14. ☕ Jangan Sebut Aku Barista ☕
Ingin sekali kutanyakan pada Andaru tentang yang tengah kupikirkan. Apakah ada sesuatu yang menyebabkan dia semarah itu? Apakah dia sedang ada masalah? Memikirkan jikalau Andaru seperti diriku, yang tak akan bercerita pada orang baru, aku pun membatalkan niat itu.
"Sori," kata Andaru. "Aku ... aku teringat dengan Mama di rumah."
Teringat dengan mamanya? Apakah mamanya diselingkuhi?
"Sudahlah, lupakan." Andaru meraih tusuk satai pertamanya.
Seulas senyum tipis muncul di bibirku ketika mendengar ucapan lelaki itu. Aku pun melakukan hal yang sama, meraih tusuk satai pertamaku. Nikmatnya satai tuhuk yang lembut langsung terasa di lidah hingga tenggorokanku.
"Enak, ya?" Andaru berkomentar.
Aku menarik tisu dari kotak, lalu membersihkan bekas kuah kacang di bibir. "Memang enak," kataku.
"Rasanya ... tidak jauh-jauh beda dari satai ayam, gurih."
"Satai tuhuk itu dari ikan blue marlin."
"Oh, ya?"
Aku mengangguk. "Kalau begitu, habiskan!"
"Iya, pasti aku habiskan. Di Palembang sana tidak ada satai ikan. Suatu saat pasti kangen sama satai tuhuk di Liwa."
Bibirku melengkung mendengar ucapan Andaru. Dia akan rindu pada satai tuhuk atau pada Nana nantinya? Hmm.
Kulanjutkan menyantap tusuk satai yang kedua. Aku berpaling sejenak ke pintu masuk kedai yang tak jauh dari tempat kami duduk. Dalam kedai dengan interior sederhana ini, ada tiga meja lagi yang berpenghuni. Satu meja di sebelah kami dan dua meja di belakang. Suasana kedai yang nyaman dan bersih memang pas untuk menikmati satai tuhuk.
Tanpa disadari, tusuk satai milikku tinggal separuh.
"Hari ini kamu kerja?" tanya Andaru.
"Ya, sore nanti, pukul lima." Kuangkat wajah. Mengapa dia bertanya demikian?
"Kalau tidak kerja, aku mau ajak kamu ke rumah Nana nanti malam."
"Oh." Hanya itu responsku, lalu menunduk lagi. Sana, pergi saja sendiri! Bukankah dia ingin memberikan boneka boba itu pada Nana? Kalau aku ikut, malah akan mengganggu mereka. Aku tak mau jadi racun nyamuk episode kedua.
"Besok, kalau tidak ada halangan, aku akan pulang ke Palembang."
"Pulang?" Langsung saja kuangkat wajah lagi dan bertemu dengan mata Andaru. Sepersekian detik kemudian, aku menunduk kembali. Apakah aku tampak seperti seorang pencuri yang tertangkap basah? Maksudnya, tingkahku barusan. Semoga saja ekspresiku tak terbaca olehnya.
Ingin kuraih tusuk satai berikutnya, tetapi kubatalkan karena selera makan mendadak hilang. Ah, ada apa dengan diriku? Sebagian dari diriku menganggap Andaru itu menjengkelkan. Sebagian lagi merasa Andaru itu menyenangkan. Ada yang tak beres denganku, aku yakin sekali.
"Kenapa?" tanya Andaru.
"Tidak apa-apa," jawabku, berusaha setenang mungkin.
"Aku pikir tadi kamu mau ikutan."
Apa? Mengikutinya ke Palembang sana? Yang benar saja!
Suasana berubah tak nyaman hingga dering notifikasi chat menyelamatkanku, kukira pada awalnya. Namun, ketika kami beralih ke ponsel masing-masing, mataku melebar karena foto-foto yang dikirimkan oleh Shofwanul. Foto diriku bersama Andaru di puncak Gunung Pesagi, di mana Aciel pernah mengunggah salah satunya di status WhatsApp.
Aku pun menelan ludah. Saat berpaling dari layar ponsel, ternyata Andaru menatapku. Apakah kami mendapat kiriman foto yang sama?
***
Andaru pulang ke Palembang, itu sudah pasti. Nana mendapatkan hadiah dua boneka boba, itu sangat pasti. Sore itu, saat aku datang untuk menjenguknya sekaligus mengambil buku catatanku, Nana tampak bahagia sekali. Senyum selalu bersemi di wajahnya. Ada-ada saja mengenai Andaru yang Nana ceritakan; tentang chat lelaki itu, status WhatsApp-nya, dan mimpinya. Di mana dalam mimpi itu, Andaru menyatakan perasaannya.
Mimpi Nana mengingatkanku pada Raina dan momen nembak di puncak Gunung Pesagi waktu itu.
Ekspresiku yang tampak di luar: aku ikut tersenyum dan mendengarkan cerita Nana dengan serius. Hanya saja dalam dada, ada sesak yang membuatku ingin segera pergi dari hadapannya. Seakan-akan aku tak terima. Aku tak mengerti dengan semua ini. Maksudku, tentang yang kurasakan.
Rasa iri kembali hadir dalam dadaku malam ini. Penyebabnya, sepasang muda-mudi yang duduk berdua di lantai dua booth. Ketika aku berada di tangga terakhir untuk mengantarkan dua cangkir kopi pesanan mereka, kulihat keduanya mengobrol dan tertawa, ditemani lagu dari speaker. Bersyukurnya sebelum pukul sepuluh, mereka sudah pulang. Aku berharap tak ada lagi pengunjung kedai yang berpasangan malam ini.
Aku kembali ke lantai atas untuk mengambil cangkir kopi yang sudah kosong sekaligus ingin membersihkan meja. Sesampainya di atas, aku malah duduk di salah satu kursinya. Kubiarkan saja dua cangkir kopi yang sudah kosong itu. Kutatap langit malam yang bertaburan bintang. Tanganku menopang dagu. Rasa sepi mulai menyelimuti, bersamaan dengan embusan angin yang dingin.
Tanpa kusadari, Bang Itzan sudah berada di tangga terakhir. Dia berjalan ke arahku dengan cangkir kopi di tangan. Aku menurunkan tangan, bersikap sesantai mungkin, menyembunyikan rasa sepi itu. Bang Itzan duduk di depanku, meletakkan cangkir kopinya ke atas meja. Sudah pasti itu kopi hitam, seperti biasa.
Sejenak lelaki itu memperhatikan suasana terang di depan booth akibat lampu-lampu gantung. Ah ya, jangan lupakan dua lampion yang juga menggantung di antara lampu lainnya.
"Kalau mau pulang, pulanglah." Bang Itzan kembali menatapku—sebenarnya dia tidak benar-benar menatapku.
"Iya, Bang," balasku.
Ah, untuk apa pulang cepat? Tak ada siapa pun di rumah. Emak yang biasanya menungguku pulang, yang berusaha tak tidur sebelum aku tiba di rumah, sudah tak ada lagi di dunia ini. Lalu Karey, sudah kembali ke indekosnya dua hari lalu. Dia harus menyelesaikan skripsi dan mendapat acc dari dosen pembimbingnya. Karey tak mau menyia-nyiakan beasiswa yang dia dapatkan.
Tak ada keluarga yang kumiliki di Liwa. Hanya ada saudara mendiang Bapak dan sepupu-sepupuku, tetapi mereka semua tinggal di Belalau sana.
"Istirahatlah, dua hari ini kamu kerja dari pagi sampai malam. Jaga kesehatanmu." Nada khawatir itu kudengar kembali.
Aku tersenyum menanggapinya. Dengan menyibukkan diri dari pagi hingga malam begini, aku lupa pada kesendirianku. Aku hanya pulang sebentar sebelum magrib untuk mandi dan berganti pakaian saja.
"Sal," lanjut Bang Itzan. Suaranya berubah berat. Entah apa penyebabnya. Dia meminum kopi lebih dulu. "Jika ada seseorang, emm melamarmu, emm mengajakmu menikah, emm bagaimana?"
Apa tadi? Melamar? Menikah? Aku memang kesepian, tetapi untuk menikah aku belum siap. Aku punya target sendiri mengenai kapan menikah, tepatnya pada usia 25 tahun ke atas. Aku harus mewujudkan impianku menjadi seorang barista profesional terlebih dahulu dan kuliah. Walau keinginan kuliah ini terdengar mustahil.
"Kalau kamu belum siap, nanti kusampaikan pada orang itu. Jika pun dia tetap keras kepala, berarti dia harus menunggumu."
Keningku berkerut. Orang itu? Kupikir tadi Bang Itzan yang berniat melamarku. Ah, pikiranku sudah terlalu jauh.
Hanya kata "eee" yang keluar dari mulutku. Aku tak menemukan jawaban yang tepat. Sampai dering telepon dari ponselku di dalam booth—begitu lagu dari speaker habis—mengakhiri percakapanku dengan Bang Itzan.
"Ada telepon," kataku.
Aku pun berlalu dari hadapan Bang Itzan sambil membawa dua cangkir kosong. Seraya menuruni tangga, aku bertanya-tanya dalam hati, siapa yang menelepon pada jam segini? Aku mengangkat telepon dengan kedua alis menyatu saat melihat nama Nana di layar ponsel.
"Sallu."
"Iya, Na?" sahutku.
"Kamu masih di kedai?"
"Iya, ada apa?"
"Besok malam kamu kerja juga?"
Besok adalah malam Minggu. Di Rain Coffee pasti banyak pengunjung, seperti biasa.
"Kenapa memangnya?" tanyaku.
"Aku kangen kedai, kangen menyeduh kopi, dan ...," ada jeda sejenak, "kangen kamu, tentunya."
Suara Nana renyah sekali. Aku malah berpikir, dia kangen padaku atau malah Andaru? Sepertinya Nana rindu pada Andaru, deh. Mungkin kata 'kangen kamu' ditambah supaya aku tak tersinggung, iya kan?
"Jadi begini, aku beli alat penyeduh kopi, walau tidak selengkap di kedai."
Nana membeli perlengkapan menyeduh kopi? Yang benar?
"Tenang saja, aku sudah siapkan grinder kok supaya kamu bisa minum kopi Vietnam drip di rumahku."
Lagi-lagi kata "eee" yang keluar dari mulutku. Apa yang harus kujawab? Besok itu malam Minggu, kasihan Bang Itzan sendirian melayani pengunjung di kedai.
"Aku telepon Bang Itzan sebentar, mau pinjam kamu."
"Eh, kayak aku ini apaan pakai dipinjam segala." Aku protes, walau setelah itu tersenyum.
Nana tertawa di seberang sana. "Nanti aku chat kamu. Aku yakin, Bang Itzan pasti mengizinkan."
Tepat sekali, Bang Itzan memang memberikan izin. Tak lama setelah chat dari Nana masuk, suara Bang Itzan terdengar dari lantai atas.
"Sal, besok kamu ke kedainya siang saja. Malamnya, istirahatlah!"
"Iya, Bang, terima kasih!" Aku menyahut. Bukan istirahat, aku akan ke rumah Nana dan menjadi barista satu malam untuknya. Ah, jangan sebut aku barista. Panggilan itu terlalu keren untukku.
***
Seperti yang diharapkan oleh Nana, aku tiba di rumahnya pada pukul tujuh malam. Perempuan itu tersenyum simpul menyambutku. Hanya saja ada sesuatu yang berbeda dari penampilannya malam ini. Aku curiga, tetapi tak bertanya.
Nana mengenakan gaun selutut, membiarkan rambutnya digerai, dan memakai parfum. Wajahnya dipoles bedak dan gincu merah melapisi bibirnya. Penampilan Nana seperti mengisyaratkan kalau dia hendak bertemu dengan seseorang yang spesial malam ini. Lalu aku? Aku hanya mengenakan kaus polos yang ditutupi sweter dan celana jins hitam. Rambutku dikucir kuda seperti biasa dengan polesan bedak seadanya dan lipgloss.
Nana meraih lenganku, lalu melangkah ringan melewati ruang keluarga. Perempuan itu membawaku ke konter dapur rumahnya.
"Ada grinder mini, alat Vietnam drip, saringan kain kopi, milk froter, beberapa cangkir keramik, gelas takar ...." Nana memberi tahu peralatan kopi yang berhasil dibelinya.
Aku tak mendengar semua yang dia sebutkan karena sudah hafal dengan benda-benda di rak dan di atas konter itu.
"Nanti kalau ada uang, aku mau beli peralatan kopi lainnya."
"Sekalian saja buat kedai kopi, Na," kelakarku.
"Hahaha! Nanti Bang Itzan ada saingannya di Liwa."
"Bersaing sehat kan tidak masalah. Baristanya secantik kamu saja Rain Coffee ramai. Apalagi kalau kamu adalah owner-nya, dijamin pengunjung tidak mau buru-buru pulang."
Nana tiba-tiba diam di sampingku. Apa aku salah bicara? Ah ya, mungkin karena bekas jahitan di bawah pelipisnya itu. Aku pun mulai menyalahkan diri sendiri. Syukurnya, suara ketukan dari pintu depan menerbitkan kembali suara renyah Nana. Dia menarik lenganku.
"Dia sudah datang," kata Nana sembari melangkah ringan.
"Siapa?" tanyaku.
Malam ini, orang tua Nana mengunjungi sang nenek yang sedang sakit. Ketika mengenyakkan tubuh ke sofa ruang tamu tadi, aku mengira kalau Nana memintaku ke sini bukan hanya untuk membuatkan secangkir kopi, melainkan juga menemaninya. Anggap saja kami sama-sama tak mau sendirian di malam Minggu. Namun, ketukan pintu depan mengubah anggapanku. Terlebih lagi setelah pintu dibuka oleh Nana. Andaru berdiri di depan kami. Lelaki itu mengenakan jaket bomber yang sama, yang kulihat saat pertama kali bertemu dengannya di kedai.
Aku lekas berpaling, kemudian mengembuskan napas kasar. Malam ini aku benar-benar akan menjadi racun nyamuk episode kedua. Ingin sekali aku berlari pulang. Namun, hanya ingin. Aku tak punya alasan untuk meninggalkan Nana secara tiba-tiba, apalagi bila dia hanya berdua dengan Andaru. Bisa-bisa dosanya pun aku yang tanggung. Mau tak mau, rela tak rela, pilihan jadi racun nyamuk episode kedua harus kulewati beberapa menit, atau mungkin beberapa jam ke depan.
☕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro