Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

16. Trauma

Sepanjang perjalanan, trauma gue karena kecelakaan waktu itu kembali muncul di benak. Apa ini petunjuk supaya gue tetap meninggalkan kebiasaan buruk, meskipun tidak menjadi pacar Lail?

Gue berusaha fokus dan menatap lurus ke depan, supaya selamat sampai rumah. Untungnya jalanan belum terlalu sepi, sehingga tidak ketakutan karena baru saja menyaksikan kecelakaan di depan mata.

Beberapa menit berlalu. Akhirnya gue sampai di rumah. Satpam membukakan gerbang. Gue menghentikan motor, lalu turun dan memberikan kunci padanya.

"Pak, tolong motornya dimasukkan ke garasi, ya? Gue capek banget," pinta gue.

"Baik, Den. Silakan istirahat." Satpam menunduk sopan.

Gue tersenyum, lalu berjalan dengan gontai. Rasanya tulang-tulang masih lemas dan tubuh bergetar. Langsung saja gue melepas dan menaruh helm di tempatnya, lalu masuk kamar. Semoga bisa menyambut hari esok dengan semangat kebaikan karena Allah, bukan lagi karena cewek.

**

Azan Subuh mendayu-dayu, menyapa telinga gue, sehingga kedua mata pun terbuka.

"Alhamdulillaah. Allah masih memberi gue kesempatan hidup, belajar dari semua pengalaman dan memperbaiki diri," ucap gue, bersyukur, lalu membaca doa bangun tidur.

Kejadian semalam kembali memenuhi angan, lalu gue berusaha mengenyahkannya.

"Astagfirullah, kenapa trauma itu datang lagi? Setelah sekian lama terasa sudah hilang," keluh gue, kemudian segera bangkit dan keluar dari kamar.

Terlihat Mama sudah selesai wudu dan keluar dari toilet.

"Tumben udah bangun? Biasanya kalau kedengaran iqamah dari masjid, kamu baru ambil air wudu?" tanya beliau.

"Iya, Ma. Semalam tidur lebih cepat, jadi bisa lebih awal bangunnya," jawab gue.

Mama mengembangkan senyum yang selalu cantik di mata anaknya ini. "Bagus itu! Kamu bisa jadi imam. Mama tunggu di kamar tamu, ya?"

Memang, rumah kami besar, tetapi sayang, dulu tidak buat musala kecil sekalian, sehingga menjadikan kamar tamu untuk salat berjemaah karena areanya lebih luas dibandingkan kamar Mama atau punya gue.

"Baik, Ma." Gue melanjutkan langkah ke toilet.

Sepuluh menit kemudian. Salat Subuh kali ini terasa berbeda. Entah mengapa, tiba-tiba gue merasa hina banget di hadapan Allah. Hati terasa sedih, sehingga kedua mata mulai berair, siap untuk tumpah.

Gue berusaha menahan diri supaya tidak menangis, karena bacaan Al-Fatihah gue mulai terganggu dan tidak khusyuk. Setelah menghapus air yang menggenang di pelupuk mata dan menarik napas panjang, akhirnya bisa kembali menguasai diri dan salat berjalan dengan lancar.

"Assalaamu'alaikum wa rahmatullaah, assalaamu'alaikum wa rahmatullaah," ucap gue, mengakhiri salat dengan menoleh ke kanan dan kiri.

Gue berbalik untuk mencium tangan Mama dengan penuh hormat.

"Nak, Mama bangga sama kamu, walaupun cintamu ditolak, tapi masih tetap berjalan di atas petunjuk Allah. Semalam, Mama sempat khawatir kamu terjerumus ke dunia balapan liar lagi," kata wanita anggun dalam balutan mukena putih itu.

"Iya, alhamdulillaah, Ma. Kalo boleh tahu, kok, dulu Mama nggak ngelarang aku waktu balapan? Padahal, kan, Mama tahu itu bahaya buat Angkasa," tanya gue, penasaran.

Beliau menggeleng lemah. "Mama nggak tega ngelarang kamu, Sayang. Tapi, semakin ke sini, Lail menyadarkan Mama kalau menyayangi anak itu nggak harus memperbolehkan semua hal yang dia sukai. Mestinya, ya, dibatasi kalau itu berlebihan, apalagi membahayakan keselamatan."

Gue mangut-mangut. "Gitu, ya, Ma?"

"Iya."

"Kita zikir dulu, yuk, Ma!"

Mama mengangguk. Seperti biasa, kami berzikir dengan penuh kekhusyukan. Setelah selesai, gue berbalik ke arah kiblat dan menengadahkan kedua telapak tangan.

"Ya Allah, ya Rabb. Engkau yang Maha Mengetahui sedalam apa cinta hamba pada Lail. Namun, dia tidak mau menerimanya." Gue memulai doa kepada Allah dengan suara lirih.

Kemudian, berhenti sejenak karena gue menangis lagi. Entah sehebat apa pengaruh Lail, sampai-sampai sangat susah untuk menerima kenyataan. Mungkin, sebab cinta ini hadir karena Allah. Gue tak tahu.

"Saya mohon, obati kekecewaan yang mendalam pada Lail, ya Allah. Hamba pasrahkan semuanya kepada-Mu, akan dibawa ke mana cinta ini. Hanya Engkau yang bisa menghapus rasa sakit di hati, karena teramat hancur, hingga bingung bagaimana menggambarkannya. Namun, hamba juga bersyukur, Engkau menunjukkan kecelakaan di depan mata saya, saat tadi malam hampir saja tergelincir pada kesalahan masa lalu, " lanjut gue, tetap dengan suara pelan.

Setelah itu, gue membaca doa untuk kedua orang tua dan kebaikan dunia-akhirat. Sebenarnya, ada rasa tak enak saat memohonkan ampun untuk Papa, tetapi bagaimanapun, tanpa dia, gue juga tak ada di dunia ini. Perkara Papa yang lepas tanggung jawab atas istri dan anaknya, biar jadi urusan dia di hadapan Allah. Semua akan dihisab sesuai perbuatan masing-masing.

**

Terdengar ketukan di pintu kamar gue.

"Makan dulu, Nak!" panggil Mama.

"Iya, Ma. Bentar lagi." Gue belum beranjak dari duduk di kursi depan meja belajar.

Mama berkata, "Ya sudah, Mama pamit dulu, keburu telat. Assalamualaikum."

Gue menjawab salam beliau. Suara sepatu hak tinggi Mama menjauh dari kamar gue. Setelah itu, diri ini cuma bisa termenung, memandang buku list perubahan yang sudah tercengang semuanya dan botol minum pemberian Lail.

Pikiran gue kosong. Bengong, sampai tak tahu akan mengerjakan apa setelah ini. Kemudian, terdengar notifikasi sosial media di ponsel gue.

"Ada notif apa, ya, kira-kira?" gumam gue, sambil membuka layar HP.

Pemberitahuan di aplikasi IG, ternyata ada permintaan follow. Gue memang memilih privat akun gue, supaya tak ada orang-orang rese yang sukanya ganggu atau jail. Seperti Nela misalnya. Dulu, dia selalu komentar setiap ada postingan terbaru, atau DM buat bertanya hal-hal yang tidak penting.

Gue membaca nama akun yang meminta buat mengikuti tadi. Tertera nama Lail di sana, membuat gue tak percaya.

"Ini beneran Lail yang abis bikin gue sakit hati?" gumam gue, langsung stalking dia.

Ternyata benar. Ada satu foto dia bersama teman-teman Rohis, yakni organisasi keIslaman di sekolah. Gue langsung mengizinkan dia untuk follow.

Teringat waktu sebelum kecelakaan, gue pernah mencari-cari nama akunnya, tetapi belum ketemu. Kemudian, saat gue jatuh cinta lalu dibuat kecewa, dia malah lebih dulu tahu akun gue dan follow.

"Atau mungkin, dia memang sudah lama tahu dan baru follow sekarang? Dia sengaja menghindar dari sosial media gue, supaya nggak ada rasa antara kita? Jangan-jangan Lail blokir gue lagi! Lah, bodo amat!"

Gue bicara sendiri dengan frustasi, lalu melihat jam di ponsel yang menunjukkan pukul tujuh kurang seperempat pagi. "Telat juga nggak papa. Udah lama nggak dihukum! Selama ini jadi siswa baik-baik juga sia-sia, gagal jadi pacar Lail! Mending disuruh berdiri di lapangan, ntar bolos ke kantin. Makan enak sambil ngopi!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro