Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

A Moment With You [Dying!Imayoshi x Dying!Cheerful!Reader]


"When both of you met under unfortunate circumstance; like you both have a cancer."

Dying!Imayoshi x Dying!Cheerful!Reader

.

.

Prompt from : FFN Account : ciocarlie

Pairing Request From : Wattpad Account : uchihaamandaaaaa

Based Storyline : Film The Fault in Our Stars from Josh Boone

.

.

Langit biru yang terlihat di jendela tampak menjadi pemandanganmu yang pertama kali kau lihat. Bau disinfektan selalu menjadi wangi yang menyambutmu pagi hari. Seluruh warna putih dari ruanganmu adalah dunia yang akan kau hadapi setiap pagi ketika kau membuka mata. Tidak ada yang berubah.

"Ah," saat kau bangun dan mencoba untuk melihat jendela, sudah ada beberapa orang tua dan anak-anak yang sudah melakukan aktifitas mereka di taman yang ada di gedung belakang rumah sakit ini, "selamat pagi Kojiro-san, anda sepertinya sehat seperti biasa!"

"[y/n]-chan tetap bersemangat seperti biasanya ya," kau hanya tersenyum lebar saat salah satu pasien lansia yang dirawat disini menatap kearahmu dan membalas sapaanmu.

Inilah duniamu, yang selalu berulang dan tidak pernah lepas dari rumah sakit dan juga segala yang berhubungan dengan itu. Sejak 1 tahun yang lalu, kau menjadi penghuni tetap rumah sakit karena penyakit yang menggerogoti tubuhmu perlahan. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh para dokter untuk menyembuhkannya dan kenyataannya, kau hanya memiliki waktu tidak lebih dari 2 tahun lamanya.

"[y/n]!" Suara yang hampir membuatmu terpeleset dan jatuh dari jendela lantai tiga itu membuatmu menoleh dan menemukan pemuda berambut hijau dengan pakaian dokternya membawa chart perkembangan kesehatanmu di tangannya, "kalau kau berteriak keras seperti itu setiap hari, kau bisa membuat pasien lemah jantung menjadi serangan jantung!"

"Hehehe, maaf Midorima-sensei. Aku hanya menyapa saja kok," kau menggaruk kepala belakangmu dan tampak membiarkan sang dokter memeriksa keadaanmu. Menoleh pada salah satu ranjang yang ada disana, kamarmu memang bukan kamar private yang hanya ditempati oleh satu orang, namun kamar kelas 1 yang ditempati oleh dua orang.

Namun, sudah cukup lama semenjak penghuni kamar selainmu berada disini semenjak 'rekan' satu kamarmu itu meninggal beberapa bulan yang lalu.

Dan sekarang, tampak beberapa perawat dibantu oleh dokter junior yang kau kenal dengan nama Takao berada disana dan mencoba untuk menyiapkan dan membersihkan tempat itu. Membuatmu tampak mengerutkan dahi dan menatap kearah Midorima yang masih memeriksa denyut nadi dan tekanan darahmu.

"Sepertinya keadaanmu stabil sekarang."

"Apakah ada penghuni baru hari ini?" Kau tidak bisa berhenti untuk menanyakan itu. Namun Midorima tampak hanya bergumam entah apa artinya ada atau tidak penghuni yang kau tanyakan. Mengembungkan pipimu, kau sekarang menatap kearah Takao yang ada disana, "Takao, apakah aku dapat teman sekamar hari ini?"

"Ah begitulah, akan ada pasien yang dirawat disini hari ini. Siang nanti dia akan datang," berbeda dengan Midorima, Takao adalah dokter yang ramah dengan para pasien, "dia lebih tua satu tahun dariku dan juga Shin-chan. Dia juga pemain basket, seperti kami berdua sebelum menjadi dokter!"

"Seusiaku juga?"

"Begitulah!"

"Kalau begitu akan menyenangkan dong, sudah lama tidak ada yang seusia denganku disini," kau tampak membayangkan teman satu kamarmu yang bisa kau ajak berbincang dan juga tidak akan canggung karena perbedaan usia.

"Tetapi satu masalahnya," kau menatap Midorima dan Takao yang menggaruk dagunya canggung, "yang satu kamar denganmu itu laki-laki."

...

"HAAAAAH?!"

.

.

"Karena kapasitas rumah sakit yang terbatas sementara permintaan yang banyak. Dia seharusnya pasien VIP loh, karena penuh akhirnya kelasnya turun dan hanya ada kamarmu yang tersisa," Takao menjelaskan saat memberikanmu obat siang sebelum makan siangmu diberikan, "tenang saja, lagipula kalau ada apa-apa pihak rumah sakit akan mengatasinya."

"Enak berkata seperti itu. Kau yakin kalau ia tidak akan melakukan sesuatu padaku?"

"Memangnya siapa yang mau menyerangmu aho," suara itu membuatmu menoleh dan menemukan Midorima yang berjalan dengan seorang pemuda berambut hitam dengan mata sipit dan berkacamata di belakangnya, "—masuklah, aku akan melakukan pemeriksaan pertamamu Imayoshi-san."

Kau memiringkan tubuhmu sedikit untuk melihat dengan jelas pemuda yang akan menjadi partner satu kamarmu.

"Hei, namaku adalah [f/n][l/n] kau bisa memanggilku [y/n]—siapa namamu?"

"Imayoshi Shoichi, salam kenal [y/n]," pemuda itu tampak tersenyum. Senyuman yang saat kau lihat sebenarnya terasa aneh namun kau tidak mempermasalahkannya untuk saat ini dan mengangguk sambil tersenyum senang.

"Aku sudah tinggal disini sejak usia 20 tahun. Bulan depan sudah 4 tahun sejak aku dirawat rutin disini."

"Pasti membosankan ya? Pasti kau juga tidak punya pacar karena berada disini," Dan suara tawanya terdengar di kamar yang terasa sunyi karena perkataannya yang terakhir, "aku hanya bercanda. Tetapi memang benar kan membosankan?"

"Memang sih, apalagi hanya seputaran kamar, ruang pemeriksaan, ruang kemoterapi, dan juga taman. Tetapi banyak juga yang menyenangkan," kau tertawa dan menatap kearah Imayoshi yang sedang duduk dan dilakukan pemeriksaan oleh Midorima, "ngomong-ngomong..."

"Hm?"

...

"Tidak."

.

.

Sebelum kau dirawat sepenuhnya disini, kau sempat bekerja sebagai seorang guru. Tentu saja di rumah sakit ini kaupun juga membantu untuk mengajar di sekolah rumah sakit untuk anak-anak yang dirawat disini. Seperti hari ini saat kau baru saja mengajarkan anak kelas 3 SD saat baru saja akan menyelesaikannya namun iris matamu menangkap sosok yang familiar.

"Imayoshi-san," kau tersenyum dan melambaikan tanganmu. Ia tampak tersenyum namun hanya mengangkat tangannya saja, "baiklah, pelajaran kita hari ini sudah selesai. Ingat tugas yang sensei berikan oke?"

Setelah mendapatkan jawaban dan beberapa perawat dan orang tua datang, kau segera beranjak dari tempatmu dan mencari sosok Imayoshi yang tadi melewati tempatmu mengajar. Dan di salah satu sisi lapangan basket kecil di taman rumah sakit, kau melihatnya dan seketika kau ingat bahwa Takao mengatakan sebelum sakit, pemuda ini adalah seorang pemain basket.

Satu poin didapatkannya dengan tembakan yang mulus membuatmu tanpa sadar bertepuk tangan dan membuatnya menoleh kearahmu.

"Kau..."

"Permainanmu hebat Imayoshi-san, pasti kau seorang pro!"

"Hampir," ia tertawa sebelum mendrabble ringan bola basket di tangannya, "—kalau saja tidak ada penyakit ini..."

...

"Apakah karena itu kau memaksakan senyumanmu itu terus? Karena tidak suka dengan semua ini?"

Dan Imayoshi hanya menatapmu tanpa mengatakan apapun.

.

.

Suara bola yang terdribble membangunkanmu dari tidur. Pagi hari, waktu masih menunjukkan pukul 6 pagi saat kau membuka mata dan melihat kearah jendela yang menampakkan taman yang masih sepi beserta sebuah lapangan basket kecil dimana tampak seorang pemuda berambut hitam bermain basket sendirian disana.

"Imayoshi-san?"

Kau segera mengambil jaketmu dan berjalan keluar menemui Imayoshi disana. Kau bisa merasakan udara dingin yang disebabkan cuaca pagi itu, benar-benar dingin hingga napasmu tampak menjadi kabut putih.

"Pagi sekali," Imayoshi yang tidak menyangka kau akan datang menoleh dan menghentikan permainannya, "—kau selalu bermain basket sepagi ini Imayoshi-san?"

"Biasanya aku akan berlatih di lapangan bersama dengan yang lainnya. Sebentar lagi ada pertandingan besar dan aku harus melatih tubuhku," Imayoshi tampak mengusap keringatnya dan kau memberikan minuman yang sengaja kau bawa padanya, "biasanya kau belum bangun jam segini?"

"Ahaha, karena aku tidur terlalu cepat semalam malah terbangun seperti sekarang. Lanjutkan saja, aku hanya akan menonton," kau tampak memeluk lenganmu sendiri untuk mengurangi rasa dingin. Imayoshi yang tampak menyadari itu menatapmu dan tampak melemparkan bola kearahmu, "eh?"

"Akan lebih dingin kalau kau hanya diam dan melihat. Bermain denganku."

"Tetapi aku tidak bisa—"

"Hanya mendribble dan juga memasukkan bola. Aku akan melonggarkan pertahananku," Imayoshi tampak berjalan mundur dan menatap kearahmu seolah mengatakan kalau kau harus mendekat dan mulai bermain dengannya, "ayo."

"Uh baiklah," kau tampak mencoba untuk memantulkan bola yang ada di tanganmu, namun karena pukulan yang terlalu keras bola malah memantul terlalu tinggi dan mengenai wajahmu telak hingga membuatmu mengaduh.

"Ow..."

"Pfft—Ahahaha! Apa yang kau lakukan? Aku menyuruhmu untuk bermain basket, bukannya membuat lelucon," Imayoshi tertawa melihat tingkahmu dan membuat wajahmu memerah. Bukan karena malu Imayoshi menertawakannya, namun juga karena kau baru pertama melihatnya tertawa seperti itu.

"U—ugh, aku hanya terlalu gugup dan bersemangat!" Kau mencoba untuk mencari alasan. Menatap kearah Imayoshi, dan kali ini kau mendrabble dengan benar menuju kearah ring saat Imayoshi bahkan baru menyadari dan berhenti tertawa.

"Shoot!" Di depan ring, kau segera menembakkan bola itu dengan sedikit lompatan. Tetapi—

DUK!

—bola menabrak ring basket dan memantul mengenai kepalamu.

...

"Hahahaha! Sepertinya kau memang cocok menjadi pelawak daripada menjadi pemain basket!" Imayoshi semakin menikmati 'lelucon' darimu dan tampak memegangi perutnya karena tertawa lebih keras. Kau tampak kesal dan menatap kearah Imayoshi sebelum melempar bola itu kearahnya.

"Hei, kalau dikritik orang balasannya bukan seperti [y/n]."

"Bodo!"

Dan entah kenapa, semenjak itu, hubungan kalian menjadi lebih seperti teman dekat. Dimana setiap pagi Imayoshi membangunkanmu dan mengajakmu untuk bermain basket, meskipun yah—kemampuanmu sama sekali tidak berkembang.

Toh kau tidak ingin menjadi atlet basket.

.

.

"Kami akan menunggumu kapten!"

"Hanya kau yang bisa diandalkan untuk mengendalikan si monster ini."

"Tenang saja, aku akan kembali beberapa hari lagi."

Kau mendengar suara beberapa orang di kamarmu, namun karena tidak ada pilihan lainnya, kau memutuskan untuk mengetuk terlebih dahulu dan membukanya perlahan. Ada belasan orang yang memenuhi tempatmu, dan mengenakan sebuah jersey yang sama.

"Maaf mengganggu kalian, lanjutkan saja..."

Namun semua orang menatapmu yang berbaring dan baru saja akan memakai selimut, "apa?"

"EEEH! Kau sekamar dengan perempuan kapten?!"

"Bagaimana bisa?!"

"Dan dia juga manis lagi!"

"Jangan berisik dan bertanyalah satu-satu," Imayoshi tampak menatap mereka dan tersenyum. Kau yang tampaknya tidak akan bisa kembali tidur sebelum yang lainnya keluar kembali duduk dan menatap mereka, "namanya adalah [y/n], dia sudah ada di kamar ini sejak sebelum aku dipindahkan kemari."

"Ah, salam kenal—namaku [f/n]," kau menatap semuanya yang tampak membungkuk juga kecuali pria yang memiliki warna kulit tan, "kalian anggota tim basket?"

"Begitulah, kami ingin menjenguk kapten kami tentu," salah satu dari mereka tampak berbicara dan mengulurkan tangannya, "oh, perkenalkan—namaku adalah Yoshinori Sasa, aku adalah wakil kapten dari Imayoshi."

"Oh salam kenal Yoshinori-san."

"Kau akan mengajaknya untuk pertandingan minggu depan kan kapten?"

"Minggu depan? Tetapi bukankah Imayoshi-san—"

"[y/n]," baru saja kau akan mengatakan sesuatu saat Imayoshi memotongnya dan menatapmu dengan sebuah senyuman yang diberikan bonus sebuah aura gelap yang membuatmu tersentak. Cukup untuk membuatmu tahu jika Imayoshi ingin kau menutup mulutmu, "tidak perlu, lagipula iakan sedang sakit."

"Benar sih, ya sudahlah—tetapi kau juga akan bermain kan kapten?"

"Begitulah."

.

.

"Tidak."

Midorima menatap kearah Imayoshi yang tampak diperiksa kesehatannya oleh Midorima. Saat mendengar Imayoshi akan mengambil izin terlebih bermain basket, Midorima begitu saja menolak dan melakukan pemeriksaannya lagi.

"Aku hanya akan bermain satu babak. Tidak lebih," Imayoshi menatap kearah Midorima, sementara kau membaca bukumu sambil diperiksa oleh Takao, "ini... adalah pertandingan terakhirku. Setelah itu aku tidak akan bermain basket lagi."

"Kondisimu masih labil, permainan basket hanya akan membebani tubuhmu dan itu akan membuat keadaanmu menjadi parah," Midorima membenahi kacamatanya dan tampak menghela napas. Imayoshi tampak kewalahan karena perkataan Midorima dan kau tampak terdiam, "sudah."

"Apakah memang tidak bisa Midorima-sensei? Aku akan mengawasinya agar ia tidak memaksakan dirinya!" Kau bahkan tidak sadar jika kau mengatakan itu dan semua orang menatap kearahmu, "maksudku... ia kan mengatakan ini adalah pertandingannya yang terakhir. Apakah tidak boleh?"

...

"Baiklah," Midorima menyerah dan menghela napas, "tetapi kau harus melakukan apapun untuk membawanya kemari jika ia memaksa untuk bertanding lebih lama."

"Tenang saja!"

.

.

"Aku akan menunggu dan menonton disini. Berjuanglah Imayoshi-san!"

Kau tampak berdiri dari bangku paling depan dan berada di belakang bench pemain. Satu minggu sudah berlalu, dan seperti yang kau janjikan, kau ikut dan menonton pertandingan Imayoshi untuk berjaga jika keadaannya memburuk.

"Tentu saja, aku tidak mau ditertawakan balik olehmu yang lebih buruk permainannya dari para amatiran."

"Hei, aku memang tidak bisa bermain kok," kau tampak mengembungkan pipimu, dan Imayoshi tertawa kecil sebelum menepuk kepalamu. Wajahmu memerah, selalu beberapa hari ini kau merasakannya setiap Imayoshi menyentuh atau tersenyum untukmu. Suara peluit berbunyi menyadarkanmu, dan Imayoshi tampak mengibaskan tangannya sebelum berkumpul dengan anggota timnya.

"Berjuanglah Imayoshi-san!"

.

.

Imayoshi sudah bermain selama 1 babak dan poin mereka lebih unggul. Namun, permainan segera berbalik saat babak terakhir, dimana skor musuh tampak beda tipis dari tim Imayoshi. Sepertinya musuh mereka saat ini adalah juara tahun lalu yang memenangkan pertandingan itu selama 3 tahun berturut-turut.

"Satsuki, masukkan aku di babak ini."

Kau berada di dekat sang manajer yang merupakan gadis berambut pink panjang disana. Mendengar itu, kau menoleh kearah Imayoshi yang mencoba untuk berdiri dari kursi cadangan. Matamu membulat, dan tanpa sadar menahannya untuk berjalan lebih jauh.

"Imayoshi-san, kau berjanji hanya akan bermain satu babak bukan?"

...

"Kau tahu alasannya [y/n], tetapi tenang saja," pemuda itu tersenyum sedikit dipaksakan, menatap kearahmu yang juga menyadari sesuatu, "—aku akan baik-baik saja."

Dan tanganmu ditepis olehnya, namun tentu saja kau menyadari apa yang aneh dari Imayoshi. Tangannya sangat dingin, dan wajahnya sangat pucat saat itu. Kau benar-benar khawatir, ia benar-benar seperti akan menghilang dari hadapanmu kapanpun saat ini.

"Berjuanglah Imayoshi-san..."

.

.

Tim yang dipimpin oleh Imayoshi tampak memenangkan pertandingan di detik terakhir dengan selisih poin yang sedikit. Dan disanalah ia berdiri, berjuang hingga peluit tanda berakhirnya pertandingan dibunyikan, dan kau di tempatmu yang tampak mencemaskannya di setiap detik pertandingan.

Namun sepertinya Imayoshi terlihat baik-baik saja hingga saat ini.

Ditengah hiruk pikuk pemain dan supporter yang tampak memberikan selamat, kau hanya bisa menghela napas lega karena tidak ada kejadian buruk yang terjadi selama pertandingan berlangsung.

"KAPTEN!"

—tetapi itu tidak lama. Saat teriakan dari salah satu pemain tampak menyadarkanmu, dan kau menoleh keasal suara untuk melihat pemuda itu yang tumbang dan tidak sadarkan diri.

"IMAYOSHI!"

.

.

"KAU BODOH JIKA MENGIRA KAMI TIDAK TAHU TENTANG PENYAKITMU!"

Suara itu membuatmu menyerengit, saat mendengar dari depan pintu kamarmu. Suara dari Kousuke Wakamatsu tentu saja cukup besar untuk membuat Midorima yang berada di sampingmu—yang datang setelah menceramahimu tentang kenapa kau tidak menghentikan Imayoshi saat keadaannya memburuk—cukup kesal.

Namun pada akhirnya ia tidak mengatakan atau melakukan apapun yang membuatmu menghela napas lega.

"...permisi," yang menyadari kau datang hanyalah Satsuki yang segera tersenyum sedih.

"KAMI MASIH BISA MEMENANGKAN PERTANDINGAN ITU WALAUPUN SAAT ITU KAU TIDAK IKUT! Masih ada Aomine dan juga Sakurai di lapangan!"

"Semuanya akan sia-sia jika akhirnya kau tumbang seperti tadi kapten," Sasa sendiri tampak menatap Imayoshi dengan kesal walaupun nada suaranya lebih tenang daripada Wakamatsu, "kau harus menyembuhkan dirimu sepenuhnya sebelum kau ikut pertandingan selanjutnya."

"Tidak," Imayoshi tersenyum—palsu—lagi dan menatap seluruh anggota timnya, "tidak ada lagi pertandingan denganku sebagai kapten. Pertandingan tadi adalah pertandingan terakhirku dengan kalian... Mulai sekarang, Wakamatsu adalah kapten tim menggantikanku."

...

"Aku tidak mungkin bermain lagi teman-teman," Imayoshi masih tampak tersenyum walaupun bahkan orang bodohpun bisa melihat bahwa senyuman itu sangat dipaksakan, "—saat ini aku hanyalah seorang pria yang sekarat. Tidak lebih dari itu..."

.

.

Saat semua orang diusir oleh Midorima yang kesabarannya sudah habis, di kamar itu hanya ada kau dan juga Imayoshi. Kau tidak memiliki kata-kata sama sekali untuk menghiburnya ataupun membuka pembicaraan dengannya.

"Uh, Imayoshi-san—"

"Kau bisa kemari [y/n]?" Kau sedikit terkejut saat Imayoshi yang malah memulai pembicaraan. Namun dengan segera ia mengangguk dan tampak mendekatinya yang tampak menatap kearahmu seolah bisa melihat apa yang kau pikirkan, "—aku seperti melihatmu menangis sebelum kesadaranku menghilang tadi."

"Si—siapa yang menangis!"

"Seharusnya kau tidak perlu melakukan itu kau tahu," Imayoshi tidak mendengarkan perkataanmu dan hanya menatapmu kembali, "tidak peduli bagaimana kita mencoba untuk berjuang hidup, kanker benar-benar kejam mempermainkan hidup kita. Penyakit itu akan tiba-tiba datang, dan begitu saja merenggut nyawa kita kapanpun juga. Tetapi..."

...

"Entah kenapa aku sedikit bersyukur masih bisa memiliki hari lain untuk melihatmu lagi [y/n]..."

.

.

Imayoshi tampak masih bermain basket di rumah sakit pada pagi harinya, namun bedanya ia tidak pernah lagi membangunkanmu saat pagi hari. Ia bermain sendiri, dan tidak pernah mencoba untuk mendekatimu lagi untuk bermain dengan mereka.

Hingga suatu pagi, saat ia sedang bermain seperti biasa—baru saja ia mencetak poin dan tampak bola menggelinding menjauhinya saat ia menyadari bahwa beberapa anak yang tinggal di rumah sakit dan merupakan muridmu sudah berada disana.

"Kau sangat keren tadi tuan!"

"Tembakanmu tadi benar-benar hebat! Bagaimana kau melakukannya?!"

"Ajarkan kami! Ajarkan kami!"

Beberapa pertanyaan tampak membuat Imayoshi kewalahan sendiri. Sebelum ia bisa kabur ataupun menolak, kau berjalan mendekat dan mengambil bola itu serta memegangnya dengan sebelah tangan sambil tersenyum.

"Jangan bilang kau tidak akan bisa bermain basket lagi Imayoshi-san, bukankah kau masih bisa mengajakku dan mereka bermain?"

Imayoshi tampak terdiam, tidak ada senyuman di wajahnya dan hanya menatapmu serta anak-anak itu yang membalas tatapannya dengan mata berbinar. Mereka benar-benar sungguh-sungguh ingin memintamu mengajari mereka.

...

"Setidaknya, sepertinya mereka lebih baik darimu..."

"Hei, apa maksudmu!"

Dan semenjak saat itu, Imayoshi selalu mengajarkan dan mengajak anak-anak di rumah sakit untuk bermain basket bersama dengannya. Baik pada pagi hari ataupun pada saat mereka meminta pemuda itu untuk bermain dengan mereka.

Dan hubungan kalian berdua? Kau rasa lebih dekat lagi dari sebelumnya.

.

.

"Sensei, hari ini Imayoshi-san mengajarkan kami cara melakukan dunk! Dia menggendong kami sangat tinggi dan kami bisa bergelantungan di ring basket itu!"

"Benarkah? Aku jadi ingin melihatnya!"

Kau menoleh pada anak-anak disana yang tampak menghampirimu setelah sesi kemoterapimu berakhir. Tentu saja bersama dengan Imayoshi yang tampak tersenyum seperti biasa dan menatap kearahmu, "kau tampak lebih jelek."

"Biar saja, kau pikir aku tidak sadar! Lagipula kalau ini untuk membuatku lebih sehat akan kulakukan!" Kau menjulurkan lidah mengejek kearah Imayoshi yang tampak tertawa. Namun, saat melihat gesture tubuhmu yang tampak tidak sehat dan tanganmu yang menutupi mulut dan sebagian wajah pucatmu, Imayoshi menghentikan tawanya.

"Baiklah, sudah saatnya jam anak kecil tidur. Kalau yang tidak tidur, aku tidak akan mengajarkan kalian basket lagi besok," Imayoshi mendorong anak-anak itu untuk keluar dari kamarmu meskipun terdengar protesan beberapa kali dari mereka.

BLAM!

Suara pintu yang tertutup tampak terdengar, dan Imayoshi tampak kembali untuk melihatmu tidak ada di ruangan. Pintu kamar mandi terbuka lebar, dan suara seseorang yang sedang muntah mengindikasikan Imayoshi kemana kau pergi.

Melihat kau terduduk dan menenggelamkan wajahmu di mulut kloset, ia hanya menyenderkan tubuhnya sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada seolah menunggu kau selesai mengeluarkan isi dalam lambungmu.

Kemoterapi bukan hanya mengubah penampilanmu menjadi lebih buruk—dengan rambut yang semakin rontok dan juga tubuh yang semakin kurus. Namun juga membuat ketahanan tubuhmu perlahan menurun untuk sementara waktu. Rasa mual selalu kau rasakan, dan tidak jarang kau memuntahkan seluruh isi makananmu saat proses kemoterapi berlangsung.

"Kau sudah seperti ini dan masih belum menyerah?"

"Aku mencoba..."

Suaramu terdengar parau, tenggelam dalam suara air yang mengalir di kran yang kau biarkan terbuka, "apakah kau tidak mengerti Imayoshi-san? Aku mencoba untuk menyerah... aku sudah lelah dengan semuanya. Obat-obatan, pemeriksaan, kemoterapi—semuanya sama sekali percuma."

...

"Kau sendiri yang melihatnya bukan? Aku jelek... menjijikkan," isakan itu terdengar lebih jelas. Kau bukan orang yang terlalu pesimis hingga tidak mengetahui jika kau berada didepan pintu kematian, "seharusnya kanker ini sudah menghilang sejak dulu. Aku ingin menyerah, tetapi... tetapi aku ingin tetap hidup."

Pemuda itu tidak berbicara ataupun mendekatimu.

"—aku takut dengan kematian. Dan... semakin aku ingin menyerah, selalu ada alasan yang lebih kuat untuk aku ingin tetap hidup."

...

"Aku tidak mungkin menyerah Imayoshi-san... bagaimanapun kau menganggapku berubah semakin buruk ataupun menjijikkan..."

Kali ini pemuda itu tampak bergerak, sebelum menarik tubuhmu mendekat dan membenamkannya di tubuh pemuda ini. Kau tidak bergerak, dan pemuda itu juga tidak bergerak dari tempatnya beberapa saat sebelum tangannya bergerak dan mengusap kepalamu.

"Siapa yang bilang kau berubah...? Kau tetap gadis yang menyebalkan, dan juga tidak bisa diam," Imayoshi memberikan senyuman yang sama seperti biasanya dan menghela napas, "—kau tidak berubah, menyebalkan, tidak feminim. Tetapi kau tetap manis, manis seperti biasanya..."

Wajahmu memerah, kali pertama kau mendengar perkataan seperti itu dari seorang Imayoshi selama 1 tahun ini kau mengenalnya. Dan isakanmu semakin menjadi, hingga kau merasa sesak—entah karena tangisan itu, ataukah karena pelukannya yang semakin erat dan menyesakkan.

Namun membuatmu tenang.

.

.

"Imayoshi-san...?"

Kau mencoba untuk membuka pintu ruangan dimana Imayoshi berada.

Hari ini kau mendengar jika keadaan Imayoshi memburuk dan untuk sementara dipindahkan ke ICU. Sebuah buket bunga tampak kau berikan, setelah mendapatkan persetujuan dari Midorima kau segera membuka perlahan pintu ruangan ICU dan mengintip ke dalam.

"Kurasa kau tidak pernah merasa bosan sehari saja tidak bertemu denganku. Jadi, apa yang kau lakukan disini [y/n]?"

"Kudengar keadaanmu memburuk, anak-anak mencarimu dan menunggumu untuk bermain dengan mereka lagi," kau tampak tersenyum, memperhatikan dengan seksama keadaan Imayoshi. Kau baru menyadarinya saat ini. Jika pemuda itu sama dengannya—menunggu didepan pintu kematian yang sama.

Tubuhnya tampak kurus dengan garis wajah yang menunjukkan kalau pemuda itu semakin kurus setiap harinya. Topi rajutan yang dikenakan hampir setiap hari oleh pemuda itu tentu bukan untuk gaya ataupun untuk menutupi cuaca panas. Rambut pemuda itu semakin menipis hingga ia menutupinya. Kantung mata dan juga wajah pucat itu—

"Kau mengatakan kalau aku tidak tampak seperti orang sakit. Tetapi kenyataannya, aku dan yang lain hampir melupakan kalau kau juga sedang sakit..."

"Kau mengatakan sesuatu [y/n]?" Imayoshi menatap kearahmu, namun kau hanya menggeleng dan tersenyum. Pemuda itu menoleh pada buket bunga buatan tangan yang ada di belakang punggungmu, "—apa itu?"

"Anak-anak membuatkannya untukmu. Karena ruangan ini tidak diperbolehkan untuk anak berusia dibawah 13 tahun, aku yang membawakannya untukmu," kau tampak menatap buket bunga itu, seolah enggan untuk memberikannya pada Imayoshi. Imayoshi tampak terdiam, sebelum tawa pelan terdengar darinya.

"Ma—maaf saja kalau buket bunganya tidak bagus!"

"Bukan," Imayoshi mencoba untuk menghentikan tawanya, "untuk apa kau membawakanku bunga [y/n]? Aku belum mati."

Kau terdiam membatu mendengar itu.

"Kau harusnya menyimpan itu untuk pemakamanku nanti..."

Dan sebuah buket bunga terlempar, mengenai telak wajah Imayoshi sebelum yang bersangkutan mengambilnya. Menemukan kau yang tampak menatapnya dengan tatapan kesal.

"Kukira kau terlalu keras kepala untuk pesimis seperti itu! Imayoshi-san bodoh!"

Kau menjulurkan lidahmu dan berbalik untuk meninggalkannya dengan perasaan kesal. Namun, sebuah tangan menarikmu, hingga membuatmu berbalik. Dan ia menciummu tanpa sempat kau sadari. Kau bahkan tidak bisa melawannya saat ciuman sesaat itu berlanjut hingga menjadi sebuah ciuman yang lebih dalam.

Saat Imayoshi menghentikan ciuman itu, jarak wajah kalian sangat dekat hingga kau bisa merasakan setiap hembusan napasnya yang cepat dan juga tatapannya yang langsung bertemu dengan iris matamu. Imayoshi sendiri bisa melihat bagaimana iris [e/c] milikmu tampak memerah dan ada kantung mata.

Kau tanpa sadar menangis saat mengetahui keadaan Imayoshi memburuk. Imayoshi membuka mulutnya beberapa kali, mencoba untuk mengatakan sesuatu namun tampak ragu untuk mengatakannya. Ia tidak ingin membuatmu bersedih—

"Apakah kau takut... aku akan mati sebelum kau mati [y/n]?"

—tetapi kenyataannya, ia sendiri juga pemuda yang sekarat.

.

.

Apakah setelah kejadian ciuman itu hubunganmu dan juga Imayoshi berubah?

Jawabannya tidak. Kalian tetap bersikap seperti biasa, saat beberapa kali Imayoshi mengejekmu dan kau menanggapinya dengan gurauan. Baik kau maupun Imayoshi sama sekali tidak ingin memikirkan apa arti dari ciuman itu.

Bukan kalian tidak mengerti perasaan satu sama lain, namun kalian terlalu takut untuk mengungkapkannya. Karena kalian tahu, bagaimanapun hubungan yang akan kalian buat, pada akhirnya waktu kalian bahkan bisa terhitung dalam hitungan bulan.

"Kapsul waktu?"

Imayoshi yang sedang menemani anak-anak itu bermain basket sekali lagi di taman tampak menoleh kearahmu dan beberapa anak perempuan disana. Kalian sedang mengelilingi pepohonan yang ada di dekat lapangan basket kecil itu dengan sebuah kotak yang tampak diisi dengan beragam benda.

"Kita akan meletakkan surat-surat yang ingin kita lihat di masa depan nanti. Bagaimana? Apakah kau mau ikut?"

"Pass~ aku tidak ingin menghabiskan waktu hanya untuk menanamkan sesuatu yang tidak akan bisa kulihat lagi," Imayoshi tampak menghela napas dan menaikkan bahunya. Kau menatapnya dengan senyuman biasa, namun pemuda itu tahu bahwa aura yang dikeluarkan lebih berbahaya daripada biasanya.

"Po—pokoknya aku tidak ikut. Lagipula berapa usiamu tante?"

Sebuah kata-kata tante yang besar menusuk dadamu.

"IMAYOSHI!"

Setelah kejadian itu, kau terus membujuknya untuk ikut kalian, namun tetap saja Imayoshi sama sekali tidak mengubah apa yang ia pikirkan dan inginkan.

.

.

"KIREI!"

Kau menatap kearah langit malam saat itu, berdiri di atap rumah sakit tempatmu berada dengan masih menggunakan piyama rumah sakitmu. Suatu malam kau yang baru saja akan terlelap saat Imayoshi menunjukkan siaran TV yang memberitahu akan ada hujan meteor malam ini. Dan satu perkataan dari Imayoshi membuatmu berakhir disini.

"Mau mencoba berkencan malam hari?"

"Jam malam rumah sakit ternyata berguna disaat seperti ini ya! Selain lantai satu, semua lampu diredupkan dan lokasi rumah sakit ini cukup jauh dari pusat kota. Semuanya gelap, dan—jadi lebih jelas terlihat," kau menatap kearah ribuan bintang disana, menghela napas dan tampak terdiam beberapa saat, "sudah lama tidak keluar malam hari. Walaupun yaaaa, ini tidak bisa dibilang keluar sih."

"Jangan terlalu bersemangat, suaramu bisa membuat si wortel itu tahu. Dia yang bertugas jaga malam tahu," Imayoshi tampak mendekat dan memberikan segelas teh hangat padamu yang ia ambil dari termos yang memang ia siapkan.

"Lagipula, aku tidak suka perempuan yang terlalu berisik—kalau ini adalah kencan denganku, jadilah sedikit feminim," Imayoshi meminum tehnya sendiri dan tampak menatap kearah bintang disana. Tidak menyadari jika kau tampak menatapnya tanpa henti, "kau ingin menonton bintang jatuh atau memandangiku?"

"A—ah, bintang yang ada dibelakangmu lebih bagus! Makanya aku menatap kearahmu," kau tampak tertawa gugup dan menunjuk kearah langit yang ada di belakang Imayoshi. Saat itu, sebuah bintang yang jatuh tampak terlihat—disusul oleh beberapa bintang jatuh lainnya disana, "WHOAAAA! Imayoshi-san, lihat itu! Bintang jatuh, kau harus membuat permohonan cepat!"

Kau segera mengatupkan tanganmu, dan menutup matamu untuk membuat sebuah permohonan. Matamu sedikit membuka dan melirik kearah Imayoshi yang tampak hanya menatapmu dengan tatapan datarnya.

"Ayolah, katupkan tanganmu seperti ini," kau membungkus tangannya dengan tanganmu dan memaksanya mengatupkan tangannya, "dan buatlah permohonan agar itu bisa terkabul."

"Kau anak kecil ya," namun melihat bagaimana seriusnya dirimu, Imayoshi hanya menghela napas dan tersenyum sebelum menatap kearah puluhan bintang jatuh itu. Dan ia menutup matanya.

"Aku berharap ia selalu bahagia."

.

.

"Benar-benar menarik," bintang jatuh tampak sudah selesai, dan kalian berdua duduk di lantai atap rumah sakit sambil masih menikmati minuman yang dibawa oleh Imayoshi, "meskipun tidak ada sake, tetapi teh yang kau bawa lumayan."

"Walaupun begini, ini teh mahal [y/n]."

...

"Apa yang kau harapkan tadi Imayoshi-san?" Pertanyaan tiba-tibamu membuatnya menoleh dan terdiam tidak menjawab pertanyaanmu. Tangannya bergerak, kemudian menyentil dahimu dengan cukup keras hingga membuatmu mengaduh, "kau tidak perlu tahu."

"Ugh, kalau tidak mau memberitahu tidak perlu melakukan itu kan?"

"Ekspresimu susah untuk dilewatkan," Imayoshi tertawa dan kau hanya menggerutu sebelum menoleh kembali pada bintang yang ada disana begitu juga dengannya.

"Kau yakin tidak ingin mencoba menulis sesuatu di—"

"Tidak," Imayoshi tampak memotong pembicaraanmu terlebih dahulu, "—kenapa kau benar-benar ingin aku menuliskannya? Tidak ada gunanya sama sekali kan?"

"Tentu saja ada! Karena yang akan kita tulis adalah kalimat terakhir kita!" Perkataan yang tidak pernah diduga oleh Imayoshi akan didengar darimu, dan membuatnya terdiam menoleh kearahmu, "kalimat itu akan tetap ada walaupun kita sudah tidak ada."

Kau tersenyum lebar dan menatap kearah Imayoshi.

"Kau tidak berpikir aku selalu optimis akan berusia lebih panjang daripada yang dikatakan oleh Midorima-sensei bukan? Aku hanya ingin menguburnya selama 1 tahun. Aku ingin seseorang yang kusayangi membuka dan membaca isinya meskipun ternyata aku sama sekali tidak ada disana untuk menyaksikannya."

Imayoshi tampak membuka mulutnya namun tidak ada suara yang keluar. Ia menghela napas, menoleh pada langit dihadapan mereka untuk kesekian kalinya.

"Baiklah, aku akan menulisnya—" Imayoshi tersenyum sambil menghela napas, menyerah dengan kekeraskepalaanmu yang membuatnya tidak bisa mengatakan tidak, "—tetapi dengan satu syarat. Kau harus ikut untuk menggalinya 1 tahun lagi."

"Eh tetapi—"

"Tidak ada tapi-tapian, kalau kau memang ingin—kau harus menepatinya," Imayoshi menghentikanmu yang tampak menatapnya balik sebelum tersenyum dan menghela napas panjang.

"Baiklah..."

.

.

"Hei, kalian berdua kabur dari kamar kalian lagi! Apakah kalian ingin mati kedinginan?!"

"HIIII! Midorima-sensei!"

.

.

Pada akhirnya kau dan juga Imayoshi berada di depan kotak dimana seluruh surat yang ada disana tampak berada. Kau memberikannya sebuah kertas dan juga pulpen untuk menulis sementara kau juga mengambil selembar kertas untuk menuliskan surat.

"Apa yang kau tulis?" Suara Imayoshi tampak membuatmu segera menyembunyikan kertas yang ada disana, "heee?"

"Ka—kalau kau melihat bukan rahasia lagi kan? Ini surat yang baru bisa dilihat 1 tahun lagi tahu!" Kau tampak menatap tajam kearah Imayoshi yang mengangkat kedua tangannya, "lagipula kau sendiri, apa yang kau tulis?"

"Rahasia~ tunggu saja 1 tahun lagi dan kau akan tahu."

Meskipun bahkan kalian berdua, sama sekali tidak yakin akankah satu tahun lagi kalian berdua bisa membukanya bersama-sama.

"Hei, apa yang sedang kalian lakukan?!" Suara Takao membuat kalian dan beberapa anak yang juga ikut untuk memasukkan surat disana menoleh, "apa yang kalian kubur?"

"Kapsul waktu yang isinya surat—kau ingin ikut Takao?" Kau tampak bersemangat saat Takao menanyakan itu dan menoleh pada Midorima yang kebetulan berada didekat sana dan sepertinya baru selesai dengan shiftnya, "Midorima-sensei, ayo ikut menulis surat disini!"

"Tidak, itu kekanakan nanodayo."

"Ayolah Shin-chan, ini menarik!"

Dan pada akhirnya kalian semua menuliskan masing-masing surat dan memasukkannya disana.

.

.

Keadaan kalian sama sekali tidak bisa diprediksi kapan membaik dan kapan keadaan kalian tiba-tiba memburuk. Selama 10 bulan terakhir, keadaanmu sangat tidak stabil. Beberapa kali kau keluar masuk ICU dan berakhir dengan kau membuatnya khawatir. Meskipun Imayoshi tidak menunjukkannya, namun sudah cukup untukmu tahu saat kau didorong keluar dari ICU dan selalu pemuda itu yang kau temukan menunggumu.

"Sampai kapan kau akan membuatku kerepotan [y/n]," pemuda itu tampak menghela napas dan menatap kearahmu yang tertawa lemah. Baru saja kau dipindahkan kembali ke ICU dan beristirahat. Atau lebih tepatnya kau tidak bisa menggerakkan tubuhmu tanpa rasa sakit.

"Maaf~"

"Aku tidak suka orang yang melanggar janjinya. Hanya tinggal 2 bulan lagi bukan, dan kita akan membuka kapsul itu bersama-sama," sentuhan dari tangan Imayoshi yang menyapu perlahan rambutmu selalu membuatmu tenang dan merasa hangat, "—kau pasti akan menepati janjimu bukan?"

"Tentu. Tetapi kau yakin tidak ingin memberitahukan apa isi suratmu itu?"

"Tentu saja tidak, lagipula kau yang mengatakan jika surat itu rahasia sampai 2 bulan lagi kan? Dan kau pasti akan terkejut melihat surat itu," Imayoshi tertawa geli seolah membayangkan bagaimana kau akan berekspresi saat kau membaca surat yang ia tulis.

Selama beberapa saat kalian membicarakan tentang kapsul waktu itu dan juga apa saja yang akan kalian lakukan setelah kapsul waktu itu dibuka. Dan tidak terasa, sudah waktu untukmu beristirahat saat jam menunjukkan pukul 11 malam.

"Sudah saatnya [y/n] tidur Imayoshi, kalian bisa lanjutkan apapun yang kalian bicarakan besok," Midorima datang dan tampak mengusir Imayoshi yang menghela napas. Seolah tidak ingin meninggalkanmu, namun melihat sudah larut malam membuatnya berdiri dan menatapmu sesaat.

"Aku akan kembali besok."

"Jangan paksakan dirimu, aku akan keluar dari sini dan kembali ke kamar kita," kau tertawa dan menatap kearah Imayoshi yang tersenyum lega karena sikapmu yang konyol namun tidak berubah, "sampai jumpa besok Imayoshi..."

Entah kenapa...

Entah kenapa senyumanmu saat itu membuat Imayoshi tidak tenang. Pemuda itu semakin tidak ingin meninggalkanmu di ruangan itu. Seolah itu adalah pertemuan kalian yang terakhir, dan ia tidak akan melihatmu untuk selanjutnya.

"[y/n] apakah—"

"Ayolah Imayoshi-san, besok kita akan bertemu lagi kan? Kembalilah ke kamar!" Kau sedikit memaksa, dan Imayoshi tersenyum sedikit dipaksakan sebelum berbalik dan menatapmu untuk terakhir kalinya sebelum menutup pintunya.

...

Suasana hening saat itu membuatmu tenang dan menghela napas. Menatap kearah langit-langit kamarmu yang tampak gelap, kau mencoba untuk mengatur napasmu yang tidak teratur itu. Tubuhmu terasa sakit, tidak ada yang bisa kau lakukan bahkan untuk bergerak sedikit saja. Untuk bernapas sesingkat apapun tanpa merasakan sakit.

Kau menahannya selama Imayoshi berada di ruanganmu karena kau tidak ingin membuatnya khawatir. Tetapi kau tahu kondisimu semakin menurun dan...

...dan ini adalah waktumu.

'Maaf...' yang ada didalam pikiranmu saat ini, semuanya tentang pemuda itu. Imayoshi yang pertama kali kau temui, Imayoshi yang sedang berjuang, Imayoshi yang sedang bermain basket dengan ekspresi senangnya, Imayoshi yang selalu membuatmu tenang dan nyaman, Imayoshi yang menyebalkan—

Semua tentang pemuda itu. Seolah semuanya berputar seperti kaset yang rusak. Berkali-kali, hingga kau perlahan tidak merasakan apapun. Tidak ada rasa sakit, dan hanya ketenangan yang kau rasakan.

'Inikah waktunya...?'

'Jangan lupakan janji kita. Aku tidak menyukai orang yang mengingkari janjinya...'

Kau menutup matamu pelan, perkataannya yang terakhir sungguh—itu membuatmu merasa bersalah pada Imayoshi. Karena keegoisanmu, karena janji itu, dan karena kau tidak bisa menepati janji kalian.

'Maafkan aku... Imayoshi...'

.

.

"Apakah [y/n] sudah dipindahkan ke kamar?"

Imayoshi seperti biasa menghampirimu saat jam menunjukkan pukul 12 siang setelah ia selesai dengan pekerjaannya. Dan saat ia menemukan ranjangmu yang kosong dan hanya ada para perawat disana, tentu saja tidak terbesit sedikitpun hal buruk yang mungkin terjadi padamu.

"...Imayoshi-san, semalam [y/n]-san—"

.

.

"...eh?"

.

.

Ia tidak menangis atas kematianmu.

Ia hanya diam, menatap kearah ranjang kosong kamar kalian yang seharusnya ditempati olehmu. Tatapannya kosong, kau sudah tidak ada. Imayoshi merasa suara itu berulang kali menggema di kepalanya.

[y/n] sudah tidak ada...

Ia—ia sudah tidak ada...

Tempat tidur itu tidak akan lagi ditempati oleh dua orang yang sama. Hanya ada Imayoshi disana.

Kau tidak akan ada lagi di kehidupannya.

"Dasar pembohong..."

(—dan ia bahkan tidak menitikkan sedikitpun air mata saat pemakamanmu.)

.

.

Pada akhirnya, ia meninggal dunia 2 bulan setelah itu. Hanya beberapa hari sebelum seharusnya kalian membuka kapsul waktu itu bersama-sama. Momen terakhirnya saat itu, hanyalah Imayoshi yang tampak menatap kearah ranjangmu yang ada didepannya, dan tersenyum.

Dengan sebulir air mata yang mengalir untuk pertama kalinya saat itu,

—sebelum alat pensupport kehidupan itu menunjukkan garis lurus pertanda hidupnya sudah berakhir.

.

.

Dua hari setelah itu,

Anak-anak yang menuliskan surat di dalam kotak itu tampak menggali kotak itu bersama dengan Takao dan juga Midorima. Mereka menemukan kotak itu dan membukanya untuk mengambil surat mereka masing-masing. Meninggalkan dua buah surat kecil yang berada di dalam kotak itu.

Saat Takao dan juga Midorima mengambil dan membukanya, kedua surat itu hanya berisi sebaris kalimat pada masing-masing kertas.

.

.

"Aku menyukaimu Imayoshi Souichi."

~[f/n]

.

.

"Aku juga menyukaimu, bodoh."

~Imayoshi Souichi

Oke, aing kebablasan bikin chapter yang ini :') tapi kalau ga diginiin nanti alurnya jadi cepet. Ini aja udah cepet...

Jadi, ada yang request prompt juga dari PM di FFN, dan karena disini juga ada yang request ya tak gabungin, sudah diingatkan kalau ini angst kan mbak uchihaamandaaaaa, jadi ya... death chara juga termasuk XD

Oke, apakah ada pairing lain atau request prompt lainnya?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro