12.☕ Aku, Kamu, dan Kopi Vietnam drip ☕
Sebagian orang, termasuk diriku, begitu sulit mendapatkan seorang sahabat dalam waktu dekat, apalagi yang bisa dipercaya. Padahal, aku sangat butuh seseorang untuk berbagi cerita saat tak dapat lagi menahan masalah seorang diri. Maka dari itu, aku mencari jalan pintas untuk mendapatkan sahabat dengan membeli sebuah buku catatan. Aku bisa bercerita banyak hal pada buku catatan itu tanpa ada yang disembunyikan.
Ketika benda itu hilang, aku seperti kehilangan seorang sahabat yang bisa dipercaya. Aku mulai takut orang-orang akan mengetahui apa yang sudah kualami. Aku takut orang-orang akan mengolok-olokku. Yang paling krusial, aku malu bertemu dengan orang lain.
"Ini, buku catatanmu." Andaru menaruh buku catatan itu di atas meja sambil menatap Nana, bukan menatapku.
Nana melirikku, lalu menengok Andaru. "Kamu ... baca isinya?" tanyanya. Sama seperti yang ingin aku tanyakan.
"Ya, baca," jawab Andaru dengan tenang. "Sori, tapi aku suka dengan semua yang kamu tulis di sana."
Jadi, Andaru sudah membaca semuanya?
"Termasuk tulisan pada tanggal ... dua Maret."
Bahkan, Andaru mengingat tanggalnya!
"Di sana tertulis 'Aku hanya ingin kita seperti kopi susu, cukup berdua dalam cangkir putih. Bukan seperti kopi krimer. Walau terdengar hanya ada kopi dan krimer, nyatanya ada gula di antara itu.'"
Ya Tuhan, Andaru benar-benar membacanya!
Nana menatapku sambil mengangkat dagu, seakan-akan berkata "Bagaimana ini, Sal?" Lalu, dia menoleh ke arah Andaru lagi dan bertanya, "Kenapa bukunya ada sama kamu?"
Tepat! Nana pun menanyakan hal itu.
Andaru mengangkat kedua bahunya. "Anggap saja sebuah keajaiban."
Keajaiban? Alisku berkerut. Ya, ya, keajaiban yang bisa dijadikan alasan olehnya untuk kembali ke Liwa dan menemui Nana. Lelaki mana sih yang tidak tertarik pada perempuan cantik? Iya, kan? Mau ke ujung dunia pun pasti dikejar-kejar.
"Terima kasih sudah mengembalikan buku itu," ucap Nana. "Kalau ditemukan orang lain, mungkin bukunya tidak akan kembali lagi. Apalagi dari Palembang ke sini cukup jauh."
"Awalnya aku memang tidak berniat mengembalikan buku itu."
Dengan refleks, aku menatap Andaru, begitu pun Nana.
"Sebenarnya, ada yang mengatakan padaku. Kemungkinan pemilik buku itu adalah seseorang yang ... bisa dibilang, sulit mengungkapkan pikiran dan isi hatinya pada orang lain."
Nana langsung melirikku, sedangkan aku bak patung di tempat.
"Buku itu bagaikan sahabat bagi pemiliknya, yang bisa dipercaya untuk mengeluarkan isi pikiran dan meluapkan perasaan. Saat buku itu hilang, kemungkinan pemiliknya akan cemas, bingung, bahkan stres."
Tepat sekali. Itulah diriku.
"Sebentar, 'kamu' di buku itu maksudnya 'pacar'?" Andaru bertanya.
Ah, kenapa dia tidak to the point saja? Sebenarnya, dia hanya ingin tahu apakah Nana sudah punya pacar atau belum, kan? Basa-basi sekali!
Aku tidak bisa tinggal diam kali ini. "Tidak ada yang namanya pacar dalam buku itu," tegasku.
Andaru menoleh ke arahku. "Maksudnya?" Alisnya terangkat, yang membuatku langsung memalingkan wajah ke pintu samping. Jangan melihatku dengan tatapan itu!
"Maksudnya ... tidak ada pacar alias jomlo. 'Kamu' di buku itu adalah orang-orang di sekitarku." Nana menambahkan. Tebakannya benar.
"Oh," ujar Andaru.
Bisa kuperkirakan apa yang ada dalam benak lelaki itu saat ini. Dia pasti keriangan mengetahui bahwa Nana sedang jomlo. Kalau tidak malu, mungkin saja dia sudah meloncat-loncat seperti orang gila.
"Kapan kamu balik ke Palembang?" tanya Nana.
Nana, Nana, lelaki seperti Andaru tidak akan kembali ke "kandangnya" kalau belum mendapatkan kamu seutuhnya! Ah, jengkelku naik level.
"Baru juga sampai," kata Andaru. "Dua-tiga malamlah di sini. Mau liburan sebelum tidak bisa liburan lagi."
Bukan hanya tiga malam, kalau bisa dia bahkan akan menetap sebulan penuh di sini untuk mendapatkan Nana.
"Kamu menginap di mana?" Nana melanjutkan pertanyaannya.
Yakin seratus persen, Andaru pasti sangat berharap dia menginap tak jauh-jauh dari Nana! Ah, makin lama aku mendengarkan si Andaru Deem ini bicara, kepalaku kian pusing. Sebaiknya aku pulang saja. Cukup di kedai aku sering jadi racun nyamuk kalau Bang Itzan sedang mengobrol dengan Nana. Masa di sini aku harus jadi nyamuk juga? Si Andaru ini tidak modal apa, ya? Apa dia tidak bisa beli racun nyamuk dulu sebelum ke sini?
"Sal."
Kudengar Nana memanggil. Aku menghela napas dan lekas melihat ke arahnya. Sudah selesai mereka mengobrol?
"Ada apa?" tanya Nana.
Aku menggeleng cepat. "Na, aku pulang dulu, ya. Besok atau lusa setelah dari kedai, aku ke sini lagi." Maksudku, datang lagi untuk menjenguk Nana plus mengambil buku milikku.
"Eee ...." Nana bergerak gelisah. Dia seperti ingin mengatakan sesuatu, tetapi hanya melirik Andaru dan aku bergantian.
Aku pun bangkit dari tempat duduk. "Semoga cepat sembuh ya, supaya kamu bisa balik ke Rain Coffee lagi," kataku. Lalu, kubentuk lengkungan di bibir, juga pada Bu Wina yang muncul bersama nampan dan secangkir kopi.
***
Gara-gara rasa malu sebagai seorang kakak yang kalah tegar dari sang adik, aku pun membalas chat Bang Itzan. Dia menanyakan apakah aku bersedia mulai bekerja hari ini atau belum. Aku berangkat ke Rain Coffee pada pukul sebelas siang, menggantikan jam kerja Nana.
Sesampainya di Rain Coffee, pintu booth ternyata sudah dibuka. Saat aku turun dari motor—yang kuparkirkan di tempat biasa, Bang Itzan baru saja membuka bagian depan booth.
"Sudah merasa lebih baik?" Bang Itzan menyambut dengan pertanyaan tatkala kakiku melewati pintu booth.
Aku mengangguk, lalu aku buru-buru meletakkan tas selempang di sudut booth saat kejadian di rumah sakit waktu itu melintas di pikiran. Tepatnya momen di mana Bang Itzan memelukku.
"Aku takut kamu ...." Bang Itzan berhenti bicara saat aku menoleh. "Ah, sudahlah, lupakan." Dia malah memalingkan wajah dan segera memindahkan kursi-kursi dari belakang booth; meletakkannya di tempat biasa.
"Sal." Bang Itzan memanggil.
Aku yang sedang menyapu lantai booth pun mengangkat wajah. "Ya?" sahutku.
Bang Itzan sedang berdiri di depan booth. "Aku mau antarin Ghea dan Geffie keluar sebentar," katanya. "Tidak lama, nanti aku balik lagi."
"Iya, Bang." Setidaknya Bang Itzan tak cuek lagi padaku, itu lebih dari cukup.
"Kalau ada apa-apa, atau ... ada masalah, bilang saja."
Aku menganguk. Kuperhatikan punggung Bang Itzan yang menjauh. Ada rasa hangat yang menyusup dalam dadaku.
Setelah semua beres, seperti biasa, aku memutar playlist. Lagu Gabriela Fernandez berjudul "Aku, Kamu, dan Dua Cangkir Kopi" pun terdengar. Baru saja aku bangkit dari kursi, langkah seseorang dari depan booth membuatku berpaling. Andaru? Ah, dia lagi! Kenapa dia ke sini? Aku mendesah kasar.
Melihat Andaru duduk di kursi kayu di depan booth, yang jaraknya hanya sekitar satu meter dariku, aku pun menyibukkan diri dengan membuat segelas kopi Vietnam drip. Bukan untuknya, melainkan diriku sendiri. Yah, biarlah kuanggap diriku sedang sendiri di kedai ini, tak ada lelaki bernama Andaru.
Begitu selesai, aku menarik satu kursi ke ujung meja, ke dekat etalase kue. Kutatap tetesan-tetesan kopi yang jatuh ke atas susu kental di dalam gelas. Memperhatikan air kopi lebih menarik daripada menoleh atau memulai obrolan untuk sekadar berbasa-basi dengan lelaki itu. Yah, walau harus kuakui, Andaru yang mengenakan pakaian kasual lebih tampak santai dan ... hmm tampan.
Ah, Sallu! Berhentilah berpikir seperti itu!
"Vietnam drip-nya satu," kata Andaru.
Aku lantas menoleh.
"Vietnam drip-nya satu," ulang Andaru seraya mengangkat jari telunjuknya.
"Ya," sahutku dengan suara malas.
Segera kubuat secangkir kopi Vietnam drip lagi. Entah kenapa, kopi yang digiling tak beraroma wangi di hidungku. Mungkin karena aku melakukannya dengan buru-buru, atau gara-gara keberadaan lelaki menjengkelkan di depanku. Setelah selesai, kusuguhkan dengan cepat ke depannya.
Aku duduk, memperhatikan layar ponsel dan gelas kopi di depanku. Harapanku sekarang, Andaru lekas beranjak dan mengambil tempat di salah satu kursi di pelataran kedai.
"Sori soal ... Aciel yang bercandanya kelewatan." Ucapan Andaru membuatku berpaling dari layar ponsel. Lelaki model Andaru bisa juga mengucapkan kata sori?
"Maksudku, soal status WhatsApp Aciel waktu itu. Dia memang begitu anaknya, suka bercanda."
Aku hanya mengangguk, tetapi bukan berarti aku mengubah penilaian terhadapnya.
"Aku sudah memintanya menghapus status itu, tapi ...." Kulihat Andaru mengembuskan napas. Saat dia melihat ke arahku, aku malah berpaling ke sudut booth.
Cukup lama kami diam. Bahkan, sampai kopi Vietnam drip di depanku tinggal setengah gelas. Aku sedang memutar-mutar sendok di dalam gelas ketika Andaru membuka obrolan lagi.
"Oh ya, beneran Nana tidak ada pacar, atau ... gebetan?"
Pertanyaan itu kembali membuat kepalaku berisik. Oh, jadi dia ke sini hanya untuk bertanya-tanya soal Nana? Kenapa dia tidak tanya langsung saja ke orangnya? Bukannya kemarin mereka mengobrol panjang lebar?
"Kenapa memangnya?" Walaupun sudah tahu jawabannya, aku tetap bertanya.
"Ya ... tidak ada."
Tidak mungkinlah dia bertanya kalau tidak ada tujuannya. Aku berhenti memutar sendok dan menyesap kopi Vietnam drip milikku sampai habis.
"Satu lagi, boleh tahu ... apa yang disukai oleh Nana?" Saat aku menoleh, Andaru menambahkan, "Maksudku, benda yang disukai oleh Nana."
Oh, dia mau memberi Nana hadiah, begitu? Ya, ya, sebuah trik kuno untuk mendekati pujaan hati.
Keningku berkerut saat mengingat apa saja benda yang disukai oleh Nana. Seingatku, Nana suka belanja alat kosmetik online dan barang-barang yang sedang tren.
Tidak banyak yang aku ketahui tentang Nana. Dia perempuan baik dan mudah bergaul dengan siapa pun. Banyak lelaki yang jatuh cinta padanya. Namun, aku tidak tahu siapa saja lelaki itu. Setahuku juga, Nana adalah tipe perempuan yang tidak betah berada di rumah. Belum juga mendapatkan pekerjaan sesuai dengan jurusannya sewaktu kuliah, dia pun bekerja di Rain Coffee.
Kedua bahu kuangkat, menandakan bahwa aku tidak terlalu tahu. "Yang disukai perempuan itu biasanya tidak jauh-jauh dari beda, kan?" Aku berkata begitu karena yakin kalau Andaru pasti hafal di luar kepala mengenai benda-benda yang disukai oleh perempuan. Kenapa dia harus repot-repot bertanya lagi?
"Kamu ... sibuk besok pagi?" tanya Andaru kemudian, mengalihkan topik pembicaraan.
"Sibuk," jawabku cepat dan singkat.
Aku tak bohong. Besok pagi aku harus membersihkan kamar dan mencuci pakaiaan kotor yang sudah menumpuk. Tiba-tiba aku teringat mendiang Emak. Beliau tak pernah mengeluh dengan semua tugasnya sebagai seorang ibu sekaligus ayah untukku dan Karey sejak Bapak meninggal dua tahun lalu. Lalu aku? Hanya membersihkan kamar dan mencuci pakaian sendiri saja sudah berani mengatakan sibuk.
"Oh."
Ada nada kecewa dalam suaranya itu. Bosan kan ngobrol sama aku? Ya sudah, sana pergi!
"Itu, kata 'andanan hati' artinya apa?" Andaru mengalihkan topik pembicaraan lagi, mengenai lagu daerah Lampung yang terdengar dari speaker.
"Andanan hati itu artinya pujaan hati," jawabku. Sudah, jangan tanya-tanya lagi! Sana, pergi!
Andaru memalingkan wajah dan terdiam. Mungkin saja dia teringat dengan tulisan di kover buku catatan itu.
Tanpa kuduga, lelaki itu kembali bertanya tentang Nana. "Apa ... Nana suka baca buku senandika, puisi, atau semacamnya? Dia kan suka menulis, pasti dia ...." Andaru sengaja tak melanjutkan ucapannya. Dia menatapku dengan ekspresi aneh.
☕
Bạn đang đọc truyện trên: Truyen247.Pro