Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

BAB VII

Aku maupun kamu tak akan pernah tahu ke mana angin membawa pergi benih-benih rumput liar. Begitu pun rasa ingin memiliki ini tertuju.

🍃🍃🍃

Suasana lapangan basket sekolah hari Minggu pagi ini sedang ramai. Para peserta ekskul basket sedang berlatih, termasuk Galung dan Andro. Akan tetapi, Galung terlihat sama sekali tidak bersemangat menjalaninya. Ketika Lando dan anggota tim basket yang lain saling pamer kebolehan di hadapan para gadis dan juga junior-junior mereka, ia hanya duduk di tepi lapangan dengan tatapan kosong.
       
"Ada apa, Lung? Kayanya ada yang aneh sama kamu?" tanya Andro, yang memilih untuk menemani sahabatnya daripada ikut unjuk kebolehan bersama anggota tim basket yang lain.

"Nggak ada apa-apa, Ndro," jawab Galung berbohong. Masih ragu untuk bercerita.

"Memangnya kita baru kenal berapa hari, sih? Aku tahu ada yang lagi kamu pikirin, Lung. Apa kamu bertengkar lagi sama ayah kamu?"

"Nggak. Dia sudah beberapa minggu ke luar kota."

"Lalu apa?"

"Entahlah, aku nggak yakin untuk cerita."

“Emangnya kenapa?"

Galung tidak segera menjawab pertanyaan Andro, melainkan berpikir sejenak dan mempertimbangkan kembali keputusannya untuk bercerita pada Andro mengenai hubungannya dengan Diandra.

"Aku menyukai seseorang."

"Apa? Sejak kapan? Siapa namanya? Anak mana? Cewek, kan?" Pertanyaan Andro langsung meluncur dengan beruntun seperti senapan. Namun, pertanyaan terakhirnya cukup membuat Galung tersinggung.

"Kamu pikir aku menyukai sesama jenis? Gila!" ujar Galung marah.

Sorry, Lung. Maksudku nggak gitu. Selama ini, kan, kamu nggak pernah cerita kalau sedang menyukai seseorang. Kamu juga terlihat nggak  suka tiap kali dideketin cewek-cewek." Andro berusaha menjelaskan agar tidak terjadi salah paham.

"Aku memang nggak suka didekati cewek-cewek, tapi bukan berarti aku menyukai sesama jenis."

"OK, aku tahu. Tapi siapa gadis itu?"

“Nanti juga kamu pasti tahu."

"Tumben benar kamu pakai rahasia-rahasiaan gini sama sahabat sendiri, Lung?"

“Udah, bukan itu masalah utamanya."

“OK. Jadi apa yang bikin kamu suntuk?"

"Aku bingung gimana nyatain perasaanku sama dia."

"Tinggal bilang aja. Apa susahnya?”

"Andai saja segampang itu," gumam Galung.

Sorry, Lung. Tapi kamu, kan, tahu kalau aku sendiri belum punya pacar. Aku jelas bukan ahlinya untuk soal ini. Coba saja tanya Lando. Kita semua tahu dia lebih berpengalaman," usul Andro.

Andro benar. Lando sudah beberapa kali berganti pacar. Meski Galung tidak begitu suka dengan hal itu, ia harus mengakui pengalaman rekan tim basketnya itu sudah terbukti. Namun, ia merasa membutuhkan orang yang lebih baik untuk memberinya saran. Diandra adalah gadis yang berbeda. Dia istimewa. Dan, Galung butuh hal yang juga sama istimewanya.

"Aku rasa nggak perlu, Ndro. Aku udah tahu caranya," ujar Galung kembali bersemangat. Ia bangkit dari duduknya dan bersiap pergi untuk melakukan rencana yang sudah terlintas di pikirannya.

Namun, langkah Galung terhalang oleh seorang gadis yang tanpa ia tahu sudah mengamatinya sepanjang pagi ini.

Gadis itu Anjani, yang tersenyum malu-malu dan nampak bermaksud untuk menyapa Galung. Ia membawa sebuah bola basket kemudian memberikannya pada Galung.

"Apa kamu bisa mengajariku? Yang lain sedang sibuk," pinta Anjani. Suaranya terbata tetapi terdengar pula kegembiraan di sela-selanya.

Galung melihat Anjani sejenak, memastikan apakah dia mengenalnya atau tidak. Setelah itu tanpa memberikan jawaban apa pun ia memanggil Andro.

"Ndro, kamu sedang kosong, kan? Kamu ajari cewek ini," ujarnya kemudian.

Andro melihat Anjani dan tersenyum padanya, sebagai jawaban kalau dia akan dengan senang hati membantu gadis itu belajar bermain basket. Akan tetapi, raut wajah Anjani seketika berubah muram. Semakin muram saat Galung benar-benar pergi darinya.

"Kamu baru ikut ekskul ini, ya? Aku baru  melihatmu minggu kemarin. Tapi jangan khawatir, aku akan mengajarimu dengan baik, kok," ujar Andro.

"Maaf, aku harus pergi sekarang." Anjani memberikan bola basket yang ia bawa pada Andro dan berlari pergi untuk mengejar Galung. Sayangnya ia kehilangan jejak pemuda itu dan hanya bisa berhenti dengan rasa kecewa.
Sekarang ia yakin kalau apa yang dibicarakan orang-orang tentang Galung itu benar. Pemuda itu keras kepala, temperamen dan suka sekali mengacuhkan para gadis yang berusaha mendekatinya. Bahkan tak jarang ia bisa marah kepada mereka. Namun, Anjani tidak peduli dengan itu.

Anjani jatuh cinta pada Galung, sejak pertemuan mereka di jalan raya dulu, saat Galung hampir saja menabraknya. Sejak itu Anjani tidak bisa berhenti memikirkan Galung. Terlebih saat ia tahu kalau pangeran impiannya ternyata satu sekolah dan satu ekskul dengannya.

Andro ternyata ikut mengejar Anjani dan menghampirinya. Gadis itu sedang berdiam diri di lorong kelas yang tadi di lewati Galung, sendirian.

"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Andro, mengejutkan Anjani.

"Iya. Aku baik-baik saja. Maaf."

"Tidak perlu meminta maaf. Ya sudah, ayo kita kembali ke lapangan dan bergabung dengan yang lainnya," ajak Andro.

Anjani menuruti kata-kata Andro dan mengikutinya kembali ke lapangan. Hanya saja pikirannya tidak lagi berada di sana sekarang.
Tadinya ia pikir akan bisa menghabiskan waktu bersama Galung saja, karena itu ia sengaja meminta langsung pada Galung untuk mengajarinya bermain basket.

Sayang, rencananya gagal. Meski begitu Anjani tidak putus asa. Ia yakin akan ada kesempatan yang lain untuknya. Mungkin nanti, besok, besok lusa atau kapan pun itu, yang jelas Anjani akan menunggu saat yang tepat itu segera datang menghampirinya.

***
I Hate Monday, begitu ungkapan yang sering didengar bagi kalangan pekerja dan anak sekolahan yang selalu memulai kegiatan penuh kesibukan di hari Senin. Hal itu juga berlaku untuk Diandra, kecuali Senin pagi ini.

"Wah, yang punya pengagum rahasia baru datang, nih." Gilang, teman sekelas Diandra yang duduk di bangku paling depan menyambut kedatangannya pagi ini dengan senyuman penuh kegembiraan yang tak biasa.

"Senangnya jadi Diandra, ya," timpal Fika, teman Diandra yang lain.

Tak hanya Gilang dan Fika, tapi mendadak seisi kelas Diandra jadi menyambut kedatangannya dengan senyum kegembiraan yang aneh. Celotehan yang mereka lontarkan juga membuat Diandra makin tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi dan apa hubungannya dengan dirinya.

"Fi, ada apa, sih? Kenapa teman-teman jadi aneh begini, sih?" tanya Diandra pada Fifi yang juga baru datang bersamanya.

"Aku juga nggak tahu. Di. Kan, kita sama-sama baru datang," jawab Fifi. Tapi sesaat kemudian pandangan Fifi terarah pada papan tulis kelasnya. Ia jadi tahu alasan dari keanehan sikap teman-teman sekelasnya pagi ini. "Lihat, tuh, di papan, Di. Pasti itu penyebabnya," tunjuk Fifi.

Diandra pun melihat ke arah papan tulis dan terheran-heran pula mendapati tulisan yang tertera di sana.

DIANDRA,
AKU MENUNGGUMU
DI BAWAH NAUNGAN PAYUNG MERAH
DI ANTARA TARIAN RERUMPUTAN
MAUKAH KAMU DATANG?

Wajah Diandra memerah. Ia seperti kepiting rebus yang kelamaan diangkat dari panci. Entah karena rasa malu dengan ledekan teman-temannya, atau malu karena kalimat-kalimat yang baru saja ia baca.

"Aah, so sweet banget. Cara dia memintamu bertemu romantis sekali." Fifi, Fika dan para gadis lain yang ikut membaca pesan tersebut seperti meleleh dengan kata-kata yang tertulis di sana. Memang begitu manis kalimat-kalimat tersebut. Namun, rasa penasaran mereka tidak terobati sama sekali sebab tak ada nama pengirim yang tertinggal sebagai petunjuk.

"Dia itu siapa, Di?" tanya Fifi yang juga teman sebangku Diandra.

Diandra menggeleng. Ia juga tidak tahu siapa yang menulis pesan itu. Apakah orang iseng? Yang terpikir olehnya hanyalah segera menghapus tulisan itu sebelum gurunya datang dan ikut membacanya. Namun, ada satu hal yang mengganjal di hatinya.

Diandra juga ingin tahu siapa yang menulisnya. Ia penasaran.

***

"Akhirnya kamu datang juga," ujar Galung yang sedang merebahkan diri di bawah pohon Flamboyan favoritnya. Ia sengaja berdiam di sana lebih awal agar saat Diandra datang ia bisa segera menyambut gadis itu. Tak lupa sebuah senyuman menghiasi bibir.

"Bukannya aku memang selalu ke sini," ujar Diandra sedikit heran. Kata-kata Galung seolah bermakna ada yang penting dari kedatangannya kali ini.

"Apa kamu sudah membaca pesanku tadi?" tanya Galung.

Diandra tidak segera menjawab, melainkan duduk di pohon di sebelah Galung berada. Ia melihat Galung dengan ragu dan memberanikan diri untuk menebak.

"Jadi kamu yang menulis pesan di papan tulis kelasku tadi?"

"Tepat sekali."

Diandra tidak bisa menyembunyikan senyumannya. Ia tidak tahu pasti kenapa Galung sampai perlu menulis pesan semacam itu padanya. Diandra memikirkan sebuah alasan. Hanya saja, ia tak ingin berharap terlalu banyak.

"Kamu menyukainya?" tanya Galung.

“Semua teman-temanku menyukainya," jawab Diandra, yang sedetik kemudian sadar jika jawabannya tidak tepat.

"Mereka semua tahu?" tanya Galung kaget.

"Tentu saja. Kamu menulisnya di papan tulis kelasku, semua orang bisa membacanya."

Galung bernapas lega. Ternyata tidak seperti yang ia khawatirkan.

"Maksudku, mereka tahu kalau aku menunggumu di sini?"

"Oh, tentu saja tidak. Aku tidak pernah bercerita tentang tempat ini pada siapa pun."

"Tapi, kamu benar-benar suka dengan pesanku tadi, kan?"

Diandra lalu tersenyum pada Galung, senyuman terindah yang belakangan selalu Galung rindukan.

"Suka sekali."

"Kamu tidak ingin tahu kenapa aku melakukannya?"

Ah, Diandra sudah menghindari pembahasan itu. Akan tetapi, tampaknya ia memang harus menghadapinya. Membiarkan jantungnya berontak untuk bisa melompat keluar dan menghampiri Galung. Karena hati kecil Diandra menumbuhkan sebuah harapan yang ia rasa mustahil. Bahwa mungkin Galung menyukainya, sama seperti ia menyukai pemuda itu.

"Kenapa?"

"Aku ingin membuat kamu senang." Jawaban yang sederhana, tapi tak sesederhana itu untuk hati Diandra. Ia justru tak mampu menguraikannya dengan baik. Dan, perasaan di hatinya masih bergelut tanpa henti.

"Terima kasih. Kamu memang baik. Aku rasa orang-orang belum mengenalmu dengan baik sehingga menganggap kamu sebaliknya."

Galung tertawa kecil. Ia tahu apa yang dimaksud Diandra, tentang namanya yang tersohor sebagai pemuda temperamen dan kasar kepada para gadis di sekolah.

"Aku rasa mereka memang benar. Tidakkah kamu ingat saat kita pertama kali bertemu? Saat kamu tanpa sengaja melempari wajahku dengan kue? Aku sama sekali tidak bersikap baik padamu."

Diandra mengingat kejadian yang Galung katakan dan tertawa.

"Itu benar. Tapi bukankah itu hal yang wajar? Aku mungkin juga akan marah jika mengalaminya."

Diandra tidak mengeluhkan sikap Galung. Ia bisa mengerti dan memahaminya. Gadis itu juga tidak keberatan meski Galung ikut menempati bukit belakang sekolah yang sejatinya adalah tempat rahasianya. Diandra juga tak pernah mengganggu Galung saat ia menikmati waktu tidurnya di sana. Bahkan, Diandra berinisiatif bertukar tempat saat Galung mengeluhkan tempatnya agar pemuda itu merasa lebih nyaman.

Galung menyukai semua hal itu.
Percakapan itu lalu terhenti karena Diandra beralih pada buku sketsanya. Ia melanjutkan gambar yang ia buat beberapa hari lalu. Sementara Galung memandangnya dengan perasaan ragu yang tarik ulur. Ia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak yakin apakah saat ini waktu yang tepat.

Beberapa menit berlalu dalam diam, sampai akhirnya Galung memutuskan untuk membuka suaranya lagi. Hatinya berdebar dengan cepat. Kegugupan yang langka untuk hatinya sekarang tiba-tiba menyergap. Namun, ia memaksakan diri untuk melanjutkan niatnya.

"Diandra, apa ada orang yang kamu suka?" tanya Galung akhirnya, membuat Diandra sontak menoleh, memberikan pandangan yang tidak biasa. Terkejut, bingung dan ... bahagia. Namun, rasa gugup menjadikan Galung tak bisa melihat hal yang terakhir.

"Ada," jawab Diandra singkat. Ia tak ingin bertanya alasan Galung mengajukan pertanyaan itu. Hanya saja, harapan itu muncul lagi di benaknya. Harapan bahwa Galung merasakan hal yang sama dengannya.

"Siapa?" Wajah Galung berubah mendung, merasa harapannya memudar dengan begitu cepat. Ada orang lain yang sudah menawan hati gadis yang ia suka. Dan, itu sangat mengecewakan. Ia bahkan tak berpikir kemungkinan lain mengenai dirinya.

"Kenapa tiba-tiba kamu...,” pertanyaan Diandra terputus karena tindakan Galung mengejutkannya. Pemuda itu bangkit dan mendatanginya, memaksa Diandra ikut bangkit bersama rasa gugup yang menyelimutinya sedemikian rapat. "menanyakannya?"

Diandra dan Galung kini berhadapan. Namun, keduanya terdiam.

"Karena aku.... ” Galung mengepalkan tangannya dengan sebal. Untuk pertama kalinya, ia merasa berbicara dengan seorang gadis membutuhkan sesuatu yang sangat besar. Sesuatu yang selama ini selalu ia miliki tetapi sekarang justru menghilang entah ke mana. Sesuatu yang ia sebut keberanian.

Butuh beberapa detik untuk mendapatkannya kembali, saat akhirnya Galung bisa menarik napas dalam dan kembali bertanya.

"Diandra, bolehkah aku menyukaimu?"

***

Ditunggu kritik dan sarannya.
Terima kasih.

Salam Baca 😉
SukiGaHana
27122017

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro