Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

1. Percakapan Tentang Malaikat Kematian

Malam sudah bertandang nyaris setengah putaran jam, tetapi belum terlalu larut untuk Nikala terlelap dalam tidurnya. Gadis kecil bergaun tidur merah muda itu malah berjalan mengendap-endap di sepanjang lorong tanpa penerangan. Ia bahkan berjinjit ketika melewati kamar ibunya, satu tangannya mengangkat gaun sementara yang lain memeluk erat stoples berisi kunang-kunang. Ukuran stoples itu cukup besar untuk dipeluk tangannya yang mungil.

Dari kejauhan, ia melihat cahaya terang berasal dari pintu kamar Kakaknya yang terbuka, satu-satunya cahaya yang membuat lorong itu terasa hidup. Tanpa berpikir panjang Nikala segera berlari memasuki kamar Kakaknya, karena memang itu tujuannya mengendap-endap malam-malam begini. Setelah sampai di dalam, ia menutup pintunya pelan-pelan sekali, membuat seisi lorong benar-benar diselimuti kegelapan.

Setelah pintu tertutup rapat, kaki telanjangnya kembali berlari kecil ke arah sang Kakak yang belum menyadari kehadirannya. Perempuan berambut merah kecokelatan---warna yang langka di Saevill Town----itu tengah membaca sebuah buku tebal di meja kayu kesayangannya.

"Ori, lihat! Aku menangkap kunang-kunang!" seru Nikala dengan antusias yang berlebihan, sukses membuat Oriname---Kakaknya---tersentak dan buru-buru menutup buku yang tengah dibacanya.

"Apa-apaan kau ini?! Ketuk pintu dulu kalau mau masuk, Ibu mengajarimu sopan santun dengan baik, bukan?"

Nikala meringis dengan wajah tak merasa bersalahnya. "Maaf, aku terlalu bersemangat dan sebenarnya kau tidak menutup pintu. Dan oh, lihatlah! Mereka cantik sekali. Ayo kita ke hutan, kita tangkap lebih banyak kunang-kunang!"

Nikala mengangkat stoples berisi hewan tangkapannya tinggi-tinggi. Memamerkan hewan bercahaya kuning itu dengan senyum bangga yang amat kentara. Sementara Oriname hanya memutar bola mata malas.

"Untuk apa?" tanya Oriname dengan nada tak tertarik sembari menyimpan buku yang tadi dibacanya ke dalam laci. Jelas sekali ia tidak ingin Nikala mengetahui isinya. Meskipun Oriname memang seperti itu---tidak suka berbagi---tetap saja Nikala penasaran dengan buku bersampul hitam emas itu. Ia pasti akan mengambilnya diam-diam ketika Oriname pergi sekolah nanti.

"Untuk memenuhi kamar kita. Pasti cantik sekali!"

Oriname mendengus. "Tidak mau. Mereka bahkan hidup lebih singkat daripada sisa waktu yang tersisa untukmu."

Nikala mengernyit. "Oh, ya? Kupikir tiga bulan itu sudah sangat singkat."

Seketika, Oriname menyesali perkataannya, tidak seharusnya ia membahas kematian bersama Nikala. Kendati demikian, ia berusaha bersikap biasa saja dan membalas, "Yah, jangan terlalu percaya pada tabib, mereka pembohong yang ulung."

Oriname mematikan lentera belajarnya dan bergegas ke atas tempat tidur. Duduk di tepi ranjang sambil mengayun-ayunkan kedua kakinya, sementara Nikala berjalan mendekati jendela. Dibukanya stoples berisi kunang-kunang dengan susah payah, lantas dibiarkannya kunang-kunang itu terbang ke sembarang arah. Beberapa terbang ke luar jendela, ke langit malam musim panas, sedang beberapa yang lainnya menetap di sudut-sudut kamar Oriname.

Sambil memperhatikan kunang-kunang itu mencari jalannya, Nikala membeo, "Ori."

Oriname tetap diam sembari memusatkan perhatiannya pada sang Adik. Memperhatikan bagaimana rambut cokelat keemasan Nikala berkibar ditiup angin. Warna rambut favorit di Saevill Town. Ia sama sekali tidak menyahut, tidak berniat untuk menyahut, toh, Nikala akan terus membeo biarpun tanpa balasan.

"Katanya, sebelum mati, kamu bisa melihat dan bertemu malaikat. Bahkan beberapa di antaranya mengajakmu berpetualang. Menurutmu, kapan aku bisa melihat malaikat?"

Kebisuan seolah-olah menyerang Oriname. Meskipun tidak mengatakannya, ia tahu Nikala takut dengan kematian. Hal itu juga menakutinya, ia takut kalau Nikala akan benar-benar pergi. Bagaimana kalau tabib itu benar? Kalau jantung Nikala akan kehilangan fungsinya dalam tiga bulan mendatang? Bagaimana dengan si peramal....

Oriname menggeleng-gelengkan kepalanya. Untuk sesaat, ia tidak ingin mengetahui apa pun. Sepertinya akan jauh lebih baik kalau ia menjadi bodoh sekalian.

"Omong kosong dari mana itu? Asal kau tahu saja, malaikat tidak menemui anak sembrono sepertimu. Jadi jangan terlalu berharap," jawab Oriname pada akhirnya. Berharap nada ketusnya dapat menyembunyikan segala yang ia rasa.

"Sungguh? Padahal aku ingin sekali bertemu dengannya," lirih Nikala seolah tidak sadar kata sembrono baru saja keluar dari mulut sang Kakak.

"Kenapa?"

"Ia pasti tampan bukan? Apakah akan setampan Raja August?"

Oriname berdecih, lengkap dengan wajah muaknya. Mendadak ia berharap Nikala pernah bertemu Raja August dan melihat betapa piciknya orang itu.

Ck, kuharap malaikat tidak seperti Raja Sialan itu.

Alih-alih mengatakan apa yang diucapkan kepalanya, Oriname malah berujar, "Memangnya malaikat itu laki-laki?! Lagi pula, malaikat kematian itu menyeramkan, apa pun jenis kelaminnya. Kenapa juga kau ingin bertemu dengannya? Kau memang egois."

"Egois?" tanya Nikala sembari mengerjapkan matanya kebingungan.

Oriname mengangguk meski Nikala masih berfokus pada langit malam, lengkap dengan kepala yang ia senderken di kosen. "Bunda mati-matian mencari penawar untuk penyakitmu, sementara lihatlah dirimu, kau malah menantikan kematian. Tidak bisakah kau jalani hidupmu dengan benar selama waktu yang telah ditentukan Tuhan? Jangan ingin buru-buru pergi meninggalkan Bunda."

Senyum Nikala melebur dengan selesainya kalimat Oriname. Tiba-tiba ia merasa sedih yang benar-benar sedih ketika mengingat Bunda selalu mengkhawatirkannya, ketika Bunda selalu berusaha membuatnya hidup normal. Seperti Oriname, yang bebas melakukan segalanya karena ia sehat. Jantungnya tidak bermasalah seperti milik Nikala.

Nikala memandang Oriname dengan sorot tak mengerti. "Jadi, egois itu apa, Ori?"

Oriname berdecak, ia pikir Nikala mengetahui apa itu egois. "Ck, itu artinya kau mementingkan dirimu sendiri."

Kali ini, mimik tidak terima menguasai wajah Nikala. "Tidak, tuh! Aku sayang Bunda. Aku juga sayang padamu walaupun kau kasar padaku."

"Itu karena aku tidak menyayangimu."

Nikala membisu dengan wajah cemberutnya.

"Apa? Apa kau juga tidak tahu artinya tidak?"

-ᄒᴥᄒ-

Hiduplah dengan benar selama yang kau bisa. Malaikat Kematian akan menjemputmu, kau tidak usah repot-repot menemuinya lebih dulu.

-ᄒᴥᄒ-

"Ori, apa itu kau?"

Nikala sedang menghitung domba di kepalanya tatkala terdengar bunyi berdemum dari luar kamar. Ia sedang kesulitan untuk tidur dan suara itu berhasil membuatnya benar-benar terjaga.

"Ori?"

Tak ada sahutan dari luar, tetapi Nikala masih bisa mendengar bunyi kasak-kusuk yang tidak jelas. Hal itu menarik atensinya dan membawa kakinya kembali menyentuh lantai, meninggalkan tempat tidur yang sudah seharusnya ia tempati jauh sebelum ia mengendap-endap ke kamar Oriname.

Nikala membuka pintu kamarnya perlahan, menyembulkan kepalanya keluar dan segera saja ia mendapati siluet seseorang yang berlari ke ujung lorong. Ke arah pintu keluar di dekat dapur. Perawakannya seperti anak laki-laki. Oriname memang berambut pendek dan agak tomboy, tetapi orang itu tidak terlihat seperti Oriname, tetapi lagi Nikala bukan penakut, jadi ia ikuti saja ke mana pun siluet itu pergi.

"Hei, kau mau ke mana?" teriak Nikala ketika sampai di pintu keluar.

Anak laki-laki itu pergi ke dalam hutan, ke tempat Nikala menangkap kunang-kunang. Tanpa pikir panjang, Nikala ikut berlari ke arahnya, tak memedulikan kakinya yang tak beralaskan apa pun.

"Ori, apa itu kau?"

Nikala tidak selincah Oriname saat berlari di hutan, tetapi ia cukup pandai untuk menghindari ranting yang berserakan. Setidaknya ia tidak melukai kakinya begitu parah.

Soal mengatur napas pun sama, ia tak sepandai Oriname, dan mungkin dinginnya malam akan segera membunuhnya. Akan tetapi, ia tidak peduli, ia terus berlari sampai tiba di tepi danau tempat kunang-kunang berkumpul.

"Ori, kau mau menangkap kunang-kunang juga? Kau bilang tidak mau, kunang-kunang kan hidupnya hanya sebentar."

Sorot matanya mengedar ke sembarang arah, mencari sosok yang sedari tadi ia panggil Ori walaupun ia tak yakin bahwa itu adalah Kakaknya.

"Ori...."

Tak ada yang menyahut selain suara hewan dan embusan angin malam.

"Ori, itu kau?" tanyanya saat pandangannya menangkap siluet seseorang yang sedang berusaha menangkap kunang-kunang di tengah tingginya ilalang.

"Hyaaa! Aku menangkapnya!"

Bersamaan dengan seruan itu, seorang anak laki-laki jatuh tersungkur tepat di hadapannya.

"Eh, hai," sapa anak laki-laki itu sambil tersenyum kikuk.

"Kau siapa?" tanya Nikala.

Anak laki-laki itu bangun dari tempatnya terjatuh, lalu menatap Nikala yang masih terlihat syok. "Aku? Namaku Nakula."

"Nakula, ya? Nama yang bagus."

Cepat sekali Nikala menghilangkan rasa takut sekaligus terkejutnya. Lagi pula, sebenarnya, Nakula tidak terlihat seperti sosok yang harus ia takuti. Anak laki-laki itu terlihat normal dengan pakaian sederhananya, rambut hitamnya juga tidak menyeramkan sama sekali. Malah, dia terlihat tampan bagi Nikala.

"Namanya cocok dengan wajah tampanku, kan?"

Tanpa malu-malu, Nikala mengangguk mengiyakan. "Kenapa kau ke rumahku tadi?"

Nakula menampilkan tampang berpikir untuk sejenak. "Ah, itu rumahmu, ya? Maaf, aku tidak tahu."

"Bagaimana kau bisa masuk?"

Selama Nikala terus mengajukan pertanyaan, Nakula kembali sibuk dengan kunang-kunang yang terbang di dekatnya.

"Menembus," jawabnya tak acuh.

"Menembus?"

"Ya, aku bisa menembus. Hebat, kan?"

Nikala mengerjapkan matanya beberapa kali. "Kau hantu, ya? Atau malaikat yang dikirim Tuhan untukku?"

"Kau pikir begitu?"

Nikala mengangguk antusias. "Ya! Kau malaikatku, kan?"

Kernyit kebingungan tampak dengan sangat jelas di wajah Nakula, ia bahkan mengalihkan atensinya dari sekumpulan kunang-kunang. "Aku bukan malaikat. Aku hanya ... yah, bisa menembus saja. Lagi pula, untuk apa Tuhan mengirimkanmu malaikat?"

"Katanya aku akan mati."

"Mati itu untuk hewan tau."

"Oh, ya? Aku tidak tau."

"Yah, sama saja, sih. Kalau kamu mati nanti, kamu bisa menembus, loh."

"Jadi, Nakula sudah mati, ya?"

"Belum, aku belum mati. Aku bisa menembus karena aku tidak di dalam tubuhku."

Nikala menelengkan kepalanya, benar-benar tak memahami maksud dari perkataan Nakula. "Maksudnya?"

"Coba pegang tanganku."

Nikala berjalan mendekat ke arah anak laki-laki itu, lantas mencoba meraih tangannya yang terulur ke arah Nikala. Namun, yang berhasil Nikala sentuh hanyalah ruang hampa yang sontak saja membuatnya terhunyung ke depan. Nyaris saja terjatuh bila ia tak dapat menyeimbangkan tubuhnya.

"Menembus!" pekik Nikala membuat Nakula meringis dan menggaruk tengkuknya dengan kikuk.

"Itu karena aku tidak bersama tubuhku."

"Di mana tubuhmu?"

"Entah, besok aku akan mencarinya."

"Ke mana?"

"Kedai-kedai Nebula."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro