Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

26. Saatnya Hijrah

Keesokan harinya, gue mandi di kamar mandi rumah sakit seperti kemarin. Kemudian, gue memakai seragam dan berpamitan pada Mama.

"Nggak sarapan dulu, Nak?" tanya Mama.

"Enggak usah, Ma. Nanti aja di kantin. Lagian males, nafsu makan berkurang kalo liat Mama sakit," sahut gue.

Mama berdecak kesal. "Jangan gitu! Kamu juga harus jaga kesehatan, biar bisa terus jagain Mama. Kalo kamu sakit, siapa yang ngerawat ntar? Malah jadi repot, kan?"

Gue terkekeh. "Iya, Mamaku sayang! Mama bawel, tapi itu karena sayang, kan?"

"Ya iya, dong! Bener, kan, kata Mama?" jawab Mama.

"InsyaaAllaah ntar tetep makan dan Angkasa bisa jaga pola hidup sehat sendiri. Apalagi, makin nyaman tanpa rokok, walaupun aku bisa meninggalkannya karena ...." Ucapan gue menggantung.

"Lail? Hmm, yang sabar, ya? Ini pasti berat banget buat kamu." Mama tampak khawatir.

"Iya, Ma. Aku masih nggak habis pikir, kenapa harus Lail yang jadi anak keduanya Papa? Duh! Aku aja males banget nyebut dia sebagai adik tiri." Gue masih sangat kesal dengan kenyataan ini.

"Nak, apapun yang terjadi dan kita alami saat ini, adalah takdir dari Allah. Kita terima, ya? Jangan sampai denial, nanti malah kita yang jadi berprasangka buruk sama Allah. Na'uuzubullaahu min zaalik," nasehat beliau.

"Oh. Iya, Ma. Aku berangkat dulu. Assalamualaikum." Gue menyalami punggung tangan Mama seperti biasa, lalu berangkat ke sekolah.

**

Sampai di kelas, Lail benar-benar menepati janjinya. Dia tidak berangkat hari ini. Tak ada izin yang dititipkan ke guru pula. Empat jam pelajaran, gue merasa lega karena tak melihat wajah cewek itu lagi. Bel istirahat berbunyi. Ada pesan masuk di ponsel gue.

[Aku pamit, Sa. Aku akan pindah sekolah, dan meminta supaya Bapak mempercepat proses transmigrasi ke Riau, tanah kelahiranku dahulu. Memang, seperti ini yang direncanakan oleh Papa dari awal, jika identitasku diketahui sama kamu dan Tante Mira,] pesan Lail.

Gue sangat bahagia membacanya, lalu membalas, [Alhamdulillaah. Itu yang gue mau. Nggak ada muka lo lagi di sini.]

Terkirim. Lail tidak membalas lagi, mungkin dia merasa sangat bersalah. Lebih baik seperti ini, tak ada komunikasi antara kami, daripada saling menyakiti hati. Gue keluar dari kelas, menuju kelas Fadil.

'Mudah-mudahan dia belum keluar dari kelas,' batin gue.

Sampai di depan kelas Fadil, para siswa belum keluar. Mungkin, ada beberapa informasi tambahan. Setelah guru yang mengisi mapel keluar, para siswa pun berhamburan ke kantin. Termasuk Fadil.

"Dil!" panggil gue.

"Eh? Udah dateng ke sini aja?" Dia melayangkan tos, yang langsung gue balas.

"Iya, sengaja. Cari temen. Abis ini mau ke masjid atau langsung ke kantin?" tanya gue.

"Ke kantin dulu, gimana? Laper banget belum sarapan," usul Fadil.

Gue mengangguk. "Boleh juga, tuh!"

Kemudian, ada Bima dan Galang yang ternyata sekelas dengan Fadil.

"Eh, kalian? Jadi, sekelas sama Fadil?" tanya gue, melayangkan tos ke keduanya.

"Iya. Tumben, ke kelas kita?" tanya Galang balik.

"Lagi males sendirian mulu ke mana-mana. Kuy, ke kantin! Laper gue," ajak gue.

Kami pun menuju ke kantin. Beberapa siswa berbisik, membicarakan kami, tetapi gue masih bisa mendengarnya.

"Tumben si Angkasa, mantan ketua geng Elang itu, nyamperin si Fadil!"

"Iya, Fadil yang alim banget itu, kan?"

"Alah! Jangan silau! Bisa aja dia pura-pura, kayak Angkasa waktu itu. Ternyata baiknya cuma karena Lail."

"Eh, tapi Angkasa tetep jadi baik, kok. Dia masih salat dan setahu gue, nggak ngerokok."

Telinga gue panas mendengarkan itu semua. Namun, Fadil menepuk pundak gue.

"Udah, jan di dengerin! Mereka cuma liat dari luarnya aja, sedangkan prosesnya nggak ada yang tahu. Cuma lo yang ngerasain perjuangan untuk jadi baik," ujar Fadil, berusaha menenangkan gue.

Hampir saja gue mengepalkan tangan dan berteriak untuk menjawab desas-desus para siswa. Beruntung, ada Fadil yang mengingatkan. Inilah keuntungan punya teman yang selalu mengajak pada kebaikan.

"Iya, makasih. Gue nggak akan nanggepi apapun ucapan orang," jawab gue, meyakinkan dia.

"Bagus!"

Saat kami melewati lorong demi lorong, ada anggota komunitasnya Fadil yang keluar dari kelas dan ikut berjalan ke kantin. Gue merasa sudah dapat pengganti geng Elang. Ini saatnya gue bergabung sama mereka.

Sampai di kantin, kami memesan makanan dan minuman. Kemudian, memilih tempat duduk.

"Jadi gimana, Sa? Lo jadi bergabung sama kita, kan? Keliatannya, udah nyaman banget hehe," tanya Fadil.

"Iya, gue mau gabung. Rasanya, kayak menemukan teman lagi setelah sekian lama pisah sama geng Elang. Apalagi, komunitas ini kayak ada soul-nya. Beda gitu rasanya," jawab gue.

"Alhamdulillaah. Tapi, kalo mau gabung, lo harus siap ikut kajian-kajian gitu," sahut Bima.

"Nggak papa, malahan gue jadi berkembang." Gue mengembangkan senyum.

Makanan datang, kami pun mulai menikmatinya. Terbesit ide untuk menyenangkan mereka.

"Oh, ya. Sebagai tanda terima kasih karena udah diterima di komunitas 'Remaja Hijrah', gue yang bayarin semua makanan dan minuman kalian. Gimana?" tawar gue.

"Beneran?" tanya Resa.

"Serius lo, Sa? Nggak enak, nih, kita," timpal Galang.

Fadil menggeleng. "Lo nggak perlu melakukan ini. Kita masih mampu bayar sendiri, kok! Gue takut, ntar lo malah sungkan pas nggak traktir kita."

"Enggak papa. Tenang aja! Gue orangnya sante, kok." Gue berusaha meyakinkan mereka.

"Ya udah, kita mau. Makasih, ya, Bro! Lo baik banget," ujar Fadil, akhirnya.

Pras menyeletuk, "Thank's banget, Sa. Ternyata gini rasanya punya temen sultan!" Dia tersenyum sumringah.

Gue menggaruk tengkuk yang tidak gatal. "Bukan sultan juga, ah! Kita sama aja di hadapan Allah, kan? Biasa aja lagi!"

"Oke, deh! Tapi, lain kali nggak perlu sampai traktir juga. Jadi, sungkan, nih!" ucap Tristan.

"Nggak papa. Yang mau nambah lagi juga silakan. Gue lagi bersyukur aja, saat terpuruk dan tertimpa masalah besar, ada kalian yang menghibur dan terus mengingatkan gue untuk berbuat baik, walaupun disakiti dan dizalimi," sahut gue, merasa senang.

"Alhamdulillaah. Gue ikut bahagia ngeliat lo semangat menjalani hidup seperti ini," balas Bima.

"Ya udah, ayo habisin! Keburu dingin ntar." Gue kembali menyantap makanan.

Saat menyenangkan seperti ini, tiba-tiba geng Elang datang. Terasa hawa tak enak kalau mereka sudah berulah.

"Oo, jadi ini geng lo sekarang? Udik, alias kampungan banget, ya?" celetuk Dika.

Sam menambah ejekan. "Yaelah! Turun derajat lo, Sa?"

"Setelah diusir dari geng Elang, mau jadi sok alim lagi? Padahal, udah ketahuan kedok lo yang pura-pura baik, ternyata mau ikut balapan lagi!" Feri ikut menghina gue.

"Kek, nggak ada temen lagi lo? Sampe gabung sama cowok-cowok nggak gaul kayak gini? Apa temen sekelas emang udah jijik kali, ya, sama seorang Angkasa?" Dika memicingkan mata, meremehkan gue.

Sontak gue langsung mengepalkan tangan dan berdiri, tetapi Resa menahan gue.

"Ya iya, dong, jijik! Temen sekelas, mah, gaul semua selain Angkasa sama Lail! Makanya, dia cari temen dari kelas lain. Eh, terdampar jadi cowok kampungan sekarang!" ujar Alex.

"Ahaha! Dulu aja disanjung-sanjung, punya banyak fans. Sekarang? Tersingkirkan dan tak dianggap lagi. Capek, deh!" Sam tak mau berhenti.

"Sory, gue nggak ada urusan sama lo semua! Nggak ada kerjaan lain, ya, sampe-sampe stalking gue mulu?" Tak tahan rasanya sama hinaan mereka.

"Udah, Sa! Lo nggak level sama mereka. Jangan ditanggapi! Biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Yang penting, lo tahu mana yang bener dan enggak," sindir Resa, membuat gue tersenyum miring.

"Lo bener. Gue udah level up. Bukan saatnya lagi ngeladenin cowok-cowok yang cuma bisa menghardik. Ucapan seseorang itu, mencerminkan siapa dirinya, sementara kami punya harga diri tanpa harus merendahkan yang lain," sindir gue, lalu duduk dan melanjutkan makan.

Sam menghentakkan kaki ke lantai karena jengkel, lalu pergi. Gengnya mengepalkan tangan dan melayangkan tatapan benci ke gue, sebelum berlalu.

"Mantap! Sindiran lo keras banget, Bro!" celetuk Tristan.

Gue benar-benar puas. Kadang, tak perlu otot untuk menghadapi orang-orang seperti itu. Cukup balas dengan kata-kata tajam yang sangat menyindir.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro