Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

"How are You Today?" - Midorima x Cheerish!Dying!Reader

(—was it just my imagination, that your fingers...?)

.

.

Midorima x Dying!Reader

Based on : How Are You Today? By VoiSieteQui (27/12/2012)

.

.

Jika Aomine memiliki Momoi sebagai sahabat kecil dan tetangga, maka Midorima memiliki [Name] sebagai tetangga di sebelah rumahnya dan juga sahabat—yang hanya diakui oleh [Name] saja. Mereka bersekolah di SD yang sama, SMP yang sama, lalu sekarang SMA yang sama.

Sudah menjadi kebiasaan untuk [Name] menyapa Midorima setiap kali ia keluar dari rumah dan melihat pemuda itu keluar juga di jam yang sama.

"Bagaimana kabarmu hari ini?"

.

.

[Name]'s POV

.

.

Ia mengunjungiku setiap hari seperti biasa.

"Bagaimana kabarmu hari ini?"

"Aku baik-baik saja, bagaimana denganmu?"

Namun, kali ini percakapan berbeda daripada biasanya. Saat ia yang terlebih dahulu menanyakan itu padaku, mendorong kursi di dekat sana dan membawanya ke samping tempat tidurku. Aku bisa melihat sebenarnya jika kursi itu terlihat keras hanya dengan mendengar deritannya saja.

Lagipula, ia selalu bergerak tidak nyaman dan selalu berpindah posisi setiap kali duduk dan menungguiku di tempat tidur.

Dan sekali lagi, satu hal yang berubah semenjak saat itu adalah—ia yang terlebih dahulu memegang tanganku, menyusupkan jemarinya disela jemariku. Aku tidak pernah merasa dia sangat lembut padaku seperti ini, seperti saat ia mencoba untuk membenahi rambut yang menutupi mataku, dan saat ia mengusap pipiku dengan lembut.

Jika tidak dalam keadaan seperti saat ini, aku tidak yakin Midorima akan melakukan itu padaku.

"Oha Asa hari ini mengatakan kalau [Your Horoscope] berada di peringkat menengah ke bawah."

Ah, ia tidak pernah berubah dengan Oha Asa itu, "kau tahu kalau aku tidak percaya pada hal seperti itu kan Midorima-kun?"

Ia berhenti berbicara, meraih sesuatu di tasnya dan terdengar beberapa keributan saat ia merogoh sesuatu yang berada di dalam tas plastik.

"Kau membelikanku sesuatu lagi Midorima-kun?"

—sekali lagi, semuanya berubah sejak kejadian itu. Midorima tidak pernah memperhatikanku seperti ini. Dan aku tidak pernah bisa menjawab, apakah aku suka dengan keadaan ini atau tidak. Semenjak saat itu, ia selalu membelikanku barang-barang aneh yang merupakan lucky item untukku.

Aku selalu penasaran, apa yang ia bawakan untukku kali ini?

"Lucky Itemmu adalah satu set 24 warna neon dari highlighters. Kau tahu bagaimana susahnya untuk mencari benda ini—"

"Midorima-kun benar-benar peduli padaku ya sekarang! Aku terharu~ aku tahu kalau kau membutuhkan waktu lama untuk mendapatkan barang itu."

"—tidak. Maksudku, aku—

Benda ini menganggur di tempatku, jadi aku berpikir untuk membawanya kemari untuk berjaga-jaga."

Aku penasaran warna apa saja...

"Aku berani bertaruh kalau kau memesannya online, kau selalu Tsundere sejak dulu ya!"

Aku tidak bisa membayangkan akan memikirkan bagaimana seorang Midorima Shintarou memakai piyama kodoknya, mencari di internet tengah malam dengan mata yang menyipit karena lelah berada seharian di depan komputer.

"Sangat mudah untuk menemukannya, jadi lupakan apa yang kukatakan tadi."

"Masih tidak bisa jujur seperti biasa Midorima-kun?"

Mungkin, jika aku yang dulu—aku akan tertawa seperti orang idiot—katanya—dan menggodanya hingga ia akhirnya mengakui berapa jam ia mencari benda itu, dan ia akan mengakhiri pembicaraan dengan wajah memerah karena malu.

Oh ayolah, berhentilah untuk berhayal [Name].

Suara seseorang bergerak, ia mencoba mendekatiku dan menyender padaku. Aku bisa merasakan kalau ia mengambil napas dalam-dalam, seolah lega akan sesuatu sebelum kembali pada posisinya semula. Ah, aku ingin sekali mengatakan bagaimana aku ingin kembali merasakan detak jantungnya...

Aku mengatakan 'merasakan', tetapi apakah itu hanya perasaanku saja?

Perasaan, apakah aku sudah gila? Aku bisa mendengar, aku bisa berpikir, aku bisa merasakan. Aku bisa berbicara, aku bisa berjalan. AKU bisa berjalan, aku bisa melakukan ini, aku bisa melakukan apa yang biasa kulakukan selama 18 tahun aku hidup di dunia ini.

Aku bisa membuka minuman ocha kaleng kesukaanku, atau berebut remote TV dengan adikku, membuka loker atau menyembunyikan Lucky Item Midorima seperti yang kulakukan. Dulu. Berjalan bersama Midorima, mengobrol dengannya, menjahilinya, menggenggam tangannya—

Aku bisa.

Atau itu yang kupikirkan.

Aku bisa melakukannya...

Dulu.

Tetapi aku terus mengatakan 'Aku bisa' karena itu bisa membuatku merasa lebih baik. Selama aku bisa melihat dan membayangkan diriku melakukan itu, berarti aku bisa melakukannya.

.

.

Ia menambahkan Highlighter itu diantara koleksi Lucky Item yang ia berikan untukku di meja kecil yang ada di samping tempat tidurku. Bersama dengan hiasan bola salju, bunga yang sudah mongering, tanaman palsu, boneka koala, syal—yang aku yakin ia rajut sendiri walaupun sekali lagi ia tidak mengakuinya.

Aku berpikir, kapan perawat akan mengambilnya.

Aku tidak membutuhkannya...

Tetapi, aku menikmati saat mendengarnya mencari alasan yang berbeda untuk memberikanku Lucky Item setiap hari.

.

.

Aku tidak tidur, dan aku tidak pernah terbangun.

Aku selalu menunggu suara familiar dari kursi yang berderit kembali di dekat tempat tidurku, dan sebuah kalimat yang selalu terulang namun tidak pernah membuatku bosan.

"Apa kabarmu hari ini?"

"Kau tidak akan mendapatkan jawaban yang berbeda jika kau menanyakan itu setiap hari Midoria-kun."

"Bagaimana ujianmu hari ini?"

"Ujianku lancar seperti biasa. Aku menebak 3 soal dengan pensil keberuntunganku, jadi—nilai sempurna tidak akan mengejutkan."

"Huh."

"Aku juga ingin memakainya."

...seperti dulu.

.

.

Hari apa ini?

Kamis.

Dan aku tahu jika ini sudah malam ketika ia akan terburu-buru pergi ke rumah untuk makan malam atau membuka bento dari supermarket dekat sini hanya untuk makan di sampingku. Aku hanya selalu berharap jika ia bisa menjaga kesehatannya sendiri.

Sudah jam 10 malam.

Saatnya ia pergi.

Ia terdengar kecewa.

Dan ada satu hal yang berbeda hari ini, ia tidak membawakanku Lucky Itemku.

"Midorima-kun, apakah kau sudah bosan membawakanku benda-benda itu? Atau kau melupakan—" aku bisa merasakan ia bergerak dan duduk di tempat tidurku, dengan lembut—ia mendekatkan wajahnya pada wajahku.

Dan menciumku.

Ah, aku ingat ciuman pertama yang kurasakan darinya, dan itu tidak pernah berubah. Rasa dari sup kacang merah yang manis dari mulutnya. Tetapi hangat, dan juga lembut. Aku bisa merasakannya, dulu.

Sekarang? Kurasa begitu...

Kacamatanya selalu mengganggu seperti ciuman pertama itu, saat ia menciumku dan aku terganggu karena selalu mengenai mataku. Tetapi aku tetap senang saat ia menciumku. Namun saat ini berbeda—

Ciumannya menyakitkanku, dadaku sakit...

"Oha Asa mengatakan kalau Lucky Itemmu hari ini adalah ciuman—"

Tidak sepertinya dulu. Sekarang ia lebih terus terang. Aku merindukan Tsunderimaku...

"—dari seseorang yang kau cintai."

"Rasanya menjijikkan Midorima-kun..."

"Kau seperti mencium orang mati saja..."

.

.

"Kau tahu kau seharusnya tidak menghabiskan waktu hanya untuk melihatku setiap hari bukan?"

Ia mulai sering datang dengan buku-buku kesehatan sekarang, dan sesekali bergumam beberapa kalimat dalam bahasa latin yang tidak kumengerti artinya. Aku tahu itu adalah cita-citanya sejak kecil, menjadi seorang dokter.

"Kau sudah semakin sibuk Midorima-kun."

Setiap kali aku belajar disini, ujianku selalu mendapatkan nilai yang bagus.

"Oh."

Ia meminum kaleng sup kacang merah lainnya untuk memulai berkonsentrasi dengan apa yang ia baca.

Pasti sangat susah menjadi mahasiswa kedokteran.

"Kau ingin menjadi dokter apa nanti Midorima-kun?"

"Kau tahu, kau akan terlihat sangat tampan dengan jas dokter itu."

Hening.

Tentu saja ia tidak akan menjawabku.

Ia tidak akan pernah, karena ia bahkan tidak bisa mendengarku.

.

.

Kegelapan selalu menjadi duniaku yang baru, namun disini aku bisa menyimpan sejuta rahasia baru yang bisa kusimpan sendiri. Aku bisa menjadi diriku sendiri, berbicara dengannya tanpa harus mendengarkan omong kosongnya yang tidak pernah bisa jujur denganku.

Bohong...

Ini menyebalkan.

Ini.

Benar-benar.

Menyebalkan.

Aku ingin berteriak, aku ingin mendengar diriku sendiri berteriak, sekencang mungkin hingga aku tidak bisa melakukannya lagi.

Tetapi tidak. Bahkan saat ini—

Aku sudah lupa bagaimana suaraku terdengar...

Terkutuklah untuk tubuhku yang semakin tidak berguna saat ia tidak meresponku yang selalu ingin memintanya bergerak. Terkutuklah mulut yang selalu tidak bisa untuk berbicara. Terkutuklah tangan yang tidak pernah bisa meraihnya, dan menahannya untuk pergi.

"Jangan pergi."

"Tetaplah disini."

"Tetaplah disini lebih lama lagi."

Terkutuklah mata yang tidak bisa lagi membuka. Yang bahkan tidak bisa kupakai untuk menangis dengannya.

Aku benar-benar benci ini.

Seberapa kencangnya aku berteriak dalam kegelapan ini, aku tahu ia tidak akan pernah mendengarnya lagi.

Dan yang paling menyakitkan dari semua itu—

Aku...

Aku bahkan tidak bisa menciumnya balik seperti dulu.

.

.

Beberapa hari setelah itu aku berpikir kembali tentang pensil keberuntungan itu. Kurasa, aku tidak membutuhkannya, tidak butuh sebuah pensil keberuntungan untuk lulus dalam tes yang dilakukan para dokter itu untukku.

Tes yang menunjukkan satu kalimat yang ditujukan hanya untukku.

Traumatic Brain Injury.

(Dan kau tahu apa? Aku lebih baik mati daripada menjadi seseorang yang menyedihkan—sesosok tubuh yang bahkan tidak bisa merespon apapun disekelilingnya.)

.

.

Dulu aku sangat cemburu dengan Takao yang pernah melihatnya menangis. Namun sekarang, aku lebih sering melihatnya menangis di samping tempat tidurku.

Oke, saat pertama kali mendengarnya aku bohong jika tidak mengatakan aku terkejut. Aku tidak pernah membayangkan pria seperti Midorima Shintarou akan meneteskan air mata untuk sesuatu seperti ini.

Setiap malam—selalu... beberapa tetes air mata turun membasahi punggung tanganku.

Ia tidak akan berbicara apapun selama beberapa saat.

(dan aku juga.)

Aku tidak akan mengatakan apapun sampai aku merasakan tangannya yang gemetar menyentuh tanganku. Aku ingin sekali menghiburnya seperti saat ia kalah dari Akashi di pertandingan basket itu.

"Jangan menangis."

"Semua akan baik-baik saja."

Tentu saja itu hanya kebohongan. Semuanya.

Ia mengecup tanganku yang ia genggam sangat kuat itu. Terasa sakit. Atau itu yang aku ingin rasakan saat ini.

"Kenapa kau tidak membuka matamu? Kenapa kau tidak berbicara? Kenapa kau tidak menjawabku?"

"[Name]. [Name]. Kenapa?!"

Aku bertaruh aka nada jejak air mata di wajahnya saat ia mengangkat kepalanya.

"Jawab aku! Katakan sesuatu, apapun!"

Saat seperti ini adalah ketika aku berharap aku tidak bisa mendengar. Satu-satunya hal yang bisa kulakukan dalam keadaanku seperti ini.

"Kau terlalu banyak bertanya, Midorima-kun."

"Aku tidak bisa menjawabnya untukmu kau tahu?"

Tetapi aku ingin menangis juga.

Lebih dari apapun, aku ingin menangis. Tetapi aku tidak bisa melakukannya...

"Kau mendengarku bukan?"

"Kau ada disini."

"Ya, aku masih ada disini."

"Tetap hidup dan baik-baik saja. Menunggu untuk menjahilimu lagi seperti dulu."

"Aku... ingin melihat senyumanmu..."

"Mendengar suaramu."

Aku juga.

Lebih dari apapun di dunia ini, aku ingin melihatmu tersenyum seperti dulu lagi.

"Aku bersyukur kau tidak mendengarku saat ini."

Aku bisa Midorima-kun, kau tidak mengetahuinya.

"[Name]."

Jantungku seolah berhenti berdetak.

"Aku berjanji tidak akan terlihat lemah lagi dihadapanmu."

Kau tidak perlu melakukannya Midorima-kun, karena aku suka kau melakukan itu. Bukan karena aku ingin mengisengimu dengan menggodamu saat aku bisa bangun lagi. Jika bisa, tetapi—

Karena kau menangis untuk kita berdua.

.

.

"Kau benar-benar harus berhenti datang Midorima-kun."

"Aku lulus ujian kedokeran ini [Name], akan semakin sibuk tetapi aku tetap akan membawakan Lucky Itemmu setiap hari."

"Kau harus pergi, aku tidak mau kau ada disini."

"Aku mungkin akan datang sedikit terlambat, karena aku harus menyesuaikan jadwal malamku."

"Midorima-kun, aku tidak ingin kau menjengukku lagi."

"Aku tidak butuh Lucky Itemku lagi. Aku sudah punya terlal banyak untuk sisa hidupku kau tahu."

"Perawat mengatakan rambutmu terlalu panjang, aku akan memotongnya besok."

"Kau tidak pernah mendengarkanku."

"Aku membawakanmu sesuatu hari ini."

"Kau punya kehidupan untuk kau jalani."

"Kau harus berhenti terkurung dalam duniaku."

"Aku baru melihatnya hari ini—dan aku baru ingat apa yang kau inginkan dulu..."

"Kau tidak bisa berada disini selamanya. Kau bukan kakek-kakek tua tanpa masa depan."

"Kau ingat dulu ingin melihat ini bukan?"

Dulu. Kau bilang.

Satu kata yang selalu ingin membuatku berteriak.

"DENGARKAN AKU!"

"PERGI DARI SINI Midorima Shintarou."

Aku berteriak.

"Sakura pertama di pohon yang ada di taman itu. Kita berjanji akan melihatnya saat itu bukan?"

Ia masih ingat janji yang tidak pernah tertepati olehnya. Melihat sakura pertama yang mekar di taman yang selalu aku dan dia kunjungi sejak kecil.

Aku tidak bisa lagi membantahnya.

"Kau... harus—"

"Aku merindukan hari-hari itu..."

"Menemukan seseorang untuk kau cintai... seseorang yang bisa membuatmu senang."

"Kau harus bisa melupakanku."

"Kalau saja saat itu..."

"Kalau saja saat itu aku bisa menyelamatkanmu..."

"Kalau saja kau bisa bangun..."

.

.

"Karena... aku tidak bisa membuatmu bahagia Midorima..."

Aku ingin mengatakan itu. Tetapi aku tidak bisa. Aku terlalu egois, terlalu cemburu saat ini. Aku bahkan merasa jijik dengan diriku sendiri.

Karena pada akhirnya, aku tidak bisa menyerah.

...

Seseorang yang tidak berguna sepertiku, masih berpikir bahwa kau adalah milikku...

Bukankah itu menyedihkan?

.

.

"...sudah 4 tahun."

Empat? Benarkah?

Rasanya seperti baru kemarin, entah kenapa kegelapan ini tidak mengenal waktu.

"Tidak ada perubahan sama sekali..."

Perubahan apa? Berharap aku bangun?

"Tidak ada respon dari luar, stimulus, cahaya, sentuhan, suara..."

Ah mereka benar-benar terdengar sombong. Padahal mereka tidak tahu apapun.

Mereka tidak tahu betapa cepatnya jantungku berdetak setiap kali ia menyentuhku. Ketika ia meletakkan tangannya di pipiku, ketika ia menciumku. Mereka tidak tahu bagaimana aku bersyukur bisa melihatnya setiap hari, untuk mendengarnya datang—hanya untuk melihatku.

Bagaimana leganya aku mendengar suaranya mengatakan "Bagaimana kabarmu hari ini?" dan bagaimana aku merasa bersyukur ia masih membawakanku Lucky Item sambil mencoba mencari beribu alasan lainnya.

Bagaimana aku merasa cemburu pada seseorang...

Seseorang yang akan membuatnya bahagia saat aku sudah tidak ada lagi bersama dengannya.

Bagaimana aku merasa bersalah karena sudah memonopoli dirinya dari dunia yang terang di hadapannya dan tidak bisa memberikannya apapun tetapi sebuah harapan kosong. Bagaimana jantungku seolah berhenti berdetak setiap kali ia menciumku.

Mereka tidak akan pernah tahu.

.

.

Brain Dead.

.

.

Itu adalah pernyataan kematian, Midorima-kun.

Bagaimanapun aku bersyukur kau tidak pernah meninggalkanku, ini akan bisa lebih mudah untuk dilalui jika kau tidak pernah mengenalku. Tetapi aku tetap tidak ingin menye—

"Kita sudah tidak menyerah untuk memberikan harapan hidup."

Suara dokter berbicara.

"Kita tidak punya cara lainnya..."

.

.

Ah, ini saatnya.

Aku tahu suatu saat ini akan terjadi Midorima-kun...

.

.

"Aku minta maaf Midorima-san, tetapi tidak ada yang bisa kita lakukan lagi."

Dokter. Dan beberapa perawat.

"Tentu saja ada yang bisa kau lakukan! Itu adalah pekerjaanmu untuk melakukan apa yang bisa kau lakukan untuk menyembuhkannya!"

Ia marah, aku bisa tahu. Aku tidak pernah mendengarnya semarah itu.

"Kita tidak memiliki pilihan. Dokter sudah memutuskan untuk mengganti statusnya menjadi mati batang otak sejak 1 tahun yang lalu. Dan kami tidak memiliki cukup uang untuk tetap mensupport kehidupannya dengan alat-alat ini—"

Ayah? Ibu? Sejak kapan mereka menjenguk?

"Ia adalah anak kalian! Ia adalah darah daging kalian, dan jantungnya masih berdetak! Ia masih bernapas! Dan jangan mengatakan sesuatu yang nonsen seperti itu padaku! Kalian ingin meninggalkannya mati seperti ini!"

"Tetapi kita tidak bisa melakukan apapun lagi."

"Kau berharap untuk membunuhnya. Kau berharap melakukan itu bukan?! Bagaimana kau tega melakukan itu padanya!"

Ia terdengar histeris, volume suaranya meninggi. Ia semakin terdengar marah. Sangat marah. Kau mengerikan saat marah Midorima-kun...

Aku takut, tetapi aku senang karena kau masih membelaku bahkan saat semuanya—bahkan orang tuaku—menganggap aku sudah mati.

"Kami tahu jika kalian mengenal baik satu sama lain Midorima-kun, tetapi aku tidak pernah mendengar penjelasan tentang ini darimu..."

Ah, entah kenapa orang tuaku menjadi sangat kejam seperti ini.

"Apa hubunganmu dengan [Name]?"

Dan hanya ada keheningan.

.

.

Apa yang akan kau katakan Midorima-kun?

Teman kecil? Sahabat? Kekasih—ah tetapi kau bahkan tidak pernah mengatakan cinta padaku bukan? Ataukah kita hanya—

Kita hanya tetangga dan orang asing yang berdekatan?

Suaramu terlalu rendah untuk kudengar...

Apa yang kau katakan Midorima-kun?

.

.

"Untukku,"

.

.

Aku takut.

Aku tidak siap untuk mendengar ini. Apapun yang kudengar, aku tahu, aku tahu ini akan menyakitkan.

.

.

"[Name] adalah orang yang paling penting dalam hidupku."

.

.

Kau adalah satu-satunya orang yang percaya bahwa aku masih hidup.

Hanya sakit, seperti orang sakit pada umumnya.

.

.

Man Proposes, God disposes...

.

.

Kau sering mengatakan itu ketika kita sama-sama berdoa dulu. Kau tidak pernah mengatakan kalau kau percaya pada tuhan, dan aku tidak pernah punya kesempatan untuk bertanya padamu.

Tenang saja, kalau aku bisa terbebas dari neraka dengan semua dosa ini yang menahanmu berada disini, untuk membuang waktumu disini, dan bisa menyelinap ke surga atau kemanapun tempatmu berada, dan bertemu denganmu—

Aku akan membalasnya.

Empat tahun sudah terlalu lama untukmu.

Dan sekarang adalah hari terakhir.

Sudah saatnya untukku pergi.

Apakah kau bisa mengatakannya lagi padaku Midorima-kun?

"Apa kabarmu hari ini [Name]?"

Aku akan mengatakan—

"Sangat bagus. Dan siap untuk pergi kapanpun!"

"Jangan menyia-nyiakan air matamu untukku Midorima-kun, aku ingin berterima kasih untuk semuanya."

"Aku berharap kau menemukan kebahagiaan..."

.

.

"...aku mencintaimu. Sampai kapanpun."

Dan ia memegang tanganku erat, saat suara-suara itu berhenti berbunyi tanda alat-alat itu dimatikan begitu saja. Dan kegelapan itu—kali ini berbeda.

Dan entah bagaimana aku merasa bisa melakukannya. Untuk terakhir kalinya.

Memberikan senyuman untuknya.

...

"Aku mencintaimu juga Midorima-kun..."

.

.

The End(?)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro