-[ D A Y 0.1 ▻ CHIKA × SATOWA ]
Angst Week Pungut Project
Bitter Deceits / Solitary
Kudou Chika x Hozuki Satowa
[Kono Oto Tomare! Sounds of Life]
AU!
Satu tangan itu terangkat, mengusap helaian pirang yang bercahaya terkena cahaya senja. Sambil tersenyum, Ia berkata.
"Aku selalu bersamamu, Chika."
Hidup dalam rasa sepi adalah hal biasa.
Menjalani hari sendiri adalah hal yang tak lagi jadi rahasia.
Bagi Chika, hampa yang Ia rasakan bukan suatu masalah yang cukup besar. Hidup tanpa alasan, tanpa tujuan, tanpa sadar bahwa dirinya tengah kesepian, seolah sudah menjadi makanannya sehari-hari dalam 7 tahun ini.
Untuk apa pula sosok buruk sepertinya memiliki alasan untuk hidup dimana dia sendiri tak pantas untuk hidup? Setiap tempat bercahaya yang Ia datangi, setiap 'rumah' yang pernah Ia tempati, selalu berakhir dengan nasib buruk. Tak heran Ia dijuluki dengan nama 'Anak Terkutuk'.
Chika tidak ingin melawan, Chika tidak mau mempedulikan apa yang mereka katakan. Chika selalu berusaha mengiraukan rasa sepi yang menyerang. Dia yang memilih untuk menjauh, dia yang memilih untuk pergi dari dunia yang bisa membuatnya bahagia. Ini pilihannya, dan ini pula resikonya.
Bohong jika Chika mengatakan bahwa dia tidak lelah. Hidup di lingkungan kumuh dan gelap, berisi masyarakat buangan sosial dalam kesendirian. Ingin rasanya Ia menemukan sosok yang bisa pria itu ajak bicara, setidaknya untuk menghilangkan rasa sepi barang sehari saja. Namun siapa? Siapa yang akan sanggup dengan dirinya yang buruk dan terkutuk? Bahkan di lingkungan gelap seperti ini pun, masih tidak ada yang bisa menerimanya.
Hingga waktu mempertemukannya dengan dia. Sosok menawan dengan sorot mata tegas, bertubuh kecil namun tampak percaya diri, menarik lengannya dengan jemari mungil halus lalu dengan berani melayangkan tangannya untuk meninggalkan bekas kemerahan di pipi.
"APA YANG KAU PIKIRKAN?! Di saat orang-orang di luar sana berharap untuk tetap hidup, mengapa kau ingin mencelakai dirimu sendiri?!" Wanita itu berteriak, tak peduli dengan pandangan orang-orang yang melewati trotoar. Matanya yang sudah berkaca-kaca tetap menatap lurus pada kelereng madu tanpa cahaya nan suram milik Chika.
Masih dengan mata berair, gadis itu kembali berkata, "Aku tidak tahu apa masalahmu. Namun, jika kau merasa tidak punya alasan untuk hidup, maka setidaknya hiduplah untuk dirimu sendiri, bodoh!"
"Untuk apa aku menjadikan diriku sendiri sebagai alasan? Kau lihat sendiri sekacau apa aku, 'kan?" Chika membalasnya, dengan tatapan gelap yang nyaris berwarna hitam. Untuk apa wanita rapi dan baik-baik sepertinya menyelematkan dia? Bukankah akan lebih baik jika dia menjauh saja?
Puluhan tanda tanya mengisi pikirannya, akan tetapi sang gadis tetap tak menjawab. Ia terdiam sambil menundukkan kepala dan mengepalkan tangan. Entah karena merasa bersalah atau karena hal lain yang tidak Chika ketahui.
Namun, satu hal yang Ia ketahui, gadis yang baru saja menamparnya adalah gadis paling berani yang pernah Ia lihat.
*
Chika melihatnya lagi. Berlindung di bawah atap bocor dari tangisan cakrawala yang kian detik kian menjadi. Memeluk dirinya sendiri guna menghalau dingin yang semakin menusuk meskipun sehelai jaket tipis sudah membungkus tubuhnya.
Tak lama kemudian, sebuah tendangan disertai bentakan mengagetkan sang gadis sampai Ia terjatuh pada jalanan basah dan guyuran hujan. Sorot matanya tampak memohon, tapi lisannya tak mampu berucap. Pada akhirnya, Ia hanya bisa membungkuk sambil meminta maaf dan pergi membawa tas-nya.
Chika tak sedikitpun merasa kasihan, sungguh. Namun, sisi manusiawi dari dalam dirinya menolak untuk membiarkan gadis itu berjalan dibawah derasnya hujan, terlebih lagi dengan petir yang sudah sering menggelegar.
Lantas, pria itu berjalan menghampiri sang gadis dengan payung di tangannya. Menatap manik gelapnya yang tercengang dengan kedatangannya. Tatapannya yang tanpa harapan berubah seketika.
"Kau butuh tempat berteduh?" Chika bertanya. Dan seketika merasa bodoh. Jelas-jelas gadis ini memang butuh tempat untuk berteduh.
"Apa itu harus ditanyakan?" balas perempuan bersurai cokelat tersebut pelan. Ia yakin jika sosok yang pernah ditamparnya tempo hari datang untuk mengejeknya. Ya, sebelum satu kalimat yang lain terlontar dari lidah sang pria.
"Tidak. Namun, jika kau memang butuh tempat berteduh, aku bisa menyediakannya."
Sorot yang baru saja kembali tampak putus asa berubah lagi, berbinar senang namun kemudian beralih menjadi tatapan curiga. Kakinya melangkah mundur untuk menjauh. Seolah tahu apa yang tengah gadis tersebut pikirkan, perempatan merah muncul di pelipis Chika.
"Kau pikir aku pria macam apa?!"
"Tidak ada lelaki yang menawarkan sesuatu pada wanita kecuali jika wanita tersebut membayarnya dengan sesuatu lagi."
"A-apa?!" Chika membulatkan mata, lalu membuang nafas berat, "Aku sedang bermaksud baik, asal kau tahu!"
Gadis yang kira-kira seumuran dengan Chika masih menatap tak percaya. Membuat sang lelaki menghela nafas lalu mempertemukan tatapan mereka lagi untuk meyakinkan.
"Kau bisa menganggap ini sebagai ucapan terimakasih atas kejadian tempo hari." Chika mengangkat bahu setelah jeda panjang, "Tapi, jika kau tidak mau, maka ...."
"Tunggu!"
*
Dan disinilah mereka. Entah sudah berapa lama Chika tinggal bersama Satowa, berdua. Rumah di tempat kumuh yang sepi itu mulai menunjukkan hilangnya kekosongan yang ada sebelumnya.
Chika tak berencana untuk membuat gadis itu tinggal disini, sungguh. Tepat ketika Satowa akan pergi pada jam pagi, Chika mencegahnya. Bukan tanpa alasan. Wajah perempuan berusia 21 tahun tersebut tampak pucat, ditambah dengan cairan merah berbau amis yang keluar dari dalam hidungnya tak lama kemudian. Mungkin, karena hipotermia, katanya.
Pria bersurai pirang itu bukan pria yang terlalu jahat sampai membiarkan gadis yang tampak rapuh pergi dalam udara dingin sendirian. Ya, meskipun Chika tetap merasa buruk karena penyebab gejala hipotermia Satowa secara tak langsung adalah dirinya yang tidak memberikan selimut tebal semalam
Awalnya, gadis itu menolak, akan tetapi Chika sangat memaksa karena tidak mau jika sesuatu terjadi padanya dan membuat Ia merasa bertanggung jawab. Satowa menyerah. Pada akhirnya, dirinya tinggal bersama sang lelaki pirang dengan pandangan Chika yang hampir tak lepas darinya.
"Kau sudah menatapku sekitar 10 menit, Chika."
Suara yang kini sangat dia kenali menyadarkan sang pelamun. Chika tertegun untuk sejenak, mulai sadar bahwa mereka sedang makan. Menyadari perbuatannya, Ia menundukkan kepala, "Ah ... maaf."
Sang gadis mengangkat sebelah alisnya, "Kau pikir kau melakukan kesalahan?"
"Uhm ... ya-." Jeda panjang, lalu, "Menatapmu terlalu lama merupakan kesalahan, 'kan?"
"Tidak juga, aku hanya ...." Satowa memalingkan muka dengan alis yang kini berkerut, "Ah, sudahlah."
Tak ada tanggapan lagi untuk beberapa menit. Hingga Chika akhirnya buka suara kembali, "Selama ini, aku penasaran. Apa kau tidak takut padaku?"
"Ada sesuatu yang harus kutakuti darimu?" Satowa malah balik bertanya, kembali menjeda acara makannya.
"Mungkin." Kelereng madu Chika beralih pada Satowa lagi, yang kini masih menunggu kelanjutan, "Kau tahu tentang reputasiku disini, ditambah penampilanku yang memang begini. Kau juga pasti tahu tentang darimana aku mendapatkan berbagai luka di wajahku, lalu-."
"Lalu, kau adalah orang yang memberiku tempat berteduh," potong Satowa segera sambil dengan santainya melanjutkan kegiatannya.
"Hanya itu yang membuatmu tidak takut? Maksudku, masih ada orang baik yang mau menerimamu untuk berteduh."
"Dan Kudou Chika adalah salah satunya."
Lawan bicara gadis bersurai panjang tersebut tertegun. Bisa dipastikan mulutnya tengah menganga tanda terkejut, matanya membulat, lidahnya terasa kelu untuk berbicara. Tidak menyangka bahwa gadis sepertinya bisa mengatakan hal seperti itu.
"Kau seperti orang yang baru dibilang seperti itu seumur hidupmu," komentar Satowa dengan nada datar, menatap Chika yang masih tampak terkejut.
Melihat ekspresi Chika yang sepertinya tak mampu berkata, Satowa tersenyum tipis, hampir seperti meremehkan, "Ternyata kau cukup bodoh karena tidak menyadari apa yang sudah kau lakukan telah mengubah hidup orang lain."
Satowa bangkit dari duduknya, membereskan alat makan, lalu menuju ke dapur untuk mencuci piring. Namun, sebelum itu, gadis tersebut menoleh ke arah Chika, "Aku akan membayar biaya hidup disini sehingga kau tidak akan merasa keberatan. Tentunya, setelah aku mendapatkan pekerjaan."
Lelaki yang masih duduk di kursi mengangguk. Mengiyakan pernyataan tersebut meskipun dalam hatinya, Chika merasa hal seperti bayaran benar-benar bukan masalah yang harus dipikirkan.
*
Ada 1 hal yang menjadi peraturan di kediaman Chika saat Satowa datang ke dalamnya.
Urusan mereka adalah urusan mereka. Tidak ada yang berhak mencampuri masa lalu atau urusan mereka satu sama lain.
Dan beruntungnya, kedua orang tersebut begitu patuh pada aturan yang telah dibuat sendiri. Setidaknya, untuk saat ini.
"Satowa, kau butuh pekerjaan, 'kan?" Chika bertanya. Di tengah-tengah angin sepoi yang melambaikan helaian rambut dua insan yang sedang pergi keluar untuk membebaskan paru-paru dari udara kotor di lingkungan mereka.
Sang gadis menoleh dengan sorot tertarik, lalu Ia mengangguk, "Uhm, ya. Kenapa?"
"Aku punya rekomendasi. Jika kau mau."
"Tentu saja aku mau, selama itu bukan pekerjaan kotor."
Chika menatap datar, lalu beranjak pergi menuju sepedanya seolah mengatakan pada Satowa untuk kembali naik di belakangnya. Satowa menyadari isyarat sang pria, Ia lalu menghampiri Chika, tangannya bertumpu pada bagian belakang sepeda, sebelum akhirnya Ia buka suara lagi.
"Bagaimana caranya mengatakan kalau aku butuh pekerjaan?"
Ekspresi Chika kemudian berubah dalam hitungan detik. Sebelah alisnya terangkat, "Satowa, dengan siapa kau berinteraksi selama hidupmu sampai kau harus bertanya seperti itu?"
Sang gadis menatap polos, "Tidak ada. Aku tidak pernah atau lebih tepatnya jarang berinteraksi dengan orang lain."
Chika tahu maksud dari kata jarang tersebut adalah sangat jarang, atau mungkin memang tidak pernah sama sekali. Menyadari sesuatu, Ia merapatkan bibirnya untuk sejenak, "Interaksiku dengan orang lain juga cukup buruk."
"Kalau begitu ...."
"Kita seimbang," ujar Chika dan Satowa secara bersamaan sambil menghiasi wajah mereka dengan senyum tipis yang hangat.
Dengan senyuman yang masih sama. Sang pria naik ke atas sepeda, begitu pula dengan sang gadis. Kedua kakinya mulai mengayuh dengan kuat, menghasilkan kecepatan di jalan rata serta angin kencang yang semakin melambaikan surai cokelat dan pirang.
Cengkeraman Satowa semakin menguat, lalu tak lama kemudian beralih menjadi pelukan leher pada Chika untuk menjaga dirinya agar tidak jatuh. Kepalanya Ia istirahatkan di atas bahu Chika. Manik gelap kepunyaan sang gadis tertutup, masih dengan senyuman, Ia bersenandung kecil yang tentunya bisa didengar oleh orang di depannya.
Ini menyenangkan.
Rasa dingin menenangkan yang meyapu kulit, bau tanah yang memasuki indra penciuman serta pemandangan dimana daun hijau dan kuning berjatuhan, semua itu membawa Satowa pada rasa yang tak pernah ada sebelumnya. Mengingat fakta bahwa dirinya di masa lalu terkurung di kamar tanpa mengetahui bagaimana luasnya dunia.
Disisi lain, Chika menoleh ke sampingnya, tempat dimana Satowa mengistirahatkan dagu. Dan Ia merasa tidak keberatan. Dapat menatap profil sang gadis yang tengah tersenyum bahagia entah mengapa bisa membuatnya ikut bahagia.
Chika lupa, dia benar-benar lupa. Satowa adalah seorang wanita. Wanita cantik yang datang ke rumahnya untuk berteduh dan berlindung dari kotornya dunia. Dan sekarang, Chika menyadarinya. Satowa adalah gadis cantik nan manis yang terlihat kuat namun juga terlihat rapuh di dalam.
Tanpa Chika sadari, gadis yang tengah memeluk lehernya adalah satu alasan mengapa Ia bisa tersenyum kembali. Dimana kata 'senyum' adalah kata yang hampir Ia lupakan semenjak dirinya tinggal sendiri. Chika tak menyadari, bahwa alasan mengapa sepi yang mengisi mulai terkikis adalah karena adanya Satowa. Setiap pagi, yang Ia lihat adalah Satowa. Setiap pulang, yang Ia lihat adalah Satowa. Bahkan setiap saat, yang Ia lihat adalah seorang gadis bernama Satowa.
Chika tersenyum hangat dengan binar serta debu merah muda di bawah matanya. Semakin memperlambat jalannya sepeda untuk mengisi waktu lebih lama. Karena entah apa alasannya, Chika merasa bahwa Ia sudah pulang.
*
Petir menggelegar, tangis cakrawala semakin menjadi, gelapnya malam menyertai, semakin menambah suasana dingin di balik dinding tipis yang diterpa angin kencang. Kelereng cokelat madu yang mulai menghangat berubah lagi menjadi gelap.
Sebelah tangannya mengepal, seolah akan menghancurkan lembaran kertas dalam genggamannya. Sedikit membuat satu orang lagi di dalam sana bergetar dengan kelereng yang sama gelapnya. Bukan karena takut disakiti, bukan karena khawatir tidak memiliki tempat berteduh lagi, namun karena rasa sedih melihat Chika yang dulu kembali dengan air mata yang hampir jatuh dari pelupuk matanya.
"Kau tidak pernah memberitahuku soal ini ...." Suara Chika bergetar menahan isakan serta keterkejutan. Disisi lain, Satowa sedang berusaha menahan air matanya yang sudah menggenang.
"Kenapa?" Chika kembali buka suara. Setengah menit berlalu, dan pria itu masih menunggu jawaban.
Sang gadis menarik nafas dalam lalu memalingkan muka, "Ki-kita memang harusnya tidak mencampuri urusan pribadi, 'kan?"
"Aku tahu! Aku tahu itu dengan jelas! Aku yang membuat peraturan itu!" Chika meninggikan nada suara, menatap gadis di hadapannya dengan sorot menyesal dan menyedihkan, "Namun setidaknya, beritahu aku jika kau menderita kanker otak!"
Jeda sejenak, lalu tangis Satowa akhirnya pecah, dadanya sesak lalu Ia menunduk, berusaha menahan suaranya agar tidak meninggi, "Kenapa? Memangnya apa pedulimu jika aku mati?!"
Chika tersentak, lalu mendekat. Tatapannya masih sama, "Kau bertanya mengapa setelah kau datang kesini?"
"Ya! Kenapa kau begitu ingin tahu?! Kenapa kau begitu peduli?!"
"Karena aku jatuh cinta padamu, bodoh!" Chika semakin meninggikan nada suaranya, kedua tangannya menggenggam bahu Satowa. Air mata mulai mengalir menelusuri pipi, "Aku mencintaimu, Satowa ...."
Sang gadis tertegun. Tak mampu lagi berkata-kata. Air kesedihan semakin deras mengaliri pipi. Tangannya terangkat untuk menutup mulut, menahan teriakan yang entah berisi rasa sesak atau rasa senang.
"Kau datang kesini mengusir sepi. Mengisi hariku dengan kehadiranmu. Kau satu-satunya orang yang berani menamparku dan menyelematkanku dari kematian. Kau adalah orang pertama yang mengatakan bahwa aku termasuk orang yang baik. Dan sekarang, kau masih bertanya kenapa?!"
Tubuh Chika semakin bergetar, tangisnya semakin menjadi, raut menyedihkan terlukis dengan jelas, kelereng madunya tergenang oleh air.
Dia tidak mau Satowa pergi. Setelah terbiasa dengan pengisi hari, setelah terlepas dari rasa terbiasa dari kata bernama sepi, setelah semua kebahagiaan dunia yang diberikan, mengapa semuanya harus hilang dalam waktu yang cukup singkat?
Chika tak pernah mencintai seseorang sebesar ini. Terlebih lagi mereka baru tinggal bersama selama 3 bulan.
Chika tidak ingin Satowa menghilang. Meninggalkannya kembali dirundung kesepian dan kesendirian. Ini egois, sangat egois. Chika hanya memikirkan perasaannya. Ia tidak memikirkan Satowa.
Namun, kali ini saja. Bisakah dunia berpihak kepadanya? Kepada rasa egois yang menguasai dirinya saat ini, meskipun hal tersebut sudah tidak mungkin lagi?
Pria itu melemas, mulai mengistirahatkan kepalanya di atas bahu Satowa, "Jangan pergi."
"Kumohon jangan pergi." Chika mengulangi kalimatnya lagi, isakan menyayat terdengar setelahnya.
"Aku mencintaimu. Tolong jangan pergi ...."
Si surai pirang mulai menangis dengan nada isakan yang lebih parah. Diikuti dengan balasan pelukan dari Satowa yang juga kini mengeluarkan air mata paling deras seumur hidupnya juga isakan paling menyayat yang pernah Ia lakukan.
Gadis itu berkata dengan lirih, "Aku ... juga mencintaimu, Chika."
"Maaf ... maaf karena membuatmu mencintaiku."
Kedua insan yang telah mengakui perasaannya saling mengeratkan pelukan. Menyampaikan perasaan masing-masing lewat sentuhan. Bersama tangis sedih bercampur dengan tangis bahagia.
*
Helaian pirang terjatuh di atas futon berselimut acak-acakan. Setiap lembarnya berkilauan terkena cahaya senja yang menyusup lewat jendela. Tak lama kemudian sebuah tangan terletak di atasnya, mengusap helaian pendek tersebut dengan lembut.
Chika mengangkat kepala, menatap penampilan Satowa yang mulai terlihat lemah tak bertenaga, namun masih bisa tersenyum hangat kepadanya. Sinar jingga serta rambutnya yang masih menggantung membingkai wajahnya telah membuat wanita itu menjadi wanita tercantik yang pernah Ia lihat. Meskipun tatapannya tak setegas dulu, meskipun matanya yang tajam itu mulai sayu.
Fakta bahwa Chika tak bisa melihat senyum itu lebih lama lagi, kembali menyerang benaknya. Menambah sakit dalam lubuk hati yang akhirnya tertumpahkan dengan sebutir air mata dari manik cokelat madu. Diikuti dengan usapan lembut di kedua pipi Satowa, sambil menatapnya penuh kasih sayang sekaligus memohon serta menyesal.
"Jangan pergi." Chika masih menatap Satowa dalam. Air matanya kembali menelusuri pipi. Ia tahu sudah berkali-kali dirinya mengatakan ini dan tentunya tidak akan berhasil membuat dunia berpihak padanya.
Chika hanya bisa memohon. Memohon pada Tuhan agar dirinya diberikan masa depan indah bersama Satowa. Masa depan dimana setiap hari mereka menjelajahi jalanan bersama angin yang menerpa, menonton keindahan setiap musim dengan pelukan, lalu menikmati waktu dimana mereka bisa bertukar cerita.
Di satu sisi, Satowa mengangkat tangannya. Membelai sebelah tangan Chika dengan senyum juga air mata, "Aku tidak akan pergi."
"Karena aku akan selalu bersamamu, Chika." Satowa tersenyum lebih lebar, lalu mengatakan sesuatu yang lebih menyayat lagi.
"Satu-satunya saat dimana aku akan benar-benar pergi darimu adalah saat kau menemukan orang baru yang lebih baik."
Bibir Chika bergetar mendengar kalimatnya. Ia kembali menangis, lalu mencondongkan kepalanya ke arah Satowa. Mempersatukan bibir mereka, menyampaikan perasaan yang tak bisa lagi diungkapkan.
Lalu, selama waktu berjalan, genggaman Satowa melemah. Matanya yang tadi sedikit terpejam sekarang tertutup sepenuhnya dan untuk selamanya. Melepaskan tautan mereka secara sepihak. Diikuti dengan cucuran air deras yang membasahi selimut.
Satowa pergi. Satowa benar-benar sudah pergi. Meskipun wanita paling berkesan dalam hidupnya itu mengatakan dia tidak akan meninggalkannya, kehadiran sang gadis pengisi hari tak akan terasa lagi. Senyum kecil yang cukup meremehkan tak akan Ia lihat lagi, suaranya tidak akan terdengar lagi.
'Selamat tinggal, pengusir kata sendiri.'
'Dan selamat datang kembali, rasa bernama sepi.'
End.
Yeayy! Agak telat, harusnya di publish pas pagi. Tapi yh, kesibukan sekolah mengganggu:'D.
Anyway, aku bikin Chika sama Satowa saling manggil nama depan karena marga mereka udah mereka buang sendiri. Untuk alasannya, apa hayoo? ( ̄∇ ̄)
See you next time!
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro