Chào các bạn! Vì nhiều lý do từ nay Truyen2U chính thức đổi tên là Truyen247.Pro. Mong các bạn tiếp tục ủng hộ truy cập tên miền mới này nhé! Mãi yêu... ♥

19. ☕ Cangkir Kopi yang Retak ☕

Nana belum juga mau mengangkat telepon dariku. Apa sulitnya dia untuk sekadar menyentuh ikon hijau di layar ponselnya itu? Apa sulitnya dia mendengarkan suaraku, walau hanya sebentar saja? Apa sulit semua itu baginya?

Di Rain Coffee pun, sebelum aku menurunkan kedua kaki dari motor, Nana sudah buru-buru pulang dan berlalu tanpa melirikku sedikit pun. Kutahan semampuku agar tak menangis. Kutatap punggungnya hingga menghilang di ujung jalan. Apakah kesalahanku sefatal itu?

Bukan hanya aku yang bersalah, kan? Aku yakin, bukan hanya aku. Mengapa seolah-olah akulah pelaku tunggal dalam masalah ini? Jika ditelusuri ke belakang, kurasa bukan aku yang bersalah.

Dimulai dari Andaru yang ingin berkenalan dengan Nana. Wajar saja, mereka sama-sama memiliki wajah rupawan. Entah bagaimana, buku milikku berpindah dari atas meja booth ke tangan Andaru. Kemudian, lelaki itu kembali lagi untuk mengembalikan buku, yang dia kira Nana-lah pemiliknya. Padahal buku itu milikku, tulisan tanganku, dan hasil pemikiranku.

Salahnya, malam itu, Nana memintaku menemani Andaru. Lalu, Andaru memohon padaku agar aku menemaninya. Salahnya lagi, Andaru malah mengatakan bahwa dia mencintaiku sesaat setelah Nana menyatakan perasaan pada lelaki itu. Salah terbesarnya, Andaru menciumku. Apa Andaru terbiasa menyatakan perasaan pada perempuan, lalu menyambar bibirnya seperti itu? Kalau begitu, berapa banyak perempuan yang telah mendapat "secangkir kopi susu" darinya? Bukan salahku, kan? Di mana letak kesalahanku? Mereka berdua yang salah!

Bolehkah aku meminta satu hal? Aku ingin semuanya kembali ke awal, di mana hubunganku dan Nana masih baik-baik saja. Kami adalah teman, yang suatu saat akan berganti menjadi sahabat. Lelaki bernama Andaru tidak pernah hadir di antara kami.

Walau sisi lain dari diriku bilang, "Andaru hadir dalam hidupmu, memang karena dia ditakdirkan hadir. Rasa sebal dalam hatimu terhadap Andaru telah bermetamorfosis menjadi cinta."

Ya, ya, bagaikan kepompong yang menjadi ulat, lalu kupu-kupu, bukan? Rasa yang memiliki dua sayap sekaligus, yaitu benci dan cinta.

Tak lama kemudian, setelah aku menghubungi Nana, Andaru meneleponku. Tentu saja aku tak mengangkat telepon darinya. Itu kulakukan sebab Nana tak menghiraukan telepon dariku. Semacam pelampiasan, mungkin?

Aku seorang diri di sini, menangis di kamar mungil ini. Aku melempar ponsel ke atas kasur, lalu mengempaskan tubuh ke tempat yang sama. Kutatap langit-langit kamar yang bercat putih. Aku menangis, menjerit, menumpahkan segala rasa dalam kesunyian.

Lihatlah, apa yang muncul di langit-langit kamarku? Andaru menarik tubuhku dan tanpa izin mengambil gula di bibirku. Ah, bukan mengambil, melainkan mencurinya! Dia pencuri! Ketika aku memaki bayangan itu, malah muncul bayangan lain, yaitu Nana. Tatapannya yang menyala dan ucapannya yang menyakitkan.

Ponselku berbunyi lagi. Pasti Andaru. Aku tidak ingin mengangkatnya. Aku tidak ingin mendengar suaranya. Apa lagi yang ingin dia katakan? Tidakkah dia tahu apa yang terjadi pada hubunganku dan Nana? Seorang lelaki berengsek tetaplah berengsek!

Berkali-kali dering dari ponsel tak kuhiraukan. Aku masih sibuk menangis. Hanya air mata yang ingin mendengarkan kesedihan dan keresahanku ini. Begitu puas menangis, barulah kuambil benda pipih itu. Kulihat layarnya dengan mata sembap.

Benar, nomor Andaru menelepon beberapa kali. Ada dua pesan darinya. Pesan pertama: 'Angkat, tolong'. Pesan kedua: 'Sori, Nahla, tapi aku tidak bisa menahan diri. Aku mencintaimu. Angkat teleponnya. Jangan membuatku lebih gila dari ini.'

Men-cin-tai-mu. Kata itu langsung menyusup lagi, mencari-cari sedikit celah di lubuk hatiku. Aku ingin menepisnya, ingin. Akan tetapi, aku tak mampu.

Pikiranku akhirnya teralih pada telepon atas nama Karey. Kuhapus air mata di pipi dengan punggung tangan, lalu duduk di tepi ranjang.

"Ngah?"

"Ya?"

"Belum tidur?"

"Belum."

"Kenapa?"

"Tidak bisa tidur."

"Sedang memikirkan secangkir kopi atau memikirkan si dia?"

"Apa, sih?"

Karey tertawa di seberang sana. "Ngah, kata orang, secangkir kopi dan seseorang yang ada dalam hati itu sulit dilupakan. Bikin candu para penikmatnya."

"Karey!"

"Kok, marah sama Karey? Kan, tadi Karey bilang kata orang, Ngah. Ka-ta o-rang, bukan kata Karey."

Aku mendengkus. Secangkir kopi dan seseorang yang ada dalam hati sulit dilupakan? Ya, ya, malah mendatangkan candu bagi para penikmatnya.

"Engah?" panggil adikku lagi setelah kami membisu.

"Ya?"

"Karey, e, ingin ... mengatakan sesuatu."

"Soal apa?"

"E, ini soal Bang Itzan."

Ah ya, pasti tentang perjodohan itu. "Oh," ucapku.

"Oh?" ulang Karey. "Ngah sudah tahu?"

Aku tak menjawab, malah balik bertanya, "Dari mana kamu tahu?"

"Dari Emak."

Bermunculan kerutan-kerutan di keningku.

"Dua hari sebelum kejadian nahas itu," lanjut Karey, "Emak menceritakanya pada Karey dan meminta pendapat Karey. Mungkin Emak sudah punya firasat kalau umurnya tak panjang lagi."

Aku dan Bang Itzan dijodohkan? Entahlah, aku enggan memikirkannya. Sekarang yang ada dalam pikiranku adalah Nana, Andaru, dan aku.

"Bang Itzan itu orang baik, Ngah, tidak banyak tingkah."

Memang benar, Bang Itzan berbeda dari Andaru. Ah, nama Andaru muncul lagi dan lagi, selalu menyingkirkan nama Bang Itzan dari benakku!

***

Sama seperti hari-hari sebelumnya, Nana lekas meninggalkan booth setelah mendengar motorku memasuki pelataran kedai. Biarkan saja, aku sudah pasrah menghadapi tingkahnya. Yang terpenting aku sudah berusaha mau bicara dengannya, mengirimkan pesan permintaan maaf, dan tak menghindar saat bertemu dengannya.

Selain menarik napas panjang dan segera membersihkan meja—yang dipenuhi tumpahan susu, kopi, dan gula, tak ada yang kulakukan saat berada dalam booth. Kuputar playlist dari speaker kedai. Begitu lagu terdengar, aku mendarat di sebuah kursi yang menghadap ke pelataran.

Kemunculan adik perempuan Bang Itzan dari arah samping booth lantas membuatku segera mengecilkan volume speaker. Perempuan bertubuh kecil itu seperti masih berusia 18 tahun saja, padahal dia sudah berusia 23 tahun.

"Sal, kamu dipanggil sama Ibu," katanya dalam bahasa Lampung.

"Ada apa?" tanyaku. Walau dalam benakku sudah berpusat pada satu titik, yakni perjodohan.

Ghea mengedikkan bahu.

Aku pun merogoh ponsel dari dalam tas, lalu meninggalkan kedai. Sesampainya di depan pintu rumah Bang Itzan yang terbuka lebar, aku mengucapkan salam. Mataku langsung tertuju pada Bang Itzan dan ibunya yang membalas salam. Keduanya sudah duduk di sofa ruang tamu.

Setelah dipersilakan masuk, aku duduk di sebuah sofa dekat pintu, berseberangan dengan Bang Itzan. Ada meja kayu persegi panjang dengan stoples-stoples kaca berisi keik kering di antara kami.

"Sal." Ibu Bang Itzan—yang bernama Ruhanayah—memulai percakapan. "Ada yang ingin ... Uak bicarakan denganmu."

Aku menatap wanita yang duduk di sofa panjang dekat tembok, di antara aku dan Bang Itzan. Seakan-akan aku belum mengetahui perihal perjodohan itu. Yah, padahal aku sudah mengetahuinya. Kulihat Bang Itzan hanya duduk sambil menatap stoples-stoples di meja. Aku yakin bukan keik dalam stoples yang dia pikirkan.

"Sebetulnya, dulu Uak dan emakmu hanya bercanda. Tapi, beberapa kali kami membicarakan candaan yang sama saat di kebun kopi, dan itu malah menjadi sesuatu yang serius." Bu Ruhanayah melirik anak lelakinya. "Kami sepakat untuk menjodohkan kamu dan Itzan. Maka dari itu, Uak menawarimu pekerjaan di kedai melalui emakmu agar kamu dan Itzan bisa dekat dan saling mengenal satu sama lain. Terlepas dari ...." Dia melirik Bang Itzan lagi. "Itzan sudah mengenalmu lebih dulu saat di SMA."

Bang Itzan mengalihkan pandangan ke arah ibunya.

"Uak lihat, kalian sudah cukup dekat, sudah cukup saling mengenal. Uak dan Itzan pun sudah ke Belalau, ke rumah keluargamu di sana dan membahas perjodohan itu."

Sudah sejauh itu? Kutatap Bang Itzan yang ternyata malah kembali menatap meja. Entah apa yang sedang dipikirkan oleh lelaki pemilik mata teduh itu. Ya, Bang Itzan memang layak dijadikan tempat berteduh bagi siapa pun yang membutuhkannya.

"Sal." Bu Ruhanayah menatapku, yang dapat kuartikan bahwa wanita paruh baya itu sangat ingin aku mendengarkannya. "Uak tidak memaksamu, begitu pun dengan Itzan. Keputusannya ada di tangan kalian berdua. Seharusnya ini disampaikan oleh emakmu dan Uak. Tapi, keadaan tidak bisa membuat kami melakukan apa yang sudah direncanakan sedari awal."

Suara langkah seseorang dari arah teras membuat kami menoleh ke titik yang sama. Seorang gadis kecil dengan rambut tipis kepang dua muncul di pintu. Pipinya benar-benar membuatku ingin mencubit dan mengecupnya. Gadis kecil yang mengenakan gaun selutut itu mendekati sofa sembari memanggil ibu Bang Itzan dengan panggilan ajong.

"Mau makan disuapi Ajong," katanya dengan dialek kental Lampung.

"Sebentar lagi, ya."

"Maunya sekarang, pokoknya sekarang!" rengeknya.

Bu Ruhanayah tampak menyerah dengan cucunya. Wanita yang mengenakan selendang sebagai penutup kepala itu pun berdiri dan menggendong Geffie. "Kalian bicaralah berdua, ya. Apa pun keputusannya, ya ... ada di tangan kalian, pasti." Dia menatapku. "Emakmu bahagia di alam sana jika keinginannya terwujud."

Keputusannya ada di tanganku, tetapi mendengar kalimat itu membuatku tersudut. "Iya, Uak," kataku sambil mengangguk. Setidaknya wanita paruh baya di depanku ini dapat menghirup napas lega.

Begitu Bu Ruhanayah melenggang pergi sambil mengecup pipi cucunya, aku melirik Bang Itzan. Lalu, aku tertunduk, hanya bergerak gelisah dalam dudukku. Apa yang harus kukatakan untuk membuka obrolan dengan Bang Itzan? Tiba-tiba aku merasa suasana menjadi tak nyaman.

"Sal." Panggilan itu membuatku menghela napas lega. Kuangkat wajah. "Jangan terlalu dipikirkan, bisa-bisa sakit kepala."

Senyumku bersemi mendengar ucapannya.

"Kita ngobrol di belakang?" usulnya. "Di sini panas."

Senyumku makin lebar. "Iya." Aku menyetujui usulan itu.

Bang Itzan bangkit seraya meraih ponsel dari atas meja. "Sebentar, aku telepon Ghea dulu." Lelaki itu menggerakkan ibu jarinya pada layar ponsel. "Kopi Vietnam drip, kan?"

"Iya," jawabku.

Bang Itzan mulai mengayunkan langkah ke belakang, dengan ponsel menempel di telinga kanan. "Ghe, buatin kopi hitamnya satu dan kopi Vietnam drip satu. Bawa ke taman belakang."

Aku lantas mengikuti langkah lelaki itu. Ah ya, ada taman di belakang rumah, tempatnya nyaman dan sejuk. Aku pernah dua atau tiga kali bersantai di sana bersama Nana.

Kami melewati ruang tengah yang memanjang ke kanan, lalu keluar dari satu pintu di ujung ruangan. Melewati jalan rerumputan, terus ke belakang, dan tibalah di sebuah taman dengan hamparan rerumputan hijau. Ada sebuah pohon di kiri taman, di mana terdapat tempat duduk kayu berbentuk segiempat mengelilinginya.

Aku dan Bang Itzan lebih memilih duduk di tepi tempat itu. Angin yang menggerakkan dedaunan pepohonan di atas kepalaku benar-benar menghadirkan ketenangan dan kedamaian. Dari kejauhan bisa kulihat pepohonan hijau berbaris. Sejenak dapat kulupakan masalah Nana dan Andaru di sini.

"Sal." Bang Itzan mulai bicara.

Aku menoleh.

"Kamu mau tahu, kenapa aku memberikan kedai dengan nama Rain Coffee?" Bang Itzan tetap fokus ke depan.

Ah ya, aku sangat ingin tahu. Di hari-hari pertama bekerja di Rain Coffee, aku pernah menanyakan hal itu pada Bang Itzan. Namun, Bang Itzan hanya menjawab dengan senyuman tipis.

"Dulu, aku sering melihat seorang gadis yang kehujanan kalau pulang sekolah. Pernah juga aku melihat dia mengenakan payung saat hujan angin. Tapi, payungnya malah terbang ditiup oleh angin." Bang Itzan tertawa pelan. "Akhirnya gadis itu kebasahan juga. Besoknya dia tidak masuk sekolah."

Kaget? Ya, tentu saja. Gadis yang dibicarakan oleh Bang Itzan adalah aku. Aku masih tak percaya Bang Itzan tahu sedetail itu tentang diriku. Haruskah aku bilang, "wow"? Aku langsung menatap lurus ke depan begitu Bang Itzan melirikku dan meletakkan ponselnya di antara kami.

"Aku bukan pencinta hujan atau sebaliknya. Tapi, aku pencinta seseorang."

Kutarik kesimpulan bahwa Bang Itzan memang menyukaiku. Ah, kupikir selama ini Bang Itzan menyukai Nana yang memiliki fisik sempurna itu. Ternyata ....

"Maaf, kalau selama ini sikapku agak dingin padamu. Aku hanya tak ingin kamu atau siapa pun tahu soal perasaanku itu."

"Melihat kamu down ketika ibumu meninggal, aku tidak bisa selalu bersikap seperti itu. Aku ingin mengubah hubungan di antara kita."

Aku hanya duduk di samping Bang Itzan, tak tahu harus bicara apa. Ini benar-benar di luar sangkaanku. Masih kupikirkan, Andaru menyukaiku, begitu pun Bang Itzan. Masa sih, kedua lelaki itu jatuh cinta padaku yang ... yah, tak ada nilai plusnya ini? Apakah aku sedang bermimpi karena selama ini mengharapkan secangkir kopi menghadirkan seorang kekasih untukku?

"Sal, jangan merasa tidak nyaman setelah aku mengatakan hal ini. Aku tidak mau hubungan kita jadi renggang gara-gara perjodohan dan pengakuan dariku. Tetaplah seperti biasanya."

Inilah Bang Itzan, dia benar-benar sosok yang meneduhkan.

"Iya, Bang," ucapku. Apa yang harus kukatakan selain itu, ya?

"Apa kamu menyukai Andaru?"

Hah? Aku langsung berpaling pada lelaki di sebelahku, yang menatap seperti sangat menantikan jawaban dariku. Apakah sikapku sangat terlihat kalau aku menyukai lelaki berengsek itu? Perasaan, aku bersikap biasa-biasa saja selama ini. Jangan-jangan Andaru dan Bang Itzan pernah membahas persoalan itu berdua? Astaga.

"Aku tidak memaksamu untuk menjawab."

Aku tertunduk, ingin kugerakkan kedua kaki seperti beberapa detik lalu. Akan tetapi, kedua tungkaiku tiba-tiba kaku. Aku lebih memilih diam, berbisik-bisik dalam kepala saja. Merasa suasana di antara kami makin tak nyaman, aku mencoba mencari topik lain.

Teringat tentang nomor tanpa nama itu, aku lantas menanyai Bang Itzan. Bang Itzan langsung mengecek ke kontak telepon di ponselnya. "Memangnya nomor itu mengirimmu pesan apa?"

Aku tak memberi tahu yang sebenarnya pada Bang Itzan. "Nomor itu pernah menghubungiku, tapi tidak kuangkat. Pas aku telepon balik, eh, malah pemilik nomor itu yang tidak mengangkatnya."

Bang Itzan menatap layar ponsel cukup lama, seperti ada sesuatu yang membuatnya tak bisa berpaling dari sana. "Itu nomor Raina," ungkapnya.

Raina? Dua pertanyaan pun muncul dalam benakku secara bersamaan: dari mana Raina mendapat nomor ponselku dan mengapa dia memberi tahu soal perjodohan itu?

"Raina dan Ghea memang sering teleponan belakangan ini. Pasti Raina minta nomor ponselmu dari Ghea dan ...." Bang Itzan menghela napas. "Pasti Ghea keceplosan menceritakan soal perjodoh ...." Bang Itzan tak melanjutkan ucapannya begitu Ghea muncul dari arah samping dengan membawa nampan. Ya, pasti berisi secangkir kopi hitam dan segelas kopi Vietnam drip.

Baiklah, tak perlu ada yang kupikirkan lagi mengenai nomor tanpa nama itu. Mungkin sebaiknya aku mengirim pesan pada Raina dan menanyakan kabar perempuan itu.

Sesampainya di rumah, setelah mengenakan piama, aku mengirim chat ke nomor Raina. Kami saling bertanya kabar dan bercanda. Namun, tiba-tiba Raina mengirimkan tautan Instagram padaku. Aku membuka tautan itu, yang ternyata berisi foto Andaru dan teman-temannya di akun @lanang_limo. Ada sebanyak seratus lebih foto perjalanan dan kegiatan mendaki gunung yang dibagikan akun itu.

Aku mencoba masuk ke akun milik Andaru, tetapi diprivat. Kemudian, aku kembali ke akun @lanang_limo, kutelusuri akun YouTube mereka yang dibagikan di profil. Begitu menonton beberapa video, lebih-lebih video sebelum Andaru dan teman-temannya berangkat ke Liwa waktu itu, aku sungguh terkejut. Andaru dan keempat temannya datang ke Liwa bukan hanya untuk mendaki gunung dan melepas penat saja, melainkan juga melakukan taruhan dengan berkenalan dan mendapatkan hati seorang barista—bila baristanya perempuan—di kedai kopi yang akan mereka kunjungi.

Rasa terkejutku ternyata belum berhenti sampai di situ. Sebuah nomor tanpa nama mengirimi pesan. Kalimat pada pesan itu bagaikan bom yang meledak di depan rumahku, merobohkan langit-langit kamar, lalu menimpa dan mengimpit tubuhku hingga remuk.


085xxxxxxxxx

Kumohon, jangan ambil Andaru dariku. Aku sangat mencintainya. Kami berencana menikah tahun depan. Aku sudah memberikan segalanya pada Andaru. Segalanya. Kamu pasti paham maksudku.


Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro