafkan aku, Hozuki."

"Maaf. Karena aku, kau jadi ...."

"Kudou, itu bukan salahmu."

Kalimat itu terucap. Dengan nada tegas namun dengan tatapan lembut. Chika yang sudah mengangkat kepala membulatkan mata. Menatap sang gadis lebih dalam. Setelah itu, genangan bening dalam matanya kembali tumpah dengan isakan tertahan.

"Aku yang memutuskan untuk tidak melepaskanmu lagi. Maka, aku juga harus siap dengan resiko yang akan aku terima." Satowa berujar lagi, dengan senyum dihiasi cahaya senja di belakangnya.

Kepala sang gadis menunduk, dengan senyum tulus yang cukup menyedihkan di mata Chika. Semakin menambah sesak yang sudah bersarang dalam sanubarinya.

"Aku ... mungkin tidak akan bisa bermain koto di nasional nanti," ucap Satowa. Menarik nafas dalam guna menahan kesedihan mengingat bermain koto adalah bagian dari hidupnya selama ini. "Namun, lihatlah sisi positifnya. Kau bisa semakin cepat untuk menggapaiku karena aku akan menunggu sampai ...-"

"Diam!" Lelaki di ruangan tersebut menaikkan oktaf suara, memotong perkataan Satowa dengan satu kata. "Jangan katakan itu!" lanjutnya.

"Aku ingin bermain bersamamu di nasional ... aku ingin nada yang kita perjuangkan akhirnya dilihat oleh dunia, aku ingin agar kita bisa berjalan bersama ... di nasional. Tapi ...-"

"Kudou! Masih ada waktu lain. Masih ada kesempatan lain untuk kita," potong Satowa cepat sebelum kalimat putus asa Chika dilanjutkan kembali. "Jadi, gapai aku tahun ini lalu kita akan bermain bersama lagi di masa yang akan datang."

"Dan tolong ... mainkan bagian soloku."

Kelereng madu sang pria semakin membulat lagi. Diikuti isakan yang semakin jelas untuk didengar. Chika mendekat sambil mengusap air matanya dengan punggung tangan. Lalu menyentuh tangan terbungkus perban milik Satowa dengan lembut.

Manik cokelat hangat itu bercahaya oleh cahaya jingga, membuatnya semakin betah untuk dipandang apalagi dengan sorot mantap di dalamnya.

"Aku akan menggapaimu."

Satowa tersenyum, lain hal-nya dengan pria di depannya yang menatap dia dengan serius akan tetapi berkata dengan suara yang lembut dan penuh keyakinan.

"Di masa yang akan datang, aku tidak hanya akan berjalan bersamamu. Namun juga membahagiakanmu. Tidak seperti sekarang ...."


*


Satu petikan nada terakhir terdengar. Satu tetes keringat terjatuh membasahi panggung nasional. Seluruh orang terdiam, tak mampu berkata-kata dengan penampilan SMA Tokise yang penuh akan berbagai emosi.

Seluruh penonton meneteskan air mata, mendengar bagaimana emosi yang Chika petikkan dalam senarnya tercampur aduk. Entah itu perasaan bahagia atau perasaan sesak yang menyedihkan.

Tak lama kemudian, tepuk tangan meriah mengisi seluruh penjuru ruangan. Sorak sorai para penonton mengikuti, memeriahkan apresiasi untuk penampilan dari SMA Tokise. Nafas lega terdengar dari seluruh peserta Tokise. Terutama dari Chika.

Senyum bangga nan terharu darinya tampak dengan jelas. Air matanya hampir mengalir membasahi wajah. Bibirnya bergetar. Tak percaya bahwa perasaannya dapat tersampaikan. Tak percaya bahwa nada yang Ia mainkan bersama solo milik Satowa bisa menggambarkan semua rasa yang dimiliki olehnya dan juga dia yang menjadi tujuan.

Kedelapan peserta Tokise mulai bangkit dari posisi mereka. Membawa koto yang baru saja mereka mainkan dengan senyum bahagia karena tampak berhasil menggapai hati penonton.

Chika yang menunduk menatap koto-nya mulai mengangkat kepala. Lalu seketika tersentak sebelum akhirnya tersenyum hangat melihat sosok yang begitu Ia tunggu. Dengan segera, pria tersebut meletakkan koto-nya lalu menghampiri sang gadis yang baru saja selesai menonton.

"Kau hebat," komentar Satowa dengan senyuman bangga setelah Chika menghampirinya.

Yang dipuji mengangguk dengan semburat merah muda di bawah matanya, "Uhm ... terimakasih."

"Kau menangis?" Satowa bertanya dengan nada menggoda, melihat betapa banyaknya air yang menggenang di pelupuk mata Chika.

Dengan cepat, lelaki bersurai pirang tersebut menggeleng, "T-tidak."

"Oh ya?"

"Aku bilang, tidak!"

"Ya, ya. Matamu kemasukan debu. Iya, 'kan? Alasan yang sangat klise."

Chika menggosok matanya dengan lengan bawah, "Diam!"

"Astaga, kalian. Tidak bisakah kalian tidak adu mulut di saat seperti ini?" Salah satu dari ketujuh orang sisanya menggelengkan kepala tanda protes.

Mendengar hal tersebut, Chika dan Satowa saling menatap. Lalu tersenyum geli. Terutama seseorang yang bermarga Hozuki.

Meskipun kemungkinannya kecil untuk kembali memetik nada. Meskipun hampir tak ada harapan lagi untuk berjalan menjalani mada bersama Chika. Meskipun dunia mengatakan bahwa tak seharusnya Ia menggeluti dunia musik lagi. Satowa tidak akan terlalu bermasalah dengan hal tersebut. Chika telah menggapainya, mencapai tujuan hidupnya, dan secara tak langsung telah mengatakan bahwa dia mencintainya.

Meski sesak akibat tangannya yang terluka hampir tidak akan bisa hilang, semua itu masih bisa terobati dengan bagaimana pria yang Ia cintai dapat tersenyum bahagia sambil memainkan musiknya.







End.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro