18.☕ Empat Biji Kopi ☕
Aku tersenyum. Kuharap Andaru tak mengerti beberapa arti dari senyum ini. Aku sendiri pun tak ingin mengartikan keseluruhannya.
Perlahan-lahan aku mengambil tempat di sisi kiri Andaru dan Nana. Ada sebuah tempat yang juga sedikit menjorok ke kolam, seperti huruf U. Kedua tanganku berpegangan pada besi pembatas dan menikmati air mancur warna-warni di tengah kolam. Andaikan siang hari, mungkin aku sudah memberikan para ikan makan. Aku memilih berbagi cerita pada hewan itu saja.
Hei, para ikan, apa kalian pernah berada di posisiku? Awalnya merasa terganggu dengan kehadiran seseorang, merasa jengkel setengah mati, memikirkannya ..., terus memikirkannya. Lalu, dia muncul kembali ke hadapanmu, menghipnotismu, menampakkan sayap hitam dan putihnya di depanmu. Namun, kedua sayap itu malah untuk memeluk orang lain. Ah, belum juga lima menit berdiri di sini, aku sudah menyusun beberapa kata menjadi kalimat dalam kepala.
Pertanyaan dari Nana sebelum berangkat tadi, muncul juga dalam kepalaku. 'Sal, apa Andaru akan menyambut perasaanku?' Munafiknya, aku hanya bilang, "Semoga saja, Na. Aku doakan yang terbaik untuk kalian berdua. Kamu dan Andaru itu cocok, kok". Ya, ya, aku adalah seorang perempuan yang sok bijak dan sok hebat, bukan?
Dengan refleks, kepalaku bergerak ke arah pukul tiga, di mana Andaru dan Nana berada. Kedua orang itu berhadap-hadapan, mengobrol serius. Hatiku hancur—siap dijadikan makanan ikan, kalaupun ikan mau memakannya—begitu membayangkan sebuah momen, di mana Nana menyatakan perasaan dan Andaru menerimanya. Terulang pula momen nembak Raina pada Andaru di puncak Gunung Pesagi waktu itu. Lalu sekarang, sepertinya aku akan melihat kembali momen yang sama.
Menurutku, sosok Andaru benar-benar hebat soal asmara. Aku sudah dua kali melihat perempuan jatuh pada pesonanya. Kalau begitu, ada berapa banyak lagi perempuan di luaran sana yang tergila-gila padanya? Ya ampun, apa yang sudah aku pikirkan? Kakiku masih menginjak tepian kolam, tetapi pikiranku melayang ke mana-mana.
Sudahlah, Sallu, hentikan suara berisik dalam kepalamu! Jadilah racun nyamuk episode ketiga merek Ham Tebiu untuk satu malam ini.
Kutarik napas dalam-dalam. Secara refleks lagi, aku menoleh ke sebelah kanan. Seperti ada yang sengaja menekan tombol on agar kepalaku bergerak ke arah yang tak seharusnya. Namun, aku terbelalak melihat Nana berbalik badan dan meninggalkan Andaru. Dia mau pergi ke mana? Apakah sudah selesai acara nembaknya? Jadi, apa ending dari perasaan Nana?
Sudah rela menjadi racun nyamuk episode ketiga merek Ham Tebiu, aku malah ditinggal begitu saja. Buru-buru aku berjalan mendekati Andaru yang sekarang sudah menghadap ke arah kolam. Kedua tangannya dibenamkan kembali ke saku jaket.
"Ke mana Nana?" tanyaku. Namun, hanya terdengar suara air mancur saja sebagai jawaban. Aku berpikir, mungkin Nana pergi sebentar untuk membeli minuman atau makanan di depan sana. Ah, masa?
"Ada apa ini?" Aku merasa ada sesuatu yang tak beres antara Nana dan Andaru.
"Ada apa ini? Itu yang kau tanyakan?" Andaru berbalik badan. Suaranya membuatku mendadak takut. Pun pada tatapannya yang mengartikan sesuatu itu. Apa aku salah bicara lagi?
Kualihkan pandangan ke ujung taman, ke tempat di mana Nana menghilang. Sungguh, aku tak paham. "Eee ..., ke mana Nana?" Baiklah, kembali ke pertanyaan awal.
Andaru menoleh ke tempatku berdiri tadi. Sikapnya mulai membuatku tak nyaman. Ingin aku menghilang dari hadapannya.
"Benar, tidak ada yang kamu sembunyikan?" tanya lelaki itu tanpa melihatku. "Aku siap menunggu di sini sampai pagi kalau itu maumu."
Tungkaiku lemas. Kupegang ujung sweter berbulu yang kukenakan. Ke mana arah pembicaraan ini? Ah, andaikan aku bisa membaca isi pikiran lelaki di depanku ini. "Eee, menyembunyikan apa?" Kupikir-pikir lagi, pertanyaanku tak aneh, kan?
Andaru menatapku, seperti ingin menelanku saja. Ya Tuhan, tapak kakiku mulai dingin di bawah sana. "Kalau kamu mengatakannya dari awal, mungkin semuanya tidak akan sejauh ini! Tidak akan sejauh ini, Nahla Sallum!"
Aku ingin meneguk ludah, tetapi kenapa tiba-tiba rasanya sulit? Andaru menyebut nama lengkapku? Dari mana dia tahu? Aku tidak pernah mengatakannya dan dia pun tidak pernah bertanya. Kami tidak pernah membahas perihal namaku. Pasti dia tanya ke Bang Itzan atau Nana.
"Katakanlah sesuatu! Aku ingin mendengar kamu mengatakan sesuatu!"
Lemas pada tungkaiku mulai naik ke perut. Andaru memintaku mengatakan sesuatu? Apa yang harus kukatakan?
"Mak–maksudnya?" Hanya kata itu yang keluar dari tenggorokanku.
"Kenapa kamu tidak bilang kalau buku bertuliskan 'Andanan' itu adalah milikmu? Apa rencanamu? Apa?" Suara Andaru bersaing dengan bunyi air mancur di tengah kolam.
Buku catatanku? Dia ... dia tahu? Da–dari mana dia tahu? Bagaimana dia bisa tahu? Apakah Nana yang memberitahunya? Yah, kalaupun Andaru sudah tahu, apa masalahnya? Itu hanya buku catatanku di kedai kopi. Kata demi kata yang melintas dalam benak saat aku sedang menyeduh kopi dan duduk sambil memperhatikan uapnya.
"Ya, ini salahku juga! Salahku!" Andaru mengacak rambutnya, membuat rasa cemas berbaur dengan lemas di tubuhku. Dia berbalik badan, menyapu pandangannya ke sekitaran kolam yang remang-remang. "Harusnya aku tidak melakukan ini lagi! Aku sudah berjanji pada diriku sendiri tidak akan melakukannya lagi! Tapi, kamu membuat aku berada di posisi ini! Aku melakukan kesalahan yang sama lagi karena ulahmu!"
Lemas sudah menjalar ke seluruh tubuhku. Aku menyerah, tak sanggup. "Andaru," panggilku lirih. Entah lelaki itu mau mendengarkanku atau tidak. "Tolong, jika ... aku ada salah, aku minta maaf." Aku selalu mengabulkan permintaan orang dengan kata tolong selama ini, bisakah dia juga melakukan hal yang sama? "Tapi, aku benar-benar tidak tahu apa kesalahanku. Kalau ... gara-gara buku catatan itu membuatmu marah, tolong maafkan aku."
Kenapa harus membahas buku itu, sih? Apa masalahnya dengan benda mati itu?
Aku tertunduk, tubuhku benar-benar lemas. "Buku itu memang milikku. Aku tidak tahu bagaimana ceritanya buku itu ada dalam tasmu. Malam itu, buku itu ada di meja booth dan ...."
Lemas dan cemas pada tubuhku bersatu dengan kaget. Aku mengangkat wajah saat menyadari Andaru menarik tubuhku. Aroma parfum dan bau tubuh lelaki itu menyatu dalam indra penciumanku. Sepertinya mataku akan melompat dari rongganya saat berserobok dengan mata Andaru. Jantungku pun sepertinya akan ikut melompat dan terjun ke dasar kolam di sana. Astaga!
Tubuhku juga tiba-tiba tak dapat digerakkan. Seperti tombol pause-nya mendadak eror. Dinginnya angin malam hari di Kota Liwa benar-benar kurasakan tatkala lelaki itu melakukannya. Apakah Andaru baru saja menyesap secangkir kopi susu? Rasanya ini seperti kopi susu. Sungguh, aku tak bohong. Manis, hangat, dan basah.
"Dan, aku mencintaimu, Nahla." Andaru mengucapkan kalimat itu, menggerakkan bibirnya yang bagaikan rasa kopi susu itu. Kalimat yang langsung masuk ke telingaku, lalu berbagi pada dua cabang, yaitu hati dan pikiran.
Aku memaksa kaki untuk mundur saat Andaru melepaskan tubuhku dari dekapannya. Ini tidak nyata, ini pasti mimpi! Apakah Andaru sedang bercanda? He kissed me! Dia ... dia berani sekali merenggut manis dari bibirku!
"Nahla." Andaru menyebut nama itu lagi. Nama yang terdengar asing di telingaku. Mengapa dia memanggilku dengan panggilan berbeda? "Aku ... aku mencintaimu," ucapnya. Tiga kata yang langsung berkuasa dan mengambil alih semua ruang dalam pikiranku. Tak tersisa satu sudut pun untuk aku berpikir. "Sori, aku ...."
"Tidak ...." Tidak mungkin Andaru mencintaiku! Dia pasti bercanda!
"Tidak?" Kening Andaru berkerut.
"Tidak bisa." Nana menyatakan perasaannya pada Andaru dan Andaru menyatakan perasaannya padaku? Ada yang salah di sini!
"Tidak bisa ap ...." Andaru menatapku dengan raut tak percaya. "Kamu menolakku?"
Menolak? Ah, entahlah, aku harus pergi dari sini. Aku harus mencari Nana. "Ya," jawabku. Hanya itu.
Aku pun berbalik badan, menarik langkahku dengan cepat dan melupakan lemas pada tubuhku. Semua rasa bercampur dalam dada. Rasa yang tak ingin kusebut satu per satu karena aku tak mau memikirkannya. Nana, di mana dia?
"Nana!" Kusebut nama itu saat berada di parkiran.
Bibir sekaligus tenggorokanku rasanya kering. Jangankan sosok Nana, motornya pun sudah tak ada lagi di sini. Nana pasti sudah pulang. Tidak ada yang melihat apa yang sudah dilakukan oleh Andaru tadi, kan? Ya Tuhan, aku cemas.
***
Semalam aku sulit tidur, padahal secangkir kopi susu di dapur kutinggalkan begitu saja saat aku menyetujui untuk pergi bersama Nana ke Taman Ham Tebiu. Ah ya, aku malah merasakan "secangkir kopi susu" lainnya. Hal itu yang membuat kedua mataku merajuk. Aku terbangun dengan mata berat.
Aku sudah mandi dan berganti pakaian, tetapi entah dari mana asalnya, aroma parfum dan bau tubuh Andaru terus menempel di badanku. Apakah indra penciumanku terganggu? Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan?
Nana memintaku menemaninya, lalu dia menyatakan perasaan pada Andaru. Setelah itu, Nana pergi begitu saja. Pertemuan itu malah berakhir dengan ... ciuman? Tidak, tidak, itu bukan ciuman! Adegan seperti itu disebut dengan mencium saja, bukan? Kata ciuman tepat jikalau dua orang saling menginginkannya, me-ngi-ngin-kan-nya. Aku tidak melakukan apa pun! Aku hanya diam saja.
Aku mendarat di kursi yang sama di dapur, memandang cangkir putih di atas meja. Cangkir kosong, tanpa ada kopi susu seperti biasa. Jika pagi ini aku minum secangkir kopi susu, jangan-jangan sampai besok pun aku tak bisa tidur. Andaru menciumku? An-da-ru men-cium-ku? Ah!
Aku menghubungi Nana lagi, tetapi tetap saja, dia tak mengangkat telepon dariku. Aku berusaha meyakinkan diri sendiri kalau semalam Nana langsung pulang dan tidak melihat kejadian itu. Ya, ya, pasti Nana tidak lihat! Namun, kalau dia datang lagi dan melihatnya, bagaimana? Ya Tuhan, aku bisa gila bila terus memikirkan hal yang sama begini!
Terdengar dering pesan WhatsApp saat aku hendak menaruh ponsel. Kupikir itu pesan dari Nana, ternyata pelakunya Andaru. Mataku menyipit begitu membaca pesan yang dia kirimkan. Andaru mengirimkan tulisan 'Nahla'. Aku mengembuskan napas kuat-kuat, membiarkan poni tipisku menjadi korban.
Sebagian dari diriku bilang, "Jangan munafik, Sallu. Tanpa kau sadari atau pura-pura tak kau sadari, kau mencintainya, kan?" Sebagian dari diriku lagi bilang, "Jangan jadi pencuri, Sallu. Tetaplah menjadi peri, walau tak bisa memiliki sayap. Nana mencintai Andaru. Jangan lakukan apa pun yang bisa dikategorikan dengan menikung teman sendiri. Lebih baik kau pergi bila ada di posisi itu. Yah, itu yang kau katakan dulu, kan?"
Dering pesan WhatsApp terdengar lagi.
Andaru
Aku mencintaimu, Nahla Sallum. Aku serius dengan hal itu.
Dering pesan WhatsApp kembali terdengar. Nomor tanpa nama.
085xxxxxxxxx
Sallu, kamu dijodohkan dengan Bang Itzan. Apa kamu tidak tahu?
Dijodohkan dengan Bang Itzan? Aku terperanjat.
***
Bang Itzan
Sal, mulai hari ini, kamu sif sore. Nana mulai bekerja.
Begitu isi chat Bang Itzan. Meskipun pukul lima sore masih satu jam lagi, aku sudah meluncur ke kedai bersama motor matic-ku. Kusingkirkan terlebih dahulu tentang pemilik nomor tanpa nama kemarin dari dalam kepala, yang mengatakan bahwa aku dijodohkan dengan Bang Itzan.
Sosok Nana dengan atasan kaus cokelat gelap, baru saja membawa cangkir-cangkir kotor ke dalam booth. Ah ya, suasana ini tepat. Kursi-kursi di pelataran booth kosong, baru ditinggalkan oleh pengunjung kedai. Bang Itzan pun tak tampak batang hidungnya.
"Na," panggilku setelah melewati pintu samping booth yang terbuka lebar.
Nana tak menoleh. Dia sibuk dengan cangkir-cangkir kotor di wastafel. Dari gerakan tubuhnya, dia memang sengaja tak menyahut. Apa kesalahanku? Cukup disebabkan oleh kecelakaan itu, membuatku merasa sangat bersalah padanya.
"Na." Kuletakkan tas selempang di atas meja, dengan pandangan tetap ke arah punggungnya. "Kenapa malam kemarin kamu pergi begitu saja, meninggalkan aku? Apa yang terjadi?"
Kuperhatikan Nana yang mengembalikan cangkir-cangkir bersih ke dalam laci meja panjang di bagian booth depan.
"Apa ... aku berbuat salah?" Aku jadi cemas dengan pertanyaanku sendiri. "Aku telepon, tapi kamu tidak angkat."
Nana tetap diam. Dia menyibukkan diri dengan merapikan peralatan menyeduh kopi di rak, yang berseberangan dengan meja.
"Na ...." Ini panggilanku yang ketiga kali. "Bagaimana ...." Bagaimana dengan hubungan kamu dan Andaru? Kalian baik-baik saja, kan? Ingin sekali kutanyakan itu, tetapi Nana berhenti bak patung di sana. Kemudian, dia berbalik badan dan menatapku dengan mata menyala.
"Aku benar-benar tidak percaya! Seharusnya aku tidak pernah memercayai siapa pun! Kupikir kamu adalah teman yang baik. Setidaknya aku ingin kita menjadi teman yang baik, atau lebih dari itu! Tapi, tapi, yang kulihat benar-benar membuatku berpikir ulang untuk mempunyai seorang teman sepertimu!"
"Apa maksudmu?" tanyaku. Nana tidak mungkin melihat kejadian itu, kan?
"Aku melihatnya, Sallu! Aku tidak buta!"
Ingin sekali aku bersembunyi, tak memperlihatkan lagi wajahku ini di depannya. Nana melihatnya? Ya Tuhan!
Mata Nana basah. "Dia ... dia bilang, dia bilang terima kasih karena aku mencintai dan mengaguminya. Lalu, lalu, dia bilang ... dia tidak mencintaiku. Dia minta maaf karena membuat kesalahpahaman atas kedekatan kami. Dia bilang, dia tidak ingin menyakiti satu perempuan lagi."
Aku menahan buliran bening yang juga mulai menusuk kedua mata. Perih.
"Aku ingin pergi secepatnya dari hadapan lelaki itu! Apa maksudnya mendekatiku kalau pada akhirnya akan begini? Tapi, aku teringat sudah meninggalkanmu di sana. Terpaksa aku berbalik dan ... dan melihat kalian bercium ...." Nana terduduk di sebuah kursi. Satu kata terakhir tak selesai dia ucapkan. Perempuan itu menangis.
"Aku ... aku tidak melakukan apa pun. Dia yang melakukan itu. Aku ... aku tidak paham mengapa dia melakukan itu."
"Kau menikmatinya!"
"Apa?" Menikmati ciuman itu? Tidak, tidak, aku tidak seperti itu! Aku tidak pernah melakukan hal itu!
"Kau mencintainya! Kau mengambil perhatiannya dengan caramu! Kau ...." Nana menarik tisu dari kotak di atas meja, menyeka air mata di pipinya dengan kasar. Lalu, dia menarik tas bahunya dari atas kulkas. "... Menikung temanmu sendiri!"
"Na, aku tidak ...." Air mata yang menusuk itu pun turun, bersamaan dengan motor Nana yang berlalu. Tepatnya meninggalkanku dengan segala rasa yang mencambukku. Sakit sekali.
Na, tolong, tetaplah menjadi temanku, aku mohon. Sudah lama sekali aku ingin punya sahabat selepas SMA. Beberapa bulan bersamamu, aku merasakan kenyamanan itu.
Aku mulai mau membuka diriku. Aku ingin kita menyeduh kopi setiap waktu. Aku ingin kita suatu saat pergi ke Aceh untuk melihat Perkebunan Kopi Gayo, atau ke Bali untuk melihat Perkebunan Kopi Kintamani. Kita akan bawa pulang biji-biji kopi yang terkenal senusantara itu. Kita akan coba membuat menu kopi baru di sini, di Kota Liwa yang dilewati oleh Bukit Barisan. Impianku adalah menjadi seorang barista profesional. Tentunya bersamamu, Nana.
Mengapa aku harus berakhir di posisi ini? Mengapa?
☕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro