Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB X

Cinta harusnya laksana air yang mengalir melintasi sungai. Terkadang ia berjumpa bebatuan, tetapi tetap teguh menuju tujuan.

🍃🍃🍃

Lapangan basket sekolah begitu ramai. Tengah berlangsung pertandingan persahabatan antar kelas. Hampir seluruh siswa dan siswi memenuhi pinggir lapangan untuk melihat tim jagoan mereka beraksi.

Anjani tengah bersama beberapa teman perempuannya duduk di salah satu sudut lapangan. Mereka berteriak penuh semangat sembari menyerukan nama-nama pemain andalan mereka. Begitupun penonton yang lain.

Nama yang paling banyak terdengar adalah nama Galung dan Lando, dua pemain handal yang kebetulan berada pada kelas yang sama, tim yang sama.

Namun, tak semua berteriak penuh euforia. Seorang gadis tengah berdiri di deretan belakang penonton lain. Diandra, gadis itu, berusaha melihat jalannya pertandingan yang tengah berlangsung. Pertandingan antara kelas Galung dan kelas Anjani. Akan tetapi, tubuh mungilnya tak banyak membantu. Ia justru tenggelam di antara barisan sesak teman-temannya.

"Di, kita pindah ke sana saja, yuk! Di sini nggak kelihatan sama sekali," ajak Fifi. Ia dan Diandra sedari tadi sibuk mencari tempat yang tepat untuk melihat pertandingan, tetapi belum juga membuahkan hasil.

Diandra melihat Anjani dan beberapa temannya di deretan depan yang ditunjuk Fifi. Ia pun mengiyakan dan berjalan menuju tempat tersebut. Ia sengaja tak menegur Anjani yang tengah asyik dengan kelompoknya. Ia hanya diam di belakang mereka bersama Fifi.

"Nah, kalau di sini, kan, kelihatan. Lumayan, meski nggak dapat pemandangan VIP," ujar Fifi lega. Keduanya lalu larut dalam jalannya pertandingan.

Poin sementara diungguli oleh kelas Galung yang memang tersohor sebagai kelasnya para pemain basket handal. Poin-poin tersebut kebanyakan berasal dari tangan dingin Galung.

"Galung! Galung! Galung!"

Anjani dan teman-temannya berseru dengan penuh semangat. Terlebih saat Galung kembali mendulang poin.

Kalau boleh jujur, Diandra juga ingin melakukannya. Mengelu-elukan nama Galung dan menyemangatinya. Namun, ia selalu takut semua orang akan mengarahkan pandangan aneh jika ia nekad melakukan hal tersebut. Mereka tidak tahu tentang hubungan Diandra dan Galung. Ia juga tidak berniat untuk memberitahu. Baginya mengagumi sosok Galung seperti sekarang saja sudah cukup membahagiakan.

Tambahan poin kembali didapat dari aksi memukau Galung melempar bola ke ring. Suara gemuruh kegembiraan kembali terdengar dari deretan para gadis, termasuk Anjani dan teman-temannya.

Tepat pada saat itu Galung menoleh ke arah Diandra. Pemuda itu lalu tersenyum padanya. Bulir-bulir keringat yang membasahi tubuh Galung, terpapar sinar matahari. Ia berkilau, membuatnya terlihat semakin tampan.

Diandra sadar bahwa senyuman itu ditujukan untuknya. Hatinya merasa hangat. Lalu ia pun balas tersenyum.

"Dia tersenyum padaku," celetuk salah satu teman Anjani. Posisinya memang berada tepat di depan Diandra.

"Tidak. Dia tersenyum padaku,” timpal temannya yang lain.
Lalu dengan sekejap hampir setiap gadis yang berada di sekitar Diandra mengakui senyuman Galung ditujukan untuk mereka.

Keributan kecil yang tak penting itu membuat beberapa momen pertandingan terlewatkan. Tahu-tahu wasit meniup peluit sebagai tanda berakhirnya pertandingan. Sementara debat sia-sia para gadis tadi justru belum berakhir.

Pemenangnya adalah kelas tiga Sains satu. Wasit mengumumkan hasil pertandingan yang diikuti sorak sorai para pemain dari tim Galung.

Galung kembali menoleh ke arah Diandra yang masih belum beranjak. Lagi-lagi ia tersenyum padanya tanpa tahu insiden kecil yang ada di depan Diandra. Kali ini senyumannya itu merubah dengungan para gadis yang tengah berdebat tadi menjadi teriakan emosional. Mereka sontak berdiri dan berebut mendekati Galung yang kebingungan menghadapi gadis sebanyak itu.

“Cewek-cewek itu ganas sekali, ya, Di," celetuk Fifi yang heran melihat Galung dikerumuni gadis-gadis. Fifi memang bukan gadis yang ekspresif seperti mereka. Pemandangan seperti itu jelas tidak begitu sedap untuknya. Sebenarnya untuk Diandra juga. Karena tanpa berkata apa pun Diandra pergi begitu saja, meninggalkan Fifi yang semakin keheranan, sendirian.

***

Pohon Flamboyan itu hanya menyisakan daunnya sekarang. Bunga-bunga merah yang senantiasa memayungi Galung saat tidur telah pergi. Hanya jejaknya yang telah kering tertinggal di permukaan tanah, bergantian melapuk termakan cuaca.

Diandra memandangi pohon Flamboyan di hadapannya, tempat di mana ia bisa leluasa memandangi wajah Galung yang tengah tidur tanpa seorang pun tahu. Saat-saat itu menjadi saat yang indah untuknya, seperti mimpi yang membuatnya tak ingin terjaga. Namun, hari ini kenyataan memaksanya untuk bangun.

Digenggamnya liontin kalung yang ia pakai, kalung pemberian Galung. Pemuda itu belum melihat Diandra memakai kalung itu. Namun, bukan itu yang tengah ia pikirkan. Diandra mengingat saat Galung dikerumuni gadis-gadis tadi. Gambaran yang sangat jelas untuknya, bahwa pangerannya adalah pangeran yang juga didambakan banyak gadis lain.

Pikiran Diandra bisa menerima hal itu, tetapi tidak dengan hatinya.
Ada cinta di antara mereka berdua. Cinta yang tersembunyi di balik hijaunya rerumputan bukit. Tertutupi oleh tumpukan bunga-bunga kering yang berserakan di tanah. Namun, itu tetaplah sebuah cinta. Dan, perasaan itu mengenalkan rasa sakit di hati Diandra. Sakit karena kecemburuan.

"Kamu cemburu?" Sebuah suara mengejutkan Diandra dari lamunan. Ia buru-buru melepaskan genggaman pada liontinnya dan beralih memandangi rerumputan yang tengah menari dengan serempak. Berusaha menutupi emosinya.

"Bukankah kamu tadi di lapangan basket?" Diandra bertanya heran dengan kemunculan Galung. Ia berusaha terlihat baik-baik saja. Namun, bayangan para gadis yang tadi memperebutkan Galung masih bersarang di pikirannya.

"Aku mengikutimu. Kenapa kamu tiba-tiba pergi?" tanya Galung, lalu duduk di sebelah Diandra. Ia melirik ke arah gadis itu dan dengan jelas menangkap kejengkelan di wajahnya, sesuatu yang belum pernah Galung lihat sebelumnya.

"Karena memang di sinilah tempatku.” Diandra menjawab dengan nada bicara yang sedikit ketus. Galung justru tersenyum mendengarnya.

"Kamu benar-benar cemburu pada mereka rupanya."

"Cemburu? Tidak. Aku tidak cemburu," sangkal Diandra. "Bukankah kamu memang terkenal. Bagi banyak gadis kamu memang mempesona. Itu kenyataan. Bukan alasan untuk cemburu," lanjutnya sedikit berapi-api. Penjelasannya jadi terdengar seperti amarah yang tak terselesaikan.

"Dan apa bagimu aku mempesona?" tanya Galung lagi, sengaja menggoda Diandra dengan senyum menawannya.

"Biasa saja." Diandra menjawab dengan cepat tanpa melihat Galung. Sudah jelas ia akan terpesona jika mendapati wajah tampan itu tengah memandanginya. Dan, itu pasti akan sangat memalukan.

"Artinya kamu tidak sayang padaku?"

"Tidak."

"Aku tidak percaya."

"Terserah kamu." Diandra bergegas bangkit. Moodnya sedang tidak bagus, terlebih dengan celetukan-celetukan jahil Galung yang sengaja menggodanya. Biasanya Diandra tidak menolak, tapi wajah para gadis yang berebut Galung tadi membuyarkan semua kesenangannya.

"Dan tidak perlu khawatir, aku benar-benar tidak punya alasan untuk cemburu pada para gadis cantik tadi. Aku tahu seperti apa dan siapa diriku," lanjut Diandra seraya melangkah menjauhi Galung yang masih terduduk di bawah pohon.

Galung tak segera bertindak. Ia malah senang melihat kecemburuan itu di wajah Diandra. Setidaknya ia tahu jika gadis itu menyukainya juga.

Tiba-tiba tubuh mungil Diandra terangkat. Tidak, lebih tepatnya diangkat. Galung berlari menyusul langkah Diandra lalu tanpa isyarat apa pun menggendongnya.

Tindakan spontan tersebut membuat Diandra tak bisa menghindar dengan cepat.

"Apa yang sedang kamu lakukan? Turunkan aku," pinta Diandra.

"Coba lihat, wajahmu memerah. Itu artinya kamu sayang padaku." Galung semakin bersemangat menggoda Diandra.

"Teori darimana itu?"

"Teori yang muncul dari rasa cinta."

"Omong kosong. Turunkan aku." Diandra sedikit meronta. Akhirnya Galung menuruti keinginannya. Akan tetapi, ia menahan tangan gadis itu, tak membiarkannya pergi. Ia merasa cukup untuk bermain-main dan waktunya berbicara serius.

"Dengarkan aku Diandra,” pintanya kemudian. Diandra tak mengiyakan, tetapi sikap diamnya Galung artikan sebagai kata setuju. "Gadis-gadis itu memang cantik, jika itu yang kamu ingin aku akui."

Wajah Diandra sedikit sedih. Rasa percaya dirinya yang tak banyak semakin luntur mendengar kata-kata tersebut.

"Tapi…," Galung meletakkan telapak tangan Diandra di dada kirinya, tepat di jantungnya. "Bisakah kamu merasakannya? Jantungku berdetak lebih cepat. Selalu begitu setiap kali aku bersamamu."

Wajah Diandra merona. Kata-kata Galung begitu manis dan menyentuh perasaan. Namun, ia tetap tidak punya keberanian untuk menatap langsung lawan bicaranya.

"Mereka memang cantik, Diandra, tapi aku hanya bisa melihatmu. Jadi hanya kamu gadis tercantik di hidupku. Hanya kamu yang bisa membuat hatiku berdebar tak menentu, membuat jantungku berdetak dengan begitu cepat. Hanya kamu yang aku inginkan. Aku mengatakan mau menunggumu memikirkan jawaban itu, tapi sejujurnya aku tidak tahan. Rasanya gila menanti kalimat iya darimu. Jadi tolonglah aku, sampai kapan aku harus menunggu?"

Galung mengatakan kalimat terpanjang yang pernah Diandra dengar darinya. Pemuda itu bahkan seperti menahan napas saat mengucapkannya.

"Aku...,” Diandra masih kesulitan untuk merangkai kalimat. Tangannya yang bisa merasakan detak jantung Galung bergetar. Ia benar-benar tidak tahu apa yang tengah terjadi pada dirinya.

"Aku tahu kita masih sekolah, tapi aku serius. Aku akan belajar dan bekerja dengan keras untuk bisa menjadi pria yang layak untukmu."

Entah itu terdengar seperti drama atau rayuan gombal bagi orang lain. Akan tetapi, bagi Diandra itu terdengar sebagai janji yang benar-benar tulus.

Galung menjanjikan sesuatu yang bahkan tidak pernah ia bayangkan. Janji yang terlalu dalam untuk remaja seusia mereka. Dan, Diandra mempercayainya.

“Apa kalung yang kamu berikan padaku itu bisa menjadi sebuah jawaban?" Dengan terbata Diandra melontarkan sebuah pertanyaan, bukan jawaban seperti seharusnya.

Galung terdiam, ia ingat bahwa kalung itu memang sudah berada pada Diandra.

"Jika kamu mau memakainya, itu akan menjadi sebuah jawaban iya," jawab Galung kemudian. Bersamaan dengan itu, ia melihat sebuah liontin permata hijau tergantung cantik di leher Diandra. Wajah Galung berbinar seketika. Kamu memakainya. "Jadi, jawaban kamu adalah…" Ucapan kegembiraan Galung terhenti, dilanjutkan oleh anggukan pelan Diandra. Saat itu, seolah seisi dunia menjadi miliknya.

***

Jgn lupa. Jam 4 sore. u hrs dtg

Sebuah pesan masuk dari Galung. Diandra tersenyum membacanya, lalu mulai mengetik sebuah pesan jawaban.

Kpn? Di mn? Dan knp?

Tak perlu menunggu lama, Galung sudah membalasnya dengan cepat.

Hei, Sygq. Jgn pura2 lupa. Qt sdh lama tdk bertemu. u tahu betapa rindunya q padamu. Jd tlg jgn menggodaq

Diandra kembali tersenyum geli dengan pesan singkat Galung. Pacarnya itu benar-benar pintar berkata puitis, bahkan kadang agak berlebihan. Tidak mengejutkan. Mungkin Galung yang populer tapi tidak pandai bersosialisasi itu mendapatkannya dari film atau buku-buku roman. Akan tetapi, tidak pernah menjadi masalah untuk Diandra. Justru sikapnya yang terkesan innocent untuk urusan cinta itu semakin mempererat perasaan mereka.

Sudah hampir dua bulan Diandra dan Galung resmi pacaran. Ya, walaupun jelas pernyataan mereka adalah keinginan untuk bisa menikah. Namun, hal itu tentu membutuhkan waktu karena mereka baru saja menghadapi ujian akhir SMU. Hanya saja, sampai sekarang tidak ada yang tahu hubungan mereka kecuali Andro. Diandra memang tak berniat untuk memberitahu orang lain lagi tentang hubungan mereka, termasuk pada Anjani dan Miko. Galung bahkan belum mengetahui apa pun tentang keluarga Diandra.

Sudah hampir dua bulan juga mereka tidak lagi menghabiskan waktu bersama di bukit belakang sekolah. Karena disibukkan dengan ujian, jelas tidak mungkin bagi keduanya untuk bersantai-santai di bawah pohon Flamboyan yang sekarang tinggal batangnya saja itu. Daun-daunnya telah habis, menyisakan batang dengan dahan-dahan telanjang yang kokoh, gagah.

Jelas itu sebuah siksaan bagi Galung. Meski masih bisa memercikkan semangat dalam dirinya, melihat Diandra sesekali tidaklah cukup. Apalagi hanya melihatnya dari kejauhan, saat gadis itu tengah berjalan atau bercengkrama bersama teman-temannya. Maka begitu minggu penuh ujian telah berakhir, dengan cepat Galung menghubungi kekasihnya itu dan mengajak bertemu.

Q tdk menggodamu. Tentu sj q ingat.

Diandra mengirimkan pesan balasannya sembari memikirkan baju apa yang akan ia pakai besok. Bisa dibilang itu adalah first date mereka. Ia tidak ingin berharap muluk dan banyak. Diandra hanya ingin semuanya berjalan dengan baik.

Ya udah, see you tomorrow sygq

Harusnya pesan itu mengakhiri percakapan mereka berdua. Akan tetapi, beberapa saat kemudian ponsel Diandra justru berdering. Dari Galung, yang memutuskan untuk meneleponnya. Diandra segera menerimanya, berpikir ada hal penting yang tidak bisa dikatakan lewat pesan singkat.

"Ada yang terlupa dan tidak bisa aku sampaikan dengan SMS," ujar Galung begitu telepon tersambung.

"Oh, ya. Apa itu?"

"Aku sayang padamu." Suara Galung meluncur dengan lembut. Mengalun merdu di telinga Diandra. Gadis itu tersenyum malu meski Galung tidak bisa melihatnya.

"Aku juga."

***

Galung berjalan keluar menuju garasi rumahnya ketika ia berpapasan dengan sang ayah. Tak perlu menunggu lama untuk beliau menanyakan penampilan putranya yang berbeda.

"Kamu mau kencan?"

"Kelihatan, ya, Yah?" tanya Galung balik dengan sedikit malu.

Ayahnya tertawa, lalu menepuk bahunya. Merasa senang karena putra tunggalnya itu tak lagi menjaga jarak.

"Sangat. Bau parfummu bahkan tercium sampai seberang jalan," canda beliau.

Galung mencium tubuhnya sendiri, memastikan bahwa perkataan ayahnya hanya sebuah gurauan. Ia kemudian ikut tertawa setelah mengetahui jawabannya.

"Ayah benar. Sepertinya aku sudah menghabiskan sebotol penuh parfum. Tapi aku yakin itu tidak masalah baginya."

Ayah Galung tersenyum, dilihatnya wajah putranya itu dengan seksama. Membuat Galung merasa tidak nyaman. Ia merasa seperti anak kecil yang dicurigai mencuri mangga tetangga. Namun, ternyata pandangan sang ayah bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan.

"Kapan-kapan ajak dia kemari. Ayah harap kamu serius setiap kali menjalin hubungan dengan seorang perempuan. Jangan mempermainkannya," nasehat beliau.

Nasehat bijak dari seorang ayah yang bahkan sebelumnya selalu Galung tentang. Kali ini ia mengangguk setuju.

"Aku memang berniat serius dengannya, Yah."

"Baguslah. Nah, sekarang cepat berangkat. Jangan sampai terlambat di kencan pertama kamu."

Galung mengiakan perintah sang ayah. Namun, ia mengeluarkan motornya dari garasi dengan sebuah kesimpulan yang baru saja ia sadari. Ayahnya tahu kalau ini adalah kencan pertamanya. Padahal Galung jelas tidak mengatakan tentang itu. Mungkin selama ini beliau memperhatikan Galung, meski dengan caranya sendiri.

Motor Galung melaju dengan cepat di jalanan. Rasanya begitu tak sabar untuk melihat kembali wajah gadis paling cantik di hidupnya. Tumpukan rasa rindunya mungkin akan mengalahkan tumpukan sampah di Bantar Gebang. Dan, sudah jelas ia harus membuangnya sebelum menyebabkan banjir. Banjir kerinduan.

Tepat di depan toko buku yang dijanjikan, Galung menepikan motor. Ia mematung mendapati seorang bidadari tengah berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Diandra, bidadari itu. Tampak begitu cantik dengan dress simple berbahan chiffon berwarna lavender. Rambut sebahunya tergerai indah dengan sebuah jepit rambut berbentuk pita kecil menghiasi. Kacamata yang bertengger di hidungnya semakin menyempurnakan kecantikan gadis itu.

Itu pertama kalinya Galung melihat Diandra memakai selain baju seragam. Ia sampai tidak berkedip melihat kekasihnya itu tengah terlihat gelisah, menunggu kedatangannya. Tak peduli meski tak sedikit orang yang memberikan reaksi sama seperti Galung padanya. Takjub.

"Hari ini kamu benar-benar cantik. Sumpah," ujar Galung yang akhirnya mendekat dan mengejutkan Diandra.

"Galung?"

"Iya, ini aku. Apa aku begitu tampan hingga kamu tidak mengenaliku?" canda Galung.

"Benar sekali. Kemeja itu membuatmu semakin tampan."

"Dan membuat kita terlihat serasi."

Galung sengaja mendekatkan dirinya pada Diandra untuk mendukung pernyataannya mengenai warna baju mereka. Dan, Diandra hanya tersenyum menanggapi.

"Ya sudah. Ayo masuk!" Galung mengenggam tangan Diandra lalu menggandengnya menuju toko buku di belakang mereka.

***

"Pa, kita harus membeli bunga dan buah dulu. Tidak enak rasanya datang ke sana tanpa membawa apa pun." Mama Olla memberi tahu suaminya yang sedang konsentrasi mengemudi.

"Kita bisa beli buah di supermarket dekat rumah sakit, kan, Ma."

"Iya, tapi tidak ada yang menjual bunga di sana," jawab Mama Olla.

Beliau dan suaminya berencana menjenguk salah seorang teman lama yang dirawat di rumah sakit. Tetapi karena terburu-buru, mereka belum sempat membeli apa pun sebagai buah tangan.

"Pa, itu ada florist. Kita berhenti di depan sana, ya," tunjuk beliau ketika melihat papan nama sebuah florist tak jauh dari tempat mereka berada.

Papa Dimas ikut melihat tempat yang dimaksud dan mengangguk  mengerti. Beliau memelankan laju mobilnya dan akhirnya berhenti di depan sebuah bangunan kecil berdinding kaca yang penuh dengan bunga.

"Biar aku saja, Pa. Cuma sebentar, kok."

"Baiklah, Ma."

Mama Olla bergegas masuk ke dalam florist dan dengan cepat memilih beberapa bunga. Tak membutuhkan waktu lama, karena beliau sendiri harus bergegas. Sehingga hanya dalam hitungan menit beliau sudah keluar dari florist sembari membawa sebuket bunga mawar putih yang cantik.

"Ah, masih keburu, kan, Pa?" tanya Mama Olla sembari masuk ke dalam mobil. Dilihatnya arloji yang melingkar di pergelangan tangan dan sedikit bernapas lega.

"Masih, Ma. Tenang saja," ujar papa Dimas menenangkan.

Mereka berdua pun kembali melanjutkan perjalanan. Namun, pandangan mama Olla tiba-tiba menangkap sesuatu yang tidak asing ketika mobil yang ditumpanginya melewati sepasang remaja yang tengah berjalan bergandengan tangan. Berbicara dan tertawa bersama.

"Diandra?" gumam mama Olla. Beliau memperjelas penglihatannya dan memastikan bahwa gadis remaja yang baru saja ia lihat memang Diandra. Namun, putri bungsunya itu jelas tidak sendirian. Diandra bersama seorang pemuda yang tidak asing.

"Kenapa, Ma?"" tanya papa Dimas yang mendengar gumaman istrinya. Beliau tampaknya tak tahu jika baru saja melewati Diandra.

"Tidak apa-apa," jawab mama Olla datar. Berusaha mencari potongan ingatan tentang pemuda yang bersama Diandra.

Galung. Ya, nama pemuda itu Galung. Putra tunggal Pak Puguh.

Sontak ada yang memanas di dalam hati mama Olla. Sesuatu yang tidak pernah beliau inginkan untuk muncul. Kebencian sekaligus kekecewaan yang berubah menjadi pertanyaan tanpa jawaban.

Bagaimana mungkin Diandra berani melakukan hal itu?
Galung adalah pemuda yang diinginkan oleh Anjani, putri kandungnya. Kenyataannya, Diandra malah tertawa bahagia bersama pemuda yang harusnya bersanding dengan sepupunya.

Tanpa sadar, kedua tangan mama Olla meremas kuat buket bunga di pangkuannya. Sepertinya masa lalu akan terulang. Namun, kali ini beliau tidak akan membiarkan hal itu terjadi lagi.

***
Part ini panjang banget ternyata. Hehe, tapi semoga kalian suka.

O ya, adegan gendong menggendongnya hanya untuk keperluan cerita ya. Tidak dianjurkan untuk dipraktekkan, terutama bagi yang jomblo (Wkwkwkwk, ya iyalah)

Salam Baca 😉
27012018

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro