17. ☕ Secangkir Kopi Bercerita ☕
"Papa selingkuh sama teman Mama."
Persoalan mama Andaru yang diselingkuhi, aku sudah tahu. Namun, masalah ini aku baru mengetahuinya. Ditikung oleh teman sendiri? Astaga. Itu sangat menyakitkan.
Aku duduk satu meter dari Andaru. Melihat lelaki itu tertunduk sambil mengacak rambutnya, aku benar-benar merasa sedang bersama seorang Andaru yang rapuh.
"Aku memang sering melihat Mama nangis akhir-akhir ini. Kalau aku tanya ke Mama, Mama selalu menutupi masalahnya. Seolah-olah hidup Mama begitu bahagia, seperti tidak pernah ada seorang pun yang berani menyakitinya." Ada jeda sejenak. "Sepulang dari mendaki waktu itu, aku mendengarnya sendiri. Papa dan Mama bertengkar. Papa ... mencintai ...." Andaru mengangkat wajahnya, menatap ke arah gazebo di sudut taman. "Aku marah dan membenci diriku sendiri. Aku dan Papa apa bedanya?" Dia tertunduk lagi.
Apa beda dia dan papanya? Maksudnya, Andaru dan papanya sama-sama berengsek, begitu? Ya Tuhan! Aku meneguk ludah, lalu meluruskan punggung dan menatap ke depan. Andaru Deem berengsek? Kenapa semua lelaki bernama Andaru itu berengsek?
"Apa yang kamu pikirkan tentang aku?" tanya Andaru, yang membuatku kaget.
Aku memalingkan wajah ke arahnya, bertemu dengan tatapan itu. Sambil memikirkan jawaban yang tepat, aku kembali menatap lurus ke depan. "Eee, yang kupikirkan, kamu ... eee, menyukai Nana dengan tulus. Hanya itu." Aku mengakhiri jawabanku dengan melempar senyum tipis, berusaha menjadi teman curhat yang menyenangkan. Walau kata berengsek masih berteriak-teriak dalam pikiranku.
Andaru tertunduk ke sekian kalinya. Cahaya dari lampu taman membantuku melihat gerak-gerik lelaki itu. Pertanyaan demi pertanyaan bermunculan dalam benak. Pertanyaan yang hanya bisa kusimpan sendiri karena tak ingin memperpanjang masalah.
Jika Andaru bilang bahwa dia dan papanya sama saja, itu artinya dia pun berselingkuh? Maksudnya, dia menyelingkuhi pacarnya? Pacar? Apakah Andaru punya pacar di Palembang sana? Kalau begitu, kasihan sekali Nana. Bukan hanya Nana, melainkan juga ... aku. Aku?
"Semua orang punya kesalahan dan masalahnya masing-masing," kataku seraya menyingkirkan dua rasa yang menyusup sekaligus ke rongga dada. Satunya rasa yang membuat jantung berdetak tak tentu. Satunya lagi, rasa yang menggores hati. Ya Tuhan, apa yang terjadi padaku?
"Selagi kita tidak lari, menyelesaikan masalah itu, dan mau mengakui kesalahan serta memperbaikinya, yah itu sudah lebih dari cukup." Aku melirik Andaru, yang ternyata sedang menatapku. Dua rasa itu timbul lagi, memaksa mataku kembali ke arah sebelumnya.
"Sayangnya, aku mengulangi kesalahan yang sama." Andaru mengakui.
Aku refleks menoleh lagi. Sangkaanku benar. Andaru memiliki seorang kekasih di Palembang sana dan dia ingin menjadikan Nana selingkuhannya. "Jangan lakukan hal itu. Kamu sudah melihat bagaimana mamamu menderita karena rasa sakit, bukan?"
Andaru melihatku dengan tatapan ingin mengatakan sesuatu yang lebih dari yang kami obrolkan. Namun, dering ponsel miliknya melenyapkan tatapan itu. Yang membuatku bingung, setelah merogoh ponsel dari saku celana cargo yang dikenakannya, Andaru tak mengangkat telepon itu. Dia hanya menatap layarnya saja.
Apakah pacar Andaru yang menelepon?
***
Aku menatap segelas kopi susu di atas meja dan uapnya yang mengepul ke udara. Hanya menatap, tak berselera minum setelah mengunggah fotonya di status WhatsApp. Tanganku menopang dagu. Arah mataku memang tertuju pada kopi susu di dalam gelas, tetapi pikiranku malah memutar kembali kejadian semalam di taman kota.
Tak pernah kubayangkan sebelum ini kalau Andaru akan menceritakan masalah hidupnya. Walaupun yang dia ceritakan tidaklah semua. Mungkin, ini mungkin, dia belum percaya seratus persen padaku. Tak masalah sih, hanya 50% saja sudah cukup. Asalkan beban yang ditanggung lelaki itu sedikit berkurang.
Malam tadi berakhir dengan Andaru meminta nomor ponselku. Mungkin dia ingin melanjutkan curhatannya lewat telepon. Kami duduk kembali di dalam mobil dengan lagu yang lembut, yang pernah kudengar sebelumnya. Musik Krikor Lof berjudul "Coffee Time".
Napas yang kuhela terasa berat. Sekarang masih pukul tujuh malam. Dua jam yang lalu aku pulang dari kedai. Sekarang malah duduk menyendiri di meja dapur sambil melamun. Hari ini Andaru pulang ke kotanya. Entah sudah pulang atau belum. Aku tak ingin memikirkannya. Ralat, aku justru memikirkannya. Hipokrit, kan?
Satu pesan WhatsApp masuk. Pesan dari Karey. Dia mengomentari status WhatsApp-ku. 'Dang sekundangan jama kupi terus, Ngah.'⁷ Begitu isi pesannya. Ada emoji senyum di akhir komentarnya, yang membuatku jengkel.
Mataku terbelalak saat pesan yang kedua masuk, dari Andaru. Hanya saja alis mataku menurun cepat. Andaru hanya mengirimkan stiker secangkir kopi. Sudah, hanya itu. Aneh? Pesan itu yang aneh atau aku? Ah! Dengan cepat, kuletakkan ponsel di dekat gelas. Kuaduk kembali kopi susu dengan sendok, yang sudah kulakukan berulang kali.
Satu telepon WhatsApp masuk. Kupikir Karey, Andaru—sedikit berharap, atau Bang Itzan. Nyatanya telepon dari Nana.
"Kamu sedang di rumah atau di kedai, Sal?" tanya Nana. Terdengar pula suara klakson mobil di dekatnya. Mungkin saja Nana sedang di jalan.
"Di rumah."
"Aku di depan rumah kamu, nih."
"Oh." Kuturunkan ponsel dari telinga, lekas menuju pintu depan dan membukanya. Nana masih berada di tepi jalan, di atas motornya.
Perempuan itu melambaikan tangan. Setelah melihat tanganku yang balas melambai, Nana membelokkan motornya. Melewati tanaman bunga asoka yang menjadi pagar depan rumahku.
"Mau kopi susu?" tanyaku ketika kami sudah duduk di permadani depan televisi yang menyala.
"Tidak, Sal," jawab Nana. Dia menyandarkan punggung ke kaki sofa. Pandangannya lurus ke televisi, seperti begitu menyaksikan acara yang ditayangkan.
"Bagaimana keadaan nenekmu?" tanyaku dalam bahasa Lampung. Dengan kehadiran Nana di sini, aku yakin kondisi neneknya berangsur membaik.
"Masih di rumah sakit, rawat inap," jawab Nana. Dia lalu menatapku. "Maaf, Sal, semalam aku tidak angkat telepon dari kamu. Telepon dari kamu yang terakhir malah aku reject."
Ada nada bersalah dalam suara Nana, aku mendengarnya dengan jelas.
"Sudahlah." Kubentuk lengkungan di bibir, walau sekadarnya saja. "Kenapa kamu tidak ajak saja Andaru ke rumah sakit? Sekalian kamu kenalkan sama keluarga kamu." Usulan itu membuat dadaku tiba-tiba sesak.
Nana menatap langit-langit ruang tengah. Ada ketakutan di wajahnya, itu jelas.
"Sal, aku tidak pernah merasa seperti ini sebelumnya sama lelaki. Pernah sih, tapi itu dulu sewaktu kuliah." Nana memejamkan kedua matanya. "Aku mencintai Andaru, Sal."
Aku berpaling ke layar televisi. Berusaha menonton film, tetapi tetap saja aku tak fokus. Jika ada yang bertanya, apa yang diucapkan oleh aktor dan aktris dalam film itu? Aku yakin tak bisa menjawabnya.
"Sal," panggil Nana. "Kamu dengar aku, kan?" Dia ikut menoleh ke layar televisi.
"Eee, ya, iya," jawabku. Padahal aku tak mendengar apa saja yang dia ucapkan barusan.
"Andaru adalah lelaki yang selama ini aku idam-idamkan."
Bukan hanya lelaki idaman kamu, melainkan juga Karey. Ah ya, lelaki idaman banyak perempuan lainnya.
"Dia mampu menggetarkan hati aku."
Menggetarkan hati banyak perempuan, tepatnya begitu, Na.
"Dia menyukai kopi, sama seperti aku. Kalau ngobrol soal kopi, kami nyambung banget. Dia lulusan UNSRI, Sarjana Pertanian ...."
Aku juga ingin mendapat gelar Sarjana Pertanian.
"Ayahnya adalah Kepala Dinas Pertanian Palembang," lanjut Nana.
Ah ya, seorang KaDis yang berselingkuh. Selingkuhannya adalah teman dari istrinya sendiri.
"Dan terakhir, yang aku suka, dia suka alam dan bisa bela diri."
Oh, sebentar, bisa bela diri? Pantas saja dia bisa melakukan gerakan-gerakan tak terduga saat berkelahi dengan pengkhianat cinta itu.
"Satu lagi, Andaru itu tampaknya ... setia."
Setia? Andaru itu berengsek, Nana! Dia sudah punya pacar—mungkin? Ah, entahlah.
"Kalian sudah ngobrol panjang lebar kayaknya?" Aku kepo, benar sekali.
"Ya, begitulah. Tapi ... tapi, Sal." Raut Wajah Nana berubah. Aku mulai merasa jika ada sesuatu yang tak beres. "Aku takut, sangat takut."
"Takut apa?" tanyaku. Keningku berkerut dengan alis menyatu.
"Semalam, aku sama sekali tidak bermaksud reject telepon dari kamu, atau membiarkan Andaru menunggu di rumah. Aku punya alasan untuk itu."
"Iya, kenapa?" Aku seperti sedang menonton ending dari episode sebuah drama dan penasaran dengan jalan cerita berikutnya.
"Lelaki itu ada di rumah sakit semalam. Dia ngancam aku, Sal. Kalau aku sampai pacaran sama Andaru, maka ... dia ...." Nana tampak cemas. "Dia akan menyebarkan video itu." Nana mengakhiri ceritanya. Seakan-akan dia sedang berhadapan langsung dengan singa gunung atau beruang hutan. Padahal hanya ada aku di sebelahnya.
Lelaki itu? Siapa? Akan tetapi, aku malah menanyakan, "Video apa?" Pikiranku mulai ke mana-mana.
"Video .... Kamu pahamlah maksudku."
Aku malah makin bingung. Akhirnya pikiranku berada pada kesimpulan yang membuatku terkejut setengah mati. Semoga tidak, semoga saja tidak! Nana adalah perempuan yang cantik dan baik. Dia tidak mungkin melakukan hal tidak senonoh.
"Video ... mesum?" tanyaku hati-hati.
Nana tak mengatakan apa pun. Namun, anggukan pelannya membuatku menatap layar televisi, seakan-akan ada berita skandal menghebohkan seorang aktris di sana. Padahal jelas, di televisi sedang menayangkan iklan camilan.
Video mesum? Nana ... melakukan ... itu? Astaga! Nana yang baik, Nana yang cantik, senyumnya semanis gula dan krimer yang menyatu dalam kopi, ternyata dia .... Aku tak percaya ini. Bolehkah aku tak memercayainya?
"Tapi, aku mencintai Andaru. Aku ingin menyatakan perasaanku."
Aku hanya diam, bersandar pada kaki sofa.
"Sal, temani aku menemui Andaru. Tolong." Nana meraih tanganku. Kurasakan jari-jarinya yang dingin. "Jika ada kamu, aku bisa bilang pada lelaki itu kalau yang mau bertemu dengan Andaru itu kamu, bukan aku."
"Andaru sudah pulang, kan?"
"Sebelum ke sini, aku menghubunginya. Dia batal pulang hari ini, dan aku mengajaknya bertemu, eee ...." Nana merogoh ponsel dari tas bahunya. "Setengah jam lagi."
Kuhela napas panjang.Ternyata Andaru dan Nana memiliki masalah masing-masing. Ah ya, termasuk juga aku.
"Ketemuan di mana?" tanyaku.
" Di Taman Ham Tebiu."
***
Hal yang kudengar dari Andaru dan Nana, membuat kepalaku pusing. Aku hanya mengendarai motor, menaikkan kaca helm, dan membiarkan angin malam Liwa membelai wajahku sesukanya. Tanpa semangat yang utuh, aku memperhatikan suasana malam Liwa dan mendengar suara-suara kendaraan di sekitar.
Sepanjang perjalanan menuju Taman Ham Tebiu, kami pergi beriringan. Aku mengendarai motorku dan Nana membawa motornya. Ini ide Nana. Katanya, jikalau mendadak bertemu dengan lelaki itu, dia sudah menyiapkan rencananya sendiri. Aku tak mau tahu apa rencana itu.
Kami menitipkan motor lebih dulu, kemudian pergi menuju tepi kolam di tengah taman. Air mancur yang bersinar warna-warni karena canggihnya teknologi langsung menarik perhatianku. Pun ukiran 'Taman Ham Tebiu' di seberang kolam, yang juga bersinar karena efek lampu.
Andaru berdiri seorang diri di tepian, di dekat besi pembatas antara kolam dan jalan bebatuan. Kedua tangan lelaki itu dibenamkan ke saku jaket bombernya. Dia tampak fokus memperhatikan cahaya pada air mancur yang berubah-ubah. Sesekali memandang ke seberang kolam yang remang-remang.
Taman Ham Tebiu masih sepi. Ada dua-tiga orang yang kulihat, yang entah sekarang menghilang ke mana. Aku bergeser sedikit ke kiri begitu Nana mendahuluiku. Perempuan itu memanggil Andaru dan Andaru pun berbalik badan. Namun, dia tampak kaget begitu menyadari kehadiranku.
☕
⁷Jangan pacaran sama kopi melulu, Kak, bahasa Lampung
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro