
BAB XIII
Perpisahan ini menjadikanku pohon yang meranggas. Menggugurkan dedaunan yang hanya bertuliskan satu nama. Kamu.
🍃🍃🍃
Galung membanting ponselnya dengan jengkel. Ia sudah berusaha menghubungi Diandra belasan kali, tetapi tak ada jawaban. Bahkan sekarang ponsel kekasihnya itu tidak aktif. Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah terjadi sesuatu dengannya? Mereka sudah berjanji untuk bertemu hari ini, menemui ayah Galung, tetapi justru tak ada kabar apa pun dari Diandra.
Tanpa menunggu lama, Galung segera melesat ke garasi rumah. Ia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi menuju tempat di mana ia pernah mengantar Diandra pulang. Ia memang tidak tahu pasti rumah gadis itu, tapi tak jadi soal. Ia bisa mencarinya. Yang terpenting sekarang adalah mengetahui apa yang terjadi dengan Diandra.
Galung khawatir terjadi sesuatu yang buruk pada gadis itu.
Sejak pengumuman kelulusan mereka, Galung memang merasa Diandra berubah. Seolah gadis itu tengah berusaha menyembunyikan sesuatu darinya. Diandra juga sering menghindarinya. Jarang membalas SMSnya. Dan tak jarang tiba-tiba menghilang tanpa alasan, seperti saat ini.
Motor Galung melaju pelan memasuki sebuah komplek perumahan yang cukup elit di daerah Araya. Ia pernah mengantar Diandra pulang di depan gerbang komplek perumahan tersebut. Jadi ia yakin jika rumah Diandra pun ada di daerah itu.
Komplek perumahan tersebut ternyata sangat luas. Hampir satu jam lamanya Galung berkeliling mencari. Ia terlalu panik hingga tak bertindak dengan benar. Baru menyadari jika ia bisa menggunakan cara yang lebih mudah untuk mencari Diandra.
Galung menghentikan motornya di depan sebuah rumah besar untuk menelepon Andro. Bermaksud meminta bantuan sahabatnya itu. Ia duduk di atas motornya sembari menunggu nada tunggu ponsel Andro berhenti dan berganti suara.
"Ada apa, Lung?" tanya Andro beberapa detik kemudian.
Galung bermaksud menjawab ketika pandangan matanya yang mengamati rumah besar di hadapannya menangkap sosok seseorang yang sangat familiar. Diandra dan pemandangan yang tersaji sama sekali bukan hal indah yang ingin ia lihat.
Diandra tidak sendirian. Gadis itu bersama seorang laki-laki yang tampaknya lebih tua beberapa tahun. Mereka berdua tengah berpelukan. Begitu lama. Galung bisa melihat bahu Diandra sedikit berguncang dalam dekapan laki-laki itu. Namun, bukan rasa ingin tahu yang ia rasakan.
"Halo, Lung! Kamu masih ada di sana kan? Jawab aku." Suara Andro di telepon memanggil-manggil namanya, tetapi Galung hanya bisa mendengar detak jantungnya yang begitu cepat hingga terasa akan meledak.
Hati Galung terasa sangat panas. Api cemburu melahapnya tanpa bisa ia cegah. Seolah berton-ton beban ditimpakan di atas dadanya melihat gadis yang ia cintai berada dalam pelukan laki-laki lain.
"Jadi ini?" gumam Galung. Rahangnya mengeras. Tanpa ia sadari tangan kanannya mengepal begitu kuat dan berakhir dengan meninju jok motor. Pikirannya mendadak jadi buntu.
Galung menutup ponselnya tanpa peduli suara khawatir Andro di ujung telepon. Lalu menghidupkan motornya, membelah jalanan dengan kecepatan paling tinggi yang pernah ia lakukan.
***
"Apa yang harus aku lakukan, Kak?" tanya Diandra. Ia tak tahu harus bercerita pada siapa lagi. Dan hanya bisa menghabiskan air matanya dalam dekapan dada Miko.
"Katakan saja yang sejujurnya pada Anjani. Dia pasti mengerti."
"Tidak. Kakak tidak tahu betapa dia sangat mengharapkan Galung. Pengakuanku hanya akan menyakiti hatinya," tolak Diandra.
Miko menarik napas dalam perlahan. Ia menguatkan pelukan pada tubuh mungil Diandra yang berlindung di dadanya. Sungguh sulit dipercaya jika kedua adik perempuannya ternyata mencintai pemuda yang sama. Lebih sulit dipercaya lagi keputusan mamanya pada Diandra.
"Kalau begitu, ceritakan hal ini pada Galung."
Diandra dengan cepat menggelengkan kepalanya.
"Kak Miko tidak tahu dia. Dia pasti akan membenci Anjani jika sampai tahu hal ini."
Galung. Miko baru beberapa kali mendengar nama itu. Ia bahkan tak pernah tahu rupa pemuda itu, tetapi ia sudah merasa nama tersebut membuat ruang napasnya terasa sangat sempit. Membuat dadanya terhimpit rasa sesak yang teramat. Karena apa pun keputusan yang Diandra ambil nantinya, pemuda itu tetap meninggalkan luka di hati salah satu adiknya. Atau bahkan keduanya.
"Aku harap Kakak mau mendukung keputusanku," ujar Diandra kemudian, yang akhirnya menghentikan tangisnya. Ia menatap Miko dalam. Matanya berisi harapan bahwa keputusan yang akan ia ambil mendapatkan dukungan dari orang yang ia percaya.
"Pasti. Apa pun untuk kebahagiaan kalian," jawab Miko.
Diandra tersenyum. Menghiasi wajahnya yang masih menyisakan bekas tangis. Ia tak mengatakan betapa sulit meredam sakit yang meronta di hati. Ia hanya ingin orang-orang yang ia sayangi bahagia.
Kecuali Galung. Diandra harus merelakannya.
***
"Galung!" Anjani berlari mengejar Galung yang baru saja keluar dari kelasnya. Gadis itu sedari tadi menunggu dan bernapas lega melihat pemuda yang ia harapkan akhirnya muncul. Sayangnya, Galung tak peduli. Pemuda itu terus berjalan tanpa menghiraukan panggilan Anjani.
"Lung, gadis itu memanggilmu," ujar Andro yang melihat usaha Anjani.
"Biarkan saja."
"Hei, kasihan tahu. Berhentilah dan temui dia, mungkin ada hal penting yang ingin dia sampaikan."
"Aku tidak mau. Jangan memaksaku."
Galung tetap berjalan menjauh. Ia tak peduli dengan apa pun atau siapa pun. Suasana hatinya sedang kacau. Satu-satunya orang yang ingin ia temui adalah Diandra, tetapi gadis itu justru tak bisa ia temui di mana pun.
Memaksa Galung adalah kesalahan. Sebagai sahabat Andro tahu betul akan hal itu. Namun, melihat Anjani begitu serius, ia juga tak tega. Pasti ada masalah penting karena selama ini Galung bersikap cukup baik pada gadis itu.
"Galung, tolong dengarkan aku dulu." Dengan susah payah Anjani mengejar Galung dan memaksanya berhenti. Tak peduli dengan kejengkelan yang terlihat jelas di wajah pemuda itu. "Aku minta maaf soal makan malam itu."
"Aku tidak peduli dengan permintaan maafmu. Menjauhlah dariku," bentak Galung kasar.
Anjani tersentak dengan sikap Galung, tetapi ia bertahan dan berusaha memberikan penjelasan yang jelas akan berakhir sia-sia.
"Aku mohon. Aku tahu kamu tidak memiliki perasaan yang sama padaku, tapi kita masih bisa berteman, kan?"
Galung menatap Anjani tajam. Terpancar jelas amarah dari sorot matanya. Anjani memilih waktu yang salah untuk mencoba berbaikan dengan Galung. Karena ia justru mendapat perlakuan yang lebih buruk dari saat Galung menolaknya.
"Apa kamu tidak dengar? Aku bilang pergi dariku. Aku tidak peduli denganmu. Jadi jangan pernah muncul di hadapanku!" Galung mengucapkannya dengan berapi-api. Lalu pergi tanpa peduli dengan tangis Anjani yang mulai pecah.
"Kamu tidak apa-apa, kan? Galung memang sedang ada masalah, tolong maafkan sikapnya, ya." Andro tak mengikuti Galung, melainkan tetap tinggal dan berusaha menenangkan Anjani.
"Tidak apa-apa. Aku mengerti," jawab Anjani. Ia tersenyum meski matanya mulai basah, tak mampu menahan tangis. Hal ini sudah terduga olehnya. Anjani hanya tidak bisa menahan air matanya lebih baik lagi.
Dari kejauhan, Diandra melihat pemandangan itu. Bagaimana kemarahan Galung dan juga kesedihan Anjani. Hatinya begitu sakit. Menyadarkannya jika ucapan sang mama benar. Sejak kecil Anjani sangat menyayangi Diandra, dan rela mengorbankan apa pun untuknya. Mungkin kali ini giliran Diandra yang harus memberikan bahagia untuk sepupunya itu. Memberikan Galung, laki-laki yang ia cintai.
***
Temui q di bukit blkg sekolah
Galung menerima pesan masuk dari Diandra. Tanpa banyak berpikir ia bergegas berlari menuju tempat yang dimaksud. Meski hatinya tengah kacau, bertemu dengan Diandra tetap menjadi sesuatu yang memberi hangat untuk hatinya.
Tidak ada yang berbeda. Suasana bukit belakang sekolah masih sama. Sepi. Hanya ada pepohonan dan rerumputan yang selama ini menemani Galung dan Diandra menghabiskan waktu bersama. Dilihatnya Diandra tengah duduk di bawah salah satu pohon Flamboyan, menunggunya. Galung tersenyum dan mempercepat langkahnya mendekat.
"Aku mencarimu kemana-mana," ujar Galung.
Diandra menoleh. Tak tampak senyuman di wajahnya, seperti yang biasa ia lakukan ketika mereka berdua bertemu. Raut wajah Diandra tampak dingin.
"Ada yang harus kita bicarakan, Lung."
"Aku juga. Soal janji kita waktu itu. Aku sudah menjelaskannya pada ayahku, tapi aku tetap butuh alasan sebenarnya dari kamu," ujar Galung.
Janji itu. Bahwa mereka akan mengikat hubungan lebih dalam. Hati Diandra perih mengingatnya. Mengingat bahwa harapan itu tak akan menjadi kenyataan. Karena hari ini, ia akan mengakhiri semuanya.
"Aku mau kita putus, Lung." Diandra menjawab dengan suara bergetar. Ia bukan orang yang suka berbohong, tetapi apa yang akan ia katakan pada Galung adalah sebuah kebohongan besar.
Galung tak mengucapkan sepatah kata pun. Pernyataan Diandra seolah membekukan tubuhnya. Ia tidak percaya jika gadis yang ia cintai mendadak ingin berpisah.
Apakah ia melakukan kesalahan? Apakah Diandra tak bahagia bersamanya?
Belum habis kebingungan yang melanda hati Galung, Diandra tiba-tiba melepas kalung pemberiannya. Seolah memantapkan keinginannya untuk berpisah.
"Aku menemukan orang lain, Lung. Maaf."
Dingin. Angin yang berhembus di bukit belakang sekolah. Sedingin hati Galung yang menerima kalung pemberiannya dari Diandra.
"Aku tidak bisa bersama kamu lagi, Lung. Aku menemukan orang lain." Diandra mengatakannya sekali lagi dengan lancar, seolah itu adalah salam yang ia ucapkan setiap pagi.
"Laki-laki itukah? Laki-laki yang memelukmu saat seharusnya aku yang melakukannya?" tanya Galung akhirnya, dengan emosi yang tertahan.
Diandra terdiam. Ia tahu, Galung pasti melihatnya bersama Miko. Tadinya tidak terpikir hal itu, tetapi pernyataan Galung memberinya alasan yang lebih kuat untuk berpisah.
"Ya," jawab Diandra singkat.
Galung menatap tajam pada Diandra. Berharap menemukan sesuatu dalam pandangannya. Sesuatu yang dulu mempertemukan mereka. Cinta. Tapi tak ditemukannya.
"Aku pikir cinta kita adalah cinta sejati."
"Aku hanya telah menemukan orang lain. Maaf." Tak ingin memperpanjangnya, Diandra melangkah pergi, meninggalkan Galung sendirian. Namun, sebelumnya ia berbalik dan tersenyum pada Galung. Senyum palsu yang justru menyayat hati. "Tidak ada yang namanya cinta sejati, Lung. Yang ada hanyalah bertahan untuk tetap mencintai orang yang sama. Dan, sekali lagi maaf, aku tidak bisa."
Kisah cinta bertemankan bukit belakang sekolah itu pun berakhir, secara sepihak. Menyisakan Galung yang terpaku di tempatnya berdiri. Tak mampu mengejar gadisnya. Bahkan ia tak mampu untuk berpikir. Setelah berusaha berdamai dengan prasangka bahwa apa yang dilihatnya bukan sebuah kenyataan, pada akhirnya Galung tetap harus menerima realita itu. Bahwa memang ada orang lain di hati Diandra.
Sakit. Hati Galung terasa sangat sakit. Perasaannya seperti tercabik-cabik. Digenggamnya kalung berliontin permata hijau di tangannya kuat-kuat. Begitu kuat, hingga buku-buku jarinya memutih. Namun, gadis itu tetap berjalan pergi, tak menoleh ke belakang sekali pun.
Galung memaksakan diri untuk melihat Diandra menjauh, berharap langkah itu akan berhenti dan berbalik padanya. Namun, ia semakin jauh. Mendadak, tak ada lagi yang tersisa untuk Galung. Dadanya kosong, karena hatinya yang dulu berada di sana, ikut menghilang bersama gadis itu.
Rerumputan hijau di sekitar Galung menari lembut tertiup angin sore. Pohon Flamboyan yang menaunginya pun serentak menggoyangkan dahan-dahannya yang tak lagi berdaun. Mereka seolah berusaha menghibur Galung, berbisik padanya bahwa mereka akan tetap ada untuknya seperti sepanjang tahun ini.
Galung menyentuh dadanya. Rasa yang dirasakannya masih sama. Sakit.
***
Ruangan itu sudah tak keruan. Barang-barangnya berserakan. Berhamburan ke semua penjuru. Buku-buku dan benda lainnya saling tumpang tindih memenuhi ruangan. Hanya menyisakan sudut kecil tempat Galung terduduk diam.
Ruangan itu kamar Galung. Dan kemarahannya merubah ruangan tersebut menjadi seperti kapal pecah. Hancur seperti hatinya. Tapi pelampiasan itu sama sekali tak bisa merubah keadaan. Hatinya masih terasa sakit. Sangat sakit.
";Galung! Maukah kamu bicara pada ayah?" Pak Puguh mengetuk pintu kamar putranya berkali-kali. Namun, tak ada jawaban sama sekali. Beliau pun memutuskan untuk menunggu. Tak ingin meninggalkan Galung sendirian dalam kesedihan.
Pak Puguh tahu jika putranya merasakan patah hati yang teramat. Cinta pertama yang diharapkannya menjadi cinta sejati, tetapi justru melukai hatinya dengan dalam.
Beliau tidak ingin pergi di saat seperti itu. Beliau ingin selalu ada untuk putranya. Mengajarinya untuk tetap bertahan bahkan saat kaki tak mampu lagi berpijak tanpa bergoyah.
***
Di mulmed itu mv untuk lagu yang jadi inspirasi cerita ini. Liriknya kena banget. Bahkan, aku sering dengerin ini lagu tiap nulis cerita atau scene sedih. Intronya itu lho, bikin hati mewek 😭 Coba dengerin deh.
Always, semoga tetep suka sama cerita ini ya.
Salam Baca
SukiGaHana
07022018
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro