20 : Dua Kekuatan
Axel menatap dirinya yang kacau di cermin. Ia menatap geli dirinya sendiri yang sangat penakut. Tapi, siapa sih yang tidak takut?
Setelah usai membersihkan diri. Ia melangkah ke dapur dan membuat secangkir kopi untuk menyegarkan tubuhnya. Seraya menunggu air mendidih, Axel merasa aneh. Ada yang hilang.
Kedua matanya melotot saat menyadarinya. "Aan?! Ann kau di mana?" Axel segera keluar dari dapur dan menoleh ke segala arah.
"Aan!" Panggil Axel lagi. Ia berjalan, mengelilingi rumah. Langkah kaki yang besar-besar bergema ke seluruh penjuru ruangan. Pertanda bahwa seluruh sudut rumah sunyi, tanpa ada suara lain.
"Tuan." Suara lirih itu membuat Axel tersenyum. Ia ingin membalikan wajahnya, tapi tak bisa. "Jangan berbalik."
Kedua tangan Ann memeluk Axel erat dari belakang. "Udah gapapa?"
Axel mengangguk kecil, "Iya."
Ann tersenyum lebar. "Syukurlah, Tuan."
"Kau kenapa?" tanya Axel saat menyadari lengan Ann gemetaran.
Ann menggeleng. Penampilan Ann kacau, ia baru saja kembali dari ruang putih yang sebenarnya khusus untuk ia dan tuannya--ayah Axel--berlatih. Mulutnya terbuka mengucap serangkaian mantra, dan kembali ke wujudnya yang kecil.
Ia terbang ke hadapan Axel. "Aku senang, Tuan sudah sadar."
Ann menggerakan tangannya, membuka tudung meja makan tanpa menyentuhnya.
"Ayo makan!" seru Ann.
Axel memandangi Ann bingung, tapi akhirnya ia duduk dan makan.
"Ah, Iya." Ann memutar jemari tangannya. Sesaat secangkir kopi yang dibuat Axel mendarat di hadapannya.
Ann meletakan sendoknya, ia memperhatikan dengan saksama tuan kecilnya. Anak dari tuannya yang telah ... meninggal, lenyap demi kebaikan tiga dunia. Axel, kamu muda sekali untuk tugas ini, Nak.
Axel yang menyadari itu mengeryitkan dahi. "Kenapa, Ann?"
Aan tersenyum. "Abis makan, kita latihan, ya! Ini hari minggu 'kan?"
-00-
Dar!
Sebuah bongkahan batu besar diantara pepohonan hancur menjadi kepingan kecil-kecil yang menyala-nyala seolah terbakar dengan api.
Kedua sudut bibirnya tertarik ke atas lebar sekali. Ia senang menyaksikan kehebatannya sendiri. Sayap hitamnya bergerak-gerak kasar. Ia menarik napas panjang sebelum melesat bagai peluru diantara pepohonan.
"Aku lelah menunggu gerhana," ujarnya pada matahari yang bersinar terik.
Tangannya terangkat, bibirnya bergetar mengucapkan serangkaian mantra yang membuat satu titik kegelapan muncul dan menyebar di depan matahari.
Tawanya menggelengar, namun tak bertahan lama. Kegelapan yang ia ciptakan hancur sebelum benar-benar menguasai matahari. Gerhana ciptaannya gagal.
"Argh." Orias mengacak rambutnya frustasi.
Kau tidak bisa mengubah hukum alam. Baik iblis, malaikat apalagi manusia.
"Keparat, sialan," runtuk Orias saat mendengar suara yang entah dari mana.
Orias menjatuhkan dirinya kebawah dengan gusar. Membiarkan sayap menopang tubuhnya secara spontan saat hampir menyentuh tanah.
"Ah, terlalu lama bersantainya." Ia membaringkan dirinya menatap mentari sialan yang tidak bisa ia kuasai.
"Mungkin, kalau kekuatan itu jadi miliku, aku bisa menguasai alam," gumamnya. Lagi-lagi senyumanya mengembang.
"Ah, nggak ada aturan juga kan mau nyerang kapan?" Orias bangkit, merenggangkan sendi-sendi tubuhnya.
"Daripada bosan kayak manusia pemalas, gimana kalo kubunuh duluan saja si malaikat sombong itu?" Orias tertawa, kemudian kembali terbang secepat peluru menuju kota.
Matanya tajam menyisir keadaan sekeliling langsung mendapat Alsera yang tengah bersama seorang manusia di balkon apartementnya.
Cih, malaikat sok suci, gumamnya. Orias segera menghilang, berpindah cepat ke hadapan Alsera seraya mengikat leher Vania dengan sebuah tali hitam seperti kalung anjing.
"Van!" Alsera menjerit, ia segera melemparkan bola cahaya ke wajah Orias yang langsung ditangkisnya.
"Lepasin dia, setan!" jerit Alsera seraya terus melemparkan serangan. Sayapnya terangkat naik, pertanda ia ikut marah karena tuannya marah. Alsera merutuki dirinya yang tidak berjaga-jaga karena tengah menjadi manusia.
"Wow, Wow. Jangan pemarah begitu, Sayang. Aku belum melukainya tahu." Orias terkekeh.
"Lepasin dia." Alsera berdiri, menatap lurus mata merah itu dengan tegas.
Vania yang tidak dapat melihat Orias dalam wujud iblisnya tertegun. "Ra, ada apa?" Vania menatap was-was sekeliling. Bulu kuduknya meremang, ia merasa takut.
Alsera menoleh pada Vania sesaat, ia menggumamkan sesuatu yang bahkan tidak dapat ditangkap oleh telinga Vania untuk menghancurkan jeratan tali ciptaan iblis.
Vania meringis. Lehernya terasa panas sesaat.
"Wah. Ternyata Tuan Putri memang kuat seperti kabar yang beredar." Orias tersenyum. Ia menjentikan jarinya, berusaha menghipnotis Vania.
Dar!
Serangannya patah. Diam-diam Alsera sudah memasangkan pelindung pada Vania agar kebal dari serangan.
"Keparat!" Orias memutar tangannya, membentuk bola api yang cukup besar. Jeda satu detik sebelum ia melemparnya ke arah Alsera.
Alsera mengembangkan sayap, membiarkan sepasang sayapnya menangkis serangan Orias. Tangannya terjulur, mulutnya bergetar mengucapkan serangkaian mantra. Orias membatu. Ia terjerat serangan Alsera.
"Ra! Lo kemana?!" Tubuh vania bergetar. Ia takut. Sahabat baiknya tiba-tiba lenyap tanpa jejak baginya.
Alsera mendekati vania, membisikannya mantra. Vania segera mengangguk, memandang kosong kedepan dan menghilang.
Sepuluh detik, serangan Alsera dilumpuhkan. Orias kembali bergerak dan langsung meranggsek maju ke arah Alsera. Alsera menghindar dengan cepat. Ia membentangkan sayapnya dan terbang bebas menembus awan tanpa kehidupan.
Orias dengan cepat menyusulnya, bahkan seraya melemparkan bola-bola api pada Alsera yang tidak satupun mengenai Alsera.
"Kubaru tahu, betapa bodohnya pangeran hell." Alsera tertawa. "Disaat seharusnya ia menyimpan baik-baik tenaga. Ia malah sebodoh ini menyerang musuhnya. Dasar mahluk kotor."
Orias menjulurkan tangannya, menciptakan sulur-sulur berduri merah yang akan menjerat Alsera. Alsera melompat dan muncul dibelakang Orias seraya meletakan pedang putih di leher lawannya.
"Jangan membuatku marah, Iblis." Alsera menggoreskan pedang putih ke leher Orias yang membuat darah hitam mengucur.
Orias menggeram. Ia membentangkan sayapnya. Alsera terpental kebelakang dan dengan sigap sayapnya menopang.
"Oh, Tuan Putri, bisakah kau sopan sedikit di depan pangeran?" Orias mengayunkan tangannya. Menghasilkan pukulan berdentum.
Alsera terpental, tubuh mungilnya menghantam bangunan dengan kasar. Ia meringis beberapa detik, sebelum kembali melesat ke udara.
Ia merentangkan tangannya. Membentuk bola cahaya besar dan menembaknya tepat sasaran. Kali ini, Orias terpental. Menghantam dinding dengan sama kasarnya.
-00-
Keduanya memiliki kekuatan yang sama besar, tanpa rasa takut, dan tanpa ragu mengerahkan semua tenaga yang mereka punya.
-00-
To be Continue
Kamis, 8 Juni 2017
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro